283 Jurnal Buletin Studi Ekonomi. Vol. 23 No. 2, Agustus 2018

KETAHANAN EKONOMI MASYARAKAT BALI AGAKECAMATAN BANJAR KABUPATEN BULELENG

I Gusti Made Dharma Hartawan1

I Made Suyana Utama2

1Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Satya Dharma, Singaraja, Bali, Indonesia 2Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana, Bali, Indonesia

Email : dharma[email protected]

Abstract: Economic Resilience of Bali Aga Community of Banjar Sub-district of Buleleng Regency. Bali aga community on economic activity shows that they have traditional knowledge, skills and technology in using resources to survive. Therefore, the economic activity based on togetherness and kinship in the midst of market dynamics that tend to be individualistic becomes important to be maintained, which is analyzed with the comparative descriptive approach, where the documents and interviews as data collection techniques. Any results obtained are the economic concept of Tri Hita Karana concept is achieved by inserting Hindu ethical values, such as Karma Yoga, Tri Kaya Parisuda, and Artha Sastra into production, distribution and consumption activities, through sustainable local institutional effectiveness.

Keyword: economic behavior, institutional effectiveness, economic resilience, comparative descriptive

Abstrak: Ketahanan Ekonomi Masyarakat Bali Aga Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng. Cara berekonomi masyarakat Bali Aga yang tergantung dengan alam menunjukkan, bahwa mereka telah memiliki pengetahuan, keterampilan, dan teknologi tradisional dalam menggunakan sumber daya untuk bertahan hidup. Karenanya, aktivitas ekonomi yang berasaskan kebersamaan dan kekeluargaan di tengah dinamika pasar yang cenderung individualistik menjadi penting dipertahankan, yang dianalisis dengandengan pendekatan deskriptif komparatif, di mana dokumen danwawancara sebagai teknik pengumpulan data.Ada pun hasil yang diperoleh adalahketahanan ekonomi berkonsep Tri Hita Karana dicapai dengan menyisipkan nilai-nilai etika Hindu, seperti Karma Yoga, Tri Kaya Parisuda, dan Artha Sastra ke dalam aktivitas produksi, distribusi, dan konsumsi, melalui efektifitas kelembagaan lokal yang berkesinambungan.

Kata Kunci: perilaku ekonomi, efektifitas kelembagaan, ketahanan ekonomi, deskriptif komparatif

PENDAHULUAN

Keadaan geografis, potensi alam, struktur sosial, dan desain institusi merupakan akar dari terbentuknya sebuah sistem ekonomi. Karenanya, setiap masyarakat cenderung mencari tatanan yang sesuai dengan struktur, kondisi dan potensi daerahnya guna mewujudkan cita-cita ekonominya, yang dibangun oleh empat komponen, mencakup: tatanan tentang kepemilikan, tatanan pelaku ekonomi, tatanan pelaksanaan, dan tatanan yang terkait dengan tujuan yang hendak dicapai (adopsi pemikiran Ismail, Santosa dan Yustika, 2014).Substansi dari sebuah sistem ekonomi adalah bagaimana perilaku masyarakat dalam menggunakan sumber daya yang langka guna memproduksi berbagai komoditi, untuk disalurkan kepada individu dan kelompok agar keinginan dan kebutuhan hidup di tengah dinamika pasar yang penuh dengan ketidakpastian.

Sebagai konsekuensi logis dari dinamika pasar, maka wacana perspektif agama terhadap paradigma pembangunan ekonomi memaksa kaum intelektual mencari jalan alternatif. Kecenderungan semacam inilah oleh Naisbiit (1997) disebut gejala kebangkitan agama,yang dipandang sebagai bagian signifikan dan fungsional bagi sejarah kehidupan manusia di masa depan.Kiranya konsep spiritualisme dalam dinamika ekonomi menjadi sumber inspirasi bagi gerakan ekonomik-religius, yang berangkat dari kejenuhan dan kegagalan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis untuk membawa kesejahteraan hidup yang layak, tanpa memandang kelas dan strata sosial (Maryadi dan Syamsudin, 2001). Oleh sebab

itu, menyisipkan nilai-nilai kearifan lokal berasaskan kebersamaan dan kekeluargaan ke dalam aktivitas ekonomi, di tengah dinamika pasar menjadi penting diungkap. Sunariani (2014) menemukan, bahwa pelaksanaan ritual agama Hindu memiliki multiplier effect sebesar 2,37, yang dapat meningkatkan pendapatan pemasok bahan ritual sebesar 72,06 persen. Sedangkan kontribusi pelaksanaan ritual terhadap kesempatan kerja sebesar 35,4 persen dan kontribusi kesempatan kerja terhadap kesejahteraan masyarakat sebesar 90,2 persen. Oleh sebab itu, penguatan ketahanan ekonomi melalui efektifitas kelembagaan untuk meningkatkan daya saing SDM dalam menujang perilaku ekonomi tidak lepas dari peran kearifan lokal yang ada (Wiana, 2016).

Menyimak kemampuan dan keunggulan Bali, tidak heran jika akar pembangunan ekonomi Bali berorientasi budaya. Berikut disajikan tantangan dan capaian ekonomi Bali kurun waktu 2015.

Tantanganpembangunan yang harus diberi prioritas untuk ditangani adalah laju PDRB yang terkoreksi 0,13% dari tahun sebelumnya, di mana pertumbuhan tertinggi disumbangkan oleh lapangan usaha konstruksi sebesar 9,31 % (y-on-y). Namun, secara kumulatif ekonomi Bali triwulan 2016 tumbuh 6,26 % lebih tinggi jika dibanding dengan periode sebelumnya sebesar 6,07 %, di mana pertumbuhan tertinggi dicapai oleh lapangan usaha jasa kesehatan sebesar 9,33 % (c-to-c). Harus disadari, bahwa tingkat pengangguran terbuka tahun 2015 naik sebesar 0,09 % jika dibandingkan dengan 2014 sebesar 1,90 %. Ini menandakan, para pendatang baru di pasar tenaga kerja menghadapi hambatan dalam

Tabel 1.1

Tantangan Dan Capaian Ekonomi Bali 2015

Keterangan

Capaian

Laju Pertumbuhan PDRB atas dasar harga berlaku menurut lapangan usaha

6.17%

Tingkat Pengangguran Terbuka

^M 1.99%

Penduduk Miskin

^^^H 4.76%

Sumber: BPS Provinsi Bali 2015


mencari pekerjaan. Begitu juga halnya dengan jumlah penduduk miskin tahun 2014 yang naik sebesar 0,27% menjadi 4,76 % dari tahun sebelumnya sebesar 4,49 %.Tantangan besar yang erat kaitannya dengan kemiskinan adalah bagaimana mengatasi ketimpangan yang makin memburuk dengan naiknya Gini Ratio sebesar 0,012 dari 0,403 di tahun 2013 menjadi 0,415 di tahun 2014, yang di duga bersifat struktural dan mendasar yang disinyalir akan terus membengkak ke depannya.

Mengulas tantangan dan capaian ekonomi Bali, kiranya yang musti dilirik adalah bagaimana memerankan ketahanan ekonomi dalam konteks stabilitas ekonomi di tengah dinamika ekonomi yang tidak pasti. Yusgiantoro (2014) menyebut peran utama dari ketahanan ekonomi adalah pencapaian efektivitas dan efisiensi dalam alokasi sumberdaya dan penerapan ekonomi untuk berbagai isu terkait keamanan.

Untuk meletakkan dinamika sosial, dan ekonomi dalam konteksketahanan ekonomi yang kental dengan nafas Hindu, maka menyisipkan etika Hindu ke dalam aktivitas ekonomi, yang mengajarkan nilai-nilai modernisasi seperti rasionalitas, kreativitas, kerja keras, kesetiaan, kejujuran, hemat, orientasi ke masa depan, penghargaan terhadap waktu, dan kerjasama, yang dituangkan dan ditananamkan ke dalam diri para penganut melalui pranata keluarga dan desa adat, sebagai dasar pembentukan etika ekonomi wirausahawan Bali, yang berhubungan dengan pembangunan ekonomi, yang berakar pada nilai-nilai Tri Kaya Parisuda, Karma Yoga, Tri Hita Karana, dan Artha Sastra menjadi relevan (merangkul pemikiran Gorda, 1995). Dengan kata lain, koheren dengan maksud ketahanan ekonomi, yakni untuk mencari cara terbaik dari alokasi berbagai sumberdaya guna memenuhi kebutuhan akan rasa aman dari ancaman (Yusgiantoro, 2014).Intinya, nilai yang dianggap baik dan benar yang berlangsung secara turun-temurun dan dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan sebagai akibat dari adanya interaksi antara manusia dengan lingkungannya (Arsyad, 2016).Oleh sebab itu, peneliti memandang komunitas

Bali Aga sebagai institusi. Di mana, North (1991) mendefinisikan institusi sebagai aturan yang diciptakan manusia untuk mengatur dan membentuk interaksi politik, sosial, dan ekonomi, yang terdiri dari aturan formal, informal, dan proses penegakan aturan, yang secara bersama-sama menentukan struktur insentif masyarakat, khususnya perekonomian yang bertujuan untuk membuat tatanan ke arah yang lebih baik dan mengurangi ketidakpastian di dalam proses pertukaran (Arsyad, 2014).

Uraian di atas memberi sudut pandang, bahwa fenomenaperilaku ekonomi dan kelembagaan memungkinkan masyarakat Bali Aga menyisipkan gagasan lokal yang bersifat bijaksana ke dalam aktivitas ekonomi, yang menggiring kepada tujuan penelitian, yakni:untukmengetahui hubungan antara perilaku ekonomi, efektifitas kelembagaan, dan ketahanan ekonomi, yang diurai sebagai berikut.

METODELOGI PENELITIAN

Subyek kajian ini adalah mendeskripsikan hubungan perilaku ekonomi, efektifitaskelembagaandanketahananekonomi pada masyarakat Bali Aga yang bermukim di Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi yang dikokohkan dengan wawancara. Dokumen diperoleh dari instansi pemerintah Kabupaten Buleleng, seperti data profil desa dan kelurahan yang diperoleh di Badan Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan (BPMPB). Sumber lainnya diperoleh dari BPS Kabupaten Buleleng, dan di Gedong Kirtya terkait keberadaan masyarakat Bali Aga, dengan teknis analisis data yang digunakan bersifatdeskriptif komparatif dengan pendekatan teoritis.

PEMBAHASAN

Gambaran Umum Aktivitas Ekonomi Masyarakat Bali Aga

Cara hidup manusia Bali dari berburu dan meramu ke bercocok tanam hingga berdagang (Ardika, Parimartha dan Wirawan, 2015) menunjukkan, bahwa masyarakat Bali Aga memiliki pengetahuan dan teknologi

Tabel 1

Lingkungan Ekonomi Desa Bali Aga

No

Keterangan

Nama Desa

Sidetapa

Cempaga

Tigawasa

Pedawa

1

Luas wilayah (km2)

8,45

11,50

16,90

16,68

2

Letak dari permukaan laut (m)

200-500

400-500

500-700

480-951

3

Jumlah penduduk (orang)

5.314

2.795

5.608

5.637

4

Jenis tanah

Latosol (tanah hitam yang subur)

Latosol (tanah hitam yang subur)

Latosol (tanah hitam yang subur)

Latosol (tanah hitam yang subur)

5

Sumber utama mata pencaharian

Petani dan

Pengerajin

Ayaman Bambu

Petani

Petani, Pengerajin Anyaman Bambu dan

Peternak

Petani

6

Komoditas pertanian

Mangga, Manggis dan Durian

Padi, Jagung,

Ketela Pohon, Mangga, Manggis dan Durian

Pisang, Jagung dan Ketela Pohon

Cengkeh

7

Komoditas perkebunan

Cengkeh dan Kakao

Cengkeh dan Coklat

Cengkeh dan Kopi

Cengkeh

8

Peternakan yang dikembangkan

Sapi

Sapi, Babi, dan Ayam

Sapi, Babi dan Ayam

Sapi dan Kambing

9

Subak

Subak Abian

Wana Sari dan Munduk Sari

Subak Sawah Gunung Sari dan Subak Abian Buana Kerti

Subak Abian

Subak Abian Buana Sari, Mayung dan Asah

10 Keempat desa berada di kawasan hutan Banjar seluas 2.232,45 ha, dengan Kawasan Cagar Alam seluas 646,20 ha, hutan wisata seluas 442,35 ha dan kawasan hutan Lindung seluas 1.212,24 ha

Sumber: Surjana, 1996, Sridanti, 1995, Kusumawati, 1996, BPS Kabupaten Buleleng, 2016, Laporan Status Lingkungan

Hidup Kabupaten Buleleng, 2015

tradisional (pemikiran Giddens, 2003) dalam menggunakan sumber daya untuk bertahan hidup. Karenanya, alokasi sumber daya berasaskan nyama braya (kebersamaan dan kekeluargaan) di tengah dinamika pasar yang cenderung individualistik. Atmadja (2010) menyatakan, bahwa Bali kini tengah mengalami pergolakan identitas, di mana kebudayaan Bali yang adiluhung perlahan terkikis oleh arus modernisasi dan westernisasi yang merusak jantung kehidupan masyarakatnya, di tengah meningkatnya sekularisasi dan komodifikasi dari berbagai

aspek budaya Bali di era globalisasi (Dibia, 2012).Dengan label Bali Kuno yang bersarang di pegunungan, kehidupan masyarakat Bali Aga sangat tergantung dengan tanah, air dan hutan. Untukitu, ketersediaan dan keberlanjutannyasebagai bahan mentah untuk menghasilkan barang dan jasa harus dijaga dan diatur. Lebih rinci, keadaan lingkungan ekonomi disajikan sebagai berikut.

Tabel 1 mengambarkan bahwa lingkungan ekonomi menjadi alasan kuat bagi masyarakat Bali Aga untuk menggunakan sumber daya dalam berproduksi guna

memenuhi kebutuhan hidup. Karenanya, prinsip nyama braya harus disisipkan ke dalam aktivitas ekonomi dalam rangka penguatan kelembagaan lokal menuju ketahanan ekonomi. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa faktor geografislah yang menentukan aktivitas ekonomi, yang berangkat dari keadaan alam sekitar, yang dikuatkan dengan kesadaran religius.

Pendapat tersebut bertentangan dengan Acemoglu dan Robinson (2012) yang menegaskan, penyebab kemajuan ekonomi tidak ditentukan oleh faktor geografis, iklim, nilai maupun etika, namun ditentukan oleh desain institusi politik dan ekonomi. Hal ini memberi celah untuk mengaitkan nilai dan etika lokal, di mana Willimson (2000) dikutip Arsyad (2014), di mana adat, tradisi, norma dan agama yang disebutnya sebagai institusi informal memegang peranan penting dalam memengaruhi aturan formal yang berimbas pada terciptanya tata kelola yang baik, sehingga penggunaan sumber daya ekonomi berjalan dengan baik.Oleh karena itu, pelibatan pengetahuan, teknologi dan keterampilan tradisional ke dalam aktivitasekonomi, yang kedap dengan dinamika harga sewa tanah, upah tenaga kerja dan bunga modal, menjadi penting. Contoh, kelompok sosial yang bergerak di bidang pertanian (Subak), sebagai organisasi pertanian tradisional yang mempunyai tugas pokok mengurus dan mengatur sistem pengairan di sawah. Air juga berfungsi untuk upacara keagamaan, seperti sungai Pengangkidan di desa Pedawa, yang airnya mengalir sepanjang tahun, digunakan untukupacara ngaben (kematian). Desa Pedawa mempunyai sumber mata air yang relatif banyak, seperti 5 buah di dusun Desa, 17 buah di dusun Ingsakan, dan 7 buah di dusun Munduk Waban ditambah 1 buah air terjun.

Umumnya sistem pertanian di desa Bali Aga masih bersifat tradisional. Misal, persawahan di desa Sidetapa dan Cempaga masih menerapkan sistem tadah hujan, yang sangat tergantung dengan musim hujan, yang berdampak pada pola tanam dilakukan setahun sekali. Untuk peternakan, sebagian

besar peruntukkannya sebagai tenaga pembantu untuk mengolah tanah persawahan dan ladang, disamping membantu dalam urusan adat dan upacara keagamaan (adopsi pemikiran Sridanti, 1995). Untuk pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal di desa Tigawasa dilakukan dengan cara: pertama, dengan memegang konsep dresta, dengan menjadikan hutan sebagai pura mretiwi (pura tanpa bangunan fisik). Kedua, melalui pelaksanaan upacara agama, seperti Sabha Ngubeng, Sabha Mamiut, Sabha Sabuh Baas, Sabha Nyeta dan Sabha Malguna. Ketiga, dengan mengembangkan mitos, bahwa hutan adalah alas tenget (hutan keramat) dan alas duwe (hutan berpenghuni). Keempat, melindungi hutan dengan awig-awig (Wijana, 2013). Sedangkan untuk pengerajin Anyaman bambu, sebarannya hampir merata, yang oleh masyarakat setempat dianggap sebagai sumber mata pencaharian kedua. Pola distribusinya mulai dari pengerajin rumah tangga, kemudian dikumpulkan oleh pengepul dari desa setempat. Dengan kata lain, kepemilikan atas sumber daya yang meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan merupakan faktor produksi yang digunakan untuk menyediakan barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi (adopsi pemikiran Effendie, 2016, Sugiyanto dan Fikri, 2016).

Perilaku Ekonomi Masyarakat Bali Aga

Pembahasan perilaku ekonomi dipilah menjadi tiga sub-bagian, yakni: perilaku produksi, distribusi, dan konsumsi, yang diulas sebagai berikut.

Perilaku Produksi Masyarakat Bali Aga

Besaran aktivitas produksi masyarakat Bali Aga dicerminkan melalui rata-rata produksi pertanian serta banyaknya industri kecil dan serapan tenaga kerja per desa, yang tersaji sebagai berikut.

Angka statistik menunjukkan, bahwa rata-rata produksi pertanian, sebarannya merata yaitu 6,20 ton/ha. Yang menarik ditelusuri adalah jumlah industri kecil yang ada di desa Tigawasa dan Sidetapa, utamanya industri Anyaman Bambu masing-

Tabel 2

Besaran Rata-Rata Produksi Pertanian Dan Industri Kecil Desa Bali Aga

Nama Desa

Rata-Rata Produksi (ton/ha)

Jumlah Industri Kecil dan Serapan Tenaga Kerja (T.K) (buah/orang)

1. Desa Pedawa

6,20

110 dengan T.K 178

2. Desa Tigawasa

6,20

1.350 dengan T.K 2.660

3. Desa Cempaga

6,20

190 dengan T.K 290

4. Desa Sidetapa

6,20

410 dengan T.K 1.462

Sumber: BPS, Statistik Daerah Kecamatan Banjar dan Tejakula, Kabupaten Buleleng 2016


Tabel 3

Besaran Harga Sewa/Jual Tanah, Upah Tenaga Kerja dan Bunga Modal Atas

Kepemilikan Sumber Daya Desa Bali Aga

No

Besaran Harga Faktor Produksi

Desa

Sidetapa

Cempaga

Tigawasa

Pedawa

1

Harga jual lahan Cengkeh (juta per are)

20-25

15-20

10-25

35

2

Upah tenaga kerja harian (Rp. 000,-)

100

100

100

125

3

Bunga modal (%/bulan)

10-15

10-15

5-10

5-15

Sumber: Sugita, Oka, Eka dan Joelianto (warga desa Bali Aga)


masing sebanyak 1.350 dan 410 dengan penyerapan tenaga kerja 2.660 dan 1.462 orang. Paparan tersebut mengndikasikan, bahwa pola produksi pertanian sebagai basis aktivitas ekonomi perdesaan Bali Aga, yang dikuatkan oleh industry kecil.Secara teoritis, pola produksi pertanian berdampak pada pola produsen dan konsumen. Dalam arti, produsen memerlukan faktor produksi dengan alasan untuk menghasilkan produk. Sedangkan untuk konsumen guna mendapatkan manfaat yang berdampak pada kepuasan, yang ditentukan oleh harga, dengan pendapatan sebagai akarnya. Dengan kata lain, produksi bisa berjalan jika insentif berupa sewa tanah, upah tenaga kerja dan bunga modal sebagai faktor produksi bekerja. Oleh sebab itu, pola produksi yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah perilaku yang dilakukan oleh masyarakat Bali Aga dalam menggunakan sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan untuk menghasilkan barang dan jasa, dengan maksimum laba sebagai tujuan utamanya, dengan cara membayar sewa tanah, membayar upah tenaga kerja dan membeli bahan mentah (adopsi pemikiran Sugiyanto, 2008).

Pengertian produksi dalam bidang ilmu ekonomi dimaknai sebagai setiap tindakan yang ditujukan untuk menambah nilai guna suatu barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia (Prasetya, 2016), yang dicapai dengan menggerakkan faktor produksi seoptimal mungkin, yang dikelompokkan menjadi empat, yaitu: sumber daya alam, modal, tenaga kerja dan kewirausahaan. Oleh karena itu, cara produksi hendaknya berfokus pada hakikat dan makna kerja (Karma Yoga) bagi manusia dan atau kelompok di mana manusia dan atau kelompok tersebut hidup dan tinggal. Karma Yoga dalam konsep produksi menekankan pada pentingnya kerja (Karma) dalam mencapai tujuan dan hakikat hidup manusia. Bahwa kerja merupakan sesuatu yang sangat esensial dalam kehidupan manusia (Veda) dan hanya melalui kerja yang baik (Subhakarma) manusia dapat menolong dirinya dari penderitaan hidup (Samsara) dan mencapai kebahagiaan abadi (Gorda, 1995), yang ditegaskan Myrdal (1968), bahwa ajaran Veda pada dasarnya melengkapi persyaratan-persyaratan modernisasi, seperti sifat rajin, rasional dalam pengambilan keputusan,

terbuka terhadap perubahan dan siap memanfaatkan peluang yang tersedia dalam dunia yang terus berubah.

Ada empat faktor produksi (adopsi pemikiran Prasetya, 2016), yang mencakup: pertama, sumber daya alam (land) yang meliputi lahan, tanah, hutan, mineral, dan air sebagai faktor produksi yang tersedia dengan sendirinya. Kedua, adalah modal (capital) yang tidak hanya berkutat pada modal ekonomi, namun bisa diartikan sebagai akumulasi dari modal kultural, modal sosial, modal manusia dan modal simbolik terkait dengan upayanya mengatasi masalah ekonomi melalui pertautan antara agen dan agensi melalui konsep habitus dengan komposisi dan konfigurasi kepemilikan atas modal dan ranah (adopsi pemikiran Bourdieu, 1977). Ketiga, adalah faktor tenaga kerja (labour) yang merupakan unsur penting bagi terlaksananya kegiatan produksi, yang digolongkan menjadi tenaga kerja terdidik, terlatih dan tenaga kerja yang tidak terdidik dan tidak terlatih. Keempat, adalah faktor kewirausahaan yang inovatif, berani menanggung risiko, bertanggungjawab, percaya diri dan produktif.

Perilaku Distribusi Masyarakat Bali Aga

Ativitas distribusi berfokus pada kepemilikan atas sumber daya,yang berdampak pada distribusi kepemilikan atas faktor produksi, yang ditunjukkan oleh harga sewa tanah, upah tenaga kerja dan bunga modal, seperti tersaji sebagai berikut.

Tabel 3 memberi gambaran, bahwa sumber daya ekonomi seperti tanah, tenaga kerja dan modal diperlakukan sebagai pasar. Siapa yang memiliki kekuatan ekonomi untuk menguasainya, maka merekalah yang menguasai pasar. Kondisi seperti ini sangat tidak cocok dengan nilai-nilai nyama braya yang dianut oleh masyarakat Bali Aga. Oleh karena itu, keadilan distribusi kepemilikan atas faktor produksi untuk menciptakan keadilan sosial menjadi persoalan mendasar dalam sistem ekonomi perdesaan Bali Aga (adopsi pemikiran Ismail, Santosa dan Yustika, 2014). Paparan besaran harga faktor produksi memberi petunjuk, bahwa secara

normatif perilaku produksi, distribusi dan konsumsi masyarakat Bali Aga tidak lepas dari konsep nyama braya dengan etika Hindu sebagai taksu-nya (adopsi pemikiran Kusumawati, 1996 dan Wirayudani, 1998). Intinya, nilai yang dianggap baik dan benar yang berlangsung secara turun-temurun dan dilaksanakan oleh masyarakat Bali Aga wajib disisipkan ke dalam perilaku ekonomi, sebagai akibat dari adanya interaksi antara manusia dengan lingkungan(adopsi pemikiran Arsyad, 2016). Secara normatif, untuk mendesain masyarakat Bali Aga sebagai aktor utama dalam perekonomian perdesaan, hendaknya berfokus pada isi pembangunan daripada bentuk pembangunan, yang tidak melanggar batas dalam manusia dan batas luar lingkungan, yang berasal dari sanubari masyarakat, yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pokok secara mandiri dan berkelanjutan.

Konsep distribusi dalam kajian ekonomi sangat terkait dengan pola produksi, konsumsi dan pertukaran barang dan jasa yang menyertakan keterlibatan dan kepemilikan sumber daya ekonomi. Hal ini penting, mengingat kepemilikan merupakan syarat pokok bagi pelaku ekonomi untuk bisa melakukan kegiatan ekonomi, yang membawa dampak terhadap besaran pendapatan dan kesejahteraan yang diperoleh.Dalam konteks inilah tatanan distribusi kepemilikan sumber daya ekonomi masyarakat Bali Aga yang berasaskan kebersamaan dan kekeluargaan musti diselenggarakan dengan cara adil di antara para pelaku ekonomi. Ada tiga bentuk kepemilikan, yaitu: kepemilikan pribadi, kepemilikan publik (dalam hal ini adat) dan kepemilikan negara, yang diperoleh dengan cara: bekerja, warisan, harta yang diberikan negara kepada rakyat, sumber-sumber lain di luar yang telah disebutkan, dan berdasarkan undang-undang (Ismail, Santosa dan Yustika, 2014).

Peneliti mengartikan perilaku distribusi sebagai tindakan pembagian, penyebaran, pengiriman dan penyaluran barang dan jasa kepada orang lain atau kelompok tertentu sebagai akibat dari kepemilikan sumber daya ekonomi yang dikelola secara efektif

dan efisien berasaskan konsep nyama braya. Bukan dalam artian sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar, seperti teori distribusi kepemilikan neoklasik, yang lebih menekankan pada pembagian distribusi kepemilikan dibagi oleh ketiga pemilik faktor produksi secara proporsinal menurut kontribusinya (produktivitas marginal), yang menempatkan semua faktor produksi pada derajat yang sama. Pekerja dalam hal ini upah tenaga kerja, tidak etis jika diartikan memiliki kedudukan yang sepadan dengan tanah, mesin dan modal. Oleh sebab itu, keadilan distribusi kepemilikan faktor produksi yang cocok dengan sistem kekeluargaan dan kebersamaan harus dikedepankan. Utamanya, peran manusia atau tenaga kerja dalam proses produksi. Yang oleh, Ismail, Santosa dan Yustika(2014) dikatakan sebagai kelemahan pokok dari teori kapitalis.

Dalam konteks inilah nilai-nilai Tri Kaya Parisuda disisipkan ke dalam distribusi kepemilikan sumber daya ekonomi, mengingat Tri Kaya Parisuda merupakan rangkaian perilaku yang menunjukkan kualitas dan citra manusia yang didasarkan atas kerja (Karma), dengan segala daya yang diamanatkan pada dirinya dengan pikiran (manacika), kemampuan berkomunikasi (wacika), dengan melakukan kegiatan secara fisik (kayika) demi kesempurnaan. Karenanya, etika Hindu menghimbau agar manusia tidak berputus asa dalam proses penyempurnaan hidupnya, meskipun mengalami berbagai hambatan dan tantangan, sebab hidup sebagai manusia memberi peluang dalam berkarya yang wajib dimanfaatkan manusia untuk meningkatkan mutu kehidupan ke arah pencapaian tujuan hidup tertinggi, yaitu jagaddhita dan moksa (Sarasamuccaya, sloka 2 dan 4) yang diadopsi dari pemikiran Gorda (1995).

Penyisipan nilai-nilai Tri Kaya Parisuda dalam konteks distribusi kepemilikan sumber daya ekonomi melibatkan lima indikator, mencakup: pertama, efisien dalam menggunakan sumber daya ekonomi, disebabkan oleh adanya keterbatasan sumber daya dibanding dengan kebutuhan dan keinginan, yang mencerminkan

kegiatan pikiran (manacika), kemampuan komunikasi (wacika) dan kegiatan fisik (kayika) yang baik demi kesempurnaan tujuan distribusi yang dimaksud. Kedua, efektifitas pemanfaatan sumber daya ekonomi untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, utamanya bagi pelaku ekonomi yang sanggup menciptakan kesejahteraan secara optimal, yang membutuhkan pikiran (manacika), kemampuan komunikasi (wacika) dan kegiatan fisik (kayika) yang baik. Ketiga, sumber daya harus dimanfaatkan agar tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat, yang membutuhkan kualitas pikiran (manacika) yang cerdas dan jujur, kemampuan komunikasi (wacika) dan kegiatan fisik (kayika) yang baik. Keempat, adalah manfaat, penggunaan dan pengembangan sumber daya tidak boleh merugikan pemilik maupun orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang memerlukan pikiran (manacika), kemampuan komunikasi (wacika) dan kegiatan fisik (kayika) yang sehat. Dan yang kelima, adalah semua bentuk kepemilikan sumber daya ekonomi tunduk pada kepentingan umum, yang memerlukan pikiran (manacika), kemampuan komunikasi (wacika) dan kegiatan fisik (kayika) yang baik (elaborasi pemikiran Ismail, Santosa, dan Yustika, 2014, dan Gorda, 1995).

Perilaku Konsumsi Masyarakat Bali Aga

Konsep yang ketiga dari aktivitas ekonomi adalah perilaku konsumsi, yang dipicu oleh keinginan dari serangkaian kebutuhan masyarakat Bali Aga, dengan menyisipkan nilai-nilai Artha Sastra, mengingat ajaran Hindu tidak pernah melarang pemeluknya mengejar dan menumpuk kekayaan (artha) sepanjang digapai dengan jalan dharma. Jika dikaitkan dalam konteks konsumsi masyarakat Bali Aga, hal ini berkaitan erat dengan penyisihan rata-rata 25% dari pendapatan yang berasal dari panen Cengkeh sebagai akumulasi pendapatan, tabungan dan investasi. Hal ini memperkuat pernyataan Domar dikutip Budiman (1995), bahwa pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh tinggi rendahnya tabungan dan investasi yang berasal

Tabel 4

Pelaku Ekonomi Desa Bali Aga

No

Pelaku Ekonomi

Nama Desa

Sidetapa

Cempaga

Tigawasa

Pedawa

1

Rumah Tangga Individu dan Perusahaan

  • 1.1    Industri Kecil dan Menengah

  • a. Industri Kerajinan

-

2

-

-

b. Industri Kecil

410

1.350

190

110

1.2 Usaha Jasa Perdagangan c. Pengolahan Kayu

3

-

-

-

d. Pasar Hasil Bumi

-

1

-

-

e. Toko Kelontong

-

30

-

5

f. Usaha Toko / Kios

-

-

-

15

g. Warung

30

25

43

27

1.3 Usaha Jasa Keterampilan h. Tukang Kayu

3

-

-

1

i. Tukang Jahit / Bordir

2

-

-

1

j. Tukang Besi

3

-

-

-

k. Tukang Service Elektronik

-

-

-

1

l. Tukang Cukur

-

-

-

1

1.4 Usaha Jasa Gas, Listrik, BBM dan Air m. Pengecer Gas dan Bahan Bakar

-

20

-

-

minyak

n. Usaha Air Minum Kemasan/Isi

-

1

-

-

Ulang

1.5 Lembaga Simpan Pinjam o. Kelompok Simpan Pinjam

-

4

-

-

p. Koperasi Simpan Pinjam

-

2

-

1

1.6 Unit Usaha Pengolahan Pangan

26

8

14

16

2

Pemerintah Desa

2.1 Badan Usaha Milik Desa (BUMDES)

1

1

1

1

2.2 Lembaga Perkreditan Desa (LPD)

1

1

1

1

2.3 Pasar Desa

-

1

1

-

2.4 Pasar Tenten

1

-

-

1

Sumber: Profil Desa Dan Kelurahan, BPMPD Kabupaten Buleleng 2016, Kecamatan Banjar Dalam Angka 2016,

BPS Kabupaten Buleleng, 2016


dari pendapatan. Karenanya, memperoleh artha harus dengan jalan dharma (Veda Smrti, Sarasamuccaya, sloka 261 dan 262, dikutip Gorda, 1995). Dalam kajian ini, kiblat perilaku konsumsi mengarah pada perilaku konsumen, yang diartikan sebagai unit dan jumlah barang dan jasa yang dibeli oleh rumah tangga masyarakat Bali Aga untuk memenuhi

kebutuhan hidupnya. Barang dan jasa yang dibeli berpatok pada kemampuan. Dengan demikian, jika masyarakat mengkonsumsi barang dengan jumlah yang semakin banyak, maka kepuasan totalnya semakin meningkat, namun dengan laju yang semakin rendah (adopsi pemikiran Sugiyanto, 2008).

Menelisik paparan tersebut, ada enam

indikator tindakan konsumsi, yang mencakup: (a) konsumsi sangat tergantung dari besaran pendapatan yang hendaknya diperoleh dengan jalan dharma, yang mencerminkan perilaku hemat; (b) konsumsi senantiasa dihadapkan pada jumlah barang pemuas yang terbatas. Karenanya, kesadaran terhadap keterbatasan jumlah barang dan jasa yang dimaksud mencerminkan pemanfaatan kekayaan (Artha Sastra) secara bijak; (c) keterbatasan dalam pemanfaatan pendapatan (Artha Sastra) menunjukkan pola konsumsi yang hemat; (d) preferensi kebutuhan dengan baik menunjukkan pemanfaatan kekayaan (Artha Sastra) dengan dermawan; (e) tindakan yang rasional dalam mengkonsumsi suatu barang dan jasa menunjukkan perilaku hidup hemat dan dermawan (Artha Sastra); dan (f) selera dalam mengkonsumsi barang dan jasa tetap membutuhkan pemanfaatan pendapatan (Artha Sastra) yang baik (elaborasi pemikiran Prasetya, 2016, dan Gorda, 1995).

Efektifitas Kelembagaan Masyarakat Bali Aga

Sebagai sebuah sistem ekonomi, aktivitas perekonomian desa Bali Aga sebagai wujud dari kelembagaan lokal tidak lepas dari peran para pelaku ekonomi dalam menggunakan sumber daya, yang disajikan sebagai berikut.

Tabel 4 menginformasikan, pelaku ekonomi dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: rumah tangga individu dan rumah tangga perusahaan yang terkonsentrasi pada industri kecil dan menengah, usaha jasa perdagangan, usaha jasa keterampilan, usaha gas, listrik dan bahan bakar minyak, lembaga simpan pinjam, serta unit usaha pengolahan pangan. Sedangkan untuk pelaku ekonomi dari pemerintah desa diwakili oleh BUMDES, LPD, pasar Desa dan pasar Tenten sebagai institusi milik masyarakat desa. Secara teoritis kelembagaan ekonomi, baik dari rumah tangga individu, rumah tangga perusahaan maupun pemerintah desa berperan strategis dalam menciptakan, mengatur, menjaga kestabilan dan melegitimasi pasar secara efektif (adopsi pemikiran Rodrik dan Subramaniam, 2003 dikutip Arsyad, 2014).

Hal ini dibuktikan dengan berjalannya pasar Desa di desa Cempaga dan Tigawasa serta pasar Tenten di desa Sidetapa dan Pedawa, yang diikuti dengan maraknya unit usaha pengolahan pangan, industri usaha kecil dan menengah, usaha jasa perdagangan dan usaha jasa keterampilan serta usaha jasa gas dan air minum, yang diikuti juga dengan menggiatnya kelompok dan koperasi simpan pinjam. Dengan demikian, dapat dikatakan pelaku ekonomi di desa Bali Aga melakukan pertukaran yang membentuk perekonomian perdesaan.

Untuk sumber ekonomi desa Bali Aga, diinformasikan bahwa pemilikan lahan pertanian tananam pangan terbanyak ada di desa Pedawa sebanyak 910 keluarga dengan luas tanam Cengkeh 272 ha, yang disusul oleh desa Cempaga 860 keluarga dengan luas tanam Cengkeh 26 ha, desa Tigawasa 440 keluarga dengan luas tanam Cengkeh 78 ha dan untuk desa Sidetapa sebanyak 310 keluarga dengan luas tanam Cengkeh 151 ha sebagai indikasi dari sumber daya alam. Untuk potensi sumber daya manusia desa Sidetapa mempunyai tenaga kerja sebanyak 3.745 orang, desa Cempaga 2.425 orang, desa Tigawasa sebesar 2.892 orang dan untuk desa Pedawa sebanyak 3.296 orang tenaga kerja. Sedangkan untuk potensi sumber daya buatan diwakili oleh jumlah unit usaha pengolahan pangan, di mana desa Sidetapa mempunyai unit usaha pengolahan pangan sebanyak 26 unit, desa Cempaga ada 8 unit, desa Tigawasa sebanyak 14 unit dan untuk desa Pedawa sebanyak 16 unit. Oleh karena itu, tidak heran kepemilikan sumber daya, seperti lahan Cengkeh merupakan titik awal dari terciptanya sistem keadilan dalam perekonomian perdesaan Bali Aga.

Konsep efektifitas kelembagaan lokal yang berkesinambungan merupakan elaborasi teori efektifitas kelembagaan dengan another development yang mencakup: pembangunan pemenuhan kebutuhan pokok secara mandiri dan berkelanjutan, di mana efektifitas senantiasa dituntut bekerja ke arah yang lebih, karenanya Bank Dunia (2002) mensyaratkan empat prinsip agar kelembagaan efektif:(a) komplementaritas yang mensyaratkan tata

Tabel 5

Isu-Isu Strategis Kepemilikan Sumber Daya Desa Bali Aga

No

Isu-Isu Strategis

Desa

Sidetapa

Cempaga

Tigawasa

Pedawa

1

Alih fungsi dari persawahan menjadi perkebunan Cengkeh

ν

ν

ν

ν

2

Kepemilikan tanah dari penduduk asli ke pendatang

ν

ν

ν

ν

3

Bambu sebagai bahan mentah produk Anyaman didatangkan dari luar desa

ν

ν

ν

ν

4

Produksi sangat dipengaruhi oleh dinamika harga sewa tanah, upah tenaga kerja dan bunga modal

ν

ν

ν

ν

5

Pola konsumsi pasca panen Cengkeh

ν

ν

ν

ν

Sumber: Sugita, Oka dan Joelianto, 2017 (warga desa Bali Aga)


kelola lembaga disesuaikan dengan institusi pelengkap, besaran biaya dalam menciptakan institusi, kapasitas administrasi dan tingkat penguasaan teknologi; (b) inovasi yang bekerja pada level pembuatan kebijakan, praktek bisnis dan level aksi; (c) konektivitas yang menekankan kelancaran arus informasi guna menghubungkan pelaku ekonomi dan pasar; dan (d) kompetisiyang menuntut kesiapan untuk berbenah demi mengimbangi tuntutan pasar.

Williamson (2000)dikutip Arsyad (2014)merinci institusi sebagai aturan main ke dalam empat tingkatan institusi berdasarkan analisis sosial, mencakup: pertama, adalah tingkatan lekat sosial, di mana institusi melekat dalam waktu yang sangat lama di dalam masyarakat dan telah menjadi pedoman masyarakat dalam hidup dan berkehidupan, yang disebut sebagai institusi informal. Dalam konteks inilah pembangunan berwawasan etnis sebagai dasar pembangunan endogen dirangkul, yakni pembangunan yang berasal dari sanubari tiap masyarakat yang mandiri dengan mengandalkan kekuatan dan sumber daya sendiri dalam artian kekuatan anggotanya serta lingkungan alam dan lingkungan budayanya (adopsi pemikiran Dag Hammarskjold Foundation dikutip Hette, 2001). Tingkatan kedua disebut lingkungan kelembagaan yang sering disebut aturan main formal. Institusi ini berkaitan dengan aturan hukum, konstitusi, peraturan perundangan,

lembaga-lembaga yudikatif dan birokrasi. Tingkatan ketiga menyangkut tata kelola yang baik agar biaya transaksi dapat diminimumkan. Dan yang terakhir tingkatan keempat adalah institusi yang mengatur alokasi sumber daya dan pengerjaan.

Ketahanan Ekonomi Masyarakat Bali Aga

Ketahanan ekonomi diawali dari isu-isu strategis terkait kepemilikan sumber daya, yang tersaji sebagai berikut.

Sinyal kuat yang diperoleh dari tabel 5, adalah bergesernya perilaku produksiyang dipicu olehalih fungsi lahan dari Padi ke Cengkeh, yang berimbas pada cara konsumsi pasca panen raya Cengkeh yang meningkat. Dengan kata lain, Cengkeh lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan Padi atau bidang persawahan. Penyebab sesungguhnya adalah ketidakadilan dalam kepemilikan sumber daya, utamanya kebun Cengkeh yang secara otomatis berdampak pada kesenjangan pembagian pendapatan. Yang menarik adalah isu kepemilikan tanah dari penduduk asli ke pendatang, yang sebagian besar kepemilikan tanah di keempat desa Bali Aga berputar pada penduduk setempat. Namun, tidak berarti masyarakat Bali Aga anti pendatang. Misal, tanah di desa Tigawasa dimiliki oleh orang dari desa Sidetapa. Begitu juga berlaku sebaliknya, asal tunduk dengan aturan desa setempat.

Ada juga villa milik orang Belanda di sebelah timur desa Tigawasa. Secara umum, bentuk kepemilikan tanah pada masyarakat Bali Aga dipilah menjadi tiga, yaitu: kepemilikan pribadi seperti tanah perkebunan, kepemilikan publik seperti tanah milik adat, kuburan misalnya, dan kepemilikan negara seperti hutan (adopsi pemikiran Ismail, Santosa dan Yustika, 2014). Demikian juga halnya dengan bahan mentah kerajinan Anyaman bambu, di mana bambu sebagai bahan mentah, sebagian besar didatangkan dari luar desa, utamanya desa Luwus Kabupaten Tabanan. Dari sudut ekonomi, tidak masalah bahan mentah didatangkan dari luar desa, asal diproduksi di desa itu sendiri. Artinya, ada nilai tambah bagi desa Bali Aga sebagai produsen kerajinan Anyaman bambu (adopsi pemikiran Sukarsa, 2014).

Secara teoritis, paparan di atas bila dikaitkan dengan ketahanan ekonomi mengandung unsur strategi pertahanan, pemikiran ideologi, serta adanya aktivitas ekonomi, di mana ekonomi pertahanan dapat diartikan sebagai bagian dari ilmu ekonomi yang bertujuan mengubah ancaman menjadi peluang, utamanya bagaimana memecahkan masalah pertahanan ke dalam aspek ekonomi yang berkontribusi pada aspek pertahanan melalui faktor ketahanan (adopsi pemikiran Kemhan, 2010 dikutip Yusgiantoro, 2014), yang digambarkan sebagai berikut.

Ancaman

Ekonomi

Nasional

trategi dan

kebijakan

pertahanan nasional

Industri

— .                 Nasional

Industri

ertahanan

Gambar 1 Sistem Kebijakan Pertahanan Nasional (Sumber: Kemhan, 2012)

Penjelasan gambar 1 adalah model sistem kebijakan pertahanan nasional berfokus pada pengaruh variabel ancaman terhadap

kebijakan pemerintah yang berpengaruh pada variabel ekonomi nasional, yang terdiri atas variabel ekonomi pertahanan dan variabel non pertahanan. Dalam konteks inilah nilai kearifan lokal (Tri Hita Karana) disisipkan ke dalam konsep ketahanan ekonomi, yang memandang situasi sulit yang dihadapi manusia berakar pada struktur ekonomi dan sosial. Dengan tegas dinyatakan, bahwa proses pertumbuhan yang tidak merangkul pada kearifan lokalmasyarakat setempat merupakan ejekan terhadap pembangunan (adopsi pemikiran Dag Hammarskjold Foundationdikutip Hette, 2001).

Konsep ketahanan ekonomi dengan konsep Tri Hita Karana merupakan elaborasi antara teori ekonomi pertahanan dengan nilai-nilai kerjasama dan keselarasan yang menjadi tujuan hidup manusia Bali, yakni kesejahteraan jasmani dan kebahagiaan rohani secara selaras dan seimbang (adopsi pemikiran Mantra, 1992 dan Yusgiantoro, 2014). Dari tema besar ketahanan ekonomi, maka cara terbaik dari alokasi berbagai sumber daya berkonsep Tri Hita Karana meliputi empat indikator, yakni: pertama, adalah strategi pertahanan ekonomi berbasis padat karya. Kedua, perencanaan pertahanan terkait dengan pemenuhan dasar akan makan, pakaian dan tempat tinggal yang layak. Ketiga, menggiatkan perekonomian perdesaan yang memberi nilai tambah dan efek penggandaan. Keempat, optimalisasi ekonomi perdesaan yang berorientasi pada tenaga kerja lokal dan sumber bahan mentah lokal dengan harga yang kompetitif.Paparan ketiga variabel kajian ini, tertuang ke dalam kerangka konsep, yang disajikan sebagai berikut.

Gambar 2 Konsep Perilaku Ekonomi, Efektifitas Kelembagaan, dan Ketahanan Ekonomi

Hubungan Perilaku Ekonomi Dengan Efektifitas Kelembagaan Masyarakat Bali Aga

Makna yang diperoleh dari hubungan perilaku ekonomi berbasis etika Hindu dengan efektifitas kelembagaan lokal yang berkesinambungan adalah aktivitas produksi, distribusi dan konsumsi yang dikuatkan oleh etika Hindu bersifat strategis dalam menggerakkan roda perekonomian perdesaan berbasis padat karya yang mengutamakan penyerapan tenaga kerja dan bahan mentah lokal, dengan pemenuhan kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal sebagai kebutuhan dasarnya, yang digapai dengan nilai tambah dengan efek pengganda yang lebih baik. Oleh karena itu, nilai-nilai yang terkandung di dalam Karma Yoga, Tri Kaya Parisuda dan Artha Sastra berkontribusi positif terhadap perilaku produksi, distribusi dan konsumsi masyarakat Bali Aga.

Hal tersebut dapat dijelaskan karena perilaku produksi berlandaskan Karma Yogadicerminkan sebagai kepatuhan terhadap aturan main dalam menggunakan sumber daya alam sesuai dengan potensinya, dengan insentif upah tenaga kerja yang sesuai dengan kemampuan dan menempatkan tenaga kerja sesuai dengan kemampuan yang menunjukkan etos kerja baik, sehingga jiwa kewirausahaan masyarakat Bali Aga tercermin dalam disiplin kerja yang baik. Untuk perilaku distribusi berdasarkan Tri Kaya Parisuda tercermin melalui efisiensi dan efektifitas dalam memanfaatkan sumber daya ekonomi yang membutuhkan pikiran (manacika), komunikasi (wacika), dan fisik (kayika) yang baik, sehingga sumber daya yang digunakan tidak menimbulkan kerugian dan pengembangan sumber daya tidak boleh merugikan pemilik maupun orang lain. Capaian ini diwujudkan dengan keadilan distribusi kepemilikan atas sumber daya ekonomi yang tunduk pada kepentingan umum. Sedangkan untuk perilaku konsumsi berasaskan Artha Sastra terceminkan melalui pendapatan yang diperoleh dengan benar menunjukkan hidup yang hemat, sehingga kesadaran terhadap pola konsumsi benar-

benar mencerminkan pemanfaatan kekayaan yang bijak secara rasional dalam memenuhi keinginan dan kebutuhan.Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa semakin baik perilaku ekonomi berbasis etika Hindu, makin efektif kelembagaan lokal dalam menyelenggarakan aktivitas ekonomi. Atau dapat dikatakan pula, bahwa perilaku produksi, distribusi dan konsumsi yang dikuatkan oleh Karma Yoga, Tri Kaya Parisuda dan Artha Sastra sangat potensial menggiring terjadinya efektifitas kelembagaan lokal yang berkesinambungan, yang disebabkan oleh orientasi pembangunan perdesaan yang mengutamakan pelaku lokal sebagai aktor utamanya.

Hubungan Perilaku Ekonomi Dengan Ketahanan Ekonomi Masyarakat Bali Aga

Makna yang diperoleh dari hubungan perilaku ekonomi berbasis etika Hindu dengan ketahanan ekonomi yang memberi rasa aman dari ancaman berkonsep Tri Hita Karana adalah aktivitas produksi, distribusi dan konsumsi yang dikuatkan oleh etika Hindu bersifat strategis dalam menggerakkan roda perekonomian perdesaan berbasis padat karya yang mengutamakan penyerapan tenaga kerja dan bahan mentah lokal, dengan pemenuhan kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal sebagai kebutuhan dasarnya, yang digapai dengan nilai tambah dengan efek pengganda yang lebih baik. Oleh karena itu, nilai-nilai yang terkandung di dalam Karma Yoga, Tri Kaya Parisuda dan Artha Sastra berkontribusi positif terhadap perilaku produksi, distribusi dan konsumsi masyarakat Bali Aga.

Jika dikaitkan dalam konteks ketahanan ekonomi, maka masalah yang paling mendasar adalah penyediaan, distribusi dan konsumsi pangan. Di mana penyediaan dihadapkan pada semakin terbatas dan menurunnya kapasitas produksi. Distribusi dihadapkan pada permasalahan prasarana distribusi, kelembagaan dan keamanan jalur distribusi, serta bervariasinya kapasitas produksi. Sedangkan permasalahan konsumsi adalah belum terpenuhinya kebutuhan pangan, karena belum tercukupinya konsumsi

(Purwaningsih, 2008). Oleh karena itu, landasan ketahanan ekonomi untuk bertindak dalam menghadapi ancaman menegaskan bahwa aspek produksi, distribusi dan konsumsi merupakan elemen dasar yang berkontribusi pada aspek ketahanan (Yusgiantoro, 2014). Karenanya, membangun model produksi, distribusi dan konsumsi rumah tangga dalam menggunakan sumber daya ekonomi membutuhkan kebijakan yang kuat, terkait harga, peningkatan ukuran kelembagaan ekonomi yang multi aktivitas dan peningkatan partisipasi masyarakat setempat (Sundaya dan Muhardi, 2011), yang diiringi dengan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat yang berbasis kemandirian untuk peningkatan ketahanan pangan (Prawoto, 2012), yang bisa disumbangkan oleh kearifan lokal di mana masyarakat itu hidup dan bermukim, bahwa kearifan lokal adalah gagasan-gagasan setempat dan perilaku yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh masyarakatnya (Yulianti, 2010).

Studi ini menempatkan nilai agama Hindu yang modern (Gorda, 1995) sebagai variabel yang menguatkan perilaku ekonomi masyarakat Bali Aga dalam memproduksi, mendistribusikan dan mengkonsumsi barang dan jasa sebagai sumber kehidupan, yang diukur dengan hakikat dan makna kerja bagi manusia (Karma Yoga) menguatkan perilaku produksi, yang diiringi dengan kualitas dan citra manusia (Tri Kaya Parisuda) menguatkan perilaku distribusi, dan hidup hemat dan kedermawanan dalam pemanfaatan kekayaan (Artha Sastra) menguatkan perilaku konsumsi. Sedangkan nilai kerjasama dan keselarasan (Tri Hita Karana) menguatkan ketahanan ekonomi yang memberi rasa aman dari ancaman.

Hubungan Efektifitas Kelembagaan Dengan Ketahanan Ekonomi Masyarakat Bali Aga

Makna yang diperoleh dari efektifitas kelembagaan lokal yang berkesinambungan dengan ketahanan ekonomi yang memberi rasa aman dari ancaman berkonsep Tri Hita Karana,

adalah masyarakat Bali Aga sebagai aktor utama pembangunan perdesaan mempunyai inovasi, keterbukaan, dan tingkat persaingan yang sehat dalam menggiatkan perekonomian, yang mengutamakan penyerapan tenaga kerja dan bahan mentah lokal, dengan pemenuhan kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal sebagai kebutuhan dasarnya, yang digapai dengan nilai tambah dengan efek pengganda yang lebih baik. Oleh karena itu, efektifitas kelembagaan memberi kontribusi positif terhadap ketahanan ekonomi. Dapat juga dikatakan, bahwa makin efektif kelembagaan lokal dalam menyelenggarakan aktivitas ekonomi, maka ketahanan ekonomi masyarakat Bali Aga makin kuat.

Di sisi lain, pembangunan perekonomian perdesaan masih menghadapi kendala terbatasnya modal para pelaku usahanya (Ashari, 2006). Sebab itu, efektifitas kelembagaan daerah dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakatnya, pengelolaan optimalisasi sumber daya lewat partisipasi masyarakat setempat dan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan kompetensi kelembagaan merupakan faktor-faktor yang memengaruhi efektifitas kelembagaan (Anantanyu dan Sumardjo, 2009). Oleh sebab itu, menyisipkan nilai-nilai kearifan lokal ke dalam pembangunan ditengah pluralisme kultural dengan adat istiadat yang unik serta nilai yang berbeda, yang bergandengan dengan konsep pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pokok, pembangunan yang mandiri dan pembangunan yang berwawasan lingkungan menjadi sangat penting(adopsi pemikiran Hettne, 2001). Karenanya, penguatan peran masyarakat sebagai institusi lokal guna menggapai isu wealth of development menjadi suatu keharusan, sehingga terwujud kelembagaan yang lebih efektif. Spektrum penguatan kelembagaan ke arah yang lebih efektif melalui industri kreatif terus bergulir di tengah dinamika sosial dan ekonomi yang sekaligus merupakan pilihan tepat untuk menjaga ketahanan ekonomi dalam kondisi krisis global untuk dapat menstimulasi terciptanya bentuk-bentuk kreativitas yang memiliki nilai

yang lebih tinggi, termasuk nilai ekonomi dan kontribusinya bagi perekonomian (Romarina, 2016).

PENUTUP

Kesimpulan

  • 1)    Penyisipan etika Hindu ke dalam aktivitas produksi, distribusi, dan konsumsi masyarakat Bali Aga menunjukkan bangunan sistem ekonomi yang kokoh, yang berasal dari nilai-nilai kearifan lokal, di mana masyarakat Bali Aga itu bermukim, yang disinyalir menguatkan efektifitas kelembagaan lokal dalam menggiatkan perekonomian perdesaan. Jadi,makin kuat perilaku ekonomi berbasis etika Hindu, makin efektif kelembagaan lokal dalam menyelenggarakan aktivitas ekonomi secara berkesinambungan.

  • 2)    Ketahanan ekonomi berkonsep Tri Hita Karanayang dibangun dengan perilaku ekonomi berbasis etika Hindu, seperti Karma Yoga, Tri Kaya Parisuda, dan Artha Sastrasanggup mempertahankan lingkungan ekonomi yang serasi dengan alam, manusia dan lingkungan. Jadi,makin kuat perilaku ekonomi berbasis etika Hindu, maka ketahanan ekonomi berkonsep Tri Hita Karana masyarakat Bali Aga makin kuat.

  • 3)    Efektifitas kelembagaan lokal yang ditopang oleh inovasi, keterbukaan, dan tingkat persaingan yang sehat, yang mengutamakan penyerapan tenaga kerja dan bahan mentah lokal, dengan pemenuhan kebutuhan pokok sebagai dasarnya, berdampak pada nilai tambah dengan efek pengganda yang lebih baik. Jadi, makin efektif kelembagaan di dalam menyelenggarakan aktivitas ekonomi secara berkesinambungan, makin kuat ketahanan ekonomi yang berkonsep Tri Hita Karana masyarakat Bali Aga.

Rekomendasi

Penguatan aktivitas ekonomi dan kelembagaan berbasis etika Hindu merupakan cara yang efisien dan efektif dalam membangun ketahanan ekonomi.

DAFTAR REFERENSI

Acemoglu, Daron. And Robinson, James A.

2012. Why Nations Fail. Crown Publisher. New York.

Ali, Mukti, H.A. 1987. Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini. Rajawali Pers: Jakarta.

Anantayu, Sapja. Sumardjo, Slamet, Margono. Tjitropranoto, Prabowo. 2009. Faktor-Faktor Yang mempengaruhi Efektifitas Kelembagaan Petani. Jurnal Penyuluhan. Vol. 5, No. 1, Maret 2009.

Ardika, I Wayan. Parimartha, I Gde. Wirawan, A.A Bagus. 2015. Udayana University Press.

Arsyad, Lincolin. 2014. Institusi, Biaya Transaksi, dam Kinerja Ekonomi: Sebuah Tinjauan Teoritis. Naskah Lengkap Prosiding Seminar Nasional dan Sidang Pleno ISE XVII, Pembaharuan Institusi Ekonomi Dan Mutu Modal Manusia. Ternate, 3-5 September 2014.

-------.   2016. Pengantar Perencanaan Pembangunan: Ekonomi Daerah. BPPE. Yogyakarta.

-------. 2016. “Peran Kearifan Lokal Dalam Pembangunan Ekonomi” (materi seminar). Universitas Udayana.

Ashari. 2006. Potensi lembaga Keuangan Mikro (LKM) Dalam Pembangunan Ekonomi Pedesaan Dan Kebijakan Pengembangannya. Jurnal Analisis kebijakan Pertanian. Vol. 4, No. 2, Juni 2006, hal: 146-164.

Atmadja, Bawa Nengah. 2010. Ajeg Bali: Gerakan, Identitas Kultural, dan Globalisasi, LKiS Printing Cemerlang, Bantul, Yogyakarta.

Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2015. Indikator Statistik Esensial. Penerbit: BPS Provinsi Bali.

-------. 2014. Indikator Statistik Esensial. Penerbit: BPS Provinsi Bali.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Buleleng. 2016. Kabupaten Buleleng Dalam Angka. 2016. Kajian Ekonomi Dan Keuangan Regional Provinsi Bali. 2016. Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Bali.

-------. 2016. Kecamatan Banjar Dalam Angka. 2016. Penerbit: BPS Kabupaten Buleleng.

-------. 2016. Tejakula Dalam Angka. 2016. Penerbit: BPS Kabupaten Buleleng.

Bellah, Robert, N. 1992. Religi Tokugawa: Akar-Akar Budaya Jepang. (Wardah Hafidz dan Wiladi Budiharga, Pentj). Karti Sarana dan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Bourdieu, P. 1977. Cultural Reproduction and Social Reproduction. Hal.487-511 dalam J. Karabel dan A.H. Halsel (eds) Power and Ideology in Education. Oxford University Press. New York.

Dibia, I Wayan. 2012. Taksu Dalam Seni Dan Kehidupan Bali. Bali Mangsi Foundation.

Effendie. 2016. Ekonomi Lingkungan. Suatu Tinjauan Teoritik dan Praktek. UPP STIM YKPN. Yogyakarta.

Giddens, Anthony. 2003. Masyarakat Post-Tradisional. Ali Noer Zaman, terj.). Yogyakarta, IRCiSoD.

-------. 2003a. Beyond Left and Right (Tarian “Ideologi alternative Di Atas Pusaran Sosialisme Dan Kapitalisme). (Imam Khoiri, terj.). Yogyakarta, IRCiSoD.

Gorda, I Gusti Ngurah. 1995. “Nilai-Nilai Agama Hindu Dan Etika Ekonomi Wirausahawan Bali” (disertasi).

Universitas Airlangga.

-------. 1996. Etika Hindu Dan Perilaku Organisasi. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Satya Dharma dan Widya Kriya Gematama, Denpasar.

Hettne, Bjorn. 2001. Teori Pembangunan Dan Tiga Dunia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Ismail, Munawar. Santosa, Dwi Budi. Yustika, Ahmad Erani. 2014. Sistem Ekonomi Indonesia. Tafsiran Pancasila dan UUD 1945. Erlangga. Jakarta.

Koentjaraningrat. 1973. Meode Penelitian Masyarakat. Terbitan Khusus Bagian Ilmu-Ilmu Sosial Dan Kebudayaan. LIPI.

Kusumawati Ni Nyoman. 1996. “Kepercayaan Upacara Saba Malunin Bagi Masyarakat Desa Pedawa Kecamatan Banjar Kabupaten Buleleng” (skripsi). Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Laporan Profil Desa Dan Kelurahan Pedawa. 2015. Departemen Dalam Negeri. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Dan Desa, Kabupaten Buleleng.

-------Tigawasa. 2015. Departemen Dalam Negeri. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Dan Desa, Kabupaten Buleleng.

-------Cempaga. 2015. Departemen Dalam Negeri. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Dan Desa, Kabupaten Buleleng.

-------Sidetapa. 2015. Departemen Dalam Negeri. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Dan Desa, Kabupaten Buleleng.

Damar. 2016. Sosiologi Perubahan Sosial:

Perspektif Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonial. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Maryadi. Dan Syamsudin. 2001. Agama Spiritualisme Dalam Dinamika Ekonomi Politik. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Myrdall, Gunnar. 1968. Asian Drama: An Inquiry Into The Poverty of Nations, Terjemahan dalam Basis XVI No. 3. Pantheon, New York.

Naisbitt, John. 1997. Megatrends Asia: Delapan Megatrend Asia yang Mengubah Dunia. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Nordhaus, William. D. 1973. The Allocation of Energy Resources. Brookings Papers on Economic Activity.

North, Douglas C. 1991. Institutions. Journal of Economic Perspectives. Vol. 5. Num. 1. Pages 97-112.

Prasetya, Sukma Perdana. 2016. Konsepsi Produksi, Distribusi, Dan Konsumsi Dalam Pemenuhan Kebutuhan Penduduk. Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Guru Dan Tenaga Kependidikan.

Prawoto, Nano. 2012. Model Pengembangan Dan Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Kemandirian Untuk Mewujudkan Ketahanan Ekonomi Dan ketahanan Pangan. Jurnal Organisasi Dan Manajemen. Vol. 8, No. 2, September 2012, hal 135-154.

Purwaningsih, Yunastiti. 2008. Ketahanan Pangan:    Situasi, Permasalahan,

Kebijakan, Dan pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol 9, No. 1, Juni 2008, hal 1-27.

Romariana, Arina. 2016. Economic Resilience Pada Industri Kreatif    Guna

menghadapai Globalisasi   Dalam

Rangka Ketahanan Nasional. Jurnal Ilmu sosial. Vol. 15, No. 1, Februari 2016, hal: 35-52.

Samuelson, Paul. A. Dan Nordhaus, William, D. 1997. Mikro Ekonomi. Edisi Keempatbelas. Erlangga. Jakarta.

Shadr, Muhammad Baqir. 2008. Buku Induk Ekonomi Islam. Penerbit Zahra.

Statistik Daerah Kecamatan Banjar. 2016. Badan Pusat Statistik Kabupaten Buleleng.

------ Tejakula. 2016. Badan Pusat Statistik Kabupaten Buleleng.

Sulistiawati. 2013. Partisipasi masyarakat Dalam Pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan Dan Efektifitasnya Terhadap Ketahanan Ekonomi Keluarga. Jurnal Ketahanan Nasional. No. XIX (2), Agustus 2013, hal: 90-97.

Sugiyanto, Catur. 2008. Ekonomi Mikro, Ringkasan Teori, Soal Trik Dan Jawaban. BPFE, Yogyakarta.

Sugiyanto, Catur. Fikri, Aula Ahmad Hafidah Saiful. 2016. Ekonomi Sumber Daya Alam. STIM YKPN. Yogyakarta.

Sukarsa, I Made, 2014. Wacana Ekonomi Spiritual di Tengah Pergulatan Mazhab Ekonomi dan Implementasinya di Bali. Ekonomi Kerakyatan. Lembaga Suluh Nusantara dan American Institute for Indonesian Studies (AIFIS).

Sunariani, Ni, Nyoman. 2014. “Kontribusi Pelaksanaan Ritual Terhadap Kesempatan Kerja Dan Kesejahteraan Masyarakat: Studi Kasus Mlaspas Dan Ngenteg Linggih Di Pura Pasek Preteka Desa Abiansemal Kecamatan

Abiansemal Kabupaten Badung” (disertasi). Universitas Udayana.

Sudaya, Yukha. Muhardi. 2011. Perilaku Ekonomi Rumah Tangga Petani Miskin Tananam Pangan Di Jawa Barat:   Analisis Sumber dan

Simulasi Kebijakan. Jurnal Mimbar. Vol. XXVII, No. !, Juni 2011, hal 57-66.

Weber, Max. 2000. Etika Protestan Dan Semangat Kapitalisme. Pustaka Promethea. Surabaya.

Wiana, I Ketut. 2002. Memelihara Tradisi Veda. Bali Post, Denpasar.

-------. 2016. “Peran Kearifan Lokal Dalam Memperkuat Ekonomi Kelembagaan Untuk Peningkatan Daya Saing SDM” (seminar). 27 Oktober 2016. Fakultas Ekonomi Universitas Udayana.

Widjajanti, Kesi. 2011. Model Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol.12,No.1,Juni2011. Hal. 15-27.

Wijana, Nyoman. 2013. Pengelolaan Hutan Berbasis Kearifan Lokal Di Desa Tigawasa    Kecamatan Banjar

Kabupaten    Buleleng.    Seminar

Nasional FMIPA Undiksha III.

Wirayudani, Gusti Ayu. 1998. “Fungsi Sosial Dari Upacara Merebu Pada Kehidupan Masyarakat Desa Tigawasa,    Kecamatan Banjar,

Kabupaten    Buleleng”    (skripsi).

Jurusan Antropologi Fakultas Sastra, Universitas Udayana.

Yulianti, Rahmani Timorita. 2014. Ekonomi Islam Dan Kearifan Lokal. Jurnal Ekonomi Islam.

Yusgiantoro, Purnomo. 2014. Ekonomi Pertahanan: Teori dan Praktik. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Yustika, Ahmad Erani. 2012. Economic Reform and Weak of the Institutional Change in Indonesia. International Journal of Humanities and Social Science. Vol. 2. No. 20.