PENGARUH ENSO TERHADAP VARIABILITAS IKLIM DI SULAWESI DENGAN MENGGUNAKAN METODE TRANSFORMASI WAVELET
on
Pengaruh Enso Terhadap Variabilitas Iklim
(Ni Luh Gede Suryaningsih,dkk)
PENGARUH ENSO TERHADAP VARIABILITAS IKLIM DI SULAWESI DENGAN MENGGUNAKAN METODE TRANSFORMASI WAVELET
Ni Luh Gede Desy Suryaningsih1, I Ketut Sukarasa1, Ida Bagus Alit Paramarta1, I Gede Hendrawan1
Wilayah Indonesia berada pada 6°LU-11°LS dan 95°BT-141°BT. Wilayah Indonesia dilalui oleh salah satu arus yang dikenal dengan Arus Lintas Indonesia (Arlindo). Arlindo adalah suatu sistem di perairan Indonesia di mana terjadi lintasan arus yang membawa massa air dari Samudera pasifik ke Samudera Hindia. Massa air Pasifik masuk ke kepulauan Indonesia melalui dua jalur utama, yaitu: (1) Jalur barat dimana massa air masuk melalui Laut Sulawesi dan Selat Makasar. Sebagian massa air akan mengalir melalui Selat Lombok dan berakhir di Lautan Hindia sedangkan sebagian lagi dibelokan ke arah timur terus ke Laut Flores hingga Laut Banda dan kemudian keluar ke Lautan Hindia melalui Laut Timor, (2) Jalur timur dimana massa air masuk melalui Laut Halmahera dan Laut Maluku terus ke Laut Banda. Dari Laut Banda massa air akan mengalir mengikuti rute utara Pulau Timor melalui Selat Ombai, masuk ke Laut Sawu dan Selat Rote, sedangkan rute selatan Pulau Timor melalui Selat Timor, antara Pulau Rote dan paparan benua Australia[1]. Wilayah Indonesia memiliki dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau. Namun, karena wilayahnya yang luas, letak geografisnya yang berbeda-beda, dan daerahnya yang berada di garis khatulistiwa maka sering terjadi perbedaan atau penyimpangan musim. Penyimpangan musim disebabkan oleh fenomena alam yakni ENSO. Fenomena ENSO dapat dideteksi dengan menggunakan dua indikator yakni anomali suhu permukaan laut dan SOI. Faktor oceanografi yang mempengaruhi ENSO adalah SPL. Perubahan suhu permukaan laut dapat menyebabkan perubahan iklim. Perubahan iklim yang tidak menentu akhir-akhir inilah sehingga dilakukan penelitian mengenai pengaruh ENSO terhadap variabilitas iklim di daerah Sulawesi. Daerah
Sulawesi dipilih karena daerah Sulawesi berada diantara dua jalur utama yakni Selat Makasar dan Laut Maluku.
Fenomena ENSO merupakan fenomena alam yang terjadi secara bersamaan antara fenomena di laut El-Nino dan di atmosfer Osilasi Selatan (Southern Oscillation). El-Nino adalah suatu fenomena alam yang terjadi di laut ditandai dengan memanasnya suhu permukaan laut di Pasifik Tengah atau anomali suhu permukaan laut di daerah tersebut positif (lebih panas dari rata-rata). Dalam hal ini Nilai anomali SPL yang digunakan yakni di kawasan Nino 3.4 karena mempunyai hubungan yang cukup erat dengan tingkat kekeringan di wilayah Indonesia. Osilasi Selatan pada dasarnya adalah peristiwa atmosfer berskala besar yang didefinisikan sebagai fluktuasi tekanan udara di atas Samudera Pasifik dan Samudera Hindia[2]. Fase El-Nino terjadi apabila nilai anomali suhu permukaan laut mencapai di atas +1ºC atau diatas +0.5ºC sedangkan pada SOI fase El-Nino terjadi apabila SOI bernilai negatif.
Transformasi wavelet dapat digunakan untuk menganalisis time series yang mengandung daya nonstasioner pada frekuensi yang berbeda[3]. Dalam analisis transformasi Wavelet dilakukan pemilihan fungsi wavelet. Dalam penelitian ini digunakan wavelet Morlet karena wavelet Morlet lebih baik dalam melokalisasi waktu dan frekuensi[4]. Transformasi Wavelet kontinyu dari urutan diskrit yang didefinisikan sebagai konvolusi dari yang diskalakan dan ditranslasikan dari ψ0(η) adalah :
Wn (s)
N-I
= ^ ^√Ψ* n'=O
(n' — n)δi s
(2.1)
tanda (*) menunjukkan conjugate kompleks. Dengan menvariasikan skala wavelet s dan mentranslasi sepanjang indeks waktu dilokalisasi n, sehingga dapat membangun gambar yang menunjukan amplitudo berlawanan terhadap skala dan amplitudo bervariasi terhadap waktu.
Untuk mendekati transformasi wavelet kontinyu, konvolusi persamaan (2.1) harus dilakukan N kali untuk setiap skala, dimana N merupakan jumlah titik dalam time series[5]. Dengan memilih titik N, teorema konvolusi secara bersamaan di dalam ruang Fourier menggunakan Diskrit Fourier Transform (DFT). DFT dari adalah
Xk
N-I
= ^∑x^ “ 2 (2-2)
n=0
dimana k = 0 ... N-1 adalah indeks frekuensi. Dalam limit kontinyu, Transformasi Fourier dari suatu fungsi ψ (t/s) diberikan oleh Ψ (s ω). Dengan teorema konvolusi, transformasi wavelet merupakan inverse tranformasi Fourier dari produk:
Wn (s) =
∑^xkΨ*(sωk)eiω"nδt (2.3)
dimana J¾1(s) merupakan Transformasi Wavelet, Transformasi Fourier diberikan oleh Ψ(sω). Dimana k adalah indeks frekuensi = 0 ... N-1. s adalah skala wavelet. adalah spasi waktu. Dimana frekuensi sudut didefinisikan

dengan:
2πk
^Nδi
2πk
Nδt
N
^≤ 2
N :k >2
(2.4)
Pada penelitian ini menggunakan data SPL dari satelit MODIS level 3 yang bersumber dari data Ocean Color (http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/), data SLP dari CPC (http://www.cpc.ncep.noaa.gov/), dan data curah hujan dari satelit TRMM (http://trmm.gsfc.nasa.gov/). Data yang dgunakan adalah data dari tahun 2003 sampai tahun 2011. Pengolahan data dilakukan dengan menghitung nilai anomali SPL Nino 3.4, nilai SOI, dan anomali intensitas hujan di daerah Sulawesi. Fenomena ENSO merupakan fenomena interannual (perulanganya lebih dari satu tahun), sehingga dalam penelitian ini dilakukan filtrasi data 12 bulan yang bertujuan untuk menghilangkan efek musiman. Data selanjutnya dianalisis dengan menggunakan transformasi Fourier. Analisis transformasi Fourier dilakukan untuk melihat periode tertinggi dari anomali SPL Nino 3.4, SOI, dan curah hujan di daerah Sulawesi. Dari data yang telah difilter kemudian dilakukan analisis data dengan menggunakan transformasi Wavelet. Pada transformasi Wavelet diperoleh power spectrum (ps) dari anomali SPL Nino 3.4, SOI, dan anomali intensitas hujan di daerah Sulawesi. Kemudian dilakukan korelasi antara ps indikator ENSO dengan ps anomali intensitas hujan di daerah Sulawesi untuk melihat periode pengaruh fenomena ENSO.
Daerah Nino 3.4 berada di 5°N - 5°S dan 170°W - 120°W. Grafik anomali SPL Nino 3.4 dapat dilihat pada Gambar 4.1. Fenomena El-Nino kuat terjadi pada akhir tahun 2009 hingga awal 2010. Fenomena El-Nino sedang terjadi pada akhir tahun 2006. Fenomena El-Nino lemah terjadi di awal tahun 2003, akhir tahun 2003, serta akhir
tahun 2004. Dari data yang telah difilter diperoleh fenomena El-Nino kuat terjadi pada tahun 2009 hingga awal tahun 2010. Fenomena El-Nino lemah terjadi pada tahun 2006 hingga awal 2007. Fenomena El-Nino lemah juga terjadi pada akhir tahun 2004 hingga awal tahun 2005.
Nilai SOI ini mengacu pada perbedaan tekanan atmosfer antara Tahiti (di Timur Pasifik bagian ekuator) dan Darwin (di pantai utara Australia). Grafik nilai SOI dapat dilihat pada Gambar 4.2. Fenomena El-Nino terjadi pada tahun 2003 hingga tahun 2005, tahun
2006 dan akhir tahun 2009 hingga awal tahun 2010. Pada hasil filter dapat dilihat fenomena El-Nino yang tinggi terjadi pada pertengahan tahun 2009 hingga awal tahun 2010, tahun 2006 hingga awal 2007 dan pada tahun 2003 hingga pertengahan tahun 2005.
Anomali curah hujan di daerah Sulawesi dapat dilihat pada Gambar 4.3. Pada gambar tersebut anomali intensitas hujan tertinggi terjadi pada tahun 2006, 2008 dan 2010. Hasil filtrasi data dapat dilihat anomali intensitas hujan tertinggi terjadi pada tahun 2010.


Gambar 4.2 Grafik nilai SOI

Gambar 4.3 Grafik anomali intensitas hujan di daerah Sulawesi
Hasil Transformasi Fourier dapat dilihat pada Gambar 4.4. Pada analisis transformasi Fourier periode tertinggi dari SOI yakni 35,667 bulan atau hampir 3 tahun, sedangkan pada SPL Nino 3.4 dan curah hujan di daerah Sulawesi periode tertingginya 11,889 atau hampir 1 tahun.
Hasil analisis transformsi Wavelet dapat dilihat pada Gambar 4.5. Power spectrum (ps) yang berada dalam Cone of Influence (COI) menunjukkan data yang digunakan. Contour yang dibatasi garis tebal memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi dari 95% convidence level. Pada ps anomali SPL Nino 3.4 garis paling tebal menunjukkan periode 1-2 tahun yang terjadi pada pertengahan tahun 2007 sampai pertengahan tahun 2010. Pada ps SOI menunjukkan periode 1-3 tahun yang terjadi pada akhir tahun 2006 sampai awal 2010.
Pada ps curah hujan Sulawesi menunjukkan periode 1-2 tahun yang terjadi pada tahun 2006 sampai tahun 2010.
-
4.6 Korelasi ps Indikator ENSO dengan ps Anomali Intensitas Hujan di Daerah Sulawesi Korelasi ps indikator ENSO dengan ps anomali intensitas hujan di daerah Sulawesi dapat dilihat pada Gambar 4.6. Garis putus-putus pada Gambar 4.6 merupakan garis convidence level pada saat convidence level 95%. Nilai korelasi diatas garis convidence level merupakan nilai signifikan untuk menganalisis periode. Hasil korelasi ps anomali SPL Nino 3.4 terhadap ps anomali hujan Sulawesi terjadi korelasi positif yang signifikan pada periode 1,5-1,6 tahun dan 2,24,5 tahun sedangkan pada korelasi ps SOI terhadap ps anomali hujan Sulawesi terjadi korelasi positif yang signifikan pada periode 1,5-1,6 tahun dan 2,2-4,6 tahun.
1000
0
0
Period = 35.6667
900
800
700
600
500
400
300
200
100
20
100
(a)
40 60 80
Period (bulan/siklus)
1500
0
20
100
120
(b)
40 60 80
Period (bulan/siklus)
120
(c)
Gambar 4.4 Grafik transformasi Fourier (a) SOI (b) anomali SPL Nino 3.4 (c) anomali intensitas hujan di daerah Sulawesi
(b) ps SOI
(c) ps curah hujan di daerah Sulawesi
Gambar 4.5 Power spectrum (a) anomali SPL Nino 3.4 (b) SOI dan (c) curah hujan di daerah Sulawesi.
(a) ps anomali SPL Nino 3.4 dengan ps anomali intensitas hujan Sulwesi
(b) ps SOI dengan ps anomali intensitas hujan Sulawesi
Gambar 4.6 Korelasi (a) ps anomali SPL Nino 3.4 dengan ps anomali intensitas hujan Sulwesi (b) ps SOI dengan ps anomali intensitas hujan Sulawesi
Terjadinya fenomena ENSO memberikan dampak pada variabilitas iklim berupa curah hujan yang tinggi di daerah Sulawesi pada tahun 2010. Hasil korelasi ps indikator ENSO terhadap ps anomali intensitas hujan di daerah Sulawesi terjadi korelasi positif yang signifikan. Korelasi pada ps anomali SPL Nino 3.4 terhadap ps anomali hujan Sulawesi terjadi korelasi positif yang signifikan pada periode 1,5-1,6 tahun dan 2,2-4,5 tahun sedangkan pada korelasi ps SOI terhadap ps anomali hujan Sulawesi terjadi korelasi positif yang signifikan pada periode 1,5-1,6 tahun dan 2,2-4,6 tahun.
Pada penelitian ini, data yang digunakan yakni selama 9 tahun. Dalam menganalisis fenomena ENSO untuk melihat periode perulangannya dengan jangka waktu yang lama diperlukan data puluhan tahun mengingat, fenomena ENSO merupakan
fenomena interannual yakni perulangannya lebih dari satu tahun.
DAFTAR PUSTAKA
-
[1] Gordon, A.L.; R. A. Fine. 1996. Pathways of water between the Pacific and Indian Oceans in the Indonesian seas (1996). Nature Journal
-
[2] Walker, A. J. 1928. World Weather. Monthly Weather Review, v. 56, p. 167170
-
[3] Daubechies, I. 1990. The wavelet transform time-frequency localization and signal analysis. IEEE Trans. Inform. Theory, 36, 961–1004.
-
[4] Torrence C, Compo GP. 1998. A practical guide to wavelet analysis. Bull Am Meteorol Soc 79: 61– 78.
-
[5] Kaiser, G., 1994. A Friendly Guide to Wavelets. Birkhäuser. 300 pp.
24
Discussion and feedback