Comparison and Analysis of Rainfall Spatial Patterns IMERG (Integrated Multi-Satellite Retrievals for GPM) Data and Observation Data on Bali Province
on
Buletin Fisika Vol 22 No. 2 Agustus 2021 : 67 – 76
Perbandingan dan Analisis Pola Spasial Curah Hujan Data IMERG (Integrated Multi-Satellite Retrievals for GPM) dan Data Observasi di Provinsi Bali
Comparison and Analysis of Rainfall Spatial Patterns IMERG (Integrated Multi-Satellite Retrievals for GPM) Data and Observation Data on Bali Province
Desy Yunita Samosir1, I Made Yuliara2*, Rakhmat Prasetia3
-
1,2Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran, Badung, Bali, Indonesia 80361
-
2BMKG Stasiun Klimatologi Kelas II Negara, Jembrana, Bali, Indonesia 82212
Email: [email protected], *[email protected], [email protected]
Abstrak –Keterbatasan data observasi seperti data tidak cukup panjang, tidak lengkap, dan sebaran stasiun yang kurang merata menyebabkan analisis dan prediksi hujan sulit maka memerlukan instrument pendukung seperti satelit. Satelit memberikan gambaran yang lebih baik dan lebih luas terkait distribusi hujan. Namun perlu dilakukan uji akurasi pada data satelit karena resolusi dan kondisi dari setiap wilayah berbeda. Penelitan ini bertujuan untuk memvalidasi data curah hujan IMERG terhadap data observasi pada periode El Nino 2015 dengan menggunakan data curah hujan observasi dari BMKG Negara dan data IMERG dari satelit GPM pada 12 titik pos hujan di Provinsi Bali. Metode analisis yang digunakan adalah statistik kuantitatif, perhitungan galat dan korelasi serta perbandingan pola spasial kedua data. Hasil Perbandingan pola spasial antara kedua data menunjukkan pola yang sama yaitu penurunan curah hujan pada dimulai pada bulan Mei hingga Juli, namun curah hujan meningkat memasuki bulan Agustus, dan kembali mengalami penurunan memasuki bulan September hingga Desember. Penurunan curah hujan pada periode Mei-Desember 2015 merupakan pengaruh El Nino intensitas kuat yang dibuktikan dengan hasil analisis korelasi indeks SOI terhadap curah hujan yang menunjukkan nilai korelasi cukup kuat yaitu 0,55. Validasi data IMERG terhadap data observasi perbulan menunjukkan rata-rata korelasi cukup kuat yaitu 0,42 dan analisis per pos hujan menunjukkan rata-rata korelasi lemah yaitu 0,31 yang berarti bahwa data IMERG belum akurat sebagai alternatif pengganti data curah hujan observasi di Provinsi Bali.
Kata kunci: Pola spasial, curah hujan, GPM IMERG, data observasi, SOI
Abstract –Limitations of observational data such as insufficient data length, incomplete, and uneven station distribution make it difficult to analyze and predict rain, so it requires supporting instruments such as satellites to provide a better and broader picture of rainfall distribution. However, it is necessary to test the accuracy of satellite data because the resolution and conditions of each region are different. This research aims to validate IMERG rain data against observation data in the 2015 El Nino period using observation rainfall data from BMKG Negara and IMERG data from GPM satellite at 12 rain points in Bali Province. The analytical method used is quantitative statistics, the calculation of errors and correlations and the comparison of the spatial pattern of the two data. The results of the analysis of the spatial pattern of the IMERG data show that, there was a decrease in rainfall from May to July, but the rainfall increased into August, and again experienced a decline entering the months of September to December where the same pattern was also shown from the results of the spatial pattern analysis on the Observation data. The decrease in rainfall in the May-December 2015 period was a strong El Nino effect as evidenced by the results of the correlation analysis of the SOI index on rainfall which showed a fairly strong correlation value, namely 0.55.The validation of IMERG data on monthly observation data showed that the average correlation was sufficient strong is 0.42 and analysis per rain post shows a weak correlation namely 0.31, which means that data IMERG is not yet accurate as an alternative to the observation rainfall data in Bali Province.
Key words: Spatial pattern, rainfall, GPM IMERG, Observation data, SOI.
Hujan merupakan salah satu unsur iklim yang sering dikaji di Indonesia karena memiliki tingkat keragaman yang sangat tinggi baik secara temporal maupun spasial. Terjadinya penurunan jumlah curah hujan pada saat musim hujan dan musim kemarau serta terjadinya pergeseran awal musim tidak terlepas dari dampak fenomena anomali iklim El Nino Souterm Osilation (ENSO) di bagian timur Samudera Pasifik, yaitu El Nino [1,2].
Dampak potensial pengaruh dampak El Nino adalah bencana kekeringan. Sektor yang akan menerima dampak perubahan iklim serius ini adalah sektor pertanian dan kehutanan. [3]. Maka dari itu diperlukan observasi dan prediksi pola curah hujan yang memadai untuk memantau perubahan iklim yang terjadi.
Prediksi curah hujan dengan penakar hujan Observatorium cukup sulit dilakukan karena keragamannya sangat tinggi dan banyaknya permasalahan data, seperti minimnya ketersediaan data, data tidak lengkap/kosong, jumlah stasiun kurang tersebar, kekurangan tenaga pengamat, sistem pengamatan dan pemasukan data masih manual, serta pengumpulan data berjalan lambat mempengaruhi kelengkapan serta akurasi data curah hujan observasi. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dapat digunakan satelit GPM (Global Precipitation Measurement) yang memiliki resolusi spasial dan temporal tinggi, cakupan wilayah luas, data near real-time, akses cepat, dan ekonomis [4]. Satelit GPM juga menyediakan data hujan dengan sebaran yang lebih baik dan dengan waktu yang kontinu [5]. Keberadaan data yang memiliki resolusi spasial dan temporal yang baik dapat memberikan pemahaman secara kuantitatif tentang hubungan curah hujan di Provinsi Bali dengan kondisi iklim pada skala yang lebih luas.
Data Integrated Multi-Satellite Retrievals for GMP (IMERG) merupakan salah satu data satelit GPM yang dirancang khusus untuk mengukur curah hujan di daerah tropis dan subtropis. Data IMERG memberikan informasi tentang ketinggian atmosfer dimana pemanasan dan pendinginan yang terkait dengan hujan yang sedang berlangsung. Sebagai satelit yang mengorbit bumi, data IMERG memberikan laporan bulanan curah hujan total yang jatuh di suatu daerah. IMERG mempunyai resolusi spasial 0,1° x 0,1° dan resolusi temporal 30 menit dengan cakupan 60°LU – 60°LS [6, 7].
Tujuan penelitian ini adalah melakukan perbandingan pola spasial serta validasi data curah hujan IMERG terhadap data observasi pada periode El Nino 2015 yaitu Mei- Desember 2015.
Hujan merupakan jatuhan berupa partikel-partikel air (hydrometeor) dengan diameter 0,5 mm atau lebih [8]. Pengukuran curah hujan di Indonesia dinyatakan dalam satuan millimeter (mm). Intensitas hujan adalah banyaknya curah hujan persatuan jangka waktu tertentu. Apabila dikatakan intensitasnya besar berarti hujan lebat dan kondisi ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan banjir, longsor dan efek negatif terhadap tanaman [9]. Pencatatan curah hujan dilakukan dengan alat pengukur hujan (rain gauge) baik secara manual maupun otomatis. Alat manual pengukur volume curah hujan dalam kurun waktu 24 jam yang paling umum digunakan dikenal dengan alat pengukur hujan tipe Observatorium, sedangkan alat pengukur otomatis dikenal dengan tipe Hilmann [10].
-
2.2 Data IMRG
GPM (Global Precipitation Measurement) merupakan jaringan satelit internasional yang menyediakan pengamatan hujan dan salju secara global. Satelit GPM diprakarsai oleh NASA (National Aeronautics and Space Administration) dan JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency) sebagai pengganti Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) yang diluncurkan pada 27 Februari 2014 [6]. Data IMERG merupakan produk satelit GPM, IMERG menyediakan cakupan garis Lintang, yaitu 60° LU – 60°LS, yang mana garis Lintang atas dan bawah dapat meluas hingga 90°. IMERG memperkirakan curah hujan dengan menggabungkan data dari semua instrumen gelombang mikro pasif dalam konstelasi GPM. Algoritma ini dimaksudkan untuk melakukan interkalibrasi, penggabungan, dan interpolasi perkiraan estimasi microwave bersama dengan perkiraan satelit inframerah (IR). Komunitas hidrometeorologi telah memanfaatkan GPM, khususnya IMERG yang menawarkan perkiraan curah hujan global dengan resolusi spasial temporal 0,1° x 0,1° setiap 30 menit. Produk IMERG tersedia dalam tiga versi yaitu Pra, Pasca dan Akhir (IMERG-Early, IMERG-Late, dan IMERG-Final) [7].
-
2.3 El Nino
Salah satu anomali iklim yang berskala global yang sering berhubungan dengan cuaca ekstrim di Indonesia adalah El Nino [11]. El Nino juga sering disebut sebagai peristiwa yang tidak normal berupa pemanasan permukaan air laut di laut Pasifik Tropis bagian timur. Permukaan laut yang lebih panas mengindikasikan mekanisme awal dari El Nino dimana tekanan permukaan diatasnya menjadi lebih rendah. Saat suhu laut tropis bagian timur memanas, laut tropis bagian barat akan menjadi lebih dingin sehingga tekanan udara permukaan diatasnya menjadi lebih tinggi [12]. Perbedaan tekanan udara yang cukup besar ataupun peningkatan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik Ekuator yang tinggi menyebabkan massa udara di Indonesia cenderung bergerak ke arah Samudera Pasifik sekitar ekuator yang memiliki tekanan udara lebih rendah. Hal ini akan berdampak pada pengurangan terbentuknya awan di wilayah Indonesia, sehingga secara otomatis juga akan mengurangi jumlah curah hujan yang turun di sebagian besar wilayah Indonesia. Dampak berkurangnya jumlah intensitas curah hujan dapat menyebabkan kekeringan dan musim kemarau berkepanjangan serta mundurnya awal dari musim hujan apabila dibandingkan dengan kondisi normal.
Data curah hujan yang dianalisis berasal dari 12 titik pos hujan yang tersebar diseluruh wilayah Provinsi Bali, seperti disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta pos hujan penelitian.
Data curah hujan yang dianalisis, baik data observasi maupun data satelit adalah data curah hujan bulanan, pada bulan Mei – Desember periode tahun 2005 – 2015. Data curah hujan observasi diperoleh dari BMKG Kelas II Negara, Jembrana, Bali dan data curah hujan bulanan selama 10 tahun produk satelit GPM IMERG Final Precipitation, diunduh dari situs https://disc.gsfc.nasa.gov [7].
Data satelit diolah menggunakan ArcGis 10.5 dan nilai curah hujan bulanan diperoleh dengan memasukkan koordinat pos. Kedua data dianalisis dengan menggunakan analisis statistik, yaitu: a) Anomali Curah Hujan
Untuk mengetahui persentase anomali curah hujan digunakan persamaan (1) [13].
Anomali curah hujan = X-X (1)
Dimana X adalah curah hujan pada bulan yang dianalisis dan = rata-rata curah hujan pada bulan yang dianalisis selama masa 10 tahun.
-
b) Korelasi
Korelasi Pearson digunakan untuk mengukur kekuatan dan arah hubungan linier dari dua variabel. Dua variabel dikatakan berkorelasi apabila perubahan salah satu variabel disertai dengan perubahan variabel lainnya, baik dalam arah yang sama ataupun arah sebaliknya. Analisis korelasi ini dilakukan untuk menentukan kaitan antara data dari satelit IMERG dan data curah hujan bulanan dari lapangan
(observasi). Rumus untuk menghitung korelasi Pearson dinyatakan pada persamaan (2) dan kriteria untuk interpretasi nilai korelasi (r) ditampilkan pada Tabel 1 [14].
r
xy
n ∑ xiyi -∑ χi ∑ yi
(2)
(n ∑ χl2-(∑ χi)2 Γ∑ y,2-(∑ y, )2)
Dimana rxy koefisien korelasi antara data satelit dan data observasi, xi data observasi ke i, yi adalah data satelit ke i dan n adalah jumlah pos hujan.
Tabel 1. Nilai koefisien korelasi dan tingkat korelasi [14].
No. |
Nilai rxy Tingkat Korelasi |
1 2 3 4 5 |
0,000 – 0,199 Sangat lemah 0,200 – 0,399 lemah 0,400 – 0,599 Cukup kuat 0,600 – 0,799 Kuat 0,800 – 1,000 Sangat kuat |
-
c) Nilai Akar Rata-rata Kuadrat Kesalahan/Root Mean Square Error (RMSE)
RMSE merupakan metode alternatif untuk mengevaluasi teknik peramalan dalam mengukur tingkat akurasi hasil prakiraan suatu model. Analisis RMSE dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui tingkat kesalahan/penyimpangan korelasi antara curah hujan dari data satelit IMERG dengan data observasi pos hujan. Rumus RMSE dinyatakan pada persamaan (3).
RMSE =
n
/ 4i=1 xsat
i Xobs
(3)
Dimana xobs_i adalah data observasi pada periode ke-i dengan i = 1, 2,..., n. xsat_i adalah data satelit pada periode ke-i dengan i =1, 2, …, n.
Untuk melihat pola sebaran anomali curah hujan antara data IMERG dan observasi dilakukan perbandingan anomali curah hujan secara spasial. Hasil yang diperoleh untuk pola sebaran spasial anomali curah hujan antara data IMERG dan observasi pada bulan-bulan El Nino 2015, yaitu bulan Mei hingga Desember 2015 ditampilkan pada gambar berikut.
(a)
(b)
Gambar 2. Pola spasial sebaran anomali curah hujan: a) data IMERG dan b) data observasi pada Mei 2015.
Berdasarkan peta perbadingan pola spasial curah hujan antara data IMERG dan data observasi seperti yang ditampilkan pada Gambar 2 terlihat bahwa anomali curah hujan antara data IMERG dan data observasi pada bulan Mei memiliki perbedaan yang signifikan pada Kabupaten Jembrana, Buleleng dan
Bangli. Pola penyebaran anomali curah hujan data IMERG berkisar 0 mm sampai -50 mm yang berarti bahwa seluruh daerah Provinsi Bali mengalami penurunan curah hujan. Sedangkan pola sebaran anomali curah hujan dengan data observasi menunjukkan bahwa kekeringan atau penurunan curah hujan terjadi pada Bali bagian utara yaitu Kabupeten Buleleng dan Bangli.
Pada Gambar 3 pola penyebaran anomali curah antara data IMERG dan observasi pada bulan Juni menunjukkan terjadinya penurunan curah hujan yang lebih besar dibanding dengan penurunan curah hujan di bulan Mei. Berdasarkan perbandingan pola spasial kedua data menunjukkan bahwa penurunan curah hujan lebih besar pada Bali bagian timur yaitu Kabupaten Bangli, Karang Asem, Gianyar dan Badung.
a)
b)
Gambar 3. Pola spasial sebaran anomali curah hujan: a) data IMERG dan b) data observasi pada Juni 2015.
a)
b)
Gambar 4. Pola spasial sebaran anomali curah hujan: a) data IMERG dan b) data observasi pada Juli 2015.
Untuk bulan Juli 2015 seperti telihat pada Gambar 4, pola penyebaran anomali curah hujan antara data IMERG dan data observasi menunjukkan bahwa seluruh daerah Provinsi Bali mengalami penurunan jumlah curah hujan. Pola sebaran anomali curah hujan antara data IMERG dan data observasi menunjukkan pola sebaran yang cukup seragam kecuali pada Kabupaten Bangli dan Karangasem dimana pada dua kabupaten tersebut data observasi menunjukkan curah hujan yang lebih tinggi. Berdasarkan Gambar 5 pola sebaran anomali curah hujan bulan Agustus 2015 antara data IMERG dan data observasi menunjukkan pola yang sebaran anomali curah hujan yang cukup seragam, dimana sebagian besar pola sebaran anomali curah hujan antara data IMERG dan data observasi memiliki rentang yang sama yaitu 0 mm sampai -25 mm.
Pada bulan September 2015 (Gambar 6) perbandingan pola sebaran anomali curah hujan antara data IMERG dan data observasi menunjukkan bahwa data observasi menunjukkan penurunan curah hujan yang lebih besar dibandingkan data IMERG pada beberapa kabupaten yaitu Kabupaten Tabanan dan Kabupaten Badung. Kisaran anomali curah hujan berdasarkan data IMERG yaitu berkisar -50 mm
sampai -20 mm, sedangkan berdasarkan data observasi menunjukkan kisaran anomali -100 mm sampai 0
mm.
a)
b)
Gambar 5. Pola spasial sebaran anomali curah hujan: a) data IMERG dan b) data observasi pada Agustus 2015.
a)
b)
Gambar 6. Pola spasial sebaran anomali curah hujan: a) data IMERG dan b) data observasi pada September 2015.
Untuk bulan Oktober 2015 (Gambar 7) pola penyebaran anomali curah hujan berdasarkan data IMERG dan data observasi menggambarkan terjadi penurunan curah hujan pada seluruh daerah Bali, namun pola sebaran anomali curah hujan data observasi menunjukkan penurunan curah hujan yang lebih besar dibandingkan data IMERG. Dimana data observasi menunjukkan bahwa sebagian besar Provinsi Bali memiliki kisaran anomali curah hujan dari <-100 mm sampai -75 mm. Sedangkan pola sebaran anomali curah hujan data IMERG menunjukkan anomali curah hujan dengan rentang -100 mm sampai -50 mm.
a)
b)
Gambar 7. Pola spasial sebaran anomali curah hujan: a) data IMERG dan b) data observasi pada Oktober 2015.
a)
b)
Gambar 8. Pola spasial sebaran anomali curah hujan: a) data IMERG dan b) data observasi pada November 2015.
Untuk bulan November 2015 (Gambar 8), pola sebaran anomali curah hujan menunjukkan bahwa anomali curah hujan data observasi lebih rendah dibanding anomali curah hujan data IMERG pada tiga kabupaten yaitu Tabanan, Badung dan Bangli. Namun pada Kabupaten Klungkung yaitu Nusa Penida menunjukkan terjadinya peningkatan curah hujan, sedangkan pada data IMERG menunjukkan terjadinya penurunan curah hujan.
a)
b)
Gambar 9. Pola spasial sebaran anomali curah hujan: a) data IMERG dan b) data observasi pada Desember 2015.
Untuk bulan Desember 2015 (Gambar 9) pola sebaran anomali curah hujan antara data IMERG dan data observasi menunjukkan perbedaan yang cukup besar, dimana data IMERG menujukkan pola sebaran anomali curah hujan dengan <-100 mm pada seluruh wilayah Bali sedangkan pola sebaran anomali curah hujan data observasi menunjukkan bahwa Kabupaten Jembarana, Buleleng dan Klungkung dimana sebaran anomali pada daerah tersebut adalah 0-75 mm yang berarti mengalami peningkatan curah hujan.
Berdasarkan perbandingan pola spasial data IMERG terhadap data observasi, terlihat bawa data IMERG menunjukkan pola yang sama dengan data observasi dimana pola spasial kedua data menunjukkan anomali negatif/penurunan curah hujan diawali dari bulan Mei hingga Juli, mengalami peningkatan curah hujan di bulan Agustus, dan kembali mengalami penurunan curah hujan dibulan September hingga Desember. Namun data IMERG cenderung memiliki nilai curah hujan yang lebih besar dari data observasi
Pada Tabel 2 juga dihitung koefisien korelasi dan Root Mean Square Error (RMSE) anomali curah hujan dari data IMERG dan data observasi Mei-Desember 2015. Koefisien korelasi dihitung menggunakan persamaan (2) sedangkan RMSE dihitung menggunakan persamaan (3). Hasil perhitungan korelasi dan RMSE pada setiap bulannya ditampilkan pada Tabel 2 dan analisa perpos hujan ditampilkan pada Tabel 3.
Berdasarkan analisis korelasi perbulan, data IMERG terhadap data observasi menunjukkan bahwa hubungan data anomali curah hujan IMERG dan data anomali curah hujan observasi memiliki korelasi positif, dimana nilai korelasi terkuat pada bulan Juni dengan r=0,79, sedangkan terendah pada bulan November
dengan r=0,01 dan nilai rata-rata korelasi berdasarkan analisis perbulan menunjukkan korelasi cukup kuat yaitu 0.42. Anomali curah hujan dari data observasi cenderung lebih besar dari pada anomali data IMERG dan nilai RMSE bulan Mei hingga Desember bervariasi dari terendah 15,87 mm pada bulan Agustus sampai tertinggi 127,47 mm pada bulan Desember 2015.
Tabel 2. Nilai koefisien korelasi (r) dan RMSE perbulan. | ||
Bulan |
Korelasi (r) |
Root Maen Aquare Error (RMSE) |
Mei 2015 |
0,211 |
58,353 |
Juni 2015 |
0,793 |
35,483 |
Juli 2015 |
0,491 |
22,509 |
Agustus 2015 |
0,391 |
15,872 |
September 2015 |
0,394 |
35,323 |
Oktober 2015 |
0,734 |
58,747 |
November 2015 |
0,009 |
53,332 |
Desember 2015 |
0,296 |
127,47 |
Rata-rata |
0,415 |
50,887 |
Tabel 3. Nilai koefisien korelasi (r) pada ke-12 pos hujan. | ||
Pos Hujan |
Korelasi | |
Palasari |
0,503 | |
Patas |
0,052 | |
Busungbiu |
-0,332 | |
Abiansemal |
0,706 | |
Bajera |
0,885 | |
Pulukan |
0,471 | |
Catur |
0,680 | |
Kubutambahan |
-0,506 | |
Kubu |
0,731 | |
Ulakan |
-0,023 | |
Ngurah Rai |
0,935 | |
Prapat |
-0,335 | |
Rata-rata |
0,314 |
Sedangkan berdasarkan analisis korelasi per pos hujan menunjukkan bahwa pos hujan yang memiliki tingkat korelasi terkuat adalah pos hujan Ngurah Rai dengan koefisien korelasi 0,94 dan pos hujan yang memiliki korelasi terendah yaitu Kubutambahan dengan nilai korelasi yaitu -0,51. Nilai rata-rata korelasi berdasarkan analisis perpos hujan pada 12 pos hujan menunjukkan korelasi lemah yaitu 0,31.
Tabel 4. Korelasi curah hujan observasi terhadap SOI.
Pos Hujan |
Korelasi |
Palasari |
0,519 |
Patas |
0,405 |
Busungbiu |
0,780 |
Abiansemal |
0,909 |
Bajera |
0,592 |
Pulukan |
0,553 |
Catur |
0,586 |
Kubutambahan |
0,386 |
Kubu |
0,345 |
Ulakan |
0,656 |
Ngurah Rai |
0,495 |
Prapat |
0,422 |
Rata-rata |
0,554 |
Untuk mengetahui apakah kekeringan Mei hingga Desember 2015 adalah dampak El Nino maka dilakukan uji statistik dengan menghitung koefisien korelasi antara data curah hujan observasi dengan data SOI (Southern-Oscilation Indeks) pada tahun 2015, hasilnya disajikan pada Tabel 4. Adapun faktor yang dapat mempengaruhi selisih data antara satelit GPM IMERG dan observasi selain faktor meteorologi dapat disebabkan oleh keterbatasan satelit dimana pengukuran curah hujan melalui satelit tidak dapat mencapai keadaan ekstrim seperti yang terukur di permukaan. Hal ini disebabkan pengukuran curah hujan secara pengindraan jauh dilakukan tidak secara langsung terhadap air hujan yang terukur alat penakar hujan seperti dipermukaan tapi menggunakan suatu gelombang yang dikonversi ke dalam satuan curah hujan. Sementara penggunaan model numerik untuk estimasi curah hujan di daerah tropis seperti di Indonesia memiliki tingkat keakuratan yang masih berada di bawah hasil pengukuran. Keadaan tersebut salah satunya dapat disebabkan oleh skema parametrisasi yang diterapkan masih kurang optimal untuk wilayah tropis, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa nilai yang diperoleh pada alat penakar hujan lebih besar dibandingkan nilai yang diperoleh oleh satelit. Pada kajian ini analisis dibatasi faktor skala global yaitu El Nino yang dideteksi dengan indeks SOI.
Jadi faktor yang menyebabkan tingginya anomali curah hujan selama Mei hingga Desember adalah karena adanya fenomena anomali iklim di sekitar Indonesia yaitu dampak adanya fenomena ENSO berupa kejadian El Nino intensitas kuat yang teridentifikasi dari indeks SOI dan didukung juga dengan hasil analisis korelasi indeks SOI dengan data curah hujan observasi Mei hingga Desember 2015 yang menunjukkan nilai korelasi cukup kuat yaitu 0,55.
Berdasarkan hasil dan pembahasan, kekeringan yang terjadi pada Mei-Desember 2015 merupakan akibat dari fenomena El Nino 2015. Analisis korelasi hujan curah hujan data IMERG terhadap data observasi Mei-Desember 2015 pada 12 pos hujan di Provinsi Bali menunjukkan nilai korelasi lemah. analisis perbulan curah hujan data IMERG terhadap data observasi menunjukkan rata-rata-korelasi cukup kuat yaitu 0,42 dan berdasarkan analisis per pos hujan menunjukkan rata-rata korelasi lemah yaitu 0,31 dan berdasarkan perbandingan pola spasial curah hujan data IMERG terhadap data observasi menunjukkan pola yang tidak seragam dan nilai curah hujan data IMERG cenderung lebih besar dari data observasi sehingga dapat disimpulkan bahwa data curah hujan IMERG belum akurat sebagai alternatif pengganti data curah hujan observasi di Provinsi Bali.
Ucapan Terima Kasih
Penulis berterimakasih kepada Kepala Staklim BMKG Negara dan seluruh staff Staklim BMKG Negara karena telah memberi kesempatan untuk melakukan penelitian dan kepada Bapak dosen di Program Studi Fisika, FMIPA, Universitas Udayana atas bimbingan yang telah diberikan.
Pustaka
-
[1] G. Irianto, Implikasi Penyimpangan Iklim Terhadap Tataguna Lahan, Jurnal Jurusan Ilmu Tanah UGM, 2003, pp. 1-13.
-
[2] S. Philander, El Niño, La Niña, and The Southern Oscillation, vol. 46, 1st ed. New York: Academic Press, 2003.
-
[3] O. Setiawan, Analisis Variabilitas Curah Hujan dan Suhu di Bali, Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, vol. 9, no. 1, 2012, pp. 66-79.
-
[4] H. Feidas, Validation of Satellite Rainfall Products Over Greece, Theoretical and Applied Climatology Journal, vol. 99, 2010, pp. 193–216.
-
[5] P. Xie, A. Yatagai, et al., A Gauge-Based Analysis of Daily Precipitation over East Asia, Hydrometeor Journal, vol. 8, 2007, pp. 607–626.
-
[6] G. J. Huffman, R.F. Adler, D.T. Bolvin, et al., The TRMM Multi-satellite Precipitation Analysis: Quasi-Global, Multi-Year, Combined-Sensor Precipitation Estimates at Fine Scale, Hydrometeor Journal, vol. 8 (1), 2019, pp. 38-55.
-
[7] ppm.nasa.gov [home page in internet] NASA: National Aeronautics and Space Administration Available from https://disc.sci.gsfc.nasa.gov/datasets/GPM_3IMERGM_06/summary?keywords= IMERG [Cited 2020 February 26].
-
[8] F.F. Rey, S. H. J. Tongkukut, dkk, Analisis Spasial Pengaruh Dinamika Suhu Muka Laut Terhadap Distribusi Curah Hujan di Sulawesi Utara, Jurnal MIPA Unsrat, vol. 3, no. 1, 2014, pp. 25-29.
-
[9] S. Maulidani, N. Ihsan, dkk, Analisis pola dan Intensitas Curah Hujan Berdasarkan Data Obsevasi dan Satelite Tropical Rainfall Measuring Missions (TRMM) 3B42 V7 di Makassar, Jurnal Fisika UNM, vol. 11, no. 1, 2014, pp. 98-103.
-
[10] E. Aldrian, Simulations of Indonesia rainfall with Hierarchy of Climate Models, Ph.D. dissertation, Max-Planck-Institut Fur Meteorologie, Hamburg, 2003.
-
[11] A. Sayakur, A. Rahman, Identifikasi Hubungan Fluktuasi Nilai SOI Terhadap Curah Hujan Bulanan di Kawasan Batukaru-Bedugul, Bali, Jurnal Bumi Lestari, vol. 7, no. 2, 2007, pp. 123-129.
-
[12] J. Tongkukut, S. Herlina, El-Nino dan Pengaruhnya Terhadap Curah Hujan Di Manado Sulawesi Utara, Jurnal Ilmiah Sains, Vol. 11, no. 1, 2011, pp. 102-108.
-
[13] A. Fadholi, Studi Dampak El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) terhadap Curah Hujan di Pangkal Pinang, Jurnal Ilmu Lingkungan, vol. 11, no. 1, 2013, pp. 43-50.
-
[14] Akdon, Riduwan, Rumus dan Data Dalam Analisis Statistika, Penerbit Alfabeta, 2005.
76
Discussion and feedback