Buletin Fisika Vol 25 No. 1 February 2024 : 81 – 88

Studi Relasi Titik Panas Terhadap Indeks Standar Pencemaran Udara Berdasarkan Konsentrasi Karbon Monoksida di Kalimantan Barat

Study on the Relationship between Hotspots and Air Pollution Standard Index Based on Carbon Monoxide Concentration in West Kalimantan

Galuh Utamia Dillayati1, Dwiria Wahyuni1*, Riza Adriat1, Azrul Azwar1, Zulfian1

1Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat, Indonesia 78124

Email: *[email protected]; [email protected]; [email protected]. ac.id; [email protected]

Abstrak Titik panas, yang menunjukkan kebakaran aktif dan potensi sumber pencemaran udara, merupakan perhatian utama karena dampaknya terhadap kualitas udara di Kalimantan Barat. Pada penelitian ini telah dilakukan analisis mengenai relasi titik panas terhadap Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) berdasarkan parameter karbon monoksida (CO), yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kebakaran hutan dan tingkat pencemaran udara. Data yang digunakan diantaranya data rerata konsentrasi CO bulanan dan koordinat titik panas pada tahun 2017-2021. Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi CO, terlebih dahulu data konsentrasi CO diubah ke dalam ISPU kemudian dipetakan menggunakan metode interpolasi Inverse Distance Weighting (IDW). Juga diterapkan teknik tumpang susun pada peta dan perhitungan koefisien korelasi antara data ISPU terhadap data titik panas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata jumlah titik panas tahunan berada dalam rentang 769-3.612 titik dan rerata ISPU berada pada rentang 22,21-59,03. Rerata jumlah titik panas tertinggi terjadi pada tahun 2019 yaitu 3.612 titik dengan rerata ISPU tertinggi sebesar 59,03 berkategori sedang. Untuk bulanan diperoleh bahwa rerata jumlah titik panas tertinggi terdapat pada bulan Agustus dan September yaitu 8.505 dan 8.321 titik dengan rerata nilai ISPU yaitu 55,36 dan 88,32 yang berkategori sedang. Nilai koefisien korelasi rerata jumlah titik panas terhadap rerata nilai ISPU per bulan yaitu 0,91 dan per tahun adalah 0,98, yang berarti memiliki relasi sangat tinggi. Secara spasial, lokasi titik panas bergerombol memiliki nilai ISPU yang tinggi. Semakin tinggi jumlah titik panas maka semakin tinggi pula nilai ISPU berdasarkan konsentrasi CO.

Kata kunci: Titik panas; kebakaran hutan; karbon monoksida; ISPU; IDW

Abstract Hotspots, indicating active fires and potential sources of air pollution, are a major concern due to their impact on air quality in West Kalimantan. In this study, an analysis was carried out regarding the relationship of hotspots to the Air Pollution Standard Index (ISPU) based on the carbon monoxide (CO) parameter. This study aimed to determine the relationship between forest fires and air pollution levels. The data used in this study is in the form of monthly average CO concentration data and coordinates of hotspots in 2017-2021. To determine the effect of CO concentration, CO concentration was converted into ISPU and then mapped using the Inverse Distance Weighting (IDW) interpolation method. In addition, the overlay technique is also applied to the map and the correlation coefficient calculation between ISPU data and hotspot data. The study results show that the annual average number of hotspots ranges from 769 to 3,612, while the average ISPU ranges from 22.21 to 59.03. The highest average number of hotspots occurred in 2019, with 3,612 hotspots and the highest average ISPU value of 59.03, categorized as moderate. However, when examined monthly, the highest average number of hotspots is observed in August and September, with 8,505 and 8,321 hotspots, respectively, and average ISPU values of 55.36 and 88.32, categorized as moderate. Furthermore, the correlation coefficient between the average number of hotspots and the average ISPU per month is 0.91, and per year is 0.98, indicating a very high relationship. Spatially, clustered hotspot locations correspond to higher ISPU values. This implies that as the number of hotspots increases, the ISPU value based on CO concentration increases.

Keywords: Hotspot, fire forests; carbon monoxide; ISPU; IDW.

  • 1.    Pendahuluan

Kalimantan Barat dilalui oleh garis Khatulistiwa sehingga memiliki suhu udara relatif tinggi. Provinsi ini memiliki lahan gambut terluas keempat di Indonesia. Luas wilayah 147.307 km2 dengan sekitar 63,28% meliputi daerah hutan dengan luas lahan gambut mencapai 16.801,35 km2 [1-2]. Pada tahun 2019, total luas lahan kebakaran hutan di provinsi ini mencapai 1.519,19 km2 [3]. Berdasarkan kondisi tersebut, Kalimantan Barat merupakan wilayah dengan kerawanan kebakaran hutan yang tinggi di Indonesia.

Aktivitas manusia menjadi salah satu penyebab dalam kasus kebakaran hutan di Kalimantan Barat. Selain itu, kebakaran juga dapat disebabkan secara alami, seperti sambaran petir dan musim kemarau berkepanjangan akibat adanya fenomena El-Nino [4-5]. Menurut Pandapotan et. al [6], kejadian kebakaran hutan di Kalimantan berdasarkan kondisi meteorologi dipengaruhi oleh arah angin, suhu udara yang tinggi, rendahnya curah hujan dan kelembapan udara. Luasnya wilayah hutan di Kalimantan Barat mengakibatkan semakin sulit mendeteksi kejadian kebakaran hutan dan emisi karbonnya. Oleh karenanya, deteksi yang biasa dilakukan adalah interpretasi citra satelit berupa titik panas (hotspot) [7]. Salah satu karakteristik utama dari titik panas yang menandakan adanya kebakaran lahan adalah titik panas yang bergerombol, kebakaran lahan yang cukup besar tidak dapat diketahui hanya dengan memperhatikan satu titik saja, karena efek panas akan menyebar ke lingkungan sekitarnya [8].

Kebakaran hutan dapat menghasilkan gas karbon monoksida (CO) yang merupakan pencemar berbahaya. Dalam kadar tinggi dan waktu paparan yang panjang, gas CO dapat masuk ke dalam darah dan menggantikan oksigen. Pergantian ini menyebabkan turunnya kadar oksigen di dalam darah dan dalam kondisi ekstrem dapat mengakibatkan kematian [9]. Selain itu, gas CO juga dapat menjadi sumber pencemaran yang mengakibatkan penyakit lainnya seperti, Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA), asma, dan pneumonia [10-11]. Titik panas berdampak pada jumlah masyarakat yang terserang ISPA. Semakin tinggi jumlah titik panas semakin banyak pula masyarakat yang dilaporkan mengidap ISPA, dengan sebaran titik panas terbanyak di tahun 2019 berada di Kabupaten Ketapang [12]. Sementara itu, korelasi ISPA dan titik panas di Kubu Raya pada tahun 2015 adalah 0,57, yang berarti jumlah titik panas memiliki hubungan dengan kategori sedang menuju kuat terhadap jumlah pasien yang terdiagnosis ISPA [13]. Namun sejauh ini, belum ada yang melakukan analisis keterkaitan antara titik panas dan pencemaran udara se-Kalimantan Barat dengan menggunakan teknik tumpang susun untuk mengetahui secara spasial daerah-daerah dengan pencemaran udara yang tinggi serta dampaknya terhadap kesehatan akibat dari kebakaran hutan.

Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan studi mengenai relasi titik panas terhadap indeks standar pencemaran udara berdasarkan konsentrasi karbon monoksida di Kalimantan Barat. Data yang dianalisis adalah pada tahun 2017-2021, yang mengikutsertakan tahun kejadian kebakaran hutan terluas di Kalimantan Barat (tahun 2019). Metode yang diterapkan adalah analisis secara statistik yaitu menghitung koefisien korelasi kedua variabel terkait dan analisis spasial dengan memanfaatkan teknik tumpang susun.

  • 2.    Metode Penelitian

Daerah kajian pada penelitian ini adalah Provinsi Kalimantan Barat dengan rentang waktu yang digunakan yaitu tahun 2017-2021. Penelitian ini memanfaatkan data titik panas oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA) yang berasal dari satelit Suomi National Polar-Orbiting Partnership (S-NPP) dengan instrumen Visible Infrared Imaging Radiometer Suite (VIIRS) yang dapat diunduh pada https://firms.modaps.eosdis.nasa.gov/download/. Rerata konsentrasi karbon monoksida bulanan sejak tahun 2017-2021 dengan resolusi 0,75º×0,75º diambil dari situs European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF) pada https://ads.atmosphere.copernicus.eu/cdsapp#!/dataset/cams-global-reanalysis-eac4-monthly?tab=form. Data curah hujan harian oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebagai data pendukung diakses di https://dataonline.bmkg.go.id/data_iklim.

Data konsentrasi CO dikonversi ke dalam bentuk ISPU dengan menggunakan Persamaan (1).

i = z Ia - Ib x (Xx - xb)+h (1) (XaXb f x b ^

dengan I sebagai ISPU terhitung, Ia adalah ISPU batas atas, Ib sebagai ISPU batas bawah, Xa yaitu konsentrasi ambien batas atas (μg/m3), Xb adalah konsentrasi ambien batas bawah (μg/m3), dan Xx sebagai konsentrasi ambien nyata hasil pengukuran (μg/m3) [14]. Agar diperoleh nilai ISPU terhitung, konsentrasi CO terlebih dahulu diubah ke dalam batas ISPU sesuai dengan konversi yang tertera pada Tabel 1. Hal ini dilakukan untuk mepermudah mengetahui dampak dari konsentrasi CO. Nilai ISPU di setiap titik kemudian

dirata-ratakan.

Tabel 1. Konversi nilai konsentrasi CO ke ISPU [14].

ISPU

24 jam CO (µg/m3)

0-50

4.000

51-100

8.000

101-200

15.000

201-300

30.000

>300

45.000

Setelah diperoleh nilai ISPU terhitung, dilakukan interpretasi pada Tabel 2. untuk mengetahui kategori dari nilai tersebut.

Tabel 2. Kategori rentang angka dan penjelasan nilai ISPU [14].

Kategori

Angka rentang

Keterangan

Baik

0-50

Tingkat kualitas udara yang sangat baik, tidak memberikan efek negatif terhadap manusia, hewan, tumbuhan.

Sedang

51-100

Tingkat kualitas udara masih dapat diterima pada kesehatan manusia, hewan dan tumbuhan.

Tidak sehat

101-200

Tingkat kualitas udara yang bersifat merugikan pada manusia, hewan dan tumbuhan.

Sangat tidak sehat

201-300

Tingkat kualitas udara yang dapat meningkatkan risiko kesehatan pada sejumlah segmen populasi yang terpapar.

Berbahaya

>300

Tingkat kualitas udara yang dapat merugikan kesehatan serius pada populasi dan perlu penanganan cepat.

Analisis data dilakukan dengan membuat grafik bulanan dan tahunan rerata jumlah titik panas terhadap rerata nilai ISPU, serta dilakukan perhitungan untuk memperoleh nilai koefisien korelasi. Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara titik panas dengan nilai ISPU secara statistik, dengan variabel bebas (x) adalah rerata jumlah titik panas dan rerata nilai ISPU sebagai variabel terikat (y). Perhitungan koefisien korelasi dilakukan dengan Persamaan (2):

r

xy


nxy -χy

(2)


∑^∑>f<∑y (∑y)

dengan, r adalah nilai koefisien korelasi pada rentang -1 sampai 1. Tanda negatif menujukkan bahwa kedua variable berbanding terbalik. Interpretasi dari koefisien korelasi yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Tingkat hubungan koefisien korelasi [15].

Interval koefisien

Tingkat hubungan

0-0,199

0,20-0,399

0,40-0,599

0,60-0,799

0,80-1,000

Sangat rendah

Rendah

Cukup

Tinggi

Sangat tinggi

Setelah diperoleh koefisien korelasi, dilakukan pemetaan sebaran titik panas terhadap nilai ISPU. Pada prosedur ini, data nilai ISPU dilakukan interpolasi menggunakan metode IDW dan diterapkan teknik tumpang susun antara kedua data tersebut. Teknik tumpang susun dilakukan dengan menggabungkan data-data yang berbeda untuk melihat hubungan antara keduanya secara visual. Hasil yang ditampilkan berupa peta sebaran titik panas dan konsentrasi CO di Kalimantan Barat per bulan sejak tahun 2017-2021, dengan nilai ISPU diinterpretasikan menggunakan warna berdasarkan kategori dan titik panas disimbolkan menggunakan titik-titik putih.

  • 3.    Hasil Dan Pembahasan

    • 3.1    Relasi rerata jumlah titik panas terhadap rerata nilai ISPU berdasarkan parameter CO

Hasil perhitungan rerata jumlah titik panas terhadap rerata nilai ISPU berdasarkan parameter CO disajikan pada Gambar 1. Pada Gambar 1a sumbu-x menunjukkan waktu (bulan) dan sumbu-y sebagai nilai rerata jumlah titik panas serta rerata nilai ISPU. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan menggunakan Persamaan (2), diperoleh nilai koefisien korelasi rerata jumlah titik panas terhadap ISPU bulanan sebesar 0,91 yang berarti kedua data ini memiliki keeratan yang sangat tinggi. Korelasi positif berarti peningkatan titik panas akan diikuti oleh peningkatan konsentrasi CO. Semakin tinggi jumlah titik panas maka semakin tinggi pula nilai ISPU [16].

Dari Gambar 1a dapat dilihat bahwa rerata jumlah titik panas tertinggi terjadi pada bulan Agustus yaitu 8.505 titik dengan rerata nilai ISPU mencapai 55,36, sedangkan rerata nilai ISPU tertinggi pada bulan September yaitu 8.321 titik dengan rerata nilai ISPU tertinggi 88,32. Kedua bulan ini berada pada kategori pencemaran udara sedang. Dalam kategori ini, udara sudah mulai tercemar namun masih dapat diterima oleh makhluk hidup. Konsentrasi polutan tertinggi terjadi pada bulan-bulan ini karena merupakan bulan dengan kondisi terkering [17]. Sebaliknya, konsentrasi polutan terendah umumnya terdapat pada bulan terbasah seperti pada bulan November dan bulan Desember. Hal ini disebabkan oleh intensitas curah hujan yang memengaruhi fluktuasi jumlah titik panas pada suatu daerah. Curah hujan yang rendah akan selaras dengan peningkatan jumlah titik panas dan berhubungan dengan semakin panjangnya masa hidup dari titik panas yang terpantau [18].

Gambar 1. Diagram relasi rerata jumlah titik panas terhadap rerata nilai ISPU tahun 2017-2021 berdasarkan parameter CO: (a) bulanan, dan (b) tahunan.

Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan Persamaan (2), rerata jumlah titik panas dan rerata nilai ISPU per tahun memiliki korelasi sebesar 0,98 dengan tingkat hubungan sangat tinggi. Pada Gambar 1b dapat diamati bahwa, saat jumlah titik panas mengalami peningkatan maka nilai ISPU berdasarkan parameter CO juga meningkat, seperti pada tahun 2019 yang memiliki jumlah titik panas terbanyak dan rerata nilai ISPU tertinggi. Rerata jumlah titik panas pada tahun ini yaitu 3.612 titik dan rerata nilai ISPU yaitu 59,03 berkategori sedang. Peningkatan jumlah titik panas diduga dipengaruhi oleh fenomena El-Nino pada tahun tersebut, sebagaimana terlihat pada grafik Oceanic Nino Index (ONI) pada Gambar 2, khususnya pada tahun 2019 dengan jumlah titik panas tertinggi yang mengalami fenomena El-

Gambar 2. Grafik Oceanic Nino Index (ONI) [19].

Nino dengan kategori lemah menuju sedang [19]. Pada kategori ini, intensitas curah hujan menurun, sehingga bahan bakar lebih mudah mengering dan rentan terbakar. Hal ini diduga berkontribusi pada peningkatan kejadian kebakaran hutan dan berakibat pada banyaknya konsentrasi CO yang dihasilkan. Sebaliknya, pada tahun dengan jumlah titik panas rendah, seperti tahun 2017, 2020, dan 2021 terjadi fenomena La-Nina yang menyebabkan intensitas curah hujan mengalami peningkatan. Oleh karena itu, fluktuasi jumlah titik panas diduga disebabkan oleh adanya kejadian El-Nino dan La-Nina.

  • 3.2    Relasi sebaran titik panas terhadap rerata nilai ISPU berdasarkan parameter CO

Pada rentang tahun 2017-2021, bulan Agustus dan September dipilih untuk dipetakan sebaran ISPU berdasarkan parameter CO dan titik panasnya karena memiliki rerata jumlah titik panas dan rerata nilai ISPU tertinggi. Bulan dengan rerata nilai ISPU dan rerata jumlah titik panas terendah berada pada bulan Agustus 2021 yang ditunjukkan oleh Gambar 3(i) dengan rerata nilai ISPU yaitu 22,19 berkategori kualitas udara baik dan titik panas 1.458 titik. Pada bulan ini, titik panas cenderung berkumpul di Kabupaten Sanggau yang mengakibatkan adanya peningkatan nilai ISPU di sekitar daerah ini, namun masih berada pada kategori sedang yang ditandai dengan adanya area berwarna hijau menuju kuning. Pada kategori ini, kualitas udara tidak berdampak negatif bagi populasi terpapar. Sebaliknya, bulan dengan nilai ISPU tertinggi terjadi pada bulan September 2019 yang ditunjukkan oleh Gambar 3(f) dengan rerata nilai ISPU yaitu 300,46 berkategori berbahaya yang berpusat di Kabupaten Ketapang. Pada kategori ini pencemaran udara dapat merugikan kesehatan dan perlu penanganan cepat bagi populasi terpapar. Tingginya nilai ISPU pada bulan September 2019 juga selaras dengan banyaknya titik panas yaitu mencapai 25.115 titik dan merupakan jumlah titik panas tertinggi pada rentang tahun yang dikaji. Hasil ini serupa dengan penelitian Zahtamal dkk. yang menunjukkan adanya peningkatan nilai ISPU pada periode terjadinya kebakaran hutan yang ditandai dengan peningkatan titik panas [15].

Gambar 3(a)-(f) menunjukkan adanya pola sebaran dari titik-titik putih yang merupakan interpretasi dari titik panas. Pola tersebut berupa adanya sebaran titik panas di Barat Laut Kalimantan Barat khususnya di sekitar Kabupaten Sanggau dan Landak pada setiap bulan Agustus. Sebaliknya, pada setiap bulan September titik panas dominan berpusat di bagian tengah Kalimantan Barat yaitu di sekitar Kabupaten Sanggau, Sekadau, dan Ketapang. Banyaknya titik panas di daerah tersebut berkorelasi positif terhadap peningkatan polutan CO di sekitarnya, yang ditandai oleh adanya perbedaan warna hasil pemetaan di sekitar daerah dengan titik panas padat. Pola ini dapat dengan jelas teramati pada tahun dengan fase ENSO netral dan fase La-Nina yaitu pada tahun 2017, 2020, dan 2021. Intensitas curah hujan tahunan pada fase ini cenderung normal hingga tinggi yang mengakibatkan sebaran titik panas lebih sedikit dan konsentrasi CO yang dihasilkan tidak lekas menyebar ke luar area. Maka dari itu, fase ini diduga berkontribusi dalam memperjelas dampak dari sebaran titik panas sebagai prediksi kejadian kebakaran hutan dan lahan terhadap pencemaran udara.

Berdasarkan Gambar 3(c)-(f), dapat diamati adanya peningkatan nilai ISPU di daerah dengan sebaran titik panas renggang pada Ketapang bagian selatan. Peningkatan ini ditandai oleh adanya perbedaan warna ISPU di daerah tersebut, pada Gambar 3(c) terdapat area bertitik panas renggang yang memiliki warna merah pada bagian tengah area berwarna kuning, pada Gambar 3(d) di area dan kondisi yang sama memiliki warna kuning kemerahan pada bagian tengah area berwarna hijau, serta pada Gambar 3(e) di area dan kondisi yang sama pula terdapat warna merah kehitaman pada bagian tengah area berwarna jingga. Sedangkan pada Gambar 3(f), hampir seluruh Kabupaten Ketapang didominasi oleh warna hitam, baik itu di area titik panas padat maupun renggang. Hal ini diduga dipengaruhi oleh kondisi Ketapang bagian selatan sebagai daerah Zona Musim (ZOM) berpola monsunal yang sangat jelas perbedaan antar musim. Sedangkan daerah lain di Kalimantan Barat termasuk ke dalam daerah non ZOM, dengan perbedaan antar musim yang tidak jelas [20]. Fenomena ini didukung pula oleh meningkatnya indeks ONI sebagai penanda terjadinya El-Nino di tahun 2018-2019 yang ditunjukkan oleh Gambar 2. Daerah berpola monsunal merupakan daerah yang berdampak tertinggi dalam kondisi ini, karena berkaitan langsung terhadap sirkulasi angin di belahan bumi utara dan selatan [21]. El-Nino diduga berperan dalam menghambat pembentukan hujan yang memperpanjang masa hidup api dan meningkatnya nilai ISPU di Ketapang bagian selatan. Pada Agustus 2018 Ketapang mengalami 26 hari beruntun tanpa hujan dengan jumlah curah hujan 20,1 mm dan September 2018 terjadi 11 hari berurutan tanpa hujan dengan jumlah curah hujan yaitu 82,5 mm. Pada Agustus 2019 terdapat 19 hari tanpa hujan dengan jumlah curah hujan 15,4 mm dan September 2019 mengalami 23 hari berturut-turut tanpa hujan dengan jumlah curah hujan pada bulan ini hanya 15,1 mm. Lamanya hari beruntun tanpa hujan di daerah ini diduga memperpanjang

Gambar 3. Sebaran titik panas terhadap nilai ISPU berdasarkan parameter CO: (a) Agustus 2017, (b) September 2017, (c) Agustus 2018, (d) September 2018, (e) Agustus 2019, (f) September 2019 (g) Agustus 2020, (h) September 2020, (i) Agustus 2021, dan (j) September 2021.

masa hidup api, meskipun sebaran titik panas tidak terlalu padat. Maka dari itu, daerah ini memiliki nilai ISPU yang tinggi meskipun sebaran titik panas tidak terlalu padat antar musim yang tidak jelas [20]. Fenomena ini didukung pula oleh meningkatnya indeks ONI sebagai penanda terjadinya El-Nino di tahun 2018-2019 yang ditunjukkan oleh Gambar 2. Daerah berpola monsunal merupakan daerah yang berdampak tertinggi dalam kondisi ini, karena berkaitan langsung terhadap sirkulasi angin di belahan bumi utara dan selatan [21]. El-Nino diduga berperan dalam menghambat pembentukan hujan yang memperpanjang masa hidup api dan meningkatnya nilai ISPU di Ketapang bagian selatan. Pada Agustus 2018 Ketapang mengalami 26 hari beruntun tanpa hujan dengan jumlah curah hujan 20,1 mm dan September 2018 terjadi 11 hari berurutan tanpa hujan dengan jumlah curah hujan yaitu 82,5 mm. Pada Agustus 2019 terdapat 19 hari tanpa hujan dengan jumlah curah hujan 15,4 mm dan September 2019 mengalami 23 hari berturut-turut tanpa hujan dengan jumlah curah hujan pada bulan ini hanya 15,1 mm. Lamanya hari beruntun tanpa hujan di daerah ini diduga memperpanjang masa hidup api, meskipun sebaran titik panas tidak terlalu padat. Maka dari itu, daerah ini memiliki nilai ISPU yang tinggi meskipun sebaran titik panas tidak terlalu padat.

Berdasarkan Gambar 3(a)-(j), dapat diamati bahwa bagian timur Kalimantan Barat yaitu sebagian dari Kapuas Hulu dan Sintang memiliki titik panas bergerombol yang lebih sedikit dibanding bagian barat dari Kalimantan Barat. Hal ini menyebabkan rendahnya nilai ISPU pada daerah ini dengan kategori kualitas udara baik. Menurut Fitriyawita et al. [22], Kapuas Hulu dan Sintang memiliki curah hujan tinggi karena kondisi topografi berupa terdapatnya jajaran perbukitan yang menjadi daerah depan gunung dan memicu turunnya hujan orografi. Kondisi ini didukung pula oleh adanya kawasan Danau Sentarum dan Danau Luar di Kabupaten Kapuas Hulu sebagai sumber uap air yang dibutuhkan dalam proses konveksi dan kondensasi. Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, daerah bagian timur Kalimantan Barat memiliki curah hujan rata-rata lebih tinggi dibanding daerah bagian barat Kalimantan Barat. Tingginya curah hujan yang dimiliki mengakibatkan basahnya bahan bakar sehingga mengurangi kemungkinan terjadi kebakaran hutan, selain itu juga dapat mempersingkat masa hidup dari api.

  • 4.    Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa titik panas berkaitan terhadap nilai ISPU. Secara statistik diperoleh koefisien korelasi rerata jumlah titik panas terhadap ISPU per bulan sebesar 0,91 dan per tahun sebesar 0,98, korelasi sangat tinggi. Jumlah titik panas tertinggi dan nilai ISPU tertinggi terjadi pada bulan Agustus dan September berkategori pencemaran udara sedang. Jika ditinjau rata-rata per tahun, tahun 2019 merupakan tahun dengan rerata jumlah titik panas dan rerata nilai ISPU tertinggi yang berada dalam kategori sedang. Sedangkan tahun dengan jumlah titik panas yang lebih sedikit memiliki nilai ISPU yang rendah seperti pada tahun 2017, 2020 dan 2021. Jika ditinjau secara spasial, lokasi dengan titik panas yang bergerombol memiliki tingkatan pencemaran lebih tinggi dibanding lokasi dengan titik panas yang lebih sedikit dan tidak terlalu padat.

Pustaka

  • [1]    BPS Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Barat Dalam Angka 2022, BPS, Pontianak, 2022.

  • [2]    S. Ritung et al., Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1:250.000, Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor, 2011.

  • [3]    Sipongi, Luas Kebakaran Hutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2022. Available from: https://sipongi.menlhk.go.id/, diakses pada 5 September 2022.

  • [4]    A. Yusuf, H. Hapsoh, S. H. Siregar, and D. R. Nurrochmat, Analisis Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau, Dinamika Lingkungan Indonesia, vol. 6, no. 2, 2019, pp. 67–84.

  • [5]    C. N. Berlinck and E. K. L. Batista, Good Fire, Bad fire: It Depends on Who Burns, Flora Morphoogy. Distribion Functional Ecology Plants, vol. 268, 2020, pp. 1–4.

  • [6]    I. B. Pandapotan, K. N. Suarbawa, and I. G. A. Widagda, Analisis Pola Sebaran Asap Terhadap Kondisi Meteorologi di Pulau Kalimantan Terkait Kebakaran Hutan dan Lahan: Studi Kasus Kebakaran Hutan pada Bulan September 2019, Buletin Fisika, vol. 23, no. 1, 2022, pp. 19–25.

  • [7]    R. Septianingrum, Dampak Kebakaran Hutan di Indonesia Tahun 2015 dalam Kehidupan Masyarakat, Agricultural Ecosystem Environmental, vol. 1, no. 82, 2018, pp. 129–137.

  • [8]    D. Arisanty, M. Zaenal Arifin Anis, H. Porda Nugroho Potro, M. Muhaimin, and Syarifuddin, Kebakaran Lahan Gambut, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, 2020.

  • [9]    J. J. Rose et al., Carbon Monoxide Poisoning: Pathogenesis, Management, and Future Directions of Therapy, American Journal Respiration Critical Care Medicine, vol. 195, no. 5, 2017, pp. 596–606.

  • [10]    W. O. Yuslinda, Yasnani, and R. T. Ardiansyah, Hubungan Kondisi Lingkungan dalam Rumah dengan Kejadian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Masyarakat di Kelurahan Ranomeeto Kecamatan Ranomeeto Tahun 2017, JIMKESMAS, vol. 2, no. 7, 2017 pp. 1–10.

  • [11]    Y. Zhao et al., Ambient Carbon Monoxide and Increased Risk of Daily Hospital Outpatient Visits for Respiratory Diseases in Dongguan, China, Science of Total Environment, vol. 668, 2019, pp. 254–260.

  • [12]    F. Rozi, A. A. Akbar, and U. Kadaria, Hubungan Sebaran Titik Panas (Hotspot) terhadap Kesehatan Masyarakat Kota Pontianak, Jurnal Teknik Sipil, vol. 20, no. 2, 2020, pp. 1–14.

  • [13]    B. H. Saharjo and D. Ramadhania, Hubungan antara Hotspot Dan Kebakaran Terhadap Timbulnya Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, Jurnal Silvikultur Tropik, vol. 10, no. 3, 2019, pp. 133–139.

  • [14]    Peraturan Pemerintah RI, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No 14 Tahun 2020 tentang Indeks Standar Pencemaran Udara, 2020, pp. 1–16.

  • [15]    Riduwan, Dasar-Dasar Statistika, Alfabeta, Bandung, 2010.

  • [16]    Zahtamal, R. Restila, and E. Nazriati, Korelasi Sebaran Titik Panas dengan Kualitas Udara di Kota Pekanbaru, Prepotif Jurnal Kesehatan Masyarakat, vol. 7, no. 1, 2023, pp. 283–291.

  • [17]    N. Novianti, Nurhasanah, and A. Riza, Korelasi Konsentrasi Particulate Matter (PM 10) dan Curah Hujan di Kalimantan Barat, Prisma Fisika, vol. 10, no. 2, 2022, pp. 168–171.

  • [18]    T. F. Dicelebica, A. A. Akbar, and D. R. Jati, Identifikasi dan Pencegahan Daerah Rawan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Kalimantan Barat, Jurnal Ilmu Lingkungan., vol. 20, no. 1, 2022, pp. 115–126.

  • [19]    J. Null, El Niño and La Niña Years and Intensities, Golden Gate Weather Service, 2022. Available from: https://ggweather.com/enso/oni.htm, diakses 24 Januari 2023.

  • [20]    BMKG Kalimantan Barat, Prakiraan Musim Kemarau Tahun 2020 Provinsi Kalimantan Barat, BMKG, Mempawah, 2020.

  • [21]    I. Purnamasari, T. Wahyu Saputra, and S. Ristiyana, Pola Spasial Kekeringan di Jawa Barat Pada Kondisi El Nino Berbasis Metode Palmer Drought Severity Index (PDSI), Jurnal Teknik Pengairan, vol. 12, no. 1, 2021, pp. 16–29.

  • [22]    M. Fitriyawita, M. I. Jumarang, A. Apriansyah, W. Sulistya, and M. Saepudin, Hubungan Pola Garis Arus Angin (Streamline) dengan Distribusi Hujan di Kalimantan Barat, Prisma Fisika, vol. 8, no. 2, 2020, pp. 135–146.

88