Buletin Fisika Vol 25 No. 1 February 2024 : 63 – 73

Pengukuran Temperatur Plasma Laser-Induced Breakdown Spectroscopy Dengan Persamaan Boltzmann Dari Emisi Dua Garis Atom Netral Cu

Calculation of Laser-Induced Breakdown Spectroscopy Plasma Temperature using Boltzmann Equation using two Netral Cu line Emission

Vincent Milano1*, Hery Suyanto1, Ida Bagus Ketut Widnyana Yoga2

  • 1Program Studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran, Badung, Bali, Indonesia 80361

  • 2Laboratorium Penelitian Terpadu Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana, Badung, Bali, Indonesia

Email: *[email protected]; [email protected]; [email protected]

Abstrak Telah dilakukan Penelitian tentang pengukuran temperatur plasma dengan menggunakan metode pendekatan Persamaan Boltzmann. Penelitian dilakukan dengan menggunakan Instrumen Laser-Induced Breakdown Spectroscopy (LIBS) di Laboratorium Penelitian Terpadu FMIPA Universitas Udayana. Perhitungan temperatur plasma dilakukan dengan Persamaan Boltzmann menggunakan intensitas emisi dan luas area dibawah kurva dari emisi dua panjang gelombang atom netral Cu I 521,82 nm dan Cu I 510,55 nm. Data intensitas emisi atom netral Cu diperoleh dengan memfokuskan laser Nd-YAG (1064 nm, 7 ns) dengan energi 80 mJ ke permukaan lempengan sampel Bras 6s (atau 99,99%), pada lingkungan udara 1 atm dan lingkungan gas Helium dengan laju aliran 60 mL/s. Emisi foton dari atomatom netral Cu dalam plasma ditangkap oleh spektrometer HR 2500+ (14.336 CCD pixel, 200-800 nm) dengan variasi waktu tunggu deteksi dari 0 µs sampai 1,5 µs. Dengan menggunakan persamaan Boltzmann diperoleh temperatur rata-rata plasma pada rentang waktu tunggu deteksi tersebut pada lingkungan udara sebesar (8976,40±160,34) K melalui perbandingan intensitas dan (13119,20±435,23) K menggunakan perbandingan luas area. Temperatur rata-rata plasma pada lingkungan gas Helium diperoleh sebesar (12261,21±419,06) K dengan perbandingan intensitas dan (16882,41± 678,18) K menggunakan perbandingan luas area.

Kata kunci: LIBS; temperatur; plasma; laser; waktu tunggu deteksi; helium

Abstract Research have been conducted about calculating the plasma temperature using Laser-Induced Breakdown Spectroscopy (LIBS), located in Udayana University’s Laboratorium Penelitian Terpadu FMIPA. The calculation of Plasma Temperature is done using the Boltzmann Equation using the emission intensity and area under the curve of two wavelength from Cu neutral atom Cu I 521.82 nm and Cu I 510.55 nm. The intensity of Neutral Cu atom is obtained from focusing the Nd:YAG laser (1064 nm, 7 ns) with 80 mJ energy to the surface of Bras 6s (or 99.99%) slab in the air with 1 atm pressure and Helium gas with 60 mL/s flowrate, which will generate a plasma. The Photon emission from Cu neutral atoms in plasma will be caught by spectrometer HR 2500+ (14.336 CCD pixel, 200-800 nm). The average plasma temperature by delay time detection using intensity and area ratio is (8976.40±160.34) K and (13119.20±435.23) K respectively. In Helium gas, the temperature is (12261.21±419.06) K using intensity ratio and (16882.41±678.18) K using Area ratio.

Keywords: LIBS; temperature; plasma; laser; delay time detection; helium.

Salah satu alat yang digunakan adalah Laser Induced Breakdown Spectroscopy (LIBS). LIBS merupakan metode analisis bahan dengan menganalisa plasma yang dibangkitkan dengan penembakan laser pada sampel [2]. Sesuai dengan definisi tersebut, sistem kerja alat ini adalah memfokuskan laser pada sampel yang akan diteliti. Atom-atom yang terablasikan dari sampel akan membentuk plasma melalui proses kompresi adiabatis dengan gas disekitarnya. Plasma berisikan atom-atom netral, molekul, ion-ion, elektron, dan atom-atom tereksitasi. Emisi dari atom-atom tereksitasi akan dideteksi oleh monokromator melalui fiber optic (FO) dan ditampilkan dalam bentuk spektra intensitas sebagai fungsi panjang gelombang pada komputer.

LIBS merupakan alat yang penting untuk bidang fisika material, karena dapat digunakan untuk mengetahui kandungan unsur dari sampel padat atau sampel gas. Sedangkan, untuk sampel dalam wujud cair, apabila diirradiasi oleh laser, partikel-partikel cairan akan terhambur sehingga menghasilkan plasma dengan temperatur rendah serta waktu yang sangat singkat, sehingga dapat dikatakan bahwa analisis menggunakan LIBS untuk zat cair akan menghasilkan data yang kurang akurat [3] Temperatur plasma merupakan variabel yang sangat menentukan dalam analisis sampel dengan LIBS. Oleh karena itu, pada Penelitian ini dilakukan penelitian tentang temperatur plasma tersebut.

Temperatur plasma dihitung dengan metode Boltzmann menggunakan perbandingan dua garis emisi atom netral Cu I 521,82 nm dan Cu I 510,55 nm, dengan memvariasikan nilai waktu tunggu deteksi (delay time detection) dan gas penyangga dilingkungan sampel menggunakan perbandingan nilai intensitas dan luas area dibawah kurva. Sampel yang digunakan adalah Bras 6s (99,99%) yang terdiri atas 65% atom Cu dan 35% atom Zn.

  • 2.    Landasan Teori

    • 2.1    Laser-Induced Breakdown Spectroscopy

Laser-induced Breakdown Spectroscopy (LIBS) adalah metode analisis bahan menggunakan sinar laser yang ditembakan ke material tertentu, yang menghasilkan plasma dengan kerapatan tinggi apabila intensitas laser yang digunakan melebihi breakdown treshold dari material tertentu. Emisi foton yang terkandung pada plasma, akan diuraikan oleh monokromator yang kemudian diplot intensitas fungsi panjang gelombang untuk analisis kualitatif dan analisis kuantitatif [4].

Panjang gelombang cahaya akan memberikan informasi mengenai identitas dari elemen yang terkandung pada sampel (analisis kualitatif). Sedangkan intensitas yang tercatat (analisis kuantitatif), menggambarkan tentang konsentrasi elemen-elemen dalam sampel yang dianalisis [5]. Komponen utama yang digunakan pada LIBS, yaitu laser, lensa pemfokus, kabel Fiber Optic (FO), dan spektrometer cahaya seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Skema kerja LIBS [6].

Cara kerja dari alat ini yaitu, laser Nd:YAG dioperasikan pada tingkat repetisi 5 Hz dengan energi 80 mJ. Irradiasi laser difokuskan melalui lensa bikonveks dengan panjang fokus 10 cm ke permukaan sampel dan radiasi emisinya dianalisis dengan optical multichannel analyzer yang berisi 14.336 pixel CCD pada daerah panjang gelombang 200-800 nm dengan resolusi 0,1 nm. Tampilan sampel pada komputer setelah dilakukan proses penembakan laser dapat di lihat pada Gambar 2.

  • 2.2    Plasma

Plasma sering disebut sebagai keadaan zat ke-empat, selain padat, cair, dan gas. Plasma dapat memiliki karakteristik dari ketiga keadaan lainnya, bergantung pada kerapatan dan temperatur yang digunakan [7]. Dengan memanaskan zat padat atau cair, atom atau molekul memperoleh lebih banyak energi kinetik termal sampai mereka mampu mengatasi energi potensial pengikatnya. Hal ini menyebabkan terjadinya transisi fase, yang terjadi pada suhu konstan dan tekanan tertentu [8]. Plasma terdiri dari gas terionisasi, atom netral, elektron, molekul, dan atom tereksitasi. Suatu gas dikatakan terionisasi jika pada atom tersebut melepaskan atau mengikat satu atau lebih elektron [9].

Gambar 2. Tampilan sampel pada monitor setelah dilakukan proses penembakan laser.


  • 2.3    Metode Boltzmann dengan perbandingan dua intensitas

Apabila suatu gas berada dalam kesetimbangan termal (Local Temperature Equilibrium (LTE)), maka populasi dari tingkat energi untuk setiap partikel terpisah yang mana akan mengikuti distribusi Boltzmann, yaitu [5]:

- εq q = gq e kT n0  g0

(1)


Dimana nq merupakan densitas atau kerapatan partikel pada keadaan tereksitasi q, n0 adalah densitas atau kerapatan partikel pada keadaan dasar (ground state). Variabel gq dan g0, masing masing merupakan bobot statistik atau probabilitas untuk partikel mendiami suatu keadaan dalam kondisi tingkat tereksitasi q dan o untuk tingkat keadaan dasar (ground state). εq adalah energi eksitasi pada keadaan q, k adalah konstanta Boltzmann, dan T adalah temperatur absolut. Dari Persamaan (1), dapat dilihat bahwa persamaan tersebut merupakan perbandingan antara nq dan n0, apabila dibuat persamaan dalam bentuk nq dan n, dimana n merupakan total konsentrasi atau densitas partikel, dengan mengingat bahwa:

ε1ε2                εj

--   -


-

n0 : n1 : n2 :: nj= g0 : g1 e


-

kT : g 2 e kT :


-

: gje kT


(2)


Untuk tingkat energi 1, 2, 3, …, j yang diambil dari ground state. Total konsentrasi partikel: j n= nm m=0


(3)


Sehingga Persamaan (1) menjadi:


εq

nqgq e kT εm n   ∑mj =0gme-kT


(4)


Jika didefinisikan:


εm

j        -kT

m=0gm


(5)


Maka Persamaan (4) dapat ditulis menjadi:

nqgq e kT nZ Atau

g„  -

n = n — e kT aq     a

Za

(6)


Dimana Z merupakan fungsi partisi atau penjumlahan semua keadaan dari suatu partikel tertentu, serta penambahan “a” bertujuan untuk membedakan variabel n dan Z pada atom netral dan ion bermuatan tunggal (a dan i). Sedangkan intensitas absolut I dari suatu garis atom dapat dituliskan sebagai berikut:

1qP   ^π Aqpnaqhvqp

(7)


Dengan d adalah kedalaman sumber, Aqp dan naq masing-masing adalah probabilitas transisi dan konsentrasi dari atom netral yang tereksitasi ke keadaan q, h = Konstanta Planck, vqp adalah frekuensi dari peak spektra yang diemisikan saat transisi dari keadaan q ke p. Apabila dilakukan subtitusi nilai naq dari Persamaan (6) ke Persamaan (7), maka didapatkan Persamaan (8), yaitu:

d     g -—

I = — A n —e kThv qp ∏ qp a z        qp

(8)


Untuk metode perbandingan intensitas dua peak, dan apabila garis emisi tersebut diberi label a dan b, serta p dan q masing-masing menggambarkan tingkat energi rendah dan tingkat energi tinggi, maka dengan menggunakan Persamaan (8), dapat dituliskan:

Ia S gA) a v e - . Ib   (gA) b vb

Variabel eksponensial pada Persamaan (9) apabila dilakukan perhitungan lebih lanjut, didapatkan:

  • _ εa εb                    εa εb                    p   p

  • e~ kT = 10xln e~ = ln10x →—a---b = x ln10

kT

Mengingat:   k = 1,38054 x 10-23 (J/K),

ln 10 = 2,3025851, dan

εq = eVq (eV) = -1,6021 x 10-19 Vq (J/eV)

Sehingga Persamaan (10) dapat dituliskan menjadi:

  • -1,6021×10-19 [J-l(Va - Vb)

-----------^evγ-y----= 2,3025851 x

1,38054 ×10-231 J IT IK )

Atau dapat dituliskan:

x = -5039,935 I—∣ V-V) ≈ -5040 KT (Va - Vb) [ eVT          [ eVT

Apabila hasil Persamaan (11) disubtitusikan ke Persamaan (10) dan (9), didapatkan:

I    ( gA ) V    -5040 (Va - Vb )

a      aa      T

  • 1b   ( gA ) b Vb

Atau

(9)


(10)


(11)

(12)


T = 5040---—--ba------

log     - log λ - log Ia

( gA) b      λ      Ib

(13)


Dimana a dan b adalah label dua titik, V adalah potensial eksitasi (eV), λ merupakan panjang gelombang (nm), I merupakan Intensitas (a.u.), A merupakan probabilitas transisi (s-1), dan g merupakan berat statistik.

Pada penelitian ini digunakan Cu I 521,82 nm sebagai label a dan Cu I 510,55 nm sebagai label b. Kemudian dengan menggunakan nilai Va sebesar 6,18 eV dan Vb sebesar 3,8 eV serta (gA)a/(gA)b sebesar 55,9 [5], maka Persamaan (13) dapat dituliskan menjadi [5]:

T =


(6,18 - 3,8)

(14)


iog (55∙9)-iog [ 120:81)-ιog [ Ia ]

  • 3.    Metode Penelitian

Percobaan dimulai dengan mempersiapkan sampel yang digunakan (Bras 6s). Sampel dibersihkan dengan etanol terlebih dahulu, dan tidak disentuh secara langsung dengan tangan, untuk menghindari menempelnya senyawa garam yang berada pada kulit manusia. Setelah sampel diletakan pada chamber LIBS, kemudian dengan menggunakan drag pada komputer, diatur titik fokus pada sampel melalui lensa dengan jarak titik fokus 10 cm. Hal ini bertujuan agar sinar laser yang mengenai sampel terfokus, dan sampel mendapat intensitas laser tertinggi. Setelah terfokus, sinar laser kemudian diirradiasikan dan terbentuk plasma. Emisi foton dalam plasma ditangkap spektrometer yang selanjutnya ditampilkan dikomputer dalam bentuk spektra intensitas sebagai fungsi dari panjang gelombang.

Data spektra, dianalisa menggunakan program untuk menentukan puncak-puncak signal yang menunjukan nilai Panjang gelombang dan nilai intensitas. Data intensitas yang diperoleh, selanjutnya digunakan untuk mengukur temperatur Plasma dengan menggunakan Persamaan (14).

Pengambilan data untuk energi laser dan waktu tunggu deteksi (delay time detection) dilakukan 3 kali pengulangan. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir terjadinya kesalahan saat pengambilan data. Perhitungan temperatur menggunakan nilai panjang gelombang garis emisi atom netral Cu I 510,55 nm dan Cu I 521,82 nm.

  • 4.    Hasil Dan Pembahasan

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa saat laser difokuskan pada permukaan sampel padat Bras 6s, maka sebagian kecil massa Cu dan Zn terablasikan keluar dengan kecepatan tinggi dan terjadi kompresi adiabatis dengan udara dilingkungannya. Kompresi ini menyebabkan terjadinya gelombang kejut (shockwave) dan energinya digunakan untuk mengionisasikan atau mengeksitasikan atom-atom Cu dan Zn yang terablasikan [10].

Elektron dalam atom-atom yang tereksitasi ke tingkat energi lebih tinggi akan kembali ke keadaan dasar (ground state) sambil memancarkan atau mengemisi foton yang kemudian ditangkap oleh detektor dan ditampilkan intensitas sebagai fungsi panjang gelombang seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3 untuk lingkungan udara pada tekanan dan suhu ruangan dan Gambar 4 untuk lingkungan gas Helium dengan kecepatan aliran 60 ml/s.

Gambar 3 dan 4 merupakan grafik intensitas sebagai fungsi panjang gelombang yang didapatkan dari LIBS untuk berbagai waktu tunggu deteksi (delay time detection) untuk sampel bras 6s yang mana terdiri dari atom Cu dan atom Zn. Panjang gelombang menunjukkan jenis unsurnya sedangkan intensitas menyatakan konsentrasi unsur dalam sampel. Data pada grafik tersebut merupakan rata-rata dari tiga kali pengulangan dengan menggunakan energi laser 80 mJ. Berdasarkan data pada Gambar 4a dan 5a, akan dilakukan pengukuran temperatur plasma LIBS.

Berdasarkan Gambar 3 dan 4, terlihat bahwa variasi waktu tunggu deteksi memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap intensitas yang terdeteksi. Untuk mengetahui pengaruh ini, maka perlu dilakukan perhitungan nilai intensitas (a.u.) dan luas daerah di bawah kurva khususnya untuk atom netral Cu I 510,55 nm dan Cu I 521,82 nm dengan bantuan software Origin, yang hasilnya seperti pada Tabel 1 dan 2.



Gambar 3. Grafik data LIBS untuk Energi Laser 80 mJ di lingkungan udara berbagai fungsi waktu tunggu deteksi (a) intensitas emisi atom Cu dan (b) intensitas emisi atom Zn.


Gambar 4. Grafik data LIBS untuk Energi Laser 80 mJ di lingkungan Gas Helium berbagai fungsi waktu tunggu deteksi (a) intensitas emisi atom Cu dan (b) intensitas emisi atom Zn.

Tabel 1. Data Intensitas dan Luas Area pada sampel bras 6s di lingkungan udara untuk atom netral Cu.

Intensitas (a.u.) pada panjang         Luas Daerah (a.u.) pada panjang

Waktu tunggu           gelombang (nm)                    gelombang (nm)

deteksi (µs)

510,55

521,82

510,55

521,82

0,00

134,91

363,90

24,12

170,09

0,25

156,10

417,27

27,06

194,74

0,50

149,13

386,24

22,56

158,56

0,75

141,73

357,43

21,26

142,69

1,00

109,35

262,99

16,21

105,11

1,25

102,45

249,84

15,11

93,46

1,50

93,71

218,46

13,39

80,11

Tabel 2. Data Intensitas dan Luas Area pada sampel bras 6s di lingkungan Gas Helium untuk atom netral Cu.

Waktu tunggu

Intensitas (a.

u.) pada panjang

Luas Area (a.

u.) pada panjang

gelombang (nm)

gelombang (nm)

deteksi (µs)

510,55

521,82

510,55

521,82

0,00

109,00

575,33

19,89

193,98

0,25

117,33

689,67

18,99

218,12

0,50

92,33

516,33

15,31

160,85

0,75

76,00

397,67

11,43

120,76

1,00

44,67

253,00

6,37

70,56

1,25

34,00

217,67

5,45

61,85

1,50

26,84

166,67

4,76

46,65

Berdasarkan data pada Tabel 1 dan 2, selanjutnya dibuat grafik seperti ditunjukkan pada Gambar 5 dan 6.

- ∙ - Cu I 510,55 nm   —∙-- Cu I 521,82 nm


— •—Cui 510,55 nm - ^ - ■ Cu I 521,82 nm


WaktutunggLiclMeksi (μs                                                    Waktutunggudetsksi (μs)

(a)                                                                 (b)

(c)


(d)


Gambar 5. Pengaruh waktu tunggu deteksi (a) pada Lingkungan udara terhadap Intensitas emisi atom Cu (b) pada Lingkungan Udara terhadap Luas Area dibawah kurva emisi atom Cu (c) pada Lingkungan Helium terhadap Intensitas emisi atom Cu (d) pada Lingkungan Helium terhadap Luas Area dibawah kurva emisi atom Cu.

Gambar 5 merupakan grafik intensitas dan luas area dibawah kurva fungsi waktu tunggu deteksi untuk sampel di lingkungan udara dan di lingkungan gas Helium. Secara umum terlihat bahwa nilai intensitas maupun luas area di bawah kurva untuk atom netral Cu I 521,82 nm selalu lebih besar dari atom netral Cu I 510,55 nm baik di lingkungan udara dan di lingkungan gas Helium. Hal ini disebabkan karena nilai probabilitas kemungkinan elektron turun ke level energi lebih rendah yang menghasilkan panjang gelombang 521,82 nm lebih besar dari pada ke level energi yang menghasilkan panjang gelombang 510,55 nm [11].

Selain dari itu terlihat juga bahwa nilai intensitas baik atom netral Cu I 521,82 nm maupun atom netral Cu I 510,55 nm untuk sampel dilingkungan gas Helium selalu lebih besar dari pada sampel di lingkungan udara. Hal ini disebabkan karena gas helium juga dieksitasi oleh laser ke tempat level energi yang lebih tinggi, akan tetapi tidak langsung kembali ke keadaan dasar (ground state) melainkan menuju ke keadaan metastabil untuk sementara waktu. Keadaan metastabil ini merupakan cadangan energi yang mana dapat digunakan untuk mengeksitasikan atom-atom Cu yang belum tereksitasi [12] yang mana sebagai akibatnya jumlah atom-atom yang tereksitasi lebih banyak dibandingkan di lingkungan udara dan sebagai konsekuensinya emisi foton yang ditangkap oleh detektor lebih banyak dari pada di lingkungan udara.

Demikian juga terlihat pada Gambar 5 bahwa nilai perhitungan intensitas selalu lebih tinggi dibandingkan dengan perhitungan luas area dibawah kurva baik untuk atom netral Cu I 510,55 nm maupun atom netral Cu I 521,82 nm. Hal ini disebabkan karena dalam perhitungan luas area menggunakan suatu pendekatan dengan fungsi Gaussian. Berhubung spektrum hasil LIBS sangat tajam seperti ditunjukan pada Gambar 5.1 dan 5.2 serta nilai Full Width At Half Maximum (FWHM) rendah (kurang dari 0,5 nm) maka menyebabkan adanya perbedaaan hasil dari pola spektrum dengan pola gaussiannya. Sehingga hasil luas area menjadi lebih kecil. Pendekatan Gaussian ini lebih baik dibandingkan pendekatan-pendekatan pemprosesan yang lain [13]. Gambar pendekatan Gaussian ini seperti ditunjukan pada Gambar 6.

Tabel 3. Hasil fitting pada aplikasi Origin.

Peak Index

Peak Type

Area Intg. (a.u.)

FWHM (nm)

Max Height (a.u.)

Center Grvty (nm)

Area IntgP (%)

1

Gaussian

26,41705

0,17892

138,73032

510,47181

12,14396

2

Gaussian

28,81539

0,19634

137,87465

515,20191

13,24649

3

Gaussian

162,29988

0,41863

364,20988

521,66005

74,60955

Gambar 6. Kurva pendekatan Gaussian dan tabel analisa data dengan menggunakan Aplikasi Origin Garis merah merupakan Garis Gaussian dan Garis hitam merupakan garis spektra.


Grafik pada Gambar 5, selain itu juga menunjukkan perjalanan atom dalam plasma. Berdasarkan grafik tersebut bahwa intensitasnya meningkat hingga waktu 0,25 µs kemudian menurun secara gradual. Ini berarti diawal pembentukan plasma (Plasma Primer, yaitu dari 0 µs hingga < 0,25 µs) bahwa elektron-elektron dalam atom sebagian besar baru mulai tereksitasi ke level energi lebih tinggi. Setelah mencapai waktu 0,25 µs elektron-elektron tersebut mulai turun ke keadaan dasar (ground state) sambil mengemisikan foton pada panjang gelombang, λ tertentu yang berbanding terbalik dengan selisih dua level energinya [8].

Untuk melihat karakteristik plasma lebih jauh, perlu ditinjau temperatur plasma. Temperatur plasma dapat dihitung dengan menggunakan metode dua garis emisi dari persamaan Boltzmann seperti pada Persamaan (12). Pada persamaan ini dengan mengasumsikan bahwa plasma memenuhi kesetimbangan termal (LTE, Local Temperature Equilibrium) artinya temperatur akan bernilai konstan diseluruh plasma dan plasma juga diasumsikan tipis (optical thin) yaitu tidak ada penyerapan emisi foton oleh atom-atom Cu itu sendiri (self-absorption).

Selanjutnya perhitungan temperatur plasma dapat menggunakan perbandingan intensitas emisi atom netral Cu I 521,82 nm terhadap Cu I 510,55 nm yang didapat dari Tabel 1 dan Tabel 2 serta menggunakan Persamaan (12). Sebagai contoh, pada saat pengukuran temperatur plasma pada lingkungan udara pada waktu tunggu deteksi (delay time detection) 0 µs, dengan menggunakan Aplikasi Origin 2021, didapatkan data intensitas pada panjang gelombang 510,55 nm sebesar 134,912 a.u. dan pada panjang gelombang 521,82 nm sebesar 363,9 a.u., maka dengan Persamaan (12) didapatkan temperatur plasma:

T =


5040 (6,18 - 3,8)


log (55,9) - log


Γ 521,82 Λ 1510,55 J


- log


( 363,9 ^ 1134,92 J


= 9177,493 K


Dengan cara yang sama, didapatkan data temperatur plasma seperti pada Tabel 4 dengan menggunakan data intensitas dan Tabel 5 dengan menggunakan data luas daerah dibawah kurva.

Berdasarkan Tabel 4 dan 5, temperatur rata-rata untuk lingkungan udara sebesar (8976,40±160,34) K dengan menggunakan perbandingan intensitas dan (13119,20±435,23) K dengan menggunakan perbandingan Luas Area. Sedangkan untuk lingkungan gas Helium, didapatkan sebesar (12261,21±419,06) K dengan perbandingan intensitas dan (16882,41±678,18) K menggunakan perbandingan Luas Area. Untuk mempermudah interpretasi temperatur dalam plasma pada Tabel 4 dan 5 maka perlu dibuat grafik temperatur sebagai fungsi waktu tunggu deteksi seperti pada Gambar 7 dan 8.

Tabel 4. Tabel data hasil perhitungan temperatur plasma dengan perbandingan intensitas.

Delay Time Detection (µs)

Temperatur Pada Lingkungan Udara (K)

Temperatur Pada Lingkungan Gas Helium (K)

0,00

9177,65

11812,81

0,25

9150,19

12382,60

0,50

9055,37

12111,94

0,75

8977,06

11768,92

1,00

8840,78

12180,39

1,25

8880,22

12875,64

1,50

8753,53

12696,19

Tabel 5. Tabel data hasil perhitungan temperatur plasma dengan perbandingan luas area.

Delay Time Detection

Temperatur Pada Lingkungan

Temperatur Pada Lingkungan

(µs)

Udara (K)

Gas Helium (K)

0,00

13484,78

16018,42

0,25

13617,81

17695,30

0,50

13461,44

16739,93

0,75

13165,00

16795,07

1,00

12951,77

17299,47

1,25

12673,49

17569,71

1,50

12480,14

16058,96

Berdasarkan Tabel 4 dan 5, temperatur rata-rata untuk lingkungan udara sebesar (8976,40±160,34) K dengan menggunakan perbandingan intensitas dan (13119,20±435,23) K dengan menggunakan perbandingan Luas Area. Sedangkan untuk lingkungan gas Helium, didapatkan sebesar (12261,21±419,06) K dengan perbandingan intensitas dan (16882,41±678,18) K menggunakan perbandingan Luas Area. Untuk mempermudah interpretasi temperatur dalam plasma pada Tabel 4 dan 5 maka perlu dibuat grafik temperatur sebagai fungsi waktu tunggu deteksi seperti pada Gambar 7 dan 8.

E


18000.000

16000.000


14000.000


12000.000


10000.000


8000.000


6000.000


4000.000




Sampel: Bras 6s

Energi Laser : 80 mJ

—∙— Temperatur Pada Lingkungan Udara (K)

A Temperatur pada Lingkungan Helium (K)


0           0.25          0.5          0.75           1           1.25          1.5


Waktu tunggu deteksi (µs)


Gambar 7. Grafik temperatur fungsi waktu tunggu deteksi untuk data perbandingan intensitas emisi Cu I 521,82 nm terhadap Cu I 510,55 nm di lingkungan udara dan dilingkungan gas He.

Gambar 7 dan 8 adalah Grafik temperatur sebagai fungsi waktu tunggu deteksi masing-masing dengan perhitungan melalui perbandingan intensitas emisi atom netral Cu I 521,82 nm terhadap Cu I 510,55 nm dan melalui perbandingan luas area di bawah kurva dari emisi atom netral Cu I 521,82 nm terhadap Cu I 510,55 nm untuk sampel di lingkungan udara dan di lilingkungan gas helium. Terlihat dalam Gambar bahwa grafik temperatur plasma dilingkungan gas helium selalu lebih tinggi dibandingan sampel dilingkungan udara (rata-rata 1,33 kali) untuk semua waktu tunggu baik dengan menggunakan perhitungan intensitas maupun menggunakan perhitungan luas area di bawah kurva. Hal ini disebabkan karena gas He dalam plasma ini bertindak sebagai cadangan energi yang digunakan untuk mengeksitasi atom-atom Cu dalam plasma.

Berdasarkan Gambar 7 dan 8 juga menunjukkan bahwa temperatur dengan perhitungan luas area di bawah kurva selalu lebih tinggi dibandingkan dengan perhitungan perbandingan intensitas (rata-rata 1,42 kali) baik sampel dilingkungan udara maupun di lingkungan gas helium. Hal ini disebabkan karena nilai


FWHM dari emisi atom Cu I 510,55 nm sangat sempit sehingga luas areanya sangat kecil dibandingkan dengan FWHM emisi atom netral Cu I 521,82 nm. Sehingga nilai hasil perbandingan antara dua atom netral ini jauh lebih besar dari pada nilai hasil perbandingan dari perhitungan intensitas. Sebagai konsekuensinya temperatur hasil perhitungan luas area di bawah kurva selalu lebih tinggi dibandingkan dengan perhitungan berdasarkan intensitas.

18000.000

16000.000




IZ    14000.000

4—t    12000.000

05

Q-   10000.000

H     8000.000 Sampel: Bras 6s

Energi Laser : 80 mJ

6000.000


—•— Temperatur Pada Lingkungan Udara (K)


—A— Temperatur pada Lingkungan Helium (K)


4000.000

0


0.25          0.5


0.75           1


1.25          1.5


Waktu tunggu deteksi (µs)

Gambar 8. Grafik temperatur fungsi waktu tunggu untuk data luas area di bawah kurva emisi Cu I 521,82 nm terhadap Cu I 510,55 nm di lingkungan udara dan dilingkungan gas Helium.

Selain itu juga, bahwa Grafik temperatur untuk sampel di lingkungan gas helium baik menggunakan perhitungan intensitas mapun luas area dibawah kurva terlihat adanya dua puncak yaitu di waktu tunggu deteksi 0,25 µs dan di 1,25 µs. Untuk di 0,25 µs ini merupakan keadaan normal dari atom Cu yaitu terjadi eksitasi dan emisi pada saat itu. Hal ini juga terjadi Ketika sampel berada di lingkungan udara yaitu ada kenaikan di waktu tunggu tersebut. Tetapi setelah waktu tersebut pengaruh cadangan energi dari gas helium tetap ada hingga akumulasi dan terjadi puncaknya pada saat 1,25 µs. Atau dengan kata lain bahwa waktu hidup (life time) dari metastabil gas helium tersebut sampai sekitar 1,25 µs. Sehingga temperatur plasmanya meningkat pada saat itu selanjutnya turun seiring dengan bertambahnya waktu.

Berdasarkan fenomena dan kenyataan-kenyataan pada Gambar 7 dan 8, maka perhitungan temperatur sebaiknya dilakukan dengan perhitungan perbandingan intensitas emisi dari dua garis atom netral Cu I 521,82 nm terhadap Cu I 510,55 nm. Pengukuran temperatur plasma menggunakan Intensitas juga sesuai dengan referensi, yaitu sebesar 8.000-12.000 K [5].

  • 5.    Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang diperoleh, yaitu intensitas emisi atom netral Cu I 521,82 nm dan Cu I 510,55 nm meningkat sampai pada waktu tunggu deteksi 0,25 µs dan menurun setelah waktu itu. Kondisi ini berlaku untuk sampel baik di lingkungan udara maupun di lingkungan gas helium. Selain itu, temperatur plasma yang diukur dengan metode Boltzmann melalui perbandingan luas area dibawah dari spektra emisi atom netral Cu I 521,82 nm dan Cu I 510,55 nm menghasilkan nilai lebih besar dari pada melalui perhitungan perbandingan nilai intensitas dari spectra emisi atom netral Cu I 521,82 nm dan Cu I 510,55 nm yaitu sekitar 1,42 kali lebih tinggi. Temperatur plasma laser di lingkungan gas helium mempunyai nilai lebih tinggi dibandingkan sampel berada dilingkungan udara yaitu 1,33 kali lebih besar.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh pihak yang telah membantu pembuatan jurnal ini. Selain itu, penulis juga berterima kasih kepada Pihak Laboratorium Penelitian Terpadu FMIPA Universitas Udayana karena telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk melakukan penelitian.

Pustaka

  • [1]    M. Anaperta, Praktikalitas Handout Fisika Sma Berbasis Pendekatan Science Environment Technology and Social Pada Materi Listrik Dinamis, Jurnal Riset Fisika Edukasi Dan Sains, vol. 1, no. 2, 2015, pp. 99-106.

  • [2]    Fajar La Tibo Sani. Analisa Perubahan Distribusi Frekuensi yang Dihasilkan Oleh Senar Gitar E1 Akibat Korosi Melalui Hasil Perekaman. Skripsi. Universitas Airlangga. Skripsi, Program Studi Fisika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, 2014.

  • [3]    Hery Suyanto, Diktat Kuliah Spektroskopi Terapan, Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana, 2012.

  • [4]    V. N. Rai, Laser-Induced Breakdown Spectroscopy: a Versatile Technique of Elemental Analysis and it’s Applications, 2014.

  • [5]    David A. Cremers dan Leon J. Radziemski, Handbook of Laser-Induced Breakdown Spectroscopy. USA: John Wiley & Sons inc, 2006.

  • [6]    Hery Suyanto dkk, Qualitative Analysis of Pb Liquid Sample Using Laser Induced Breakdown Spectroscopy (LIBS). International Conference on Theoretical and Applied Physics, 2012, pp. 1116.

  • [7]    P. Gibbon, Introduction to Plasma Physics. Switerland: CERN, 2017.

  • [8]    J. A. Bittencourt, Fundamental of Plasma Physics Third Edition, New York: Springger, 2004.

  • [9]    K. Wiesseman, A Short Introduction to Plasma Physics, 2014.

  • [10]    K. Kagawa and H. Kurniawan, Laser-Induced Shock Wave Plasma Spectroscopy, Trends in applied Spectroscopy, vol. 2, 1998.

  • [11]    A. Kramida dkk. NIST Atomic Spectra Database (version 5.9), Gaithersburg: National Institute of Standards and Technology, 2021.

  • [12]    Nasrullah Idris dkk, Excitation mechanisms in 1 mJ picosecond laser induced low pressure He plasma and the resulting spectral quality enhancement, Journal of Applied Physics, vol. 117, 2015.

  • [13]    Damayanti Cahya, Analisis Spektrum Udara Pada Sumber Elektron Berbasis Katoda Plasma (Sebkp) Dengan Monokromator Jobin Yvon H 25, Skripsi, Program Studi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta, 2012.

SINTA 4 Accreditation Starting on Volume 19 No. 2, 2018

73