Buletin Veteriner Udayana

ISSN : 2085-2495

Vol. 3 No.2. :71-78

Agustus 2011

PENGARUH EKSTRAK PEGAGAN (CENTELLA ASIATICA) DALAM

MENINGKATKAN KAPASITAS FAGOSIT MAKROFAG PERITONEUM

MENCIT TERHADAP SALMONELLA TYPHI

(Effect of C. extract enhance phagocytic capacity of peritoneal macrophages in Balb/C mice infected with Salmonella thypi)

I Nengah Kerta Besung

Laboratorium Mikrobiologi – Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Udayana

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Salmonellosis masih menjadi masalah kesehatan di negara berkembang, umumnya di daerah tropis dan khususnya di Indonesia. Hambatan utama dalam menanganisalmonellosis ini adalah terbatasnya jenis antibiotika yang efektip terhadap kuman ini, dan sering terjadi resistensi kuman terhadap antibiotika yang diberikan. Pegagan mengandung triterfenoid saponin berperan sebagai imunostimulan dan meningkatkan indek fagosit, namun kajian ilmiah tentang pegagan dalam menangani penyakit infeksi yang disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi) belum pernah diungkapkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan secara lebih detail tentang peran pegagan kaitannya dengan kapasitas fagosit terhadap S. typhi. Penelitian ini merupakan eksperimen laboratorik yang memakai rancangan acak lengkap sederhana (Completely Randomized Design) Mencit dikelompokkan dalam 4 kelompok, dan setiap kelompok berturut-turut diberikan aquades sebagai kontrol, ekstrak pegagan 125, 250, 500 mg/kg berat badan (bb). Perlakuan terhadap mencit ini diberikan setiap hari selama dua minggu dan selanjutnya diinfeksikan dengan 105 sel/ml S. typhi. Variabel kapasitas fagosit diamati sehari setelah infeksi S. typhi. Hasil penelitian menunjukkan, pemberian ekstrak pegagan meningkatkan secara bermakna (p<0,05) kapasitas makrofag peritoneum mencit Balb/c yang diinfeksi S. thypi,dengan kapasitas fagosit tertinggi terjadi pada dosis 500 mg/kg bb yaitu sebesar 209,12±26,17 per 50 sel makrofag.

Kata kunci : pegagan, C. asiatica, kapasitas fagosit,

ABSTRACT

Salmonellosis is still a problem in many developing countries including Indonesia. The main problem in controlling and handling the disease is that only few antibiotics are available to cure the disease. In addition, the prolonged use of such antibiotics often leads to a bacterial resistant against the antibiotics. Herbal drugs such as Centella asiatica (in Indonesia is known as pegagan) contains triterphenoids saphonin which acts as immunostimulant capable of enhancing the phagocytic activity of macrophages. However, no study has been conducted to investigate the use pegagan in capacity of macrophage of mice infected with Salmonella typhi. A study was therefore conducted to find out the ability of Centella asiatica in enhancing phagocytic capacity of macrophages toSalmonella typhi. Experimental laboratory studies were conducted using Completely Randomized Design. Mice were divided into 4 groups and they were treated respectively with destilated water (negative control), 125, 250, dan 500 mg/kg bw of Centella asiaticaextract. The treatment was conducted daily for 2 weeks and the mice were then inoculated with 105 cells/ml of S.

typhi. The capacity of macrophages were examined 24 hours following inoculation with S. typhi. The result showed that treatment of mice withCentella asiatica extract significantly (p<0,05) enhanced capacity of macrophages in phagocyting S. thypi. The highest capacity of macrophages were observed in mice treated Centella asiatica extract at the dose of 500 mg/kg bw with the capacity of 209,12±26,17 cells per 50 macrophage.

.Key words : pegagan, C. asiatica, phagocytic capacity of macrophages

PENDAHULUAN

Salmonellosis disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi) dapat menyebabkan infeksit pada usus. Penyakit ini dikenal dengan nama demam tifoid atau penyakit tifus dan sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan di negara-negara berkembang, umumnya di daerah tropis dan khususnya di Indonesia. Angka kejadiannya meningkat pada musim kemarau panjang dan di awal musim hujan. Kejadian penyakit terbanyak terjadi pada anak umur 5 tahun atau lebih dengan manifestasi klinis ringan. Makin muda umur anak, Gejala klinis pada anak tidak khas dengana angka mortalitas rendah (Supali, 2002).

Di Amerika Serikat kejadian salmonellosis mendekati 40 000 kasus setiap tahun. Kebanyakan bersifat ringan tetapi kemungkinan kasusnya lebih tinggi dari yang dilaporkan. Pada musim panas angka kejadiannya lebih tinggi dibandingkan dengan musim dingin (DFBMD, 2008). Angka kejadian penyakit tifus di Indonesia rata-rata 900.000 kasus/tahun dengan angka kematian lebih dari 20.000 dan kejadian terbanyak ditemukan pada usia 3-19 tahun (Anonim, 2009). Di Semarang,

riwayat terkena demam tifoid pada responden penjual es keliling sebesar 15,1% dan kejadian pada keluarga serumah sebesar 13,2%, serta prevalensi karier S. typhi dan S. paratyphi mencapai 2,3% (Supali, 2002).

Beberapa hewan dapat terjangkit salmonellosis diantaranya unggas, babi, sapi, kerbau, anjing, kucing, tikus, dan hewan peliharaan seperti iguana, tortoise, dan kura-kura. Hewan yang terinfeksi S. typhi dapat berperan sebagai reservoar penyakit tanpa menunjukkan gejala klinis. Hewan ini merupakan sumber infeksi dan setiap saat dapat menularkan penyakit ke hewan lainnya. Pada kasus ini, kuman tetap berada di dalam tubuh dalam jangka waktu yang lama, bahkan selama hidupnya terinfeksi kumansalmonella (Santander dkk., 2003).

Selama ini penggunaan antibiotika untuk menangani salmonellosis mengalami hambatan. Hambatan utama adalah terbatasnya jenis antibiotika yang efektip terhadap kuman ini. Hanya beberapa jenis antibiotika yang efektip dipakai menangani infeksi diantaranya khloramfenikol, flourokuinolon dan kotrimoksasol. Hambatan lainnya adalah sering terjadi resistensi kuman terhadap

antibiotika yang diberikan. Penggunaan antibiotika yang kurang terkontrol akan dapat menimbulkan resistensi kuman. Kuman yang pada awalnya sensitif terhadap antibiotika namun, lama kelamaan dapat bersifat resisten sehingga antibiotika tersebut tidak dapat dipakai untuk menangani penyakit tersebut.

Selain kendala diatas, biaya perawatan yang mahal, dan pemulihan infeksi yang lama,juga menjadi pemikiran dimasa mendatang untuk mencari upaya alternatif penanggulangan salmonellosis secara lebih mudah, efektip dan murah. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah mencegah terjadinya infeksi, dengan jalan meningkatkan ketahanan tubuh melalui aktivasi sel fagositik, mengingat sel fagositik seperti makrofag dan netrofil berperan penting melenyapkan semua agen infeksi yang masuk ke dalam tubuh (Tizard, 2000). Salah satu tanaman obat yang dapat meningkatkan ketahanan tubuh adalah pegagan.

Centella asiatica (C. asiatica.) atau di Indonesia dikenal dengan nama pegagan telah lama dimanfaatkan sebagai obat tradisional baik dalam bentuk segar, kering maupun yang sudah dalam bentuk ramuan (jamu). Secara konvensional, pegagan dipakai untuk melancarkan peredaran darah, peluruh kencing (diuretika), penurun panas (antipiretika), menghentikan pendarahan (hemostatika), antispasma, antiinflamasi, hipotensi, insektisida, antialergi dan stimulan.

Kandungan saponin pada pegagan berfungsi menghambat produksi jaringan bekas luka yang berlebihan (menghambat terjadinya keloid). Pegagan juga bermanfaat untuk meningkatkan sirkulasi darah pada lengan dan kaki, untuk mencegah varises dan salah urat, meningkatkan daya ingat, mental, dan stamina tubuh, serta untuk menurunkan gejala stres dan depresi (Yu dkk., 2006).

Selama ini, kajian ilmiah mengenai manfaat pegagan pada manusia maupun pada hewan sudah banyak diungkapkan. Namun demikian belum pernah diungkapkan penelitian tentang kemampuan aktivasi makrofag terhadap penyakit infeksi demikian juga peranannya dalam meningkatkan kapasitas fagositosis terhadap S. Typhi..

MATERI DAN METODE

Materi Penelitian

Pegagan (C.asiatica L) diperoleh dari Desa Kesimpar, Kecamatan Abang Kabupaten Karangasem. Daun pegagan yang dipilih adalah daun berwarna hijau, utuh, dan segar. Selanjutnya dikumpulkan lalu dikering anginkan. Setelah kering, pegagan dihancurkan dengan blender, kemudian ditimbang sebanyak 100 gram. Bubuk pegagan kemudian ditambah 300 ml pelarut methanol dan diaduk dengan magnetic stirrer selama 1 jam pada suhu kamar. Selanjutnya disaring dengan kertas Whatman no 42 sehingga

diperoleh filtrat 1. Ampas yang diperoleh, dilakukan ekstraksi ulang sehingga diperoleh filtrat 2. Filtrat 1 dan filtrat 2 dicampur kemudian diuapkan dengan rotary evaporator (Antony dkk., 2006).

Metode Penelitian

Sebanyak 32 ekor mencit umur 8 minggu diadaptasikan dengan lingkungan selama 2 minggu dan ditimbang berat badannya (BB). Mencit ditempatkan pada 4 kelompok secara acak yaitu 8 ekor mencit pada kelompok I, 8 ekor mencit pada II, 8 ekor mencit pada III, dan 8 ekor mencit pada IV. Kelompok I sebagai kontrol hanya diberikan aquades steril sebanyak 1 ml/hari, kelompok II diberikan pegagan dosis 125 mg/kg BB/ml, kelompok III diberikan pegagan dosis 250 mg/kg BB/ml, dan kelompok IV diberi pegagan dosis 500 mg/kg BB/ml. Pemberian tersebut dilakukan setiap hari selama 14 hari. Pada hari ke 15 dilakukan infeksi kuman S. typhi sebanyak 105 sel per ml PBS per ekor secara intraperitoneal. Infeksi S. typhi ini didasarkan atas hasil uji lethal dose 50 (LD50). Isolasi makrofag peritoneum dilakukan sehari setelah infeksi S. typhi.

Pengukuran kapasitas fagositik makrofag dilakukan dengan menggunakan pewarnaan Giemsa. Cairan peritoneum yang telah dibuat preparat apus, difiksasi dengan metanol dan diwarnai dengan Giemsa. Setelah 10 menit dicuci pada air

mengalir sebanyak tiga kali, ditiriskan sampai kering. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop pada pembesaran 1.000 kali dengan bantuan minyak emersi.

Dengan pembesaran 1.000 x, makrofag tampak sebagai bentukan yang tidak teratur, adanya tonjolan sitoplasma, inti tunggal berbentuk ladam kuda terletak eksentris, adanya fesikel atau vakuola lisosom (Roitt, 1993). Kapasitas fagosit ditetapkan berdasarkan jumlah kuman S. typhi yang ditemukan di dalam makrofag pada 50 sel makrofag (Okoli dkk., 2008).

Data hasil penelitian diuji dengan Analisis of Varian yang dilanjutkan dengan uji Least Significant Difference (LSD). Semua data dianalisis dengan program SPSS.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Makrofag yang diamati dengan mikroskop pembesaran 1.000 kali terlihat sebagai bentukan yang tidak teratur, adanya tonjolan sitoplasma, inti tunggal berbentuk ladam kuda terletak eksentris. Secara morfologis makrofag tanpa pegagan nampak lebih kecil dibandingkan dengan yang diberi pegagan. Begitu juga tepi sel makrofag tanpa pegagan nampak jelas dibandingkan dengan yang diberi pegagan. Gambaran makrofag tanpa pegagan dan yang diberi pegagan tampak seperti seperti pada Gambar 1.

π. KLakruEtip Iaiipi peμagaπ b. KLakruEap ιk np□Ji pegauau


Gambar 1. Sel Makrofag Peritoneum Mencit Tanpa Pegagan (a) dan Makrofag dengan Pegagan (b) pada Pewarnaan Giemsa Pembesaran 1000x (tanda panah menunjukkan adanya bakteri)

Hasil kapasitas fagosit makrofag terhadap S. typhi pada kontrol, pemberian pegagan dosis 125, 250, dan 500 mg/kg BB dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Kapasitas Fagosit Terhadap S. typhi Setelah Diberikan Pegagan per 50 Sel Makrofag

Gambar 2. menunjukkan makin tinggi dosis pegagan maka kemampuan kapasitas fagosit terhadap S. typhi makin meningkat. Kapasitas terendah terlihat pada mencit kontrol sebanyak 103,12±5,11 per 50 sel makrofag dan kapasitas tertinggi terlihat pada mencit yang diberikan pegagan 500 mg/kg BB sebanyak 209,12±26,17 per 50 sel. Kapasitas makrofag pada dosis pegagan 125 dan 250 mg/kg BB masing-masing 144,12±11,73 dan 201±5,21 per 50 sel makrofag. Analisis dengan LSD dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Analisis Perbedaan Kapasitas Fagosit Makrofag mencit pada masing-masing Kelompok


Kelompok

Kelompok

Selisih Rata-rata

Signifikansi

Kontrol

125 mg/kg BB

-41.00

.000

250 mg/kg BB

-97.87

.000

500 mg/kg BB

-106.00

.000

125 mg/kg BB

250 mg/kg BB

-56.87

.000

500 mg/kg BB

-65.00

.000

250 mg/kg BB

500 mg/kg BB

-8.12

.281


Kapasitas fagosit makrofag mencit terhadap S. typhi seperti Tabel 1 menunjukkan bahwa mencit yang diberikan pegagan dosis 500 mg/kg BB lebih tinggi secara bermakna (p<0,05) dibandingkan dengan dosis lainnya kecuali dengan dosis 250 mg/kg BB (p>0,05). Kapasitas fagosit terhadap S. typhi pada dosis 250 mg/kg BB lebih tinggi secara bermakna (p<0,05), dibandingkan dengan dosis 125 mg/kg BB atau kontrol. Kapasitas fagosit terhadap S. typhi pada dosis 125 mg/kg BB lebih tinggi secara bermakna (p<0,05)dibandingkan dengan kontrol.

Pembahasan

Kapasitas fagosit makrofag menunjukkan kemampuan makrofag melakukan fagositosis terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, pegagan mampu meningkatkan kemampuan kapasitas fagosit terhadap S. typhisecara bermakna (p<0,05). Kapasitas fagosit terendah didapatkan pada kelompok kontrol yaitu 103,12±5,11 per 50 sel makrofag dan kapasitas tertinggi terlihat pada mencit yang diberikan pegagan 500 mg/kg BB sebanyak 209,12±26,17 per 50 sel makrofag. Kapasitas makrofag pada dosis pegagan 125 dan 250 mg/kg BB masing-masing 144,12±11,73 dan 201±5,21 per 50 sel makrofag. Hasil ini membuktikan bahwa pegagan mampu meningkatkan kapasitas fagosit makrofag

terhadap S. typhi dan kemampuan aktivitas fagositnya meningkat secara bermakna (p<0,05) seiring dengan meningkatnya dosis pegagan.

Beberapa peneliti telah mencoba melihat kemampuan fagositosis makrofag dengan menggunakan bahan herbal. Kusmardi dkk. (2007) menemukan bahwa aktivitas fagosit makrofag meningkat secara bermakna (p<0,05) setelah pemberian ekstrak daun ketepeng cina. Jayathirtha dan Mishra, 2004, juga menemukan adanya peningkatan fagositosis makrofag setelah diberikan pegagan. Namun pada kedua penelitian ini, aktivitas fagosit diukur berdasarkan indeks fagosit terhadap non bakterial dan tidak menggunakan kuman spesifik sebagai indikator fagositosis. Pemakaian S. typhi sebagai uji aktivitas fagositosis secara in vivo tidak pernah dilaporkan. Pada penelitian ini terbukti bahwa pegagan mampu meningkatkan kapasitas fagosit makrofag peritoneum terhadap S. typhi.

Peningkatan aktivitas fagosit ini disebabkan karena kandungan pegagan seperti triterfenoid safonin dan flavopnoid mampu berperan sebagai imunostimulan, sehingga meningkatkan aktivitas metabolisme di dalam sel makrofag. Meningkatnya metabolisme di dalam sel akan meningkatkan enzim-enzim dan bahan lain yang berperan dalam fagositosis, sehingga kemampuan fagositosis makin meningkat.

Bukti adanya bahan yang bersifat imunostimulan untuk memicu kapasitas fagositik telah diteliti oleh Muthmainah (2004). Makrofag peritoneum mencit yang diberikan stimulan dengan protein terlarut Toxoplasma dan Bacillus Calmette-Guerin (BCG) mampu meningkatkan sekresi Reactive Oxigen Intermediates (ROIs). Peningkatannya terlihat mulai hari ke dua sampai hari ke lima, selanjutnya berangsur-angsur jumlahnya menurun. Pemberian G. lucidum berefek positif pada makrofag dalam menghasilkan sitokin dan produksi NO (Ahmadi dan Riazipour, 2007). Meningkatnya kadar sitokin, ROIs, NO di dalam sel makrofag akan meningkatkan fungsi makrofag dalam melakukan fagositosis.

Peningkatan jumlah enzim di dalam makrofag berhubungan dengan kemampuan digesti intraseluler material yang difagosit, perkembangan dan mempertahankan reaksi radang dan pembunuhan kuman (Tizard, 2000). Enzim lisozim yang dilepaskan akan menghidrolisis peptidoglikan dinding sel kuman. Enzim yang lain seperti ribonuklease, deoksiribonuklease, lipase, protease, dan rafinose akan menghidrolisis komponen kuman.

Lisosom juga mengandung enzim yang menghasilkan oksigen toksin seperti radikal superoksid (O2), hidrogen peroksida (H2O2), singlet oxygen (1O2), radikal hidroksil (OH), yang akan

menghancurkan benda-benda asing tersebut. Enzim yang lain juga dapat menghancurkan kuman seperti myeloperoksidase yang mengubah ion khloroda dan hidrogen peroksida menjadi asam hipochlorous (HOCl) yang sangat toksik terhadap kuman. Proses selanjutnya adalah penyajian fragmen benda asing (residual body) ke limfosit T (Abbas dkk., 2003; Roitt dkk., 1993; Tortora dkk., 1995).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Ekstrak pegagan meningkatkan secara bermakna (p<0,05) kapasitas fagosit makrofag peritoneum mencit Balb/c yang diinfeksi S. typhi, dengan kapasitas fagosit tertinggi pada dosis 500 mg/kg BB (209,12±26,17 per 50 sel makrofag).

Saran

Sebelum pegagan dipakai sebagai obat herbal alternatif dalam mencegah salmonellosis maka perlu diteliti lebih lanjut tentang waktu paruh dan lama pemberiannya agar efektivitasnya dapat maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A.K. and Lichtman, A.H. 2003. Cellular and Molecular Immunology. 4th ed. WB Saunders Company Saunders, Philadelphia. 19-347.

Ahmadi, K. and Riazipour, M. 2007. Effect of ganoderma lucidum on cytokine release by peritoneal macrophages. Iran.J.Immunol. Vol 4 No.4 December 2007: 220-226.

Anonim. 2009. Gejala Tyfus. Dokter-online.co.nr. portal kesehatan indonesia & konsultasi kesehatan gratis. http://ezcobar.com/dokter-online/dokter15/ ndex.php?ption=com_content&vie w=article&id=453:gejala-tifus-&catid=0:                enyakit-

menular&Itemid=57. Tgl. 22 Juni 2009 (Supali, 2002).

Antony, B., Santhakumari G., Merina, B., Sheeba, V., Mukkadan, J. 2006. Hepatoprotective effect of Centella asiatica (L) I carbon tetrachloride-induced liver injury in rats. Indian Journal of Pharmaceutical Sciences. November-December 2006: 772776.

DFBMD. 2008.      Salmonellosis.

Departement of Health and Human Services. Centers for Disease Control and Prevention. Division of Foodborne, Bacterial and Mycotic Diseases (DFBMD). http:// www. cdc.gov/nczved/dfbmd/disease _listing/salmonellosis_gi.html. Tgl. 22 Juni 2009.

Jayathirtha, M.G. and Mishra, S,H. 2004. Preliminary immunomodulatory activities of methanol extracts of Eclipta alba and Centella asiatica. Phytomedicine 11: 361– 365,http://www.elsevier.de/phymed

Kusmardi, Kumala, S., Triana, E.E. 2007. Efek immunomodulator ekstrak daun ketepeng cina (Cassia alata L.)     terhadap     aktivitas

fagositosis   makrofag.   Makara,

Kesehatan, Vol. 11, NO. 2. Pp 5053.

Muthmainah. 2004. Studi tentang aktivitas sekresi reactive oxygen intermediates (ROIs) makrofag mencit yang distimuli dengan stimulant spesifik dan non spesifik selama infeksi Toxoplasma gondii. Laboratorium Histologi. Fakultas Kedokteran. UNS. Surakarta. Jurnal BioSMART Vol 6, No. 2. 2004 : 12.

Okoli, C.O., Akah, P.A., Onuoha, N.J., Okoye, T.C, 2008. Acanthus montanus:    An experimental

evaluation of the antimicrobial, anti-inflammatory             and

immunological properties of a traditional remedy for furuncles. BMC Complementary and Alternative

Medicine http://www.biomed centra l.com/1472-6882/8/27.

Roitt, I.M., Brostoff, J., Male, D.K. 1993. Immunology.   3rd Edition.

Mosby. pp. 1.3-22.8.

Santander, J., Espinoza, J.C., Campano, M.S., Robeson, J. 2003. Infection ofCaenorhabditis

elegans by Salmonella typhi Ty2. Short Communication. Pontificia Universidad Católica de Valparaíso . Electronic Journal of Biotechnology ISSN: 0717-3458 Vol.6 No.2, Issue of August 15, 2003.                        :148-

152.http://www.ejbiotechnology.inf o/content/vol6/issue2/full/5.

Supali. 2002. Studi Karier Salmonella typhi dan Salmonella

paratyphi pada pedagang es keliling dan intervensi penanggulangannya. FK Universitas Indonesia. Warta litbang Kesehatan, Vol. 5 hal. 3- 4.

Tizard. 2000. Veterinary Immunology. An Introduction.   6th ed.   WB

Saundres Company. Philadelpia. Pp. : 26-34.

Tortora, G.,J., Funke, B.R., Case, C.L. 1995. Microbiology an Introduction,       5th, ed,      The

Benjamin/Cummings Publishing Company. Pp. 409-414.

Yu, Q.L., Duan, H.Q., Takaishi, Y., Gao, W.Y. 2006. A Novel Triterpene from Centella asiatica. Molecules 2006,           11,           661

665. http://www.mdpi.org.

78