Buletin Veteriner Udayana

ISSN : 2085-2495

Vol. 6 No. 2

Agustus 2014

Prevalensi Infeksi Entamoeba Spp pada Ternak Babi di Pegunungan Arfak dan Lembah Baliem Provinsi Papua

(PREVALENCE OF ENTAMOEBA SPP INFECTIONS IN PIGS IN ARFAK MOUNTAIN’S AND BALIEM VALLEY PAPUA PROVINCE)

Putu Nara Kusuma Prasanjaya1, Nyoman Adi Suratma2, I Made Damriyasa2

  • 1)    Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana

  • 2)    Laboratorium Parasitologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana Jalan PB Sudirman, Denpasar

Email: [email protected]

ABSTRAK

Delapan puluh persen peternakan babi dari dua wilayah di Papua terinfeksi Entamoeba spp, dan juga 32,4% dari 102 babi terinfeksi parasit ini. Pemeriksaan menggunakan metode SAF (Sodium Acetic Formaldehyde), untuk mendeteksi keberadaaan Entamoeba spp. Hasil dari penelitian terhadap babi di Papua yang terinfeksi Entamoeba spp mengindikasi bahwa prevalensi infeksi Entamoeba spp secara signifikan lebih tinggi di Lembah Baliem dibandingkan dengan Pegunungan Arfak.

Kata kunci : Prevalensi Entamoeba spp, Babi ,Pegunungan Arfak, Lembah Baliem

ABSTRACT

Eighty percent of selected pig farm’s in two region’s in Papua Wet infected by Entamoeba spp, and also 32,4% from 102 pig’s infected by its parasite. The examined use SAF (Sodium Acetic Formaldehyde), to determine the prevalence of Entamoeba spp. The result of the study indicated of pig’s in Papua were infected by Entamoeba spp indicated that the prevalence was significatly higher in Baliem valley than Arfak Mountain.

Keyword : Prevalence of Entamoeba spp, pig, Arfak Mountain, Baliem valley.

PENDAHULUAN

Penyakit yang secara umum dapat menyerang babi, diantaranya bakteri, virus, parasit dan jamur, yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar, serta dapat menimbulkan penyakit pada manusia / bersifat zoonosis. Penyakit zoonosis dapat menular dari hewan kemanusia melalui kontak langsung, makanan atau secara tidak langsung dengan melalui vektor (Ismail dkk, 2010). Salah satu protozoa yang menginfeksi saluran cerna pada babi dan bersifat zoonosis adalah: Entamoeba spp (Levine, 1994).Amoebiasis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh infeksi Entamoeba histolitica yang ditularkan melalui

makanan (Food Borne Disease), baik dari manusia kehewan atau sebaliknya. Prevalensi tertinggi terjadi pada daerah tropis dengan keadaan sanitasi buruk di mana strain virulensi Entamoeba histolytica masih tinggi (Cardozo dkk, 2005). Menurut Yulfi (2006) faktor yang cukup berpengaruh terhadap prevalensi protozoa saluran pencernaan adalah kontaminasi pakan, yang dapat terjadi melalui air yang terkontaminasi, infected food handler, kontaminasi oleh lalat dan kecoa, penggunaan pupuk kandang pada pakan dan minuman ternak.

Sampai saat ini di Indonesia masih sangat sedikit laporan penelitian tentang infeksi Entamoeba spp pada babi serta hubungan

dengan karakteristik peternakan, khususnya pada ternak babi di Papua. Oleh karena itu dilakukan penelitian pada ternak babi yang ada di Pegunungan Arfak Papua Barat dan di Lembah Baliem Kabupaten Jaya Wijaya.

METODE PENELITIAN

Sampel Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional crossexional yang dilakukan di Pegunungan Arfak dan Lembah Baliem, provinsi Papua. Sebanyak 102 sampel tinja babi diambil dari 20 peternakan babi di Papua. Sampel tersebut berasal dari 10 peternakan babi di Lembah Baliem dan 10 peternakan di Pegunungan Arfak, provinsi Papua.

Bahan yang dipergunakan adalah aquades, ether, larutan NaCl fisiologis, Sodium Acetic Formaldehyde (SAF) yang terdiri dari: 15 gr sodium asetat, 20 ml asam asetat, 40 ml formaldehyde 40%, 925 ml air (Kaufmann, 1996). Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: gelas obyek,gelas penutup, gelas beker, saringan teh, tabung sentrifuse, sentrifugator, pipet pasteur, rak tabung reaksi,kantung plastik, sendok plastik, tissue, kertas label, kain kasa pembalut, corong dan mikroskop.

Prosedur Penelitian

Sampel tinja diambil langsung secara rektal atau tinja yang masih segar, kemudian ditampung pada tabung tinja 10 ml yang mengandung larutan SAF. Sampel tersebut kemudian dikirim ke Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Selama pengambilan sampel juga dilakukan pengumpulan data karakteristik peternakan babi dengan pengisian kuisioner. Data karakteristik yang dikumpulkan meliputi: daerah asal (Lembah Baliem dan Pegunungan Arfak), kepemilikan hewan piaraan lain (ya, tidak), cara pemeliharaan babi (di kandangkan, di lepas), sumber air (PAM, sumur, sungai, air hujan), dan lokasi kandang (bersama tempat tinggal, terpisah). Pemeriksaan sampel tinja dilakukan dengan cara 2 – 5 gram feses ditampung pada larutan SAF dalam tabung dengan volume 10 ml. Disiapkan tabung reaksi dengan dasar runcing dalam rak tabung reaksi, dimasukkan

corong ke dalam tabung reaksi. Dipotong kain kasa pembalut dengan panjang kira-kira 10 cm, kemudian diletakkan di atas corong. Kocok feses yang berada pada larutan SAF sampai homogen, Saring dengan dua lapis kain kasa pembalut pada tabung reaksi dengan dasar runcing volume 10 ml. Dimasukkan tabung reaksi ke dalam centrifugator, centrifuge selama 2 menit dengan kecepatan 2000 rpm. Selanjutnya supernatan dibuang, kemudian letakkan lagi pada rak tabung. Ditambahkan 7 ml NaCl fisiologis dan 2 ml ether ke dalam tabung. Aduk dengan rata endapan yang telah ditambah NaCl fisiologis dan ether, suspensi tersebut dikocok sehingga kotoran mengendap pada bagian ether. Centrifuge lagi selama 3 menit dengan kecepatan 2000 rpm. Supernatan dibuang dengan hati-hati agar endapan tidak ikut terbuang. Kemudian endapan diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 400x (Kaufmann, 1996).

Analisis Data

Data prevalensi yang diperoleh disajikan secara deskriptif. Untuk mengetahui hubungan asal ternak babi dengan prevalensi infeksi Entamoeba spp diuji dengan uji Chi - Square (Sampurna dkk, 2011).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Prevalensi Infeksi Entamoeba spp pada Ternak Babi yang dipelihara di Pegunungan Arfak dan Lembah Baliem, Papua.

Dari 20 peternakan babi yang diteliti 16 (80%) peternakan babi yang terinfeksi oleh Entamoeba spp, sedangkan dari 102 babi yang diperiksa tinjanya, ditemukan 33 (32,3%) babi terinfeksi Entamoeba spp. Prevalensi infeksi Entamoeba spp berdasarkan daerah asal yaitu: Pegunungan Arfak dari 52 sampel yang diperiksa terdapat 12 sampel positif terinfeksi Entamoeba spp (23,1 %), sedangkan pada Lembah Baliem dari 50 sampel yang diperiksa terdapat 21 sampel positif terinfeksi Entamoeba spp (42 %). Prevalensi infeksi Entamoeba spp pada babi yang berasal dari Lembah Baliem secara statistik lebih tinggi dibandingkan dengan babi yang berasal dari Pegunungan Arfak (P<0,05).

Tabel 1. Prevalensi Infeksi Entamoeba spp pada babi berdasarkan daerah asal

Asal Sampel Babi

Jumlah Sampel

Infeksi

Entamoeba spp

Prevalensi (%)

Hasil Uji Chi Square

Positif

Negatif

Pegunungan Arfak

52

12

40

23,1

0.041 s

Lembah Baliem

50

21

29

42

Total

102

33

69

32,4

Keterangan: s = Significant (P< 0,05)

Prevalensi infeksi Entamoeba    spp

berdasarkan pemeliharaan babi  yang

digabung dengan hewan piaraan lain.

Diketahui bahwa 30,4 % babi yang berasal dari peternakan yang memiliki ternak lain positif terinfeksi Entamoeba spp. Sedangkan yang tidak memiliki ternak lainnya 50% babinya terinfeksi oleh Entamoeba spp. Perbedaan prevalensi infeksi Entamoeba spp antara babi yang dipelihara pada peternakan yang hanya memelihara babi dibandingkan dengan babi yang dipelihara pada peternakan yang memelihara ternak lainnya, secara statistik tidak terdapat perbedaan yang nyata (P > 0,05).

Tabel 2. Prevalensi infeksi Entamoeba spp berdasarkan pemeliharaan babi yang digabung dengan hewan piaraan lain

Memiliki Hewan Piaraan Lain

Jumlah Sampel

Infeksi Entamoeba spp

Prevalensi (%)

Hasil Uji Chi Square

Positif

Negatif

Ya

92

28

64

30,4

Tidak

10

5

5

50

0.209 ns

Total

102

33

69

32,4

Keterangan : ns = Non Significant (P> 0,05)

Prevalensi infeksi Entamoeba spp pada babi yang dipengaruhi oleh cara pemeliharaan babi

Prevalensi infeksi Entamoeba spp dengan pemeliharaan babi yang berbeda: dari 67 ekor babi yang dikandangkan terdapat 23 positif terinfeksi Entamoeba spp (34,3%) sedangkan dari 35 ekor babi yang pemeliharaan dilepas terdapat 10 positif terinfeksi (28,6 %) .

Tabel 3. Prevalensi infeksi Entamoeba spp pada babi berdasarkan cara pemeliharaan babi. Perbedaan prevalensi Entamoeba spp pada babi yang dipelihara dikandangkan dengan babi yang dipelihara dilepas secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (P > 0,05).

Cara

Pemeliharaan

Babi

Jumlah Sampel

Infeksi

spp Positif

Entamoeba

Negatif

Prevalensi (%)

Hasil

Uji Chi Square

Dikandangkan

67

23

44

34,3

Dilepas

35

10

25

28,6

0.555

Total

102

33

69

32,4

ns

Keterangan: ns = Non Significant (P> 0,005)

Prevalensi Infeksi Entamoeba spp pada babi berdasarkan sumber air

Prevalensi infeksi Entamoeba spp pada babi yang dipelihara pada peternakan babi dengan sumber air yang berbeda diketahui dari 27 ekor babi dengan sumber air PAM terdapat 4 ekor babi positif terinfeksi (14,8%), dari 10 ekor babi dengan sumber air sumur terdapat 3 ekor positif terinfeksi (30%), dari 60 ekor babi dengan sumber air sungai terdapat 23 ekor yang positif (38,3%), sedangkan dari 5 ekor babi dengan sumber air hujan terdapat 3 ekor yang positif terinfeksi (60%). Berdasarkan penggunaan sumber air pada peternakan babi diketahui bahwa prevalensi tertinggi terdapat pada peternakan dengan sumber air hujan sebagai sumber air minum atau kepentingan peternakan babi, namun secara statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan (P >0.05).

Tabel 4. Prevalensi Infeksi Entamoeba spp pada babi berdasarkan sumber air

Sumber Air

Jumlah Sampel

Infeksi

Entamoeba spp

Positif Negatif

Prevalensi (%)

Hasil Uji Chi Square

PAM

27

4

23

14,8

Sumur

10

3

7

30

Sungai

60

23

37

38,3

0,088 ns

Hujan

5

3

2

60

Total

102

33

69

32,4

Keterangan: ns = Non Significant (P>0,05)

Prevalensi Infeksi Entamoeba spp pada babi berdasarkan lokasi pemeliharaan

Prevalensi Infeksi Entamoeba spp pada babi dengan pemeliharaan terpisah dengan bersamaan dengan tempat tinggal diperoleh 55 ekor babi yang lokasi kandang bersama dengan tempat tinggal penduduk terdapat 20 ekor positif terinfeksi Entamoeba spp (36,4 %), sedangkan dari 47 ekor babi yang dipelihara terpisah dari tempat tinggal penduduk terdapat 13 ekor babi positif terinfeksi Entamoeba spp (27,7%). Perbedaan prevalensi Entamoeba spp pada babi yang dipelihara dengan lokasi pemeliharaan yang bersamaan dengan tempat tinggal maupun terpisah dengan tempat tinggal tidak terdapat perbedaan yang signifikan ( P > 0,05).

Tabel 5. Prevalensi Infeksi Entamoeba spp pada babi berdasarkan lokasi pemeliharaan

Lokasi

Pemeliharaan

Jumlah Sampel

Infeksi

Entamoeba spp

Prevalensi (%)

Hasil Uji Chi Square

Positif

Negatif

Bersama

55

20

35

36,4

Terpisah

47

13

34

27,7

0.349 ns

Total

102

33

69

32,4

Keterangan: ns = Non Significant (P>0,05)

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 102 sampel dari 20 peternakan yang berasal dari Pegunungan Arfak dan Lembah Baliem, provinsi Papua diketahui bahwa dari beberapa karakteristik peternakan babi yang menunjukkan adanya hubungan dengan prevalensi infeksi Entamoeba spp adalah daerah asal sampel yang berbeda nyata (P<0,05) diantara kedua daerah (Pegunungan Arfak dan Lembah Baliem), hal ini dipengaruhi kondisi kandang yang meliputi: kelembaban udara, suhu, sinar matahari, dan pH yang mendukung akan sangat menunjang penyebar luasan berbagai jenis protozoa (Kanisius, 1981). Tropozoit dari Entamoeba spp dapat bertahan hidup pada suhu antara 50 C – 370 C dan kista tahan terhadap suhu sekitar titik beku tetapi tidak tahan kering (Jaco J dkk,2003). Lembah Baliem yang mempunyai suhu relatif dingin yaitu: 14,5oC sampai 24,5oC, sekaligus membedakan kondisi yang lebih baik untuk

perkembangan protozoa khususnya jenis Entamoeba spp dibandingkan dengan Pegunungan Arfak mempunyai temperatur antara 26oC sampai 32oC. Dari aspek manajemen pemeliharaan babi, kedua wilayah tersebut tidak terdapat perbedaan, keduanya memelihara babi secara tradisional (Pattiselano dkk, 2005).

Dari hasil uji chisquare diperoleh juga data tentang pemeliharaan babi bersama hewan piaraan lain, cara pemeliharaan, lokasi kandang, sumber air minum yang diberikan pada ternak babi di lokasi pengambilan sampel. Pada lokasi pengambilan sampel ditemukan bahwa sebagian masyarakat memelihara ternak babi mereka digabung dengan hewan piaraan lainnya, seperti: anjing, sapi, ayam. Dari hasil uji chisquare terhadap data pemeliharaan yang digabung dengan hewan piaran lain diperoleh bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara memiliki hewan piaraan lain ataupun tidak (P > 0,05). Hal ini dipengaruhi oleh jumlah sampel. Hasil uji chisquare terhadap cara pemeliharaan babi diperoleh data bahwa antara babi yang dikandangkan dan dilepas tidak terdapat perbedaan yang nyata (P > 0,05). Adapun yang menyebabkan tidak adanya perbedaan yang nyata antara babi yang dikandangkan dan dilepas, dikarenakan sebagian besar sistem pemeliharaan babi dikedua lokasi masih menganut sistem tradisional yang masih menggunakan alas kandang berupa tanah. Pada pengujian terhadap lokasi kandang ternak babi diperoleh hasil bahwa antara lokasi yang bersamaan dengan tempat tinggal dan dipisah dari tempat tinggal tidak terdapat perbedaan yang nyata atau P > 0,05.

Menurut Leviene (1993) proses penularan Entamoeba spp dapat terjadi akibat kontaminasi melalui air, maka pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan terhadap sumber air yang meliputi: PAM, sumur, sungai, dan air hujan. Dari keempat sumber air ini dilakukan analisis dengan menggunakan uji chisquare untuk mengetahui pengaruh sumber air terhadap prevalensi infeksi entamoeba spp, adapun hasil dari uji chisquare menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata (P > 0,05) antara sumber air yang berasal dari air PAM, sumur, sungai dan air hujan. Hal ini bisa disebabkan karena

jumlah sampel sumber air yang diambil berbeda.

Selain itu pula penelitian serupa pernah dilakukan oleh Yuliari (2011) yang meneliti tentang prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan pada babi di lokasi yang sama. Adapun hasil dari penelitian tersebut dari 22 sampel tinja yang diperiksa terdapat 27% ternak babi dari kedua lokasi positif terinfeksi Entamoeba spp dan uji chisquare yang dilakukan menunjukan P > 0,05 atau tidak terdapat perbedaan yang nyata antara sampel yang diambil dari Pegunungan Arfak maupun Lembah Baliem. Bila dibandingkan dengan penelitian Yuliari (2011), hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara sampel yang diambil dari Pegunungan Arfak dan Lembah Baliem. Adapun yang menyebabkan perbedaan tersebut adalah: jumlah sampel dan metode yang digunakan. Dalam penelitian ini jumlah sampel yang digunakan sebanyak 102 sampel sedangkan pada penelitian Yuliari (2011) sampel yang digunakan sebanyak 22 sampel, dan juga pada penelitian ini metode yang digunakan adalah metode SAF (Sodium Acetic Formaldelyde) yang merupakan metoda yang lebih sensitif untuk mendeteksi protozoa (Martin dan Escher, 1990).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa babi di dua wilayah Papua terinfeksi Entamoeba spp dengan prevalensi infeksi Entamoeba spp pada babi sebesar 32,4% dari 102 ekor ternak babi yang diambil dari 20 peternakan babi. Prevalensi infeksi Entamoeba spp secara statistik lebih tinggi di Lembah Baliem dibandingkan dengan infeksi yang ada di Pegunungan Arfak.

Saran

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disarankan sebagai berikut: “Untuk mengetahui lebih jelas spesies dari Entamoeba spp yang menginfeksi babi yang ada di Papua perlu dilakukan uji karakteristik pada masing-masing spesies Entamoeba spp yang menginfeksi, mengingat infeksi dari

beberapa spesies Entamoeba spp berpotensi sebagai penyakit zoonosis”.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) yang telah membiayai penelitian ini sehingga dapat terlaksana serta Pihak Dinas Peternakan Provinsi Papua yang telah memberikan bantuan dalam proses pengambilan sampel.

DAFTAR PUSTAKA

Cardozo, S. V., P. R. de Carvalho Filho, C. T. Ribeiro, S. M. de Medeiros, C. W. Lopes. 2005. Intestinal Protozoa in Apprehended New World Nonhuman Primates. Departamento de Parasitologia Animal Instituto de Veterinária Universidade Federal Rural. Rio de Janeiro.

Ismail,A.H, H-K Jeon, Y.M Yu, C Do and Y.H Lee. 2010. Intestinal Parasite Infections in Pigs and Beef Cattle in Rural Areas of Chungcheongnamdo. Korean J Parasitol 48, 4, 347-349. Korea.

Jaco J, Verweij, Daphne Laeijendecker, Eric A. T. Brienen, Lisette van Lieshout and Anton M. Polderman. 2003. Detection and Identification of Entamoeba Species in Stool Samples by a Reverse Line Hybridization Assay. J. Clin. Microbiol. November 2003 vol. 41 no. 11 50415045. America.

Kanisius. 1981. Beternak Babi. Aksi Agraris Kanisius. Yogyakarta

Kaufmann, J. 1996. Parasitic Infections of Domestic Animals : A Diagnostic Manual. Birkhauser Verlag. Germany.

Levine, N.D. 1994. Parasitologi Veteriner. Terjemahan Gatut Ashadi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Martin,H.,E.Escher. 1990. SAF-Eine alternative Fixierlosung fur parasitologische Stuhluntersuchungen. Schweiz. Med. Wschr. 120,1473-1476.

Pattiselanno, Freddy dan Deny A. Iyai. 2005. Peternakan Babi di Manokwari: Mempertahankan Tradisi dan Meningkatkan Taraf Hidup. Salam edisi 13. Papua

Sampurna, P, Nindhia, S. 2011. Metode Ilmiah dan Rancangan Percobaan. Udayana University Press. Bali.

Yulfi, H. 2006. Protozoa Intestinalis. Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Repository. Medan.

Yuliari, Pande Ketut. 2011. Prevalensi Infeksi Protozoa Saluran Pencernaan pada Babi di Lembah Baliem dan Pegunungan Arfak Papua. Skripsi. Universitas Udayana. Bali

140