BULETIN STUDI EKONOMI

Available online at https://ojs.unud.ac.id/index.php/bse/index

Vol. 27 No. 02, August 2022, pages: 233-249

ISSN : 1410-4628

e-ISSN: 2580-5312


FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI FERTILITAS PENDUDUK DI KALANGAN MIGRAN DI KOTA DENPASAR

Putu Ayu Pradnyanita1 I Ketut Sudibia2

Article history:

Abstract

The aims of this study were to determine the average number of children

Submitted: 15 Juni 2022

Revised: 1 Juli 2022

Accepted: 22 Juli 2022

born alive among migrants, to determine the proportion of EFA migrants who are currently using contraceptives, and to analyze the effect of education level, employment status and many cultures children to age at first marriage and fertility rate among migrants in Denpasar City. The sample in this study was 120 of female migrant. The sampling technique is purposive sampling

combined with accidental sampling. The data analysis technique used is path

Keywords:

Migrant Fertility;

Level of Education;

Employment Status; Multi-Child Culture; Age of First Marriage.

analysis. The results showed that the average number of children born alive by migrant EFA women was 3 children, the proportion of migrant EFA women who used contraceptives was 14.17 percent, and education level, employment status has a positive significant effect on the age at first marriage, the culture of many children has a significant negative effect o n the age at first marriage, employment status, age at first marriage and the culture of many children has a positive significant effect on fertility rate the level of education has a negative significant effect on fertility, education level, employment status, and culture of many children no indirectly affect the fertility of migrant women's EFA through age at first marriage.

Kata Kunci:

Abstrak

Fertilitas Migran;

Tingkat Pendidikan;

Status Ketenagakerjaan;

BudayaBanyak Anak; Usia Kawin Pertama.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui rata-rata anakyang dilahirkan hidup di kalangan migran, untuk mengetahui proporsi PUS migran yang sedang memakai alat kontrasepsi, dan untuk menganalisis pengaruh tingkat pendidikan, status ketenagakerjaan dan budaya banyak anak terhadap usia kawin pertama dan tingkat fertilitas di kalangan migran di Kota

Denpasar. Sampel dalam penelitian ini yaitu 120 migran perempuan. Teknik

Koresponding:

sampling yaitu purposive sampling dikombinasikan dengan accidental sampling. Teknik analisis data yang digunakan yaitu path analysis. Hasil

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana, Bali, Indonesia

Email:

putu. pradnyanita.gmail@com

penelitian menunjukkan bahwajumlah rata-rata anak yang dilahirkan hidup oleh wanita PUS migran adalah 3 (tiga) orang anak,proporsi wanita PUS migran yang menggunakan alat kontrasepsisebesar 14,17 persen, dan tingkat pendidikan, status ketenagakerjaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap usia kawin pertama, budaya banyak anak berpengaruh negatif signifikan terhadap usia kawin pertama, status ketenagakerjaan, usia kawin pertama dan budaya banyak anak berpengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat fertilitas, tingkat pendidikan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap fertilitas, tingkat pendidikan, status ketenagakerjaan, dan budaya banyak anak tidak berpengaruh secara langsung terhadap fertilitas PUS perempuan migran melalui usia kawin pertama.

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana, Bali, Indonesia

PENDAHULUAN

Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan jumlah penduduk sebanyak 4,32 juta jiwa pada tahun 2020. Penduduk Bali terus mengalami peningkatan dibandingkan dengan hasil sensus penduduk sebelumnya. Jumlah penduduk Bali dalamjangka sepuluh tahun sejak tahun 2010 bertambah sebesar 426.644 jiwa atau rata-rata sebanyak 42.664 jiwa setiap tahun. Dengan luas wilayah sebesar 5.780,06 km2, maka kepadatan penduduk tahun 2020 adalah sebanyak 747 jiwa per kilometer persegi. Angka ini mengalami peningkatan dari hasil sensus penduduk 2010 yang mencatat kepadatan penduduk Bali sebanyak 673 jiwa per

kilometer persegi. Ditinjau dari segi laju pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir rata-rata laju pertumbuhan penduduk Bali sebesar 1,01 persen per tahun. Terungkap bahwa terjadi penurunan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,13 persen jika dibandingkan dengan tahun 2010 yang sebesar 2,14 persen per tahun (Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, 2020). Jika dilihat dari kabupaten/kota, Denpasar berada pada urutan kedua dengan jumlah penduduk terbanyak setelah Buleleng. Sementara kabupaten dengan jumlah penduduk yang paling sedikit adalah Bangli (Tabel 1)

Tabel 1.

Tabel Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk (Km2)Menurut Hasil Sensus Penduduk

Tahun 2010 dan 2020

Kabupaten/ Kota

Luas Wilayah

Jumlah Penduduk (orang)

Kepadatan Penduduk (Orang/km ))

SP2010

SP2020

SP2010

SP2020

Jembrana

841,80

261.638

317.064

311

377

Tabanan

1.013,88

420.913

461.630

415

455

Badung

418,62

543.332

548.191

1298

1310

Gianyar

368,00

469.777

515.344

1276

1400

Klungkung

315,00

170.543

206.925

541

657

Bangli

490,71

215.353

258.721

439

572

Karangasem

839,54

396.487

492.402

472

586

Buleleng

1.364,73

624.125

791.813

457

580

Denpasar

127,78

788.589

879.098

6171

6880

Bali

5.780,06

3.890.757

4.317.404

673

747

Sumber: Hasil SP Provinsi Bali, 2010 & 2020

dijumpai pada tahun 2020 yang besarnya

Selain informasi tentang jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, dari Tabel 1 juga dapat diketahui kepadatan penduduknya. Kepadatan penduduk yang paling menonjol dijumpai di Kota Denpasar. Keadaan ini tidak hanya terjadi pada tahun 2010,akan tetapi juga

semakin mencolok. Tingginya kepadatan penduduk di Kota Denpasar disebabkan oleh wilayah yang sempit dan jumlah penduduk yang semakin bertambah besar. Bertambah besarnya penduduk Kota Denpasar, terutama disebabkan oleh semakin derasnya arus migrasi masuk menuju Kota Denpasar.

Kondisi ini tidak terlepas dari posisi Kota Denpasar sebagai pusat berbagai aktivitas, baik ekonomi maupun nonekonomi. Misalnya sebagai pusat perbelanjaan, pusat keuangan dan jasa perbankan, pusat pariwisata, pusat perdagangan dan industri, sedangkan yang bersifat nonekonomi yakni pusat pemerintahan, pusat pendidikan, pusat pelayanan kesehatan, dan pusat kebudayaan.

Migrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu wilayah lain dengan maksud menetap di daerah tujuan. Menurut Mantra (1985) mobilitas penduduk dibagi menjadi 2 bentuk yaitu mobilitas permanen atau migrasi dan mobilitas nonpermanen atau mobilitas sirkuler. Mobilitas penduduk permanen atau migrasi ialah perpindahan penduduk dari suatu wilayah ke wilayah yang lain dengan tujuan menetap. Sementara itu mobilitas nonpermanen terdiri dari berbagai jenis, yaitu ulang alik, periodik, musiman dan jangka panjang dan juga dapat terjadi antara desa ke desa, desa ke kota dan kota ke kota.

Menurut United Nations (1970) migrasi penduduk merupakan perpindahan tempat tinggal dari suatu unit administrasi ke administrasi yang lain. Menurut Lee (1966) menyatakan bahwa migrasi merupakan perubahan tempat tinggal secara permanen. Selanjutnya menurut Badan Pusat Statistik (2017) migrasi adalah perpindahan seseorang melewati batas wilayah tertentu dalam jangka 6 bulan atau lebih. Batas wilayah dapat bervariasi seperti negara, provinsi, kabupaten, atau unit administrasi yang lebih sempit. Lebih jauh, gambaran mengenai migrasi yang dirinci menurut kabupaten/kota di Provinsi Bali dapat ditelusuri melalui Tabel 2.

Berdasarkan Tabel 2 terungkap bahwa pada tahun 2010 total migran di Provinsi Bali mencapai 839.373 orang dan tahun 2020 meningkat lagi menjadi 936.979 orang. Gambaran yang lebih menarik adalah hampir 50 persen migran tersebut berdomisili di Kota Denpasar, yang luas wilayahnya hanya 2,21 persen dari luas Provinsi Bali.

Tabel 2.

Komposisi Penduduk Provinsi Bali Menurut Kabupaten/Kota dan StatusMigrasi Sesuai dengan Hasil SP2010 dan SP2020 (dalam orang)

Kabupaten/ Kota

SP2010

SP2020

Migran

Non Migran

Migran

Non Migran

Jembrana

33.013

228.625

42.548

228.885

Tabanan

50.710

370.203

57.957

377.796

Badung

209.061

334.271

216.669

398.479

Gianyar

60.815

408.962

57.903

436.826

Klungkung

13.514

157.029

15.611

159.962

Bangli

8.364

206.989

15.097

207.377

Karangasem

12.162

384.325

20.576

387.911

Buleleng

36.317

587.808

49.109

596.784

Denpasar

415.417

373. 172

461.505

417.593

Total

839.373

3.051.384

936.975

3.211.613

Sumber: Hasil SP Provinsi Bali, 2010 & 2020

penduduk Kota Denpasar

merupakan migran.

Jumlah penduduk yang semakin besar, tidak

Bahkan jika

ditinjau komposisinya,

cukup hanya dipenuhi kebutuhan pangan,

terungkap bahwa

lebih dari 50 persen

sandang dan

papan, namun juga menuntut


penyediaan berbagai fasilitas untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduk. Misalnya kebutuhan fasilitas air, listrik, pendidikan, kesehatan, rekreasi, pekerjaan dan sebagainya.

Selain migrasi yang bersifat menambah jumlah penduduk di suatu daerah, variabel dinamika kependudukan lainnya yang juga berpengaruh positif terhadap laju pertumbuhan penduduk adalah fertilitas penduduk. Migrasi yang tinggi juga merupakan tantangan sekaligus ancaman bagi perkembangan suatu daerah. Disebut tantangan karena migrasi berkontribusi terhadap pembangunan di daerah tujuan. Tetapi migrasi akan menjadi ancaman jika tidak terjadi integrasi antara migran dan nonmigran sehingga mengganggu kohesi sosial dan berpotensi menimbulkan konflik (Rindang Ekawati, dkk, 2017).

Hubungan antara migrasi dan fertilitas secara teoritis dapat dijelaskan dengan beberapa hipotesis (Kulu, 2003). Pertama adalah socialization hypothesis yang mendasarkan pada premis bahwa perilaku fertilitas migran merefleksikan preferensi fertilitas yang dominan selama masa anak-anak. Oleh karena itu, migran menunjukkan tingkat fertilitas yang serupa dengan penduduk di daerah asal dan konvergensi terhadap tingkat fertilitas penduduk di daerah tujuan hanya terjadi pada generasi berikutnya (mengingat adanya perbedaan antargenerasi). Kedua adalah adaptation hypothesis yang menyebutkan bahwa perilaku fertilitas migran, cepat atau lambat, mendekati perilaku dominan di daerah tujuan. Ketiga adalah selection hypothesis, yaitu migran adalah kelompok orang tertentu yang

preferensi fertilitasnya lebih mirip dengan orang- orang yang berada di tempat tujuan daripada di tempat asal. Keempat adalah disruption hypothesis yang menjelaskan bahwa segera setelah migrasi, migran menunjukkan tingkat fertilitas yang rendah karena adanya faktor-faktor pengganggu yang terkait dengan proses migrasi.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan fertilitas migran cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan nonmigran. Penelitian yang dilakukan oleh Sudibia, dkk (2013) di Bali menunjukkan fertilitas migran ialah 3 anak. dibandingkan dengan nonmigran sebesar 2 anak. Penelitian serupa juga terdapat di Singaraja, Bali oleh Haribaik dkk. (2017) juga menghasilkan kesimpulan yang mirip, yakni paritas migran lebih besar (3-4 anak). Penelitian mengenai fertilitas migran di Jawa Barat yang dilakukan oleh Rindang Ekawati, dkk. (2017) juga menyebutkan bahwa penduduk migran cenderungmemiliki anak lebih dari dua dibandingkan dengan penduduk nonmigran. Hal ini jugadidukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Alfana dkk. (2015) bahwa PUS migran memiliki tingkat fertilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan PUS nonmigran ini disebabkan umur kawin pertama yang lebih rendah dan rendahnya partisipasi PUS migran dalam penggunaan alat kontrasepsi. Berdasarkan beberapa hasil penelitian tersebut dapat diperkirakan bahwa kontribusi migrasi terhadap dinamika penduduk bukan hanya karena jumlah migrannya, namun fertilitas migran juga berpengaruh.

Tabel 3.

Data TFR Hasil SP2010 dan SP2020 Tahun 2019 Menurut Kabupaten/Kotadi Provinsi Bali

Kabupaten/ SP2010        SP2020

Kota

Jembrana

2,27

2,12

Tabanan

2,01

1,99

Badung

1,97

1,94

Gianyar

2,06

2,00

Klungkung

2,38

2,28

Bangli

2,38

2,20

Karangasem

2,54

2,39

Buleleng

2,48

2,36

Denpasar

1,90

1,86

Sumber: SUSENAS, 2019

Tabel 3 tingkat fertilitas penduduk Kota Denpasar yang diukur dengan TFR (total fertility rate), terungkap bahwa TFR Kota Denpasar paling rendah (Hasil Susenas, 2019). Sementara itu, Kabupaten Karangasem tetap menduduki tempat tertinggi, disusul oleh Kabupaten Buleleng di tempat kedua. Meskipun dewasa ini tingkat fertilitas Kota Denpasar tergolong rendah, namun belum diketahui secara pasti apakah hal itu bersumber dari penduduk migran ataukah non migran. Hal ini mengingat belum tersedianya informasi tentang fertilitas penduduk dikalangan migran. Kalau ternyata fertilitas migran tergolong tinggi, maka hal ini dapat memicu meningkatnya laju pertumbuhan penduduk dan semakin besarnya jumlah penduduk Kota Denpasar. Sehubungan dengan hal tersebut maka sangat mendesak perlunya dilakukan penelitian fertilitas penduduk di kalangan migran. Lebih spesifik lagi yaitu “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Fertilitas Penduduk di Kalangan Migran di Kota Denpasar”.

Secara umum diketahui bahwa banyak faktor yang mempengaruhi fertilitas. Meskipun demikian, untuk kaum migran terutama yang berasal dari luar Bali dengan

latar belakang budaya yang berbeda, akan berbeda pula pengaruhnya terhadap fetilitas penduduk. Misalnya, apakah dalam budaya migran ada pandangan “banyak anak banyak rezeki”. Kalau ini yang terjadi maka fertilitas penduduk akan meningkat. Atau kalau ada pandangan lebih menyukai (mengutamakan) anak dengan jenis kelamin tertentu ( laki-laki atau perempuan) juga akan mendorong tingginya fertilitas. Selain budaya, faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi fertilitas antara lain tingkat pendidikan, status ketenagakerjaan, usia kawin pertama, pemakaian alat kontrasepsi (Taiwah, E.O, 1997).

Pendidikan merupakan suatu proses yang memiliki tujuan yakni untuk menambah keterampilan, pengetahuan dan meningkatkan kemandirian dari pribadi seorang individu (Saleh, 2004). Menurut Assad Ragui dan Sami Zouari (2003) pendidikan ialah membantu anak supaya ia cukup cakap mengatur tugas hidupnya berdasarkan tanggung jawabnya sendiri. Tingkat pendidikan ialah langkah pendidikan yang ditetapkan sesuai tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemauan yang dikembangkan. Tingkat pendidikan itu sendiri berpengaruh terhadap perubahan sikap dan prilaku yang terjadi. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menerima informasi dan mengaplikasikannya dalam gaya hidup sehari-hari (Syamsul, 2016).

Pengaruh tingkat pendidikan terhadap fertilitas dapat digambarkan sebagai berikut: bahwa mereka yang memiliki anak satu atau dua orang, lebih banyak dimiliki oleh

pasangan yang berpendidikan tinggi, sedangkan jumlah anak lebih atau sama dengan tiga orang dimiliki oleh migran yang berpendidikan lebih rendah. Ini berarti antara anak lahir hidup dan tingkat pendidikan korelasinya negatif dimana makin tinggi pendidikan migran diikuti pula dengan fertilitas yang semakin rendah (Asaduzzaman dan Hasinur, 2008).

Kemudian Becker & Gary S. (1960) mengatakan bahwa di dalam masyarakat, kesadaran akan pembatasan kelahiran memang tergantung pada latar belakang daerah asal atau tempat tinggal, pendidikan dan juga penghasilan. Menurut Todaro (2006), semakin tinggi tingkat pendidikan wanita cenderung merencanakan keturunan yang semakin sedikit. Hal inilah yang menunjukkan bahwa wanita yang telah mendapatkanpendidikan lebih baik cenderung memperbaiki kualitas anak dengan cara membatasi jumlah anak, sehingga mereka mampu memberikan perawatan, melakukan pembimbingan dan memberikan pendidikan yang layak.

Dewasa ini wanita yang memperoleh kesempatan pendidikan tidak hanya yang bertempat tinggal di perkotaan melainkan wanita yang tinggal di pedesaan pun mendapat kesempatan yang sama sehingga tinggi rendahnya tingkat pendidikan dapat mempengaruhi usia kawin pertama dan pada akhirnya mempengaruhi fertilitas (Gustavo,dkk.2005). Usia kawin pertama perempuan merupakan usia dimanaseseorang melangsungkan pernikahan. Pernikahan ini merupakan salah satu bagian dalam masalah kependudukan yang perlu ditangani, karena pernikahan dapat menimbulkan masalah baru

di bidang kependudukan yang akan menghambat pembangunan (Utina dkk, 2014).

Usia kawin pertama telah dianggap sebagai panduan untuk kebijakan publik karena dampaknya terhadap fertilitas dan mempengaruhi pertumbuhan penduduk. Selain masalah kependudukan usia kawin pertama yang terlalu rendah juga menimbulkan resiko terhadap persalinan karena semakin muda usia kawin pertama seorang perempuan maka semakin besar pula resiko yang dihadapi bagi keselamatan ibu dan anak. Usia kawin pertama perempuan yang relatif rendah cenderung berpengaruh terhadap semakin panjangnya masa reproduksi, dan pada akhirnya menyebabkan semakin banyaknya keturunan (Qibtiyah Mariyatul, 2014).

Usia kawin yang terlalu dini bagi seorang wanita akan memperpanjang masa untuk melahirkan dimana usia tersebut di bawah usia ideal yaitu 21-25 tahun. Seorang wanita memiliki masa subur pada usia 1 5-49 tahun. Sedangkan wanita yang menikah pada usia tua yaitu pada pertengahan atau mendekati usia 30 tahun atau lebih, cenderung mempunyai anak yang lebih sedikit dari pada wanita yang menikah dengan usia yang relatif muda (Anonym, 1995 dalam Utina, dkk, 2014). Sementara wanita yang menikah pada usia tua yaitu pada pertengahan atau mendekati usia 30 tahun atau lebih, cenderung mempunyai anak yang lebih sedikit dari pada wanita yang menikah dengan usia yang relatif muda (Anonym, 1995 dalam Utina, dkk, 2014).

Menurut Adioetomo dan Samosir (2010), di samping hal tersebut perempuan yang berpendidikan tinggi cenderung memilih

untuk masuk ke dunia kerjadahulu sebelum ke jenjang pernikahan, sedangkan mereka yang tidak bekerja berarti hanya bertugas sebagai ibu rumah tangga. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sudibia dkk. (2013) migran yang berstatus bekerja mempunyai anak lahir hidup lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak bekerja. Namun hal ini tidak berlaku untuk dikalangan nonmigran dimana dikalangan nonmigran anak lahir hidup yang tinggi lebih banyak ditemui pada mereka yang berstatus tidak bekerja. Hal ini menjelaskan pengaruh status ketenagakerjaan terhadap jumlah anak lahir hidup pada kelompok nonmigran lebih kecil dibanding kelompok migran. Selain itu pola hubungannya juga cukup berbeda pada kelompok nonmigran anak lahir hidupnya lebih banyak pada mereka yang tidak bekerja dan pada kelompok migran anak lahir hidupnya lebih banyak pada mereka yang bekerja.

Hal tersebut juga didukung oleh proporsi migran yang menggunakan alat kontrasepsi lebih rendah daripada kelompok nonmigran (38,0 persen berbanding 42,0 persen). Hal ini berarti partisipasi dalam program KB lebih banyak dilakukan oleh kelompok nonmigran dibandingkan migran. Untuk lama pemakaian KB sendiri kelompok migran cenderung memiliki lama pemakaian yang relatif singkat dibandingkan dengan kelompok nonmigran yakni masing-masing 5 bulan dan 60 bulan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa makin lama penggunaan alatkontrasepsi jarak kehamilan akan semakin panjang, sehingga dapat menekan angka kelahiran. Sementara itu ditemukan bahwa pasangan usia subur yang menggunakan alat

kontrasepsi anak lahir hidupnya lebih banyak, sedangkan yang tidak menggunakan alat kontrasepsi anak lahir hidupnya lebih sedikit. Hal ini tidak hanya ditemukan padapasangan usia subur migran tetapi juga pada pasangan usia subur nonmigran. Kondisi tersebut mengidentifikasikan adanya kecenderungan pasangan usia subur menggunaan alat kontrasepsi karena anak yang relatif banyak, ketimbang mengatur jarak kelahiran(Sudibia dkk., 2013).

Alat kontrasepsi sendiri adalah obat atau alat yang digunakan untuk menunda kehamilan, serta menghentikan kesuburan. Kontrasepsi ini merupakan salah satu variable yang secara langsung mempengaruhi angka kelahiran. Tingkat pemakaian alatkontrasepsi mencerminkan keberhasilan program Keluarga Berencana (Saskara dkk, 2015). Kontrasepsi sendiri merupakan alat/obat yang digunakan untuk mencegahterjadinya sel telur dibuahi oleh sel sperma (Efi Sriwahyuni & Chatarina Umbul Wahyuni, 2012).

Penggunaan alat kontrasepsi yang relative lama juga menjadi pengaruh terhadap jumlah anak yang dimiliki oleh pasangan usia subur. Tingkat pemakaian alat kontrasepsi sendiri menurut survei demografi dan kesehatan Indosesia tahun 2007 daritahun ke tahun terus meningkat dari 57 persen pada tahun 1997 menjadi 61,4 persen pada tahun 2007. Angka prevalensi pemakaian kontrasepsi merupakan angka yang menunjukkan berapa banyak pasangan usia subur yang memakai alat kontrasepsi padasaat pencacahan dibandingkan dengan seluruh pasangan usia subur (BKKBN, 2008).

Berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat

fertilitas dalam suatu masyarakat, dapat dikemukakan teori fertilitas Davis dan Blake menyebutkan bahwa faktor-faktor sosial mempengaruhi fertilitas, melalui variabel antara. Faktor-faktor sosial dalam arti luas mencakup sosial ekonomi maupun sosial budaya. Pada penelitian ini faktor-faktor sosial tersebut mencakup pendidikan, status ketenagakerjaan dan budaya banyak anak.

Sementara itu, usia kawin pertama dan pemakaian alat kontrasepsi merupakan variabel antara. Dari kedua variabel antara tersebut yang akan digunakan pada penelitian ini adalah variabel antara usia kawin pertama. Variabel usia kawin pertama berkaitan erat dengan faktor budaya. Masyarakat yang kental dengan budaya banyak anak cenderung akan menikahkan anaknya pada usia muda. Meskipun demikian, bukanberarti pemakaian alat kontrasepsi tidak penting, namun pada penelitian ini tetap akandideskripsikan.

METODE PENELITIAN

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif berbentuk asosiatif. Penelitian ini dilakukan di Kota Denpasar dengan pertimbangan memiliki jumlah penduduk yang tinggi dan lebih dari separuh penduduknya tergolong migran. Terdapat beberapa kantong-kantong migran yang tersebar di Kota Denpasar lalu dipilih salah satu desa di masing-masing kecamatan yang paling menonjol penduduk migrannya, maka lokasi yang dipilih dalam penelitian ini yakni Desa Pemogan di Denpasar Selatan, Desa Dauh Puri Kaja di Denpasar Utara, Desa Dangin Puri Kelod di Denpasar Timur dan

Desa Pemecutan Kelod di Denpasar Barat. Penelitian ini berfokus pada lima variabel utama yakni tingkat pendidikan, status ketenagakerjaan, budaya banyak anak, usia kawin pertama dan tingkat fertilitas di kalangan migran di Kota Denpasar.

Sesuai dengan konsep migran di atas, maka sampelnya adalah PUS migran semasa hidup yang merupakan bagian dari populasi. Oleh karena tidak tersedia daftar populasi dari PUS migran semasa hidup- maka pengambilan sampelnya dilakukan dengan teknik sampling nonprobabilitas. Jumlah sampel ditetapkan secara kuota sebanyak 30 orang PUS migran perempuan di masing-masing kecamatan. Dengan demikian jumlah keseluruhan sampel penelitian di Kota Denpasar adalah 120 orang PUS migran.

Penelitian ini menggunakan data sekunder dan data primer. Datasekunder yang digunakan pada penelitian ini adalah jumlah migran dan non migran di Kota Denpasar. Sedangkan data primer yang digunakan ialah tingkat pendidikan, status ketenagakerjaan, budaya banyak anak, tingkat fertilitas dan usia kawin pertama. Datasekunder penelitian ini bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Denpasar dan literatur lainnya yang mendukung objek dalam penelitian ini, baik penelusuran buku- buku di perpustakaan maupun melalui jurnal penelitian. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini path analysis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Suatu instrumen dalam penelitian dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang ingin diukur. Suatu instrumen dikatakan valid apabila memiliki koefisien korelasi

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Fertilitas Penduduk Di Kalangan Migran Di Kota Denpasar Putu Ayu Pradnyanita dan I Ketut Sudibia antara butir dengan skor total dalam     berikut menyajikan hasil uji validitas

instrumen tersebut lebih besar dari 0,30     instrumen penelitian.

dengan tingkat kesalahan Alpha 0,05. Tabel 4

Tabel 4.

Hasil Uji Validitas Instrumen Penelitian

Variabel

Indikator

Pearson

Correlation

Sig. (2tailed)

Keterangan

X3.1

0,717

0,000

Valid

Budaya BanyakAnak (X3)

X3.2

0,742

0,000

Valid

X3.3

0,495

0,033

Valid

X3.4

0,741

0,000

Valid

Sumber: Data diolah, 2022

ini

menunjukkan

bahwa   butir-butir

pernyataan dalam instrument penelitian

Hasil  uji  validitas pada Tabel 4     tersebut valid dan layak digunakan sebagai

menunjukkan bahwa seluruh instrumen    instrument penelitian.

penelitian yang digunakan untuk mengukur variabel budaya banyak anak memiliki nilai koefisien korelasi yang lebih besar 0,3. Hal

Tabel 5.

Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian

No.

Variabel

Cronbach’s Alpha

Keterangan

1

Budaya Banyak Anak (X3)

0,735

Reliabel

Sumber: Data diolah, 2022

menunjukkan bahwa

tingkat pendidikan

Hasil uji reliabilitas yang disajikan dalam Tabel 5 menunjukkan nilai Cronbach’s Alpha lebih dari 0,70. Jadi dapat dinyatakan bahwa variabel yang diteliti yakni Budaya Banyak Anak telah memenuhi syarat reliabilitas atau kehandalan sehingga dapat digunakan untuk melakukan penelitian.

Berdasarkan hasil uji statistik deskriptif pada Tabel 6 menunjukkan jumlah N sebanyak 120. Hal ini berarti terdapat 120 orang responden yang diteliti. Data

memiliki nilai minimum 5 tahun, nilai maksimum 12 tahun dan nilai rata-ratanya 8,04 tahun. Hal ini berarti responden memiliki tingkat pendidikan paling tinggi pada jenjang SMA/SMK (12 tahun) dan tingkat pendidikan responden paling rendah tidak lulus SD. Variabel status ketenagakerjaan memiliki nilai minimum 0, maksimum 1 dan nilai rata-ratanya 0.72. Hal ini menunjukkan responden ada dalam status bekerja (kode 1) dan ada pula responden yang tidak bekerja (kode 0).

Tabel 6.


Statistik Deskriptif


N

Minimum

Maximum

Mean

Std. Deviation

Tingkat Pendidikan (X1)

120

5.00

12.00

8.0417

2.34215

Status Ketenagakerjaan (X2)

120

.00

1.00

.7250

.44839

Budaya (X3)

120

10.00

20.00

15.7917

2.02877

Usia Kawin Pertama (Y1)

120

12.00

26.00

18.0500

2.88097

Fertilitas (Y2)

Valid N (listwise)

120

120

1.00

7.00

3.1833

1.08452

Sumber: Data diolah, 2022

paling lambat adalah usia 26 tahun dan rata-


Variabel budaya banyak anak yang diukur menggunakan skala likert memiliki nilai minimum 10, nilai maksimum 20 dan nilai rata-ratanya 15.79. Hal ini menunjukkan total jawaban responden terendah adalah 10 dan total jawaban responden responden tertinggi adalah 20. Variabel usia kawin pertama memiliki nilai minimum 12 tahun, nilai maksimum 26 tahun dan nilai rata-ratanya 18.05 tahun. Hal ini berartiresponden memiliki usia kawin pertama paling cepat adalah usia 12 tahun dan usia kawin pertama

rata responden menikah pada usia 18 tahun.

Variabel fertilitas memiliki nilai minimum 1, nilai maksimum 7 dan nilai rata-ratanya 3.18 point. Hal ini berarti responden memiliki tingkat fertilitas paling sedikit adalah 1 orang anak dan tingkat fertilitas paling banyak adalah 7 orang, rata-rata responden memiliki 3 orang anak.

Perhitungan koefisien path dilakukan dengan menggunakan software SPSS 18.0 for Windows, dan diperoleh hasil yang ditunjukan pada Tabel 7 berikut.

Tabel 7.

Hasil Uji Path Analysis (Struktur

Model

Unstandardized       Standardized

Coefficients         Coefficients

B       Std. Error        Beta           t         Sig.

1 (Constant)

Tingkat Pendidikan (X1)

Status Ketenagakerjaan (X2)

Budaya (X3)

22.434         2.671                     8.399       .000

.306          .118           .249     2.599       .011

1.202          .539           .187     2.232       .028

-.489          .128           -.344     -3.803       .000

Sumber: Data diolah, 2022

positif sejalan dengan penelitian sebelumnya


yang dilakukan oleh Qibtiyah (2014)

Hasil analisis jalur 1 menunjukkan nilai menyatakan bahwa mayoritas pendidikan koefisien regresi variabel Status responden yang tergolong rendah akan Ketenagakerjaan dan Tingkat Pendidikan menikah di usia muda maka dari itu memiliki efek positif sedangkan variabel disimpulkan bahwa terdapat korelasi yang budaya banyak anak bernilai negatif positifantara tingkat pendidikan dan usia saat signifikan terhadap variabel Usia Kawin menikah, semakin tinggi pendidikan maka Pertama(Y1). Hasil diatas yang menyebutkan usia wanita saat menikah akan relatif tinggi. bahwa tingkat pendidikan memiliki efek


Sedangkan status ketenagakerjaan memiliki efek yang juga positif terhadap usia kawin pertama juga didukung oleh hasil penelitian sebelumnya yakni menurut Syakur (2018) dimana status pekerjaan berpengaruh signifikan (0,001 < 0,05) terhadap usia kawin pertama. Hal tersebut menyatakan bahwajika seseorang tersebut bekerja maka usia kawin pertama cenderung lebih tinggi. Selanjutnya budaya banyak anak yang memiliki efek

Tabel 8.

Hasil Uji Path Analysis (Struktur 2)

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t

Sig.

B

Std. Error

Beta

1   (Constant)

2.082

1.302

1.600

.112

Tingkat Pendidikan (X1)

-.100

.047

-.216

-2.148

.034

Status Ketenagakerjaan (X2)

-.462

.211

-.191

-2.188

.031

Budaya (X3)

.167

.052

.311

3.180

.002

Usia Kawin Pertama (Y1)

-.022

.036

-.657

-.605

.047

Sumber: Data diolah, 2022


Nilai koefisien regresi variabel Tingkat Pendidikan, Status Ketenagakerjaan, dan Usia Kawin Pertama bernilai negatif. Hal ini menunjukkan bahwa variabel Tingkat Pendidikan, Status Ketenagakerjaan, dan Usia Kawin Pertama memiliki hubungan negatif terhadap variabel Fertilitas (Y2). Sedangkan Nilai koefisien regresi variabel budaya banyak anak bernilai positif. Hal ini menunjukkan bahwa variabel budaya banyak anak memiliki hubungan positif terhadap variabel Fertilitas (Y2).

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa nilai signifikansi sebesar 0,011 < 0,05 yang berarti bahwa tingkat pendidikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap usia kawin pertama penduduk di

negatif terhadap usia kawin pertama didukung oleh penelitian sebelumnya yakni Astuty (2013) menyatakan bahwa semakin meningkatnya penduduk Desa Tembung, maka semakin meningkat pula pengaruh budaya yang masuk ke Desa Tembung yang dapat mempengaruhi remaja- remaja di Desa Tembung terutama remaja usia belia yang mengakibatkan meningkatnya angka remaja yang menikah di usia muda.

kalangan migran di Kota Denpasar. Artinya bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula usia kawin pertamanya. Tingkat pendidikan yang berbeda akan mempengaruhi perilaku yang berbeda pula dalam mengambil keputusan untuk kawin atau tidak kawin. Masyarakat dengan pendidikan rendah tidak tahu tentang dampak negatif yang bisa terjadi akibat pernikahan usia muda, sedangkan masyarakat yang pendidikannya tinggi, terlalu idealis untuk menentukan perkawinannya sendiri. Semakin lama seorang wanita mengikuti pendidikan sekolah, maka semakin tinggi pula usia kawin pertamanya (Kurniawati, 2016).

Pendidikan merupakan akar dari semua masalah yang ada dalam diri individu,karena dari pendidikan individu akan mendapat pengetahuan yang nantinya akan membentuk

sikapnya dalam hal pengambilan keputusan untuk melakukan perkawinan (Mulyana & Ijun, 2008: 67). Hal ini didukung juga oleh penelitian yang dilakukan oleh Qibtiyah (2014) menyatakan bahwa mayoritas pendidikan responden yang tergolong rendah akan menikah di usia muda maka dari itu disimpulkan bahwa terdapat korelasi yang positif antara tingkat pendidikan dan usia saat menikah, semakin tinggi pendidikan maka usia wanita saat menikah akan relatif tinggi. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sudibia, dkk (2015) yang menyatakan tingkat pendidikan responden berdampak positif pada umur kawinnya. Artinya semakin tinggipendidikan responden akan diikuti oleh umur kawin yang semakin tinggi pula.

Dari hasil wawancara tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidikan sangat mempengaruhi pola pikir dan pengetahuan seseorang wanita mengenai informasi yang benar. Ibu Nur Haliza menikah pada usia 26 tahun dan salah satu responden yang memiliki latar belakang pendidikan yang cukup tinggi, sehingga beliau bisa mengambil keputusan dalam menentukan umur kawin pertamanya. Sebaliknya jika pendidikan seorang wanita relatif rendah, maka keputusan usia kawin pertamanya juga akan rendah karena pada dasarnya mereka tidak paham akan dampak menikah pada usia yang relatif rendah dan risiko melahirkan pada usia yang relatif muda. Masalah keterbatasan akses dalam mendapatkan informasi mengenai usia kawin pertama karena kurang aktifnya masyarakat dalam menggali informasi terkait risiko menikah dan melahirkan pada usia muda.

Hasil pengujian hipotesis nilai signifikansi yaitu sebesar 0,028 < 0,05 yang menunjukkan bahwa status ketenagakerjaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap usia kawin pertama penduduk di kalangan migran di Kota Denpasar. Hal ini berarti bahwa ketika seorang wanita yang bekerja cenderung memiliki usia kawin yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang tidak bekerja.

Hal ini didukung pula oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Kartika dan Wenagama (2016) berdasarkan uji t pada taraf nyata 5% didapatkan nilai thitung ttabel(4,760 > 1,662) dan signifikansi uji t < 0,05 yaitu 0,000 < 0,05, maka H0 ditolak dan H1 diterima, hal ini berarti status ketenagakerjaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap usia kawin pertama di kecamatan Bangli. Koefisien regresi variabel status ketenagakerjaan adalah sebesar 2,961. Ini berarti apabila perbedaan usia kawin pertama wanita di Kecamatan Bangli antar yang berstatus bekerja dengan yang tidak bekerja sebesar 2,961 tahun. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dibuat oleh Syakur (2018) dimana status pekerjaan berpengaruh signifikan (0,001 < 0,05) terhadap usia kawin pertama. Hal tersebut menyatakan bahwa jika seseorang tersebut bekerja maka usia kawin pertama cenderung lebih tinggi.

Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa nilai signifikansi sebesar 0,000 < 0,05 yang berarti bahwa budaya banyak anak negatif dan signifikan terhadap usia kawin pertama penduduk di kalangan migran di kota Denpasar. Artinya budaya banyakanak yang semakin kental dalam suatu lingkungan akan

mempengaruhi tingkat kawin pertama anak dalam usia muda.

Penelitian yang dilakukan oleh Astuty (2013) menyatakan bahwa semakin meningkatnya penduduk Desa Tembung, maka semakin meningkat pula pengaruh budaya yang masuk ke Desa Tembung yang dapat mempengaruhi remaja-remaja di Desa Tembung terutama remaja usia belia yang mengakibatkan meningkatnya angka remaja yang menikah di usia muda . Masalah perkawinan usia muda dikalangan remaja memiliki tingkat masalah yang sama dengan daerah lain, terutama daerah yang memilki tingkat penduduk yang padat, dengan tingkat ekonomi masyarakatnya yang rendah. Dimana kebanyakan remaja yang telah menikah di usia yang relatif masih sangat muda hidup dengan latar belakang dari rendahnya ekonomi orangtua, pengaruh lingkungan sosial yang sangat mendorong remaja untuk memutuskan menikah di usia yang masih muda, serta kurangnya perhatian dan rendahnya pendidikan yang dimilikioleh keluarga.

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis diketahui bahwa nilai signifikansi yaitu sebesar 0,034 < 0,05, artinya bahwa tingkat pendidikan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap fertilitas penduduk di kalangan migran di Kota Denpasar. Hal ini berarti bahwa ketika seseorang dengan pendidikan yang tinggi cenderung akan mengurangi jumlah anak, hal ini dikarenakan oleh seseorang yang berpendidikan tinggi cenderung memiliki pola pikir yang cukup luas dan tinggi terhadap informasi yang didapat dibandingkan dengan seseorang yang memiliki pendidikan yang kurang.

Pernyataan diatas juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Hanum dan Andiny (2018) menyatakan koefisien regresi pendidikan bernilai negatif sebesar - 0,013 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang negatif antara variabel bebas pendidikan dengan dengan variabel terikat fertilitas, yaitu apabila pendidikan meningkat satu tingkat maka akan menurunkan fertilitas sebesar 0,013. Hasil penelitian diatas juga didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan Syakur (2018) semakin tinggi pendidikan wanita maka cenderung untuk merencanakan jumlah anak yang semakin sedikit. Keadaan ini menunjukkan bahwa wanita yang telah mendapatkan pendidikan yang lebih baik cenderung memperbaiki kualitas anak dengan cara memperkecil jumlah anak, sehingga akan mempermudah dalam perawatannya.

Hal ini secara tidak langsung mendukung hasil penelitian sebelumnya bahwa pendidikan memiliki pengaruh terhadap tingkat fertilitas seorang wanita, semakin rendah pendidikan yang ditempuh maka tingkat fertilitas akan bertambah tinggi karena kurangnya informasi dan edukasi terkait jumlah anak yang perlu diperhatikan karena bukan hanya mengenai berapa jumlah anak yang dimiliki tetapi juga kualitas anak yangbaik juga harus diperhatikan.

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis diketahui bahwa nilai signifikansi yaitu sebesar 0,031 < 0,05, artinya bahwa status ketenagakerjaan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap fertilitas penduduk di kalangan migran di Kota Denpasar. Hal ini berarti ketika seorang wanita bekerja maka kesempatan untuk memiliki anak akan cenderung berkurang.

Pernyataan ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Wicaksono dan Mahendra (2016) dimana status bekerja juga mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap fertilitas individu. Dalam keadaan semua variabel bebas lainnya tetap, perempuan yang berstatus tidak bekerja akan memiliki kecenderungan 1,12 kali untuk memiliki anak lebih dari dua jika dibandingkan dengan perempuan yang berstatus bekerja. Hal ini juga dikemukakan oleh hasil penelitian Testa (2009) mengatakan hubungan negatif antara status bekerja dengan dengan fertilitas.

Hasil pengujian hipotesis nilai signifikansi yaitu sebesar 0,002 < 0,05 yang menunjukkan bahwa budaya banyak anak berpengaruh positif dan signifikan terhadap fertilitas penduduk di kalangan migran di Kota Denpasar. Hal ini berarti bahwa adanya budaya banyak anak menyebabkan tingginya tingkat fertilitas atau jumlah anak yang dimiliki seorang wanita.

Hal ini juga didukung oleh pernyataan yang mengatakan ditargetkan Total Fertility Rate (TFR) Indonesia mencapai angka 2,36 dimana setiap wanita usia subur melahirkan maksimal dua orang anak. Meskipun kenyataannya, selama 3 periode, SDKI menunjukkan angka fertiltas di Indonesia stagnan pada angka 2,6. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa provinsi yang etniknya masih kental budayanya. Misalnya beberapa daerah yang menganut garis keturunan ayah sehingga anak lelaki sangatlah penting untuk keluarga mereka, jadi terus mempunyai anak sampai punya anak laki-laki (Anonim, 2018). Penelitian yang dilakukan oleh Yuniarti dan Setiowati(2015) dari hasil analisis uji regresi

logistik ganda diperoleh nilai koefisien sebesar 3,387 hal ini menunjukkan bahwa variabel budaya merupakan yang paling erat hubungannya dengan tingkat fertilitas.

Hasil pengujian hipotesis nilai signifikansi yaitu sebesar 0,047 < 0,05 yang menunjukkan bahwa usia kawin pertama berpengaruh negatif dan signifikan terhadap fertilitas penduduk di kalangan migran di Kota Denpasar. Hal ini berarti bahwasemakin rendah usia kawin pertama seorang wanita maka semakin banyak pula jumlahanak yang dapat dilahirkan.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sinaga (2017) menyatakan terdapat pengaruh langsung yang signifikan antara usia kawin pertama terhadap fertilitas, dengan besaran pengaruh sebesar -0,467. Artinya usia kawin pertama berpengaruh negatif signifikan terhadap fertilitas. Semakin tinggi usia kawin pertama, akan menurunkan tingkat fertilitas. Hal ini didukung pula oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Maharani (2018) menyatakan pengaruh variabel usia kawin pertama terhadap fertilitas di Desa Semampir, bahwa semakin muda usia kawin seseorang perempuan maka semakin panjang masa reproduksinya dan semakin banyak pula fertilitasnya.

Oleh karena nilai signifikansi usia kawin pertama terhadap fertilitas sebesar 0,647 > 0,05 yang artinya nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 maka tidak ada pengaruh secara tidak langsung antara usia kawin pertama dengan fertilitas dalam penelitian ini disebabkan oleh masih banyaknya responden yang mempercayai budaya banyak anak sehingga hal ini menyebabkan meskipun usia

kawin pertamanya tergolong tinggi ataupun rendah tidak mempengaruhi banyak atau sedikitnya keputusan responden memiliki anak. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yoni Malinda (2010) bahwa umur kawin pertama tidak berhubungan secara signifikan dengan fertilitas remaja (p<0,05).

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan pembahasan penelitian di atas, maka simpulan yang dapat diberikan pada penelitian ini yaitu tingkat fertilitas di kalangan migran, yang diukur dari rata-rata anak lahir hidupmenemukan bahwa fertilitas migran mencapai 3 (tiga) anak per wanita. Proporsi migran yang sedang menggunakan salah satu alat kontrasepsi pada penelitian ini adalah sebesar 14,17 persen. Tingkat pendidikan dan status ketenagakerjaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap usia kawin pertama. Hal ini berarti bahwa ketika seorang perempuan migran mempunyai pendidikan yang tinggi dan bekerja, maka dapat menyebabkan tingginya usia kawin pertama penduduk di kalangan migran di Kota Denpasar. Budaya banyak anak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap usia kawin pertama. Artinya budaya banyak anak yang semakin kental dalam lingkungan wanita migran maka dapat mempengaruhi usia kawin pertama yang semakin rendah di kalangan migran di Kota Denpasar. Status ketenagakerjaan, budaya banyak anak dan usia kawin pertama berpengaruh positif dan signifikan terhadap fertilitas. Hal ini berarti ketika seorang wanita migran yang bekerja terdapat budaya banyak anak yang semakin

tinggi dalam lingkungannya dapat mempengaruhi keputusan dalam menentukan usia kawin yang semakin tinggi sehingga mempengaruhi fertilitaspenduduk di kalangan migran di Kota Denpasar. Tingkat pendidikan berpengaruh negatif signifikan terhadap fertilitas. Artinya jika seorang wanita migran memiliki tingkat pendidikan yang tinggi maka keputusan untuk memiliki anak cenderung sedikit guna menjaga kualitas anak yang dilahirkan. Tingkat pendidikan, status ketenagakerjaan, dan budaya banyak anak tidak berpengaruh secara langsung terhadap fertilitas PUS perempuan migran melalui usia kawin pertama.

Bagi pemerintah diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan masukan dalam mengendalikan angka fertilitas khususnya di kalangan migran di Kota Denpasar. Upaya-upaya yang dilakukan adalah penyuluhan tentang program KB mengingat proporsi PUS migran yang menggunakan salah satu alat kontrasepsi relatif masih rendah, dan begitu pula, penyuluhan tentang perlu peningkatan usia kawin pertama. Bagi pelaku migran penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan jumlah anak karena anak bukan hanya dilihat dari kuantitasnya tetapi juga kualitas terhadap anak yang dilahirkan tentunya juga penting bagi kehidupan mereka nantinya. Mengingat sebagian PUS migran berpendidikan relatif rendah (SD kebawah) maka pihak pemerintah perlu memberikan pendidikan non formal melaluipelatihan-pelatihan agar mereka menjadi tenaga kerja terampil dan berkontribusi terhadap ekonomi keluarga.

REFERENSI

Asaduzzaman dan Hasinur Rahaman Khan. (2008). Factors Related to Childbearing in Bangladesh: A Generalized Linear Modeling Approach. BRAC University Journal, 5 (2) : 15-21.

Dewa Ayu Tri Saraswati dan Made Heny Urmila Dewi. (2020). Analisis Perbedaan Tingkat Fertilitas Pekerja Wanita di Sektor Formal dan Informal Di Kabupaten Badung. E-Jurnal EP Unud. 8(5): 1150-1180.

Davis, Kingsley dan Judith Blake. (1956). Social Structure and Fertility: An Analytic Framework. Economic Development and Cultural Change, 4(3) : 211-235.

Efi Sriwahyuni dan Chatarina Umbul Wahyuni. (2012). Hubungan antara Jenis dan Lama Pemakaian Alat Kontrasepsi Hormonal dengan Peningkatan Berat Badan Akseptor. Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. 8(3),1 12116.

Esti Agustina, Merisa Riski & Rini Gustina Sari. (2021). Hubungan Pendidikan, Usia dan Status Pekerjaan dengan Pemakaian Alat Kontrasepsi dalam Rahim (AKDR) di Puskesmas Pedamaran Kecamatan Pedamaran Kabupaten Oki. Tahun 2019. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi. 21(1): 378- 381.

Evanita Maharani, Puji Hardati dan Saptono Putro. (2018). Pengaruh Pendidikan, Usia Kawin Pertama, dan Lama Penggunaan Alat Kontrasepsi Terhadap Fertilitas di Kecamatan Buayan Kabupaten Kebumen Tahun 20 172. Edu Geography, 6 (1): 2252-6684.

Febriyanti, Ni Putu Vita dan Made Urmila Dewi. (2017). Pengaruh Faktor Sosial Ekonomi dan Demografi Terhadap Keputusan Perempuan Menikah Muda di Indonesia. Jurnal Kependudukan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, XIII(2), 108-117.

Gustavo Angeles, David K. Guilkey, dan Thomas A Mroz. (2005). The Effects of Education and Family Planning Program Fertility in Indonesia. Economic Development and Cultural Change, 54 (1) : 165-201.

Lee, Everett S. (2000). Teori Migrasi. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Diterjemahkan oleh Hans Daeng, ditinjau kembali oleh Ida Bagus Mantra.

Maria Adelia Suryani Haribaik, Ida Bagus Made Astawa, Sutarjo. (2017). Studi Komparatif Tentang Fertilitas Migran dan Nonmigran di Kota Singaraja. Universitas Pendidikan Ganesha. Singaraja.

Muhammad Arif Fahrudin Alfana, dkk. (2015). Fertilitas dan Migrasi:    Kebijakan

Kependudukan Untuk Migran di Kabupaten Sleman. NATAPRAJA. 3(1): 17-24.

Nurlaila Hanun dan Puti Andiny. (2018). Pengaruh Tingkat Pendidikan, Usia Perkawinan Pertama dan Kematian Bayi terhadap Fertilitas di Kabupaten Aceh Timur. Jurnal Samudra Ekonomi dan Bisnis, 9(2): 160-170.

Nasir, Muhammad. (2012). Analisis Faktor-Faktor Eko22nomi dan Sosial yang Mempengaruhi Fertilitas di Provinsi Aceh. Jurnal Ekonomi Indonesia, 1(1): 1-14.

Oktavia, Windi Yohana. (2014). Pengaruh Tingkat Pendidikan, struktur umur dan kematian bayi terhadap fertilitas di Kota Pekanbaru. JOMFEKON 1(2): 1-15.

Pantun Bukit. 2017. Pengaruh Lama Pendidikan, Status Ekonomi dan Sosial Budaya Terhadap Usia Kawin Pertama di Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2015. EKSIS: Jurnal Ilmiah Ekonomi dan Bisnis. Universitas Batanghari Jambi. 8.(2).64-78.

Qibtiyah Mariyatul.   (2014).   Faktor yang

Mempengaruhi Perkawinan Muda Perempuan. Jurnal Biometrika dan Kependudukan. 3(1): 5058.

Rindang Ekawati, Rina Herarti, Nuraini, Laila Rahayuwati dan Sukamdi. (2017). Fertilitas Migran dan Faktor Yang Memengaruhi Fertilitas di Jawa Barat. Populasi. 25(2): 44-53.

Saskara, Ida Ayu Gde Dyastari dan Anak Agus Istri Ngurah Marhaeni. (2015). Pengaruh Faktor Sosial, Ekonom2i, dan Demografi Terhadap Penggunaan Kontrasepsi di Denpa sar. Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan 8(2): 155-161

Sudibia, I Ketut; Nyoman Dayuh Rimbawan; dan Ida Bagus Adnyana. (2012). Pola Migrasi dan Karakteristik Migran Berdasarkan Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010 di Provinsi Bali. Denpasar: BKKBN Pusat dan Pusat Penelitian Kependudukan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Universitas Udayana .

Sudibia, I Ketut; I Nyoman Dayuh Rimbawan; AAIN Marhaeni; dan Surya Dewi Rustariyuni. (2013). Studi Komparatif Fertilitas Penduduk Antara Migran dan NonMigran di Provinsi Bali. Pusat dan Pusat Penelitian Kependudukan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Universitas Udayana .

Sudibia, I Ketut; I Gusti Ayu Manuati Dewi; I Nyoman Dayuh Rimbawan. (2015). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Menurunnya Usia Kawin

Pertama Di Provinsi Bali. Pusat Penelitian dan

Pengembangan SDM Universitas Udayana.

Siti Hajar, Pudjiwati Sagoyo, dan Said Rusli. (1993).

Pengaruh Kerja Nafkah Wanita Terhadap

Fertilitas. Forum Pasca Sarjana, 16 (1) : 1 -9.

Saleh Mohamad. (2004). Pengaruh Faktor Sosial

Ekonomi dan Budaya Terhadap Efektivitas

Program Keluarga Berencana dalam

Hubungan Penurunan Tingkat Fertilitas Pada

Masyarakat Jawa Timur. Disertasi thesis.

Universitas Airlangga.

Buletin Studi Ekonomi

249