STRONGYLOIDOSIS PADA ANAK BABI PRA-SAPIH
on
Buletin Veteriner Udayana
ISSN : 2085-2495
Vol. 3 No.2. :107-112
Agustus 2011
STRONGYLOIDOSIS PADA ANAK BABI PRA-SAPIH
(Strongyloidosis in Piglet)
Ida Bagus Made Oka, I Made Dwinata
Laboratorium Parasitologi, Fakultas kedokteran hewan, Universitas Udayana
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui keterlibatan atau kontribusi strongyloidosis ransomi terhadap diare pada anak babi pra sapih pada peternakan babi di Bali. Dilakukan penelitian 501 tinja anak babi pra-sapih yang berasal dari kabupaten Badung, Tabanan dan Gianyar. Untuk mengetahui adanya infeksi cacing tersebut, dilakukan pemeriksaan telur cacing secara mikroskopis dengan metoda Sodium Acetic Foemaldehid (SAF). Data yang didapat dianalisis secara statistik dengan uji Fischer/Chi Qwadrat Test.
Hasil penelitian didapatkan prevalensi infeksi cacing Strongyloides ransoni pada anak babi pra-sapih sebesar 7,4%. Hasil analisa statistik didapatkan adanya hubungan yang nyata antara infeksi Strongyloides ransoni dengan diare, dimana anak babi yang terinfeksiStrongyloides ransoni kemungkinannya 6 kali lebih sering menderita diare dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi.
Kata kunci : Cacing Strongyloides ransoni, anak babi pra-sapih
ABSTRACT
The Research was conducted to determine the contribution Strongyloides ransomi against diarrhea in piglets on pig farms inBali. The number of sample 501 piglets feces from Badung, Tabanan and Gianyar. The examination of worm eggs with Sodium Acetic Foemaldehid method (SAF). The data obtained were analyzed statistically with Fischer test / Chi Qwadrat Test.
The results was obtained the prevalence of Strongyloides ransomi in piglets of 7.4%. The results was found a significant relationship between infection Strongyloides ransomi with diarrhea, where the infected piglets Strongyloides ransomi higher risk ( OR=6 ) than of piglets uninfected.
Keywords: Strongyloides ransomi , piglets
PENDAHULUAN
Ternak Babi di Bali merupakan salah satu ternak yang mempunyai peran penting dalam pemenuhan protein hewani dan pelengkap tradisisi keagamaan. Populasi ternak babi di Bali pada tahun 2004 tercatat sebagai berikut : babi Bali
sebanyak 298.614 ekor, babi Saddleback dan persilangannya sebanyak 175.942 ekor dan babi Landrace dan persilangannya sebanyak 818.300 ekor (Data Dinas Peternakan Propinsi Bali tahun 2004). Kendala utama yang dihadapai oleh peternakan babi di Bali maupun di daerah lain adalah tingginya
kematian anak babi sebelum disapih (pra-sapih) yang dikenal dengan istilah preweaning mortality.
Kasus yang sering menyebabkan kematian pada anak babi pra sapih adalah diare, abnormalitas waktu lahir, perubahan temperatur yang cukup tajam, kolostrum yang kurang memadai serta hygiene yang jelek. Diare pada anak babi pra sapih merupakan masalah yang sulit dipecahkan pada peternakan babi (Svensmark et al. 1989). Penyebab utama terjadinya diare pada anak babi pra sapih adalah penyakit infeksius yang disebabkan oleh virus, bakteri maupun parasit, dan atau kombinasi ketiga agen penyebab tersebut.
Penelitian tentang keberadaan parasit Strongyloides ransomi pada anak babi pra-sapih di Bali maupun daerah lain di Indonesia belum pernah dilaporkan, Oleh karena itu tema ini sangat menarik untuk diteliti di Bali.
METODA PENELITIAN
Sampel Penelitian
Peternak yang akan dipakai sebagai obyek penelitian dipilih secara acak dari bebepara kabupaten di Bali, berdasarkan informasi Dinas Peternakan Daerah Tingkat II (Kabupaten). Pengambilan feses dilakukan secara langsung melalui rektum, untuk merangsang keluarnya feses dilakukan beberapa kali pijatan pada
bagian perut yang dilanjutkan dengan melakukan rangsangan di bagian anus. Feses yang keluar dimasukkan kedalam tabung feses yang mengandung larutan SAF. Feses yang diteliti berasal dari berbagai umur 1-7 hari, 8-14 hari, 15-21 hari, 22-28 hari, 29 – 35 hari dan36 – 42 hari.
Cara Pemeriksaan
Pemeriksaan Feses dengan Methode SAF (Martin dan Escher, 1990). Pada penelitian ini parameter yang diamati adalah ditemukannya telur cacing Strongyloides ransomi pada pemeriksaan mikroskopis secara SAF feses anak babi pra-sapih. Prevalensi infeksi ditentukan dengan rumus :
Σ Sampel Aiwk Babi Terinfeksi Pm>)cnβi = --------------------------- X BKt0e
Σ Sampel Anak Babi Terainati
Ditemukannya telur cacing strongyloides ransomi berbentuk oval dengan larva didalamnya pada feses dinyatakan dengan hasil postif. Untuk mengetahui hubungan antara kejadian diare dengan adanya parasit pada saluran pencernaan dianalisa dengan uji Fischer/Chi Qwadrat Test (Stell and Torrie, 1989).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Prevalensi Infeksi Strongyloides ransomi pada Anak Babi di Bali
Hasil pemeriksaan sediaan mikoskopis dengan metoda SAF terhadap 501 feses
anak babi pra-sapih yang berasal dari kabupaten Tabanan, Badung dan Gianyar didapatkan terinfeksi cacing Strongyloides ransomi pada 37 ekor (7,4%).
Prevalensi infeksi cacing Strongyloides ransomi pada babi pra-sapih di Bali sebesar 7,4%, lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Nganga, et al (2008) di Kenya sebesar 4,3%. Jika dihubungkan dengan siklus hidup dari cacing, anak babi yang diteliti pra sapih berumur ( 1 - 42 hari), tentu saja sebagai sumber infeksi utamanya adalah melalui kolostrum, diikuti dengan tertelannya L3 bersama makanan – minuman dan atau melalui penetrasi kulit. Tingginya prevalensi membuktikan bahwa induk-induk babi di Bali sudah terinfeksi cacing S. ransomi secara laten dan akan menularkan ke anaknya melalui kolostrum setelah menyusui. Peternak babi di Bali belum intensif memberikan obat cacing terutama menjelang melahirkan, sehingga setelah anak lahir dan menyusu langsung terinfeksi lewat kolostrum.
Hasil penelitian ini (7,4%) lebih rendah dibandingkan dengan hasil yang didapatkan Yasa dan Guntoro (2004) di Bangli (Bali) di dapatkan 13%. Perbedaan hasil yang didapat dipengaruhi oleh jenis babi, karena setiap jenis babi memiliki kepekaaan yang berbeda terhadap infeksi cacing (Tizard, 1988). Selain itu juga
dipengaruhi oleh perbedaan umur babi, secara terori semakin bertambah umur babi kekebalan terhadap cacing akan semakin meningkat atau dengan kata lain semakin meningkat umur prevalensinya akan semakin rendah (Murrel, 1981; Tizard, 1988). Dari hasil penelitian ini mengindikasikan terbentuknya kekebalan tidak berperan nyata terhadap jumlah kejadian pada populasi (prevalensi infeksi), tetapi mungkin lebih berperan didalam menghambat berat – ringannya jumlah infeksi (intensitas infeksi). Hasil penelitan didapat semakin meningkat umur prevalensinya juga semakin tinggi, tingginya prevalensi belum tentu intensitasnya juga tinggi atau bahkan sebaliknya. Selain itu jika pada umur kecil (anak) babi tidak pernah terinfeksi, maka setelah dewasa dan terjadi infeksi menyebabkan prevalensinya juga akan tinggi. Salain jenis, dan umur babi, prevalensi secara umum juga dipengaruhi oleh kondisi wilayah, jenis kelamin dan cara pemeliharaan.
Prevalensi Infeksi Strongyloides ransomi pada Berbagai Umur Anak Babi Pra-sapih di Bali.
Anak babi yang diteliti adalah anak babi pra-sapih sampai umur diatas 6 minggu (peternak umumnya melakukan penyapihan antara umur 35 sampai 45 hari). Prevalensi infeksi Strongyloides ransomi pada berbagai umur anak babi
pra-sapih disajikan dalam diagram 1 berikut :

Diagram 1. Prevalensi infeksi Strongyloides ransomi pada Berbagai Umur Anak Babi
Dari diagram 1 diatas, nampak bahwa prevalensi cacing Strongyloides ransomi pada berbagai umur adalah sebagai berikut : umur 1 – 7 hari sebesar 7,9%, umur 8 – 14 hari sebesar 10,9%, umur 15 – 21 hari sebesar 11,2%, umur 22 – 28 hari sebesar 1,6%, umur 29 – 35 hari sebesar 2,9% dan umur 36 – 42 hari sebesar 0%
Prevalensi infeksi mulai umur 1- 7 hari sebesar 7,9%, meningkat setelah umur 8 – 14 hari dan tertinggi pada umur 15 – 21 hari sebesar 11,2 % dan setelah itu akan turun dan mencapai 0% pada hari ke 36 – 42. Secara siklus hidup anak babi yang baru lahir akan terinfeksi oleh induknya melalui kolostrum sejak awal menyusu sampai hari ke-20. Menurut Tizard (1988) sejak mulai terinfeksi, di dalam tubuh babi akan terbentuk kekebalan dan mencapai puncaknya 10 – 14 hari setelah infeksi. Ini membuktikan pada penelitian ini anak babi terinfeksi sejak awal menyusu dan jika dihubungkan dengan masa pepaten cacing selama 2 – 4 hari
(Kaufmann, 1996), sehingga cacing akan mengeluarkan telur sekitar hari ke-5. Semakin hari infeksi akan semakin bertambah banyak (melalui kolostrum, per-oral dan penetrasi kulit) dan infeksi terbanyak setelah anak babi berumur 8 – 14 hari. Kekebalan optimal dicapai setelah berumur 22 – 42 hari, ini terbukti dengan semakin meningkatnya umur didapatkan prevalensi infeksi yang semakin rendah.
Hasil yang didapat juga sesuai dengan yang dilaporkan oleh (Murrel, 1981), anak babi yang terinfeksi cacing Strongyloides ransomi, apabila terjadi kesembuhan akan memiliki daya kebal yang cukup tinggi terhadap reinfeksi, sehingga penyakit ini jarang dijumpai pada babi yang lebih tua.
Hubungan Antara Infeksi Strongyloides ransomi dengan Diare
Dari 501 feses anak babi pra-sapih yang diteliti, 78 ekor menderita diare dan 423 ekor tidak menderita diare. Hasil
pemeriksaan tinja babi yang menderita diare sebanyak 78 ekor, didapatkan 17 ekor (28,8%) terinfeksi Strongyloides ransomi dan anak babi yang tidak menderita diare sebanyak 423 ekor, ditemukan 20 ekor (4,7%) terinfeksi St rongylus ransomi.
Prevalensi infeksi cacing Strongylus ransomi dan hubungannya dengan diare disajikan dalan diagram (2) berikut :
Diagram 2. Prevalensi Infeksi Strongyloides ransomi dan Hubungannya dengan Diare
Dari diagram 2 diatas, nampak prevalensi infeksi cacing Strongyloides ransomi pada anak babi pra sapih yang menderita diare sebesar 28,8%, sedangkan yang tidak diare sebesar 4,7%. Dari hasil yang didapat setelah dianalisis secara statistik dengan Chi Qwadrat Test didapatkan nilai odd ratio sebesar 5,6 yang artinya anak babi pra sapih yang terinfeksi Strongyloides ransoni kemungkinannya 6 kali lebih sering menderita diare dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi.
Hasil penelitian sesuai dengan pernyataan Murrel, 1981; Soulsby, 1982, gejala klinis infeksi S. ransomi salah satunya yang teramati adalah diare berdarah. Diare terjadi, karena predileksi S. ransomi adalah pada usus halus, terutama cacing betina akan menyebabkan iritasi serta peradangan pada mukosa usus halus. Secara histologis akan nampak perubahan pada mukosa usus halus terutama epithelium dan lamina propria (Enigk, 1952). Sel sel epithel banyak yang pecah, menyebabkan peningkatan permeabilitas mukosa usus halus sehingga menyebabkan keluarnya protein plasma dari sistem sirkulasi ke lumen usus (Murray et al., 1971).
Dari hasil penelitian ini membuktikan bahwa diare pada anak babi pra sapih selain disebabkan oleh infeksi S. ransoni, juga disebabkan oleh infeksi lainnya bahkan juga oleh sebab lain yang non infeksius
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Prevalensi cacing Strongyloides ransomi pada anak babi pra-sapih di Bali, sebesar 7,4% . Prevalensi cacing Strongyloides ransomi pada umur 0 -7 hari sebesar 7,9%, 8 – 14 hari sebesar 10,9%, 15 – 21 hari sebesar 11,2%, 22 – 28 hari sebesar 1,6%, 29 – 35 hari sebesar 2,9% dan 36 – 42 hari sebesar 0%. Anak babi pra-sapih yang terinfeksi
Strongyloides ransomi, kemungkinan menderita diare 6X lebih sering dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi
Saran
Disarankan kepada peternak babi untuk mengobati babinya yang terinfeksi dan secara rutin melakukan pengobatan menggunakan obat cacing untuk mencegah infeksi. Mengingat cara penularan infeksi cacing S. ransomi melalui kolostrum, per oral dan per kutan, maka disarankan agar peternak babi mengobati induk babi menjelang melahirkan, menjaga sanitasi kandang agar makanan, minuman dan kantang tidak terkontaminasi oleh larva infektif. Selain itu jika salah satu babi peliharaannya ada yang terinfeksi, sebaiknya babi terinfeksi diisolasi dan diobati sampai sembuh dan kandang tempat pemeliharaan didisinfeksi sampai terbebas dari larva cacing.
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Peternakan Propinsi, 2004, Informasi Peternakan Propinsi Bali. Dinas Peternakan Propinsi Bali, Denpasar
Kauffman J., 1996, Parasitic Infections of Domestic Animals. A Diagnostic Manual. Birkhaeuser. Basel-Boston-Berlin.
Marti H. und E. Escher, 1990, SAF-Eine Alternative Fixierloesung Fuer Parasitologische Stuhluntersuhungen. Schweiz. Med. Wschr. 120: 1473-1476.
Murray, M., W.F.H. Jarret, F.W. Jenings, H.R.P. Miller, 1971, Structural Changes Associated with Increased Permeability of Parasitised Mucosa Membranes to Macromolecules. In Gaafar, S.M. Pathology of Parasitic Diseases. Pudue Univ. Studies, Lafayette, Ind. 197-207
Murrell, K.D., 1981, Induction of
Protective Immunity to StrongyloideS ransomi in Pigs, American Journal of Veterinary Research 42, 1915-1919
Nganga.C.J; D.N. Karanja and M.N Mutune (2008). The Prevalence of Gastrointestinal Helminth Infection in Pig in Kenya. Tropical Animal Health and Production. Vol. 40, No. 5. Juin 2008.
Soulsby, E.J.l, 1982, Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. 7th Ed. Bailliere Tindal.
Stell, R.G.D and J.H. Torrie (1989). Prinsip dan Prosedur Statistika, Suatu Pendekatan Statistika. Alih Bahasa Bambang Sumantri, Edisi ke-2, Penerbit PT. Gramedia, Jakarta.
Svensmark, B., J. askaa, C. Wolstrup and K. Nielsen, 1989, Epidemiological Studies of piglet Diarrhoea in Intensively Managed Danisch Sow Herds. Acta Veterinaria Scandinavica. 30. 71-76.
Tizard, I; 1988. Pengantar Imunologi Veteriner. Penerjemah Masduki Partodiredjo. Airlangga University Press.
Yasa, R.I.M dan S. Guntoro, Prevalensi Infeksi Cacing Gastrointestinal pada Babi (Studi Kasus pada Pengkajian Penggemukan Babi di Desa Sulahan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli Bali).
112
Discussion and feedback