Buletin Veteriner Udayana

ISSN : 2085-2495

Vol. 6 No. 2

Agustus 2014

Potensi Babi Sebagai Sumber Penularan Penyakit Zoonosis Entamoeba spp

(POTENTIAL AT PIG SOURCE OF TRANSMISSION ZOONOTIC DISEASES Entamoeba spp)

Gede Yudi Suryawan1, Nyoman Adi Suratma2, I Made Damriyasa2 1)Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan 2) Laboratorium Parasitologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana

Email : [email protected]

ABSTRAK

Ternak babi, selain sebagai sumber protein hewani dan nilai sosial budaya juga mempunya potensi yang tinggi sebagai sumber penyebar penyakit zoonosis. Salah satu penyakit zoonosis yang biasa terjadi adalah infeksi Entamoeba spp yang dapat mengakibatkan diare pada manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi ternak babi sebagai sumber penularan infeksi Entamoeba spp. Pengambilan sampel dilaksanakan pada bulan Maret 2012 didua wilayah di Papua sebanyak 173 sampel tinja manusia dan 102 feses babi ditampung dalam tabung yang berisi larutan SAF. Data berupa prevalensi infeksi Entamoeba spp pada manusia dan babi disajikan secara deskriptif untuk mengetahui hubungan prevalensi Entamoeba spp pada manusia dan babi yang diuji dengan uji Korelasi Spearman. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi infeksi Entamoeba spp pada babi didua wilayah tersebut sebesar 32,4 % sedangkan prevalensi infeksi pada manusia 21,92%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata (P<0,05) antara prevalensi infeksi Entamoeba spp pada babi dan prevalensi infeksi Entamoeba spp pada manusia.

Kata kunci : Entamoeba spp, babi, potensi, zoonosis

ABSTRACT

Pig is not only a source of protein and has a socio-cultural values, but also a potential source of some zoonotic disease. Entamoeba spp is a common zoonotic disease that are transferred by the pig. The aim of study is to determine the potential source of pig to transferred the zoonotic disease expecialy Entamoeba spp for human. One hundred seventy three feces samples of humans and 102 feces samples of pigs were collected in SAF solution. The prevalence of Entamoeba spp infections in human and pig were presented and analyzed statistic by using spearman correlation. The result of the study showed that the prevalence of Entamoeba spp in pig and human 32,4 % and 21,92% , it was the significant correlation (P<0,05) between the prevalence of Entamoeba spp infection in pig and human.

Key words : Entamoeba spp, pigs, potential, zoonoses

PENDAHULUAN

Ternak babi merupakan salah satu komoditas peternakan yang cukup potensial untuk dikembangkan. Ternak babi dan atau produk olahannya cukup potensial sebagai komoditas ekspor nasional. Pasar komoditas ini masih terbuka lebar ke berbagai negara seperti Singapura dan Hongkong. Umumnya usaha ternak babi merupakan usaha pembibitan dan

penggemukan dan masuk kategori peternakan rakyat dengan sumber bibit berasal dari daerah sekitarnya (61,25%) dan dari peternakan sendiri 25%. Dalam hal penampilan babi di Indonesia masih sangat memprihatinkan dengan tingginya angka kematian yang mencapai 19,59%. (Direktorat Budidaya Ternak, 2011). Pemeliharaan ternak babi di Papua selain sebagai salah satu sumber protein hewani, serta budaya juga mempunya potensi yang tinggi

sebagai sumber penularan penyakit parasit zoonosis . Penyakit zoonosis tersebut dapat menular melalui kontak langsung, melalui makanan atau secara tidak langsung melalui vektor ( Ismail et al., 2010). Belakangan ini penyakit parasit pada babi seperti Toxoplasma gondii, Balantidium coli dan Entamoeba spp menjadi perhatian sebagai penyakit zoonosis (Zajac dan Conboy, 2006). Penularan penyakit tersebut ditentukan oleh faktor lingkungan dan sistem pemeliharaan babi. Lingkungan dan sistem pemeliharaan babi di Papua kususnya di Lembah Baliem dan Pegunungan Arfak menjadi resiko tinggi terjadinya penularan infeksi parasit tersebut dari babi ke manusia hal ini disebabkan oleh sanitasi lingkungan, serta hygiene perorangan saling berpengaruh. Sistem pemeliharaan babi oleh masyarakat Papua masih menggunakan pola pemeliharaan tradisional dan semi intensif yang merupakan manajemen pemeliharaan yang kurang baik, karena dengan mudah dapat menyebabkan kontaminasi pakan oleh kista dari Entamoeba spp baik pada manusia maupun babi (Kanisius, 1981). Amoebiasis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi Entamoeba spp dan disebut sebagai penyakit yang menular ke manusia melalui makanan (Food Borne Disease). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi Entamoeba spp pada babi dan manusia di Lembah Baliem dan Pegunungan Arfak, Papua dan hubungan antara infeksi Entamoeba spp pada babi dan pada manusia

Manfaat dari penelitian ini dapat memberikan informasi tentang infeksi Entamoeba spp pada manusia dan babi di Papua serta potensi ternak babi sebagai penularan sumber pnyakit zoonosis, ini sangat bermanfaat dalam penanggulangan dan pencegahan terhadap penyakit tersebut.

METODE PENELITIAN

Sampel Penelitian

Peneliatian ini adalah penelitian observasi crosectional yang dilakukan didua wilayah di Papua. Sampel yang diperiksa pada penelitian ini adalah tinja manusia sebanyak 173 sampel dan 102 sampel tinja babi, diambil pada 20 peternakan babi. Sampel tinja babi

berasal dari masing – masing 10 peternakan dari Lembah Baliem dan 10 peternakan dari Pegunungan Arfak, Papua. Sampel tinja manusia diambil dari anggota keluarga peternak babi, sedangkan tinja babi diambil dari babi yang dipelihara. Sampel tinja ditampung dalam tabung yang berisi Sodium Acetic Formaldehyde (SAF).

Bahan yang dipergunakan: aquades, ether, larutan NaCl fisiologis, Sodium Acetic Formaldehyde (SAF) yang terdiri dari: 15 gr sodium asetat, 20 ml asam asetat, 40 ml formaldehyde 40%, 925 ml air (Kaufmann, 1996).

Pengambilan Sampel

Sampel tinja manusia sebanyak 173 dan sampel tinja babi sebanyak 102 diambil pada 20 peternakan babi di Lembah Baliem dan Pegunungan Arfak, Papua pada bulan maret 2012. Pengambilan sampel di dua wilayah tersebut dilakukan oleh tim peneliti ACIAR, sampel tinja pada manusia diambil dari anggota keluarga peternak babi dan sampel tinja babi diambil dari babi yang dipelihara, tinja babi dan manusia diambil dalam keadaan segar ditampung pada tabung 10 ml yang mengandung larutan SAF. Sampel tersebut kemudian dikirim ke Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium.

Prosedur Penelitian

Sebanyak 2 – 5 gram tinja ditampung pada larutan SAF dalam tabung dengan volume 10 ml. Siapkan tabung reaksi dengan dasar runcing dalam rak tabung reaksi, masukkan corong ke dalam tabung reaksi. Potong kain kasa pembalut dengan panjang kira-kira 10 cm, kemudian letakkan diatas corong. Kocok tinja yang berada pada larutan SAF sampai homogen, Saring dengan dua lapis kain kasa pembalut pada tabung reaksi dengan dasar runcing volume 10 ml.

Masukkan tabung reaksi ke dalam alat sentrifugator, centrifuge selama 2 menit dengan kecepatan 2000 rpm. Selanjutnya supernatan dibuang, kemudian letakkan lagi pada rak tabung. Tambahkan 7 ml NaCl fisiologis dan 2 ml ether ke dalam tabung. Aduk dengan rata endapan yang telah ditambah NaCl fisiologis

dan ether, suspensi tersebut dikocok sehingga kotoran mengendap pada bagian ether. Centrifuge lagi selama 3 menit dengan kecepatan 2000 rpm. Supernatan dibuang dengan hati-hati agar endapan tidak ikut terbuang. Kemudian dilakukan pemeriksaan mikroskopis dengan pembesaran 400x (Kaufmann, 1996).

Analisa Statistik

Data berupa prevalensi infeksi Entamoeba spp pada manusia dan babi disajikan secara deskriptif, untuk mengetahui hubungan antara prevalensi infeksi Entamoeba spp pada manusia dan pada babi diuji secara statistic dengan uji Korelasi Spearman (Sampurna, 2011).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil pemeriksaan mikroskopis dengan metode SAF ditemukan kista Entamoeba spp pada manusia maupun babi pada peternakan babi. Prevalensi infeksi Entamoeba spp pada babi dan manusia berturut – turut 32,4 % dan 21,9 %. (Tabel 1)

Tabel 1. Prevalensi infeksi Entamoeba spp pada babi dan manusia di Lembah Baliem dan Pegunungan Arfak, Papua.

Entamoeba spp baik pada manusia maupun

Gambar 1.Infeksi Entamoeba spp pada manusia

dan babi di Lembah Baliem dan Pegunungan Arfak, Papua

Tabel 2. Hasil pemeriksaan terhadap 20 peternakan babi di Lembah Baliem dan Pegunungan Arfak, Papua.

Babi                 Manusia                 Jumlah

Terinfeksi Tidak (%) terinfeksi (%) Terinfeksi

(%) Tidak

12 (60%)

4 (20%)

16 (80%)

terinfeksi

2 (10%)

2 (10%)

4 (20%)

(%) Jumlah

14 (70 %)

6 (30%)

20 (100%)

Keterangan : Terjadi korelasi positif antara prevalensi infeksi Entamoeba spp pada manusia dan babi sebesar (P<0,05) r = 0,55

Jumlah

Terinfeksi

Tidak

Prevalensi Pembahasan

tinja

(+)

Terinfeks

(%)

Pada penelitian ini dilakukan

yang diperiksa

i (-)

pemeriksaan sampel feses manusia dan babi

Manusia

173

37

136

21,92

yang berasal dari Lembah Baliem dan Pegunungan Arfak, Papua. Sampel feses

Babi

102

33

69

32,4

manusia yang diperiksa sebesar 173 sampel dan

Dari 20 peternakan babi yang diperiksa di dua wilayah tersebut di Papua ditemukan infeksi Entamoeba spp pada salah satu atau lebih anggota keluarga manusia pada 14 (70%) peternakan babi. Sedangkan pada ternak babi ditemukan infeksi Entamoeba spp pada 16 (80%) peternakan babi. Peternakan tersebut diantaranya 12 (60%) peternakan babi ditemukan terinfeksi Entamoeba spp baik pada manusia maupun pada babi, selebihnya hanya 2 peternakan babi (10%) tidak ditemukan kista

feses babi yang diperiksa sebasar 102 sampel. Pada pemeriksaan mikroskopis yang dilakukan di Laboratorium parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana ternyata ditemukan sebanyak 37 orang (21,92%) positif terinfeksi Entamoeba spp. Pada penelitian lain menyebutkan prevalensi infeksi Entamoeba spp di Kalimantan Selayan 37 % (Cross et al., (1975) dan prevalensi infeksi Entamoeba spp pada karyawan RS UGM (17,1 %) lebih rendah dari prevalensi infeksi Entamoeba spp di Kalimantan (Moesfiroh, 1980). Berbeda dengan prevalensi

pada siswa Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah, Pekalongan, Jawa Tengah yaitu 13,2 % (Widyastuti, 2011).

Hal ini disebabkan oleh hygiene sanitasi lingkungan dan hygiene perorangan saling berpengaruh, karena makin banyak orang yang memperhatikan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan dirinya, makin baik pula kesehatan masyarakat. Sebaliknya makin buruk keadaan masyarakat, makin banyak sumber penularan penyakit, makin terancam pula kesehatan pribadi warga masyarakat. Sedangkan faktor yang mempengaruhi hubungan infeksi Entamoeba spp pada babi dan infeksi pada manusia di Lembah Baliem dan Pegunungan Arfak, Papua yaitu kondisi lingkungan yang sangat mempengaruhi penularan protozoa. Penularan protozoa, khususnya yang berasal dari saluran pencernaan terjadi melalui kontaminasi makanan dan minuman. Selain itu pula kondisi kandang yang meliputi: kelembaban udara, suhu, sinar matahari, dan pH yang mendukung akan sangat menunjang penyebarluasan berbagai jenis protozoa. (Kanisius, 1981).

Sistem pemeliharaan babi oleh masyarakat Papua masih menggunakan pola pemeliharaan tradisional dan semi intensif yang merupakan manajemen pemeliharaan yang kurang baik, karena dengan mudah dapat menyebabkan kontaminasi pakan oleh kista dari Entamoeba spp baik pada manusia maupun babi (Kanisius, 1981). Secara gografis Lembah Baliem dan Pegunungan Arfak, Papua ikut pula menunjang penyebaran infeksi Entamoeba spp, Lembah Baliem merupakan daerah yang beriklim tropis, suhu rata-rata 17,500 C, dan tingkat kelembaban diatas 80 %. Sedangkan Pegunungan Arfak 2000 meter diatas permukaan laut (Hatanti, 2009), Suhu berkisar antara 23,2 -320 C dan kelembaban udara berkisar antara 71,4 – 80,5 % (Departemen Kehutanan, 2004). Faktor diatas sangat baik bagi penyebaran infeksi Entamoeba spp karena secara morfologi kista Entamoeba spp tumbuh pada daerah tropis dan mampu bertahan selama 2 hari pada suhu 370 C, Tropozoit dari Entamoeba spp dapat bertahan hidup pada suhu antara 50 C – 370 C dan kista tahan terhadap suhu sekitar titik beku tetapi tidak tahan kering (Jaco dkk,2003).

Berdasarkan analisis statistik dengan menggunakan uji Korelasi ditemukan bahwa ada hubungan nyata (P<0,05) dalam hal ini r = 0,55 yang berarti sebesar 55% kejadian infeksi Entamoeba spp pada babi mempengaruhi kejadian infeksi pada manusia dan sebesar 45% dipengaruhi oleh faktor lain seperti jenis kelamin dan umur. Kejadian infeksi Entamoeba spp antara babi dan manusia terjadi karena kedekatan manusia dan babi di Lembah Baliem dan Pegunungan Arfak, Papua disamping itu pola hidup masyarakat di dua wilayah tersebut masih buruk dimana ada beberapa keluarga yang membiarkan babi – babi mereka bebas berkeliaran untuk mencari pakan sendiri dan babi – babi yang sengaja diliarkan dari pagi hari hingga sore hari bertujuan untuk menggemburkan ladang ubi milik warga.

Feses babi yang diliarkan akan dapat mengontaminasi tempat makan dan sumber air warga disamping itu penularan oleh kista melalui tangan yang terkontaminasi, kontaminasi lalat dan kecoa, penggunaan pupuk tinja untuk tanaman, hygene yang buruk terutama ditempat yang populasi tinggi (Yulfi, 2006). Hal ini terjadi karena dalam kehidupan masyarakat asli di Papua, babi menempati urutan pertama sebagai ternak peliharaan. Selain karena pertimbangan keuntungan yang diperoleh (beranak banyak atau prolifik), memelihara babi menurut masyarakat setempat memiliki kaitan erat dengan nilai sosial dan budaya, karena sejalan dengan praktek adat istiadat dan upacara ritual budaya (Pattiselanno, 2004). Sehingga dengan demikian adanya infeksi Entamoeba spp pada babi mempunyai potensi sebagai sumber penularan penyakit zoonosis (Entamoeba spp) di Lembah Baliem dan Pegunungan Arfak, Papua.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil penelitian pada babi dan manusia didua wilayah Papua dapat disimpulkan bahwa prevalensi infeksi Entamoeba spp pada babi dan manusia berturut – turut 32,4 % dan 21,92 %. Prevalensi inferksi parasit tersebut pada babi dan manusia terdapat hubungan yang berbeda. Dari hasil tersebut dapat diasumsikan bahwa bai

memiliki potensi sebagai penyebaran Entamoeba spp ke manusia.

Saran

Untuk pembuktian lebih lanjut apakah babi sebagai salah satu sumber penularan Entamoeba spp perlu dilakukan uji karakteristik genetik.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih disampaikan kepada Australian Center for International Agriculture Research (ACIAR) yang telah mendanai penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Cross, J.H Clarke MD, Durfee PT, Irving GS, Taylor J, Partono F, Joesoef A, Hudojo, Oemijati S. 1975. Parasitology survey and seroepidemiology of amoebiasis in South Kalimantan (Borneo), Indonesia. Southeast Asian J. Trop. Med. Public Health. 1975 Mar; 6(1):52-60.

Direktorat Budaya Ternak. 2011. Pedoman Penataan Budidaya Ternak Babi Ramah Lingkungan. Direktorat Jenderal Peternakan dan kesehatan Hewan. Jakarta.

Departemen Kehutanan. 2004. Data dan Informasi Kehutanan Provinsi Irian Jaya. Pusat Inventarisasi dan Statistik Kehutanan. Badan Planoligi Kehutanan. Departemen Kehutanan

Hastanti, B. W. 2009. Strategi Pengelolaan Cagar Alam Pegunungan Arfak Menurut Kearifan Lokal Masyarakat Arfak Di Manokwari Papua Barat

Ismail, A.H, H-K Jeon, Y-M Yu, C.Do & Y-H. Lee ; 2010 ; Intestinal Parasite Infections in Pigs and Beef Cattle in Rural areas of Chungcheongnam do korea., Korean J. Parasitol 48 ; 4; 347349

Jaco J, Verweij, Daphne Laeijendecker, Eric A. T. Brienen, Lisette van Lieshout and Anton M. Polderman. 2003. Detection and Identification of Entamoeba Species in Stool Samples by a Reverse Line Hybridization Assay. J. Clin. Microbiol.

November 2003 vol. 41 no. 11 50415045. America.

Kaufmann, J. 1996. Parasitic Infections of Domestic Animals : A Diagnostic Manual. Birkhauser Verlag. Germany

Kanisius.1981. Beternak Babi. Aksi Agraris Kanisius. Yogyakarta

Moesfiroh, S. Is., Cholid AB, Sutarti A, Nurhayati S, Mufrodi. 1980. Amoebasis Intestinal Pada Karyawan RS UGM dan Pengobatannya dengan Metronidazole., Cermin Dunia Kedokteran, Nomor Kusus.

Pattiselanno, F. 2004. Babi Hewan Ternak Penggembur Tanah. Salam edisi 6. Fakultas Peternakan. Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Negeri Papua. Manokwari. Papua

Sampurna, P., Nindia. 2011. Metode Ilmiah dan Rancangan Percobaan. Udayana University Press. Bali

Widyastuti, I.K. 2011. Prevalensi Infeksi Amebiasis Pada Siswa Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah Desa Simbang Wetan Kecamatan Buaran Pekalongan, Jawa Tengah. Fakultas Kedokteran. Universitas Diponogoro. Semarang

Yulfi, H. 2006. Protozoa Intestinalis. Universitas Sumatra Utara. Repository. Medan

Zajac, A.M. dan Conboy, G.A. (2006). Veterinary Clinical Parasitology.7 th. ed. Lowa, USA. Blookwell Publishing Co. p.3-147.

145