Buletin Veteriner Udayana

pISSN: 2085-2495; eISSN: 2477-2712

Volume 8 No. 2: 172-179

Agustus 2016

Kecepatan Kesembuhan Luka Insisi Yang Diberi Amoksisilin Dan Asam Mefenamat Pada Tikus Putih

(THE HEALING SPEED OF WOUND INCISION WERE GIVEN AMOXICILLIN AND MEFENAMIC ACID IN WHITE RATS)

I Wayan Fandhi Wibawa Lostapa1, Anak Agung Gde Jaya Wardhita2, I Gusti Agung Gde Putra Pemayun2, Luh Made Sudimartini3

  • 1Praktisi dokter hewan di Denpasar,

2

  • 2Laboratorium Bedah Veteriner Universitas Udayana, 3Laboratorium Farmakologi Veteriner Universitas Udayana,

Email: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kecepatan kesembuhan luka insisi pada tikus putih (Rattus norvegicus) yang diberikan obat amoksisilin dan asam mefenamat ditinjau dari gambaran makroskopik dan mikroskopik. Tiga puluh dua ekor tikus putih jantan dengan berat 150-200 gram dibagi menjadi 2 kelompok secara acak dibuat luka insisi pada linea alba dengan panjang insisi 2 cm dengan kedalaman hingga menembus peritoneum. Tikus Kelompok perlakuan I adalah tikus yang diberikan amoksisilin dengan dosis 150 mg/kg BB/ hari pasca operasi, sedangkan kelompok perlakuan II adalah tikus yang diberikan amoksisilin dosis 150 mg/kg BB/ hari yang dikombinasikan dengan asam mefenamat dengan dosis 45 mg/kg BB/hari pasca operasi selama 3 hari. Pengamatan kesembuhan luka secara makroskopik dilakukan setiap hari selama 14 hari. Pada hari ketujuh dan keempat belas, 8 ekor tikus dari masing-masing kelompok dieutanasi, kemudian kulit lokasi luka insisi dikoleksi untuk pemeriksaan histopatologis. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa pemberian amoksisilin dan asam mefenamat mempercepat kesembuhan luka dibandingkan kelompok tikus yang hanya diberi amoksisilin dengan hilangnya tanda kemerahan dan kebengkakan pada hari ke-6. Secara histopatologis tidak terjadi perbedaan yang signifikan terhadap sel epitel, sel radang dan jaringan kolagen luka insisi tikus putih.

Kata kunci: amoksisilin, asam mefenamat, kesembuhan luka

ABSTRACT

The purpose of this research was to know the recovery time of incised wound healing of white rats (rattus norvegicus) with amoxicillin and mefenamic acid therapy concern in macroscopic and microscopic perspective. The thirty two of male rats in 150-200 gram weight, divided in two random groups with 16 rats contain which are made 2 cm incised wound on linea alba with the depth to penetrate the peritoneum. The first group was given amoxicillin with a dose of 150 mg/kg body weight, whereas the second group was given a combination of amoxicillin with a dose of 150 mg/kg body weight and mefenamic acid with a dose of 45 mg/kg body weight for three days post surgery. The wound healing observed macroscopically every day for 14 days. At day 7th and day 14th, 8 rats from each group was euthanized and than the incised wound collected for histopathology examination. The result showed that the combined of amoxicillin and mefenamic acid had faster wound healing than the group which was only given by amoxicillin, where the redish and swelling mark was disappeared on the day 6th. The result of histopathologic examination has no significant differences of epitel cell, inflammatory cell, and collagen tissue of the incision wound in the white rats.

Keywords: amoxicillin, mefenamic acid, wound healing

PENDAHULUAN

Luka adalah rusaknya kesatuan jaringan, dimana secara spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang. Luka secara umum terdiri dari luka yang disengaja dan luka yang tidak disengaja bertujuan sebagai terapi, misalkan pada prosedur operasi atau pungsi vena, sedangkan luka yang tidak disengaja terjadi secara accidental (Zulfa et al., 2008).

Kesembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks dan saling berhubungan, dengan tujuan untuk mengembalikan fungsi jaringan yang rusak kembali seperti normal atau mendekati normal. Kesembuhan luka melibatkan proses seluler, fisiologis, biokemis dan molekuler yang menghasilkan pembentukan jaringan parut dan perbaikan dari jaringan ikat (Cockbill, 2002). Ketika terjadi perlukaan pada jaringan kulit, proses kesembuhan dan regenerasi sel terjadi secara otomatis sebagai respon fisiologis tubuh (Ingold, 1993). Terdapat tiga fase dalam proses kesembuhan luka, yaitu fase inflamatori, fase proliferasi dan fase remodeling (Fishman, 2010). Pengetahuan tentang tahap-tahap dalam kesembuhan luka mempunyai arti penting bagi para praktisi, sehingga luka yang terjadi pada pasien dapat diatasi secara tepat dan efektif (Gabriel dan Mussman, 2009).

Manajemen perawatan luka diperlukan untuk meningkatkan penyembuhan, mencegah kerusakan kulit lebih lanjut, mengurangi resiko infeksi dan meningkatkan kenyamanan pasien. Berbagai jenis luka dikaitkan dengan tahap penyembuhan luka memerlukan manajemen luka yang tepat (Gayatri, 1999). Untuk mempercepat kesembuhan luka pasca operasi, di samping pemberian antibiotika juga diberi anti radang dan analgesika. Salah satu antibiotika yang digunakan adalah amoksisilin sedangkan

obat antiradang yang umum digunakan di masyarakat adalah asam mefenamat.

Asam mefenamat merupakan obat antiinflamasi golongan non steroid yang mempunyai khasiat sebagai analgetik dan antiinflamasi. Asam mefenamat merupakan satu-satunya fenamat yang menunjukkan kerja pusat dan juga kerja perifer. Sampai saat ini, asam mefenamat digunakan sebagai analgesik dan anti radang pasca operasi di Rumah Sakit Hewan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Bali (RSH FKH ) tetapi belum ada informasi mengenai kecepatan kesembuhan luka insisi pasca pemberian amoksisilin yang dikombinasikan dengan asam mefenamat. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai kecepatan kesembuhan luka insisi pasca pemberian amoksisilin yang dikombinasikan dengan asam mefenamat.

METODE PENELITIAN

Materi Penelitian

Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus) berjenis kelamin jantan dengan kisaran berat badan 150-200 gram. Bahan -bahan yang digunakan adalah ketamin, benang cat gut ukuran 4.0, benang absorbable, amoksisilin, asam mefenamat, iodine, aquadest, larutan formalin 10%, alkohol, xilol, zat warna hematosilin eosin (HE) dan minyak emersi. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang pemeliharaan tikus putih dilengkapi tempat makan dan minumnya, timbangan, spuit, oral sonde, mikroskop, gelas objek dan seperangkat alat bedah.

Prosedur Penelitian

Tikus putih yang digunakan dalam penelitian ini sebelumnya diadaptasi

selama satu minggu. Tikus putih dibagi dalam 2 kelompok perlakuan, setiap kelompok terdiri dari 16 ekor tikus putih. Semua tikus di setiap kelompok dilakukan laparotomy dengan menginsisi linea alba sepanjang 2-3 cm dengan kedalaman sampai menembus rongga peritoneum. Sebelum diinsisi, tikus dianestesi terlebih dahulu dengan menggunakan ketamin dengan dosis 100 mg/kg secara intramuskuler, kemudian didesinfeksikan dengan alkohol di sekitar abdomen dan dibuat luka iris sepanjang 2 cm. Setelah itu linea alba dijahit dengan menggunakan benang cat gut dengan pola sederhana terputus. Dilanjutkan dengan menjahit daerah subkutan dengan menggunakan benang cat gut dengan pola sederhana menerus. Kemudian kulit ditutup dengan menggunakan pola jahitan sederhana terputus dengan menggunakan benang non absorbable. Pada kelompok perlakuan I hanya diberi antibiotika amoksisilin dengan dosis 150 mg/kg BB dan pada kelompok perlakuan II akan diberi antibiotika amoksisilin dosis 150 mg/kg BB dan pemberian asam mefenamat dengan dosis 45 mg/kg BB. Pemberian antibiotika dan asam

mefenamat diberikan secara oral sekali sehari selama 3 hari. Perubahan makroskopik/kesembuhan luka diamati setiap hari selama 14 hari dengan melihat tanda-tanda radang seperti kemerahan, bengkak dan keropeng. Pada hari ke-7 dilakukan eutanasi dengan memasukkan udara ke dalam jantung ( emboli intra kardial) masing-masing delapan ekor pada setiap kelompok dan pada hari ke-14 dilakukan eutanasi lagi untuk sisa tikus pada setiap kelompok untuk pengambilan jaringan luka yang selanjutnya dibuat preparat histopatologi untuk mengamati sel epithel, sel-sel radang dan jaringan kolagen.

Analisis Data

Data yang sudah ditabulasikan akan diolah dengan uji Mann-Whitney (Z) berpasangan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS.16.0.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengamatan makroskopik kesembuhan luka yang diberi amoksisilin dan kombinasi amoksisilin dan asam mefenamat dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil pemeriksaan makroskopis tikus putih jantan

Hari

Amoksisilin

Amoksisilin + asam mefenamat

Merah

Bengkak

Keropeng

Merah

Bengkak

Keropeng

1

16

16

0

16

16

0

2

16

16

0

16

16

0

3

13

16

6

11

12

6

4

4

12

12

3

7

13

5

3

10

13

3

3

14

6

3

6

12

0

0

14

7

1

5

12

0

0

8

8

0

2

5

0

0

6

9

0

0

5

0

0

6

10

0

0

5

0

0

5

11

0

0

4

0

0

3

12

0

0

2

0

0

3

13

0

0

0

0

0

0

14

0

0

0

0

0

0


Perubahan yang dapat diamati secara makroskopis pada tikus kelompok perlakuan I (kelompok tikus yang hanya diberi amoksisilin pasca operasi), yaitu pada hari pertama dan kedua tanda kemerahan dan kebengkakan ditemukan pada semua tikus, sedangkan tanda adanya keropeng belum muncul. Pada hari ketiga, tanda kemerahan masih terlihat pada 13 ekor tikus, tanda kebengkakan terlihat pada semua tikus, sedangkan tanda adanya keropeng sudah muncul pada 6 ekor tikus. Pada hari keempat, tanda kemerahan masih dapat dilihat pada empat ekor tikus, tanda kebengkakan dapat dilihat pada 12 ekor tikus dan tanda adanya keropeng pada 12 ekor tikus. Pada hari kelima tanda kemerahan masih terlihat pada tiga ekor tikus, tanda kebengkakan masih terlihat pada 10 ekor tikus dan tanda adanya keropeng muncul pada 13 ekor tikus. Pada hari keenam tanda kemerahan masih terlihat pada tiga ekor tikus, tanda kebengkakan terlihat pada enam ekor tikus dan tanda adanya keropeng terlihat pada 12 ekor tikus. Pada hari ketujuh terlihat adanya tanda kemerahan pada satu ekor tikus, tanda kebengkakan terlihat pada lima ekor tikus dan tanda keropeng masih terlihat pada 12 ekor tikus. Tanda kemerahan pada hari kedelapan sampai hari keempatbelas sudah tidak ditemukan lagi pada semua tikus. Tanda kebengkakan masih terlihat pada hari kedelapan pada dua ekor tikus, dan tidak terlihat lagi pada hari kesembilan sampai hari keempat belas. Tanda adanya keropeng pada hari kedelapan sampai hari kesepuluh masih ditemukan pada lima ekor tikus dan semakin berkurang pada hari kesebelas sebanyak 14 ekor. Pada hari kedua belas, tanda keropeng ditemukan pada dua ekor tikus, dan tidak ditemukan lagi pada hari ketiga belas dan keempat belas.

Pada tikus kelompok perlakuan II (kelompok tikus yang diberi amoksisilin

dan asam mefenamat) pada hari pertama dan kedua adanya tanda kemerahan dan kebengkakan terlihat pada semua tikus, sedangkan tanda adanya keropeng belum terlihat. Pada hari ketiga tanda kemerahan terlihat pada 11 ekor tikus, tanda kebengkakan terlihat pada 12 ekor tikus, tanda keropeng terlihat pada enam ekor tikus. Tanda kemerahan terlihat pada tiga ekor tikus pada hari keempat dan hari kelima, dan tidak terlihat lagi sampai hari keempat belas. Tanda kebengkakan terlihat pada tujuh ekor tikus pada hari keempat dan tiga ekor tikus pada hari kelima, sedangkan pada hari keenam hingga hari keempat belas tanda kebengkakan sudah tidak terlihat lagi. Tanda keropeng terlihat pada 13 ekor tikus pada hari keempat, 14 ekor tikus pada hari kelima dan keenam, delapan ekor tikus pada hari ketujuh, enam ekor tikus pada hari kedelapan dan kesembilan, lima ekor tikus pada hari kesepuluh dan tiga ekor tikus pada hari kesebelas dan keduabelas. Pada hari ketiga belas dan keempat belas, tanda keropeng sudah tidak terlihat lagi.

Pada pemeriksaan makroskopis tikus kelompok perlakuan I masih ditemukan adanya tanda kemerahan sampai hari ketujuh dan kebengkakan sampai hari kedelapan pasca operasi. Kemerahan atau rubor merupakan keadaan awal yang menandakan dimulainya peradangan. Hal ini disebabkan oleh melebarnya suplai darah ke daerah radang oleh arteriol, sehingga banyak darah yang mengalir ke mikrosirkulasi lokal (Price dan Wilson, 1995). Pembengkakan atau tumor disebabkan oleh leukotrein yang dapat meningkatkan permeabilitas vaskuler di daerah peradangan sehingga terjadi peningkatan jumlah cairan dan terlihat bengkak atau odema serta berefek kemotaktik kuat terhadap eosinofil, netrofil dan makrofag (Beltrani, 2006). Munculnya tanda keropeng terjadi pada hari ketiga pasca operasi. Keropeng atau

krusta pada luka merupakan hasil serum yang mengering berwarna kuning-hitam. Setelah 2 hari tahap inflamasi, kolagen dikeluarkan dan dimulai proses ikatan dan proses ke arah penggabungan yang kuat antara tepi luka. Dalam waktu 4-6 hari, jaringan granulasi sehat berwarna merah muda membentuk dasar untuk menyokong dan memberi makan epithelium yang meluas. Fase ini disebut dengan fase proliferasi (Robert, 2004).

Pada hari kesembilan, tanda kemerahan dan kebengkakan tidak ditemukan lagi pada tikus kelompok perlakuan I. Tanda keropeng atau krusta sudah tidak ditemukan lagi pada hari ke-13. Minggu kedua merupakan fase proliferasi,yang mana pada fase ini proses kegiatan seluler yang penting adalah memperbaiki dan menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblast sangat besar pada proses perbaikan yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur protein yang akan digunakan selama proses rekonstruksi jaringan sel. Pada fase ini fibroblast akan mengeluarkan keratinocyte growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel epidermal. Keratinisasi akan dimulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk barier yang menutupi permukaan luka. Proses ini disebut dengan epitelisasi (Baxter, 1990).

Pada tikus kelompok perlakuan II (kelompok tikus yang diberi amoksisilin dan asam mefenamat) tanda kemerahan dan kebengkakan masih ditemukan pada hari kelima. Hal ini disebabkan karena pada hari kelima masih merupakan fase inflamasi dari kesembuhan luka (Singer dan Clark, 1999). Tanda kemerahan dan kebengkakan yang terjadi pada tikus kelompok perlakuan II, lebih cepat hilang jika dibandingkan dengan tikus kelompok perlakuan I. Hal ini disebabkan karena tikus kelompok perlakuan II diberikan antiradang asam mefenamat. Asam

mefenamat merupakan obat anti inflamasi golongan non steroid yang memiliki khasiat sebagai analgetik dan anti inflamasi. Mekanisme kerja asam mefenamat adalah dengan menghambat kerja enzim siklooksigenase (Goodman, 2007). Tanda munculnya keropeng pada tikus kelompok perlakuan II dimulai pada hari ketiga pasca operasi karena pada hari ketiga merupakan fase proliferasi (Gabriel dan Mussman 2009). Fase proliferasi memiliki karakter berupa formasi granulasi pada jaringan luka atau cidera (Gabriel dan Mussman 2009). Jaringan granulasi terdiri dari elemen seluler termasuk matrik kolagen dan sel radang bersamaan dengan terbentuknya kapiler-kapiler baru. Pada tikus kelompok perlakuan II dari hari kedelapan sampai ke empatbelas, tidak ditemukan adanya tanda kemerahan dan kebengkakan yang merupakan tanda awal terjadinya inflamasi. Keropeng atau krusta juga tidak ditemukan pada hari ketigabelas dan keempatbelas. Hal ini menandakan bahwa luka pada kulit sudah mengalami kesembuhan berdasarkan pemeriksaan makroskopis.

Berdasarkan hasil analisis ChiSquare untuk pemeriksaan makroskopis terhadap tanda kemerahan, kebengkakan dan keropeng diperoleh hasil bahwa pemberian asam mefenamat tidak berbeda nyata (P>0.05) terhadap tanda kemerahan dan keropeng, namun berbeda nyata (P<0,05) terhadap tanda kebengkakan pada hari ke-5, ke-6 dan ke-7. Maka dapat disimpulkan, bahwa asam mefenamat dapat mempercepat kesembuhan luka insisi ditinjau dari pemeriksaan makroskopis.

Pengamatan Histopatologis

Data hasil pengamatan rerata sel epitel, sel radang dan jaringan kolagen pada tikus percobaan sesuai dengan perlakuan pada hari ke 7 dan ke 14 dapat dilihat pada Tabel 2. Pada tikus

kelompok perlakuan I hasil rerata sel epitel pada hari ketujuh diperoleh 1,62±1,188 dan pada hari keempat belas diperoleh hasil 2,37±0,875 yang dikategorikan sel epitel menyebar dengan kepadatan sedang. Pada pemeriksaan sel radang diperoleh hasil rerata 2,25±0,463 pada hari ketujuh yang dikategorikan sel radang menyebar dengan kepadatan sedang dan 1,38±0,495 pada hari keempat belas yang dikategorikan sel radang menyebar dengan kepadatan ringan. Pada pemeriksaan jaringan kolagen diperoleh hasil rerata 1,12±0,354 pada hari ketujuh yang dikategorikan jaringan kolagen menyebar dengan kepadatan ringan dan 2,25±0,676 pada hari keempat belas yang dikategorikan jaringan kolagen menyebar dengan kepadatan sedang.

Tabel 2. Rerata sel epitel, sel radang dan jaringan kolagen tikus jantan pada hari ketujuh dan hari keempatbelas.

Klp Tikus

Rerata Sel Epitel, Sel Radang dan Jaringan Kolagen Tikus Jantan

Variabel Hari Ke-7 Hari Ke-14

I

Sel epitel

Sel radang Kolagen

1,62 ± 1,188 a

2,25 ± 0,463 a

1,12 ± 0,354 a

2,37 ± 0,875 a

1,38 ± 0,495 a

2,25 ± 0,676a

II

Sel epitel

2,12 ± 0,991 a

2,62 ± 0,711 a

Sel radang

2,13 ± 0,641 a

2,12 ± 0,797 a

Kolagen

1,38 ± 0,744 a

2,37 ± 0,711 a

Keterangan:

  • I:    Kelompok tikus yang hanya diberi amoksisilin

  • II:    Kelompok tikus yang diberikan amoksisilin dan asam mefenamat.

Pada tikus kelompok perlakuan II hasil rerata sel epitel pada hari ketujuh diperoleh 2,12±0,991 yang dikategorikan sel epitel menyebar dengan kepadatan sedang dan pada hari keempat belas diperoleh hasil 2,62±0,711 yang dikategorikan sel epitel menyebar dengan kepadatan padat. Pada pemeriksaan sel radang diperoleh hasil rerata 2,13±0,641 pada hari ketujuh yang dikategorikan sel radang menyebar dengan kepadatan

sedang dan 2,12±0,797 pada hari keempat belas yang dikategorikan sel radang menyebar dengan kepadatan ringan. Pada pemeriksaan jaringan kolagen diperoleh hasil rerata 1,38±0,744 pada hari ketujuh yang dikategorikan jaringan kolagen menyebar dengan kepadatan ringan dan 2,37±0,711 pada hari keempat belas yang dikategorikan jaringan kolagen menyebar dengan kepadatan sedang.

Hasil analisis Non Parametrik dari data sel epitel, sel radang dan jaringan kolagen menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan antara ke dua perlakuan (P>0,05). Pada pemeriksaan histopatologis tikus kelompok perlakuan I pada hari ketujuh ditemukan adanya sel radang yang menyebar dengan kepadatan sedang. Hal ini disebabkan karena pada tikus kelompok perlakuan I tidak diberikan anti radang sehingga proses peradangan tidak dapat ditekan atau dikurangi. Infiltrasi sel radang terutama neutrofil terjadi pada hari 2-4 pasca terjadinya luka, dan hal ini distimulasi oleh trombosit yang dilepaskan saat terjadi luka untuk menarik sel-sel radang tersebut ke daerah luka. Neutrofil disini berfungsi untuk membunuh atau memfagositosis bakteri serta kontaminan yang masuk ke daerah luka (Rozman dan Bolta, 2007). Jumlah infiltrasi neutrofil akan menurun pada luka bekas operasi yang aseptis dibandingkan pada luka yang terkontaminasi maupun luka yang terinfeksi (Lorenz dan Longaker, 2005). Terlihat juga adanya penyebaran sel epitel dengan kepadatan sedang dan ada juga sel epitel yang belum terbentuk. Jaringan kolagen menyebar dengan kepadatan ringan dan terjadi pembentukan pembuluh darah baru. Fibroblast pertama muncul pada hari ketiga pasca cedera dan mencapai puncaknya pada hari ketujuh. Fibroblast akan bermigrasi ke daerah luka yang kemudian akan mulai mensintesis matriks

ekstraseluler yang secara bertahap akan digantikan oleh matriks kolagen dan berlangsung hingga dua minggu setelah terjadinya luka. Setelah matriks kolagen terdeposisi dalam jumlah yang cukup pada daerah luka, fibroblast akan berhenti memproduksi kolagen (Singer dan Clark, 1999). Selain menghasilkan kolagen, fibroblast juga berperan dalam proses angiogenesis dengan cara menstimuli makrofag untuk menghasilkan berbagai macam growth factor (Gabriel dan Mussman, 2009). Proses angiogenesis ini berperan dalam pembentukan pembuluh darah baru (neovaskularisasi) yang penting dalam meneruskan pembentukan jaringan granulasi. Setelah daerah luka terisi oleh jaringan granulasi baru, maka proses angiogenesis akan berhenti melalui apoptosis (programmed cell death) (Singer dan Clark, 1999). Fase ini dapat berlangsung selama 2-4 minggu setelah terjadinya luka (Kaewloet, 2008). Pada pemeriksaan histopatologis tikus kelompok perlakuan I pada hari keempatbelas masih terlihat adanya infiltrasi sel radang, namun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan pada hari ketujuh, hal ini disebabkan karena fase inflamasi sudah berakhir. Infiltrasi fibroblast juga terlihat pada minggu kedua, yang mana setelah kemunculan fibroblast pertama kali pada hari ketiga, fibroblast akan bermigrasi ke daerah luka yang kemudian akan mulai mensintesis matriks ekstraseluler yang secara bertahap akan digantikan oleh matriks kolagen dan berlangsung hingga dua minggu setelah terjadinya luka (Singer dan Clark, 1999).

Pada pemeriksaan histopatologis tikus kelompok perlakuan II pada hari ketujuh, terlihat adanya infiltrasi fibroblast dan infiltrasi sel radang serta terbentuknya pembuluh kapiler baru. Adanya infiltrasi fibroblast disebabkan karena setelah 2 hari tahap inflamasi, kolagen dikeluarkan dan dimulai proses

ikatan dan proses ke arah penggabungan yang kuat antara tepi luka. Dalam waktu 4-6 hari, jaringan granulasi sehat berwarna merah muda membentuk dasar untuk menyokong dan memberi makan epithelium yang meluas. Fase ini disebut dengan fase proliferasi. Pada fase proliferasi, angiogenesis yang merupakan proses pembentukan pembuluh kapiler baru didalam luka memiliki arti penting pada proses penyembuhan luka. Pada fase ini fibroplasia dan angiogenesis merupakan proses terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan mikrofag (Growth factor) (Robert, 2004). Penyebaran sel radang pada kelompok perlakuan II lebih sedikit jumlahnya dibandingkan pada tikus kelompok perlakuan I di hari ketujuh dan hari keempat belas, hal ini disebabkan karena terjadinya penekanan jumlah sel radang akibat pemberian obat anti radang asam mefenamat. Asam mefenamat merupakan senyawa fenamat yang mempunyai sifat antiradang, antipiretik dan analgesik. Pada uji analgesik asam mefenamat menunjukkan kerja pusat dan kerja perifer. Senyawa fenamat juga memiliki kemampuan dalam menghambat siklooksigenase. Sedangkan pada pemeriksaan tikus kelompok perlakuan II pada minggu kedua, sel epitel sudah terbentuk sempurna untuk menjadi kulit seperti semula.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pemberian amoksisilin dan asam mefenamat secara makroskopis dapat mempercepat kesembuhan luka insisi pada tikus putih.

Saran

Pemberian amoksisilin dan asam mefenamat dapat direkomendasikan pemberiannya pasca operasi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, serta pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam proses penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Baxter C. 1990. The Normal Healing process. In: New directions in Wound Healing. Wound care manual Princeton, NJ: E.R. Squlbb & Sons, Inc.

Beltrani VS. 2006. Contact Dermatitis.

http://www.contactdermatitis, irritantemedicinedermatology.mht. (20 Januari 2015).

Cockbill S. 2002. Wounds The Healing Process. The Welsh School Of Pharmacy. University College. Cardiff.

Fishman TD. 2010. Phases Of Wound

Healing.                   Website:

http://www.medicaledu.com/ phases.htm. (02 November 2014)

Gabriel A, Mussman, J. 2009. Wound

Healing, Growth Factor.

Department of Plastic Surgery.

Loma Linda University School of Medicine. Birmingham.

Gayatri D. 1999, Perkembangan manajemen perawatan luka: dulu dan kini. J Keperawatan Indo, 2(8): 304-308.

Goodman. 2007. The pharmacological basis of therapeutics, 8th ed. Millan Publishing Company,1990: 207-300.

Ingold W. 1993. Wound Therapy: Growth Agents As Factor to Promotes Wound Healing. Trends Biotechnol 11, Hal 387-392.

Lorenz HP, Longaker MT. 2005. Wounds: biology, pathology and management. Ann Surg, 217(4): 391396.

Mustika DG. Kardena IM, Pemayun P. 2015. Efektivitas plester luka pada aplikasi penutup luka insisi pasca operasi. Buletin Veteriner Udayana, 7(2): 137-145.

Price A, Wilson L. 1995. Patofisiologi. Buku 2. Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Robert F. 2004. Wound Healing: an overview of acute, fibrotic and delayed healing. Frontiers in Bioscience, 9: 283-289.

Rozman P, Bolta Z. 2007. Use of platelet growth factor in treating wounds and soft tissue injuries. Acta Dermatoven APA, 16(4).

Singer AJ, Clark RA. 1999. Cutaneous wound healing. NEJM, 341(1).

Suwiti NK. 2010. Deteksi histologik kesembuhan luka pada kulit pasca pemberian daun mengkudu (Morinda citrofilia Linn). Buletin Veteriner Udayana. 2(1): 1-7.

Zulfa, Murachman E, Gayatri D. 2008. Perbandingan Penyembuhan luka terbuka menggunakan balutan Madu atau balutan normal salin-povidone iodine. J Keperawatan Indo, 12(1): 34-39.

179