128 Jurnal Buletin Studi Ekonomi Vol. 21, No. 2, Agustus 2016

ANALISA PENGGUNAAN LABEL INFORMASI NILAI GIZI PADA PRODUK PANGAN OLEH KONSUMEN DI KOTA SEMARANG

Banguning Asgha

Program Studi Kewirausahaan, Universitas Agung Podomoro, Jakarta, Indonesia Email: [email protected]

Abstrak. Analisa Penggunaan Label Informasi Nilai Gizi pada Produk Pangan oleh Konsumen di Kota Semarang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa penggunaan label informasi nilai gizi pada produk pangan oleh konsumen. Data didapat dari distribusi kuesioner kepada 200 responden di Semarang dengan menggunakan metode kuesioner terstruktur dengan kombinasi tanggapan pertanyaan pilihan dan tanggapan pertanyaan bebas. Penelitian dilakukan dengan mempertimbangkan variable demografi antara lain jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan dan pendapatan per bulan. Data ditampilkan dengan menggunakan analisa statistik deskriptif dan distribusi frekuensi, sedangkan analisa uji ChiSquare digunakan untuk menunjukkan hubungan antara variabel demografi dan pemahaman konsumen terhadap label informasi nilai gizi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas konsumen (55%) membaca label informasi nilai gizi kadang-kadang. Namun, konsumen (53%) menganggap bahwa label informasi gizi yang ada saat ini terlalu ilmiah dan sulit untuk dipahami. Hasil beda nyata didapat dari hubungan variabel usia, tingkat pendidikan dan pendapat bulanan terhadap penggunaan label informasi nilai gizi. Konsumen dengan usia lebih tua, konsumen dengan pendidikan lebih baik, dan konsumen dengan pendapatan lebih tinggi cenderung membaca dan menggunakan label informasi nilai gizi. Kata kunci: label informasi nilai gizi, produk pangan, perilaku, penggunaan label, Indonesia.

Abstract. Analysis of Labeling Nutritional Information Value of Food Products by Consumers in Semarang . The objective of this study is to analyze Indonesian consumer in using nutrition information on packaged food product. Data was collected from a total of 200 respondents living in Semarang by using a structured questionnaire with combination of closed and open-response questions. Research was conducted respecting demographic variables including gender, age, education level, and monthly income. Descriptive statistics and frequency distribution analysis was generated to display the data, while Pearson Chi-square test was presented to identify relationship between demographic variables and consumer attitudes toward nutrition labels. The results showed that the majority (55 percent) read nutrition labels sometime. However, consumer (53 percent) found that the nutrition labels were too scientific and hard to be understood. Significant differences were found between age, education level, monthly income and use of nutrition labels. Consumer with old age, high-educated, and high income people tended to read nutrition labels more frequently.

Keywords: nutrition label, food, attitude, label use, Indonesia

PENDAHULUAN

Setiap manusia membutuhkan nutrisi yang didapatkan dari makanan yang mereka makan. Namun, ketidakseimbangan nutrisi yang ada dalam tubuh manusia dapat menyebabkan beberapa permasalahan kesehatan seperti malnutrisi, obesitas, penyakit jantung, dan diabetes (Ridgwell, 1996). Permasalahan kesehatan yang disebabkan karena ketidakseimbangan konsumsi nutrisi terjadi hampir di seluruh negara termasuk Indonesia. Indonesia disebut oleh WHO mengalami dua beban

permasalahan nutrisi yang artinya Indonesia mengalami baik permasalahan kelebihan nutrisi maupun permasalahan kekurangan nutrisi. Nutrisi yang dimaksud dapat berupa nutrisi makro maupun nutrisi mikro (World Bank, 2013).

Permasalahan kelebihan nutrisi yang paling sering dijumpai di Indonesia adalah obesitas dan diabetes. Obesitas didefinisikan sebagai suatu kondisi medis abnormal dimana lemak dalam jumlah besar terakumulasi di dalam tubuh yang dapat membahayakan kesehatan (Kelly, 2006). Berdasarkan data dari WHO, di tahun 2008 terdapat lebih dari 1,4 milyar

orang dewasa yang mengalami kelebihan berat badan atau overweight dimana sekitar 500 juta orang diantaranya termasuk obesitas. Obesitas merupakan penyakit yang berbahaya karena keberadaannya dapat menyebabkan resiko timbulnya penyakit-penyakit lain antara lain penyakit jantung, stroke, diabetes, gangguan musculoskeletal, dan beberapa jenis penyakit kanker seperti kanker endometrium, kanker payudara, dan kanker usus besar (WHO, 2012). Di Indonesia, jumlah orang dewasa yang mengalami kelebihan berat badan dan obesitas meningkat dalam periode 1993 sampai dengan 2007. Sejumlah 50 persen wanita Indonesia dilaporkan mengalami kelebihan berat badan dimana 20 persen dari mereka dikategorikan mengalami obesitas, sedangkan terdapat 30 persen pria Indonesia dikategorikan kelebihan berat badan dimana 10

persen diantaranya mengalami obesitas (Roemling and Qaim, 2012). Permasalahan tersebut ternyata dialami juga oleh anak-anak di Indonesia dari masa kecil ke dimana 1 dari 6 anak yang mengalami kelebihan berat badan menjadi obesitas ketika mereka remaja (Julia dkk., 2008).

Diabetes di Indonesia juga merupakan penyakit kelebihan nutrisi yang sering dijumpai. Diabetes merupakan suatu kondisi dimana tingkat hyperglycaemia memberikan peluang besar untuk menyebabkan kerusakan mikrovaskular seperti retinopathy, nephropathy and neuropathy. Diabetes dapat mengurangi peluang hidup, meningkatkan morbiditas terkait komplikasi mikrovaskular, meningkatkan resiko komplikasi makrovaskular seperti penyakit jantung, stroke dan penyakit pembuluh darah pelifer, dan juga menurunkan kualitas hidup.

Tabel 1.

Negara dengan Jumlah Penderita Diabetes Terbanyak di Dunia

Peringkat

2000

2030

Negara

Penderita Diabetes (Juta)

Negara

Penderita Diabetes (Juta)

1

India

31.7

India

79.4

2

China

20.8

China

42.3

3

U.S.

17.7

U.S.

30.3

4

Indonesia

8.4

Indonesia

21.3

5

Japan

6.8

Pakistan

13.9

6

Pakistan

5.2

Brazil

11.3

7

Russia

4.6

Bangladesh

11.1

8

Brazil

4.6

Japan

8.9

9

Italy

4.3

Philippines

7.8

10

Bangladesh

3.2

Egypt

6.7

Sumber : Wild dkk. (2004)

Indonesia tercatat sebagai negara terbesar keempat yang penduduknya mengalami diabetes. Terdapat 8,4 juta orang Indonesia menderita diabetes dan diproyeksikan jumlahnya akan meningkat menjadi 21,3 juta jiwa penderita diabetes di tahun 2030 (Wild dkk., 2004).

Indonesia tidak hanya mengalami permasalahan kelebihan nutrisi, namun juga Indonesia mengalami beberapa permasalahan kekurangan nutrisi. Permasalahan kekurangan nutrisi yang banyak dijumpai di Indonesia antara lain kekurangan berat badan, kekurangan vitamin A, dan kekurangan mikronutrien seperti zat besi, seng, dan yodium. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa 12 persen dari orang dewasa Indonesia mengalami kekurangan berat badan (Roemling and Qaim, 2012). Ironisnya, permasalahan kekurangan berat badan ternyata juga

menimpa anak-anak. Di Indonesia, terdapat hampir 26 persen anak-anak mengalami kekurangan berat badan di tahun 2004 (Julia dkk., 2008). Selain itu, Indonesia juga mengalami permasalahan kekurangan vitamin A. Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan kerusakan mata seperti nyctalopia atau biasa disebut dengan buta ayam dan xerophthalmia. Sebuah studi yang dilakukan di Jawa Barat menunjukkan bahwa 54 persen dari bayi dan 18 persen dari ibu-ibu yang ada disana menderita kekurangan vitamin A (Dijkhuizen dkk., 2001).

Permasalahan kekurangan nutrisi lainnya yang sering dijumpai di Indonesia adalah kekurangan mikronutrien seperti zat besi, seng dan yodium. Permasalahan kekurangan zat besi merupakan salah satu permasalahan kekurangan nutrisi yang paling

parah di dunia dan di seamua kalangan usia saat ini. Indonesia merupakan negara dimana permasalahan ini sering ditemukan terutama penyakit anemia (WHO, 2001). Terdapat sekitar 50-70 juta jiwa atau sekitar 25-30 persen populasi menderita anemia di Indonesia. Prevalensi terjadinya anemia adalah sebesar 50,9 persen untuk ibu hamil, anak dengan usia 1-4 tahun sebesar 40,5 persen, dan pekerja wanita sebesar 30 persen (Kodyat dkk., 1998). Permasalahan kekurangan mikronutrien lainnya selanjutnya adalah kekurangan zat seng. Sebuah studi dilakukan di pulau Jawa menunjukkan bahwa 17 persen bayi dan 25 persen ibu diindikasikan mengalami permasalahan kekurangan zat seng. (Dijkhuizen dkk., 2001). Kekurangan zat seng bisa menyebabkan gangguan di system imun dan mengganggu pertumbuhan (Shankar and Prasad, 1998). Permasalahan kekurangan mikronutrien berikutnya adalah kekurangan zat yodium. Indonesia merupakan negara dengan prevalensi kejadian kekurangan zat yodium yang tinggi. Ada 63,7 persen usia anak sekolah berusia 8-10 tahun terindikasi mengalami kekurangan zat yodium. Kekurangan zat yodium dapat menyebabkan kematian bayi, kerusakan mental dan kerusakan otak (WHO, 2004).

Melihat banyaknya permasalahan yang diakibatkan oleh ketidakseimbangan konsumsi nutrisi, banyak peneliti yang mempertimbangkan faktor-faktor penting yang mempengaruhi orang untuk memilih dan mendapatkan nutrisi sesuai dengan yang mereka butuhkan, salah satunya adalah label informasi nilai gizi pada produk pangan. Label informasi nilai gizi disebut sebagai instrumen utama yang dapat membantu orang untuk melakukan pembelian makanan yang sesuai dengan kebutuhan nutrisinya dan mengadopsi pola hidup sehat (Nayga, 1996; Drichoutis dkk., 2006; De Magistris dkk., 2010).

Beberapa studi telah dilakukan mengenai perilaku konsumen terhadap label informasi nilai gizi di Asia. Penelitian yang dilakukan di China dan Malaysia menyebutkan bahwa konsumen menilai dirinya sendiri memiliki pemahaman yang rendah terhadap label informasi nilai gizi (Wills dkk., 2009). Sedangkan faktor demografi seperti jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat pemahaman dan intensitas penggunaan label informasi nilai gizi (Drichoutis dkk., 2006). Wanita lebih sering menggunakan label informasi gizi daripada pria (Guthrie dkk., 1995; Govindasamy dan Italia, 1999; Kim dkk., 2001; McLean-Meyinsse, 2001). Orang yang usianya semakin tua juga cenderung menggunakan label informasi nilai gizi

lebih sering karena mereka lebih memperhatikan kesehatan di masa tua (Nayga, 1996; Govindasamy dan Italia, 1999; Drichoutis dkk., 2005). Orang yang berpendidikan lebih tinggi lebih sering menggunakan label (Guthrie dkk., 1995; Nayga, 1996; Nayga dkk., 1998; McLean-Meyinsee, 2001; Kim dkk., 2001; Drichoutis dkk., 2005). Sedangkan orang dengan pendapatan yang lebih tinggi juga ditemukan memiliki kebiasaan lebih sering menggunakan label informasi nilai gizi dibandingkan dengan orang yang memiliki pendapatan lebih rendah (Piedra dkk., 1996; McLean-Meyinsse, 2001; Kim dkk., 2001).

Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian ini sebagai berikut:

H1 = Wanita cenderung lebih sering menggunakan label informasi nilai gizi daripada pria.

H2 = Orang yang usianya lebih tua cenderung lebih sering menggunakan label informasi nilai gizi daripada orang yang usianya lebih muda.

H3 = Orang yang memiliki pendidikan lebih tinggi cenderung lebih sering menggunakan label informasi nilai gizi daripada orang berpendidikan rendah.

H4 = Orang yang memiliki pendapatan lebih tinggi cenderung lebih sering menggunakan label informasi nilai gizi daripada orang memiliki pendapatan rendah.

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perilakukonsumen terhadap label informasi nilai gizi pada produk pangan dan mengetahui pengaruh faktor demografi seperti jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan dan pendapatan terhadap intensitas penggunaan label informasi nilai gizi. Hasil keluaran dari penelitian ini diharapkan bisa memberikan informasi tambahan yang berguna untuk membantu pengembangan peraturan dan kebijakan tentang label produk pangan terutama label informasi nilai gizi di Indonesia.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan deduktif dimana hipotesis dari penelitian sebelumnya digunakan sebagai asumsi untuk merumuskan hipotesis penelitian saat ini dan kemudaian membuktikan hipotesis tersebut. Penelitian dilakukan dengan melakukan survei di Kota Semarang. Pemilihan responden dilakukan dengan metode convenience sampling. Peneliti berdiri di depan atau di dalam supermarket dan di beberapa tempat umum untuk mendapatkan responden.

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan desain kuesioner dengan menggunakan pertanyaan

tertutup dengan pilihan jawaban dan pertanyaan terbuka. Pendistribusian kuesioner dilakukan mulai tanggal 15 April 2015 sampai dengan tanggal 28 Mei 2015 dengan responden berjumlah 200 orang. Analisa data dilakukan menggunakan Microsoft Excel 2007 dan SPSS 20. Peneliti menggunakan statistik deskriptif dan analisa distribusi frekuensi untuk menganalisa data kuantitatif. Selain itu, peneliti menggunakan analisa uji Chi-Square sebagai dasar tabulasi silang untuk mengidentifikasi kemungkinan hubungan antara faktor demografi dan penggunaan label informasi nilai gizi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil Responden

Berikut adalah profil lengkap responden yang di dapatkan selama penelitian yang berjumlah 200 orang. Responden terdiri dari pria (46,5 persen) dan

wanita (53,5 persen). Mereka dibagi menjadi tiga kelompok usia; 17 - 25 tahun (46 persen), 26 - 45 tahun (36.5 persen), and 46 tahun (17.5 persen). Mayoritas responden berasal dari kalangan berpendidikan sedang (73.5 persen), berpendidikan tinggi (20.5 persen), dan berpendidikan rendah (6 persen). Terdapat 56 persen responden yang memiliki pendapatan kurang dari Rp. 2.000.000,-, 23 persen responden memiliki pendapatan Rp. 2.000.000 - Rp. 4.999.999,-, dan 17.5 persen responden memiliki pendapatan Rp. 5.000.000,- (lihat Tabel 2).

Penggunaan Label Informasi Nilai Gizi pada Produk Pangan

Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa kebanyanyakan responden membaca label informasi nilai gizi pada produk pangan kadang-kadang (50

Tabel 2

Profil Responden (n = 200)

Klasifikasi

Jumlah

Persentase

Gender

Pria

93

46.5

Wanita

107

53.5

Kategori Usia

17 - 25

92

46.0

26 - 45

73

36.5

≥ 46

35

17.5

Tingkat Pendidikan

Rendah (SMP atau lebih rendah dari SMP)

12

6.0

Sedang (SMA atau Sarjana)

147

73.5

Tinggi (S2 dan lebih tinggi)

41

20.5

Pendapatan per Bulan

Rendah (< Rp. 2.000.000,-)

112

56.0

Sedang (Rp. 2.000.000 - Rp. 4.999.999,-)

46

23.0

Tinggi (≥ Rp. 5.000.000,-)

35

17.5

Did not inform

7

3.5

Total

200

100

Sumber : data diolah

persen). 21 persen responden mengatakan bahwa mereka sering membaca label informasi nilai gizi dan 8 persen dari responden mengatakan selalu membaca label informasi nilai gizi sebelum membeli produk pangan. Sementara terdapat 14,5 persen responden yang jarang membaca label dan hanya 1 persen responden menyatakan tidak pernah membaca label informasi nilai gizi (lihat Gambar 1).

Hasil uji analisa chi-square (Tabel 2) menunjukkan bahwa terdapat beda nyata antara usia,

tingkat pendidikan dan pendapatan per bulan dengan frekuensi dalam menggunakan label informasi nilai gizi. Hasil ini sekaligus membuktikan dan memperkuat hipotesis bahwa orang yang lebih tua, orang yang berpendidikan tinggi dan orang yang mempunyai pendapatan tinggi cenderung lebih sering menggunakan label informasi nilai gizi dibandingkan dengan orang yang lebih muda, orang yang berpendidikan rendah dan orang yang mempunyai pendapatan rendah. Menurut Nagya (Drichoutis dkk.,

Seberapa SeringAnda membaca label informasi nilai gizi pada produk pangan?


Gambar 1

Frekuensi dalam Menggunakan Label Informasi Nilai Gizi (n = 200)

Sumber : data diolah

2005), orang yang lebih tua cenderung lebih waspada terhadap makanan yang dia makan. Orang yang lebih tua memiliki pola makan yang lebih ketat karena saran-saran pola hidup sehat dan permasalahan kesehatan yang rentan menimpanya. Oleh karena itu, mereka cenderung lebih sering menggunakan label informasi nilai gizi untuk mencari nutrisi yang tepat berdasarkan pertimbangan-pertimbangan kesehatan. Sedangkan menurut (McLean-Meyinsee,

2001), orang yang berpendidikan tinggi cenderung lebih sering membaca label informasi nilai gizi dikarenakan tingkat pendidikan mereka membuat mereka lebih sadar akan pentingnya makanan yang bernutrisi dan pola makan secara sehat. Kim dkk. (2001) menambahkan bahwa orang yang memiliki pendapatan yang lebih tinggi memiliki kesempatan besar untuk memperbaiki penampilan dan pola makan dengan memilih makanan yang lebih sehat dan bernutrisi.

Tabel 2

Uji Chi-Square antara Faktor Demografi dan Frekuensi Penggunaan Label

Nilai Analisa Uji     Nilai Tabel      Frekuensi Penggunaan Label

Chi-Square       Chi-Square

Gender Usia Tingkat Pendidikan Pendapatan Per Bulan

3,755             9,488             Tidak Beda Nyata

16,132            15,507               Beda Nyata

65,346            15,507               Beda Nyata

24,713            15,507               Beda Nyata

Sumber : data diolah

Dalam penelitian ini, tidak ditemukan beda nyata antara gender dengan frekuensi dalam menggunakan label informasi nilai gizi. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata antara pria dan wanita tentang intensitas dalam menggunakan label informasi nilai gizi sehingga data penelitian ini tidak mendukung hipotesis yang menyebutkan bahwa wanita lebih sering menggunakan label informasi nilai gizi dibandingkan pria.

Perilaku Konsumen terhadap Label Informasi Nilai Gizi

Responden juga diberi pertanyaan terkait respon mereka terhadap beberapa pernyataan tentang perilaku terhadap label informasi nilai gizi. Tabel 3 menunjukkan kebanyakan responden menganggap bahwa label informasi nilai gizi berguna buat mereka dan menganggap bahwa dengan menggunakan label pada produk pangan pilihan makanan mereka menjadi

lebih baik. Mereka tidak setuju dengan adanya pernyataan bahwa membaca label memakan waktu lama dan menghabiskan waktu mereka. Menariknya, kebanyakan dari mereka juga memiliki keinginan untuk mempelajari lebih jauh tentang nutrisi dan pola

makan yang bernutrisi. Namun lebih dari 50% dari mereka menganggap bahwa istilah pada label informasi nilai gizi terlalu ilmiah dan sulit untuk dipahami. Lebih dari itu, mereka juga menganggap bahwa kalim nutrisi masih belum bisa dipercayai.

Tabel 3

Perilaku Konsumen terhadap Label Informasi Nilai Gizi (n = 200)

Pernyataan

Tidak Setuju atau Sangat Tidak Setuju (%)

Tidak Menjawab/ Tidak Tahu (%)

Setuju atau Sangat Setuju (%)

Label informasi nilai gizi sangat berguna bagi saya

8

3

89

Pilihan makanan saya menjadi lebih baik ketika menggunakan label pangan

19.5

5.5

75

Membaca label pangan memakan waktu yang lama, menghabiskan waktu saya

76.5

2

21.5

Istilah dalam label informasi nilai gizi terlalu ilmiah dan sulit untuk dipahami

46

1

53

Klaim nutrisi seperti rendah lemak, kaya serat dan rendah kalori selalu bisa dipercayai

56

8.5

35.5

Saya ingin memiliki pengetahuan lebih tentang label pangan sehingga bisa menerapkan pola makan yang bernutrisi

5

2

93

Saya tertarik mempelajari lebih tentang nutrisi

11.5

2

86.5

dan kesehatan

Sumber : data diolah

Dari hasil tersebut, bisa dikatakan bahwa sebenarnya responden sangat sadar akan manfaat penggunaan label informasi nilai gizi dalam pola makan mereka dan memiliki keinginan untuk memiliki pengetahuan lebih tentang gizi. Ironisnya, mereka merasa bahwa tulisan yang tertera pada label informasi nilai gizi terlalu ilmiah.sehingga mereka sulit untuk memahaminya.

Kepuasan dan Saran Perbaikan untuk Label Informasi Nilai Gizi

Hasil survei menunjukkan bahwa 46% responden masih menyatakan tidak puas terhadap label informasi nilai gizi yang ada saat ini. Oleh karena itu, responden diberikan kesempatan untuk memberi saran perbaikan untuk label informasi nilai gizi dengan bebas menuliskannya di kolom yang sudah disediakan. Dari beberapa saran yang diberikan, peneliti kemudian mengkategorikan ke dalam beberapa ide saran perbaikan yang sering muncul (lihat Tabel 4).

Saran perbaikan yang paling banyak dinyatakan oleh responden adalah label informasi nilai gizi

diharapkan menggunakan istilah dan bahasa yang lebih mudah dipahami oleh semua kalangan. Hal ini mengindikasikan bahwa informasi nutrisi yang ada pada label belum tersampaikan secara efektif ke konsumen, sehingga meskipun konsumen sadar akan pentingnya informasi tersebut mereka tidak bisa menggunakannya untuk mendapatkan pola hidup bernutrisi. Beberapa saran lain yang sering diungkapkan konsumen antara lain label informasi nilai gizi diharapkan menggunakan tulisan yang mudah dibaca, mempunyai informasi yang dapat dipercaya, dan menggunakan desain yang menarik.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Konsumen di Semarang pada dasarnya mempunyai kesadaran yang tinggi akan informasi nutrisi pada label pangan. Mereka membaca label sering atau paling tidak kadang kadang sebelum membeli produk pangan. Konsumen yang berusia lebih tua, memliki pendidikan lebih baik, pendapatan lebih tinggi cenderung lebih sering menggunakan label informasi nilai gizi. Meskipun demikian, konsumen

Tabel 4

Saran Perbaikan untuk Label Informasi Nilai Gizi (n = 124)

No.

Saran Perbaikan

Persen (%)

1

Menggunakan istilah dan bahasa yang mudah dipahami oleh semua orang

41.1

2

Tulisan terlalu kecil. Harap diperbesar sehingga mudah untuk dibaca

30.6

3

Tidak mempercayai label. Label harus bisa dipercayai

13.7

4

Menggunakan desain yang lebih menarik dan ramah pengguna

9.7

5

Label harus menjelaskan fungsi nutrisi yang tertera

6.5

6

Perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi tentang label informasi nilai gizi kepada konsumen

5.6

7

Lain-lain

24.2


Sumber : data diolah

masih merasa sulit memahami label pangan karena istilah yang ada pada label terlalu ilmiah dan banyak menggunakan bahasa teknis.

Saran

Mengingat banyaknya konsumen yang masih sulit memahami label informasi nilai gizi, diperlukan adanya perbaikan dalam hal transfer informasi nutrisi sehingga informasi tersebut dapat sampai ke konsumen dan konsumen dapat memakai informasi tersebut untuk menjalani pola makan yang bernutrisi. Beberapa rekomendasi perbaikan yang dapat diterapkan antara lain:

  • 1.    Perlu adanya tindakan untuk mengedukasi konsumen dengan harapan dapat memperbaiki pemahaman tentang label informasi nilai gizi. Baik pemerintah maupun industri pangan dapat bekerjasama untuk memberikan edukai tentang nutrisi dan pola makan sehat. Sebagai contoh, memberikan pendidikan akan pentingnya nutrisi dan pola makan sehat di level sekolah atau memberikan penyuluhan kepada orang-orang yang berpendidikan rendah.

  • 2.    Pemerintah diharapkan mampu merubah format label informasi nilai gizi yang digunakan saat ini supaya dapat lebih mudah dipahami oleh semua kalangan. Beberapa format sederhana label informasi nilai gizi yang dapat diterapkan seperti sistem seperti pelabelan GDA, label traffic light dan penggunaan logo kesehatan.

  • 3.    Meningkatkan peran media terutama telivisi dan media cetak seperti koran dan majalah untuk memberikan informasi tentang pentingnya makanan bernutrisi dan gaya hidup sehat.

REFERENSI

De Magistris, T., Gracia, A., and Barreiro-Hurl, J. 2010. Effects of the nutritional labels use on healthy eating habits in Spain. Dalam:

Agricultural Journals, Vol. 56, No. 11, p. 540551.

Dijkhuizen, M.A., Wieringa, F.T., West, C.E., Muherdiyantiningsih, and Muhilal. 2001. Concurrent micronutrient deficiencies in lactating mothers and their infants in Indonesia. Dalam: The American Journal of Clinical Nutrition, Vol. 73, p. 786-791. 51.

Drichoutis, A., Lazaridis, P., Nayga Jr., R.M. 2005. Nutrition knowledge and consumer use of nutritional food labels. European Review of Agricultural Economics, Vol. 32, p. 93-118.

Drichoutis, A.C., Lazaridis, P., and Nayga, R.M. 2006. Consumers’ use of nutrition labels: a review of research studies and issues. Dalam: academy of Marketing Science Review, Vol. 2006, No. 9. URL: http://www.amsreview. org/ articles/drichoutis09-2006.pdf. (Diakses tanggal 22/03/2013).

Govindasamy, R., Italia, J. 1999. The influence of consumer demographic characteristic on nutricional label usage. Journal of Food Products Marketing, Vol. 5, p. 55-68.

Guthrie, J.F., Fox, J.J., Cleveland, L.E., Welsh, S. 1995. Who uses nutritional labeling and what effect does label use have on diet quality?. Journal of Consumer Affairs, Vol. 20, p. 173-192.

Julia M., van Weissenbruch M.M., Prawirohartono E.P., Surjono A., Delemarre-van de Waal H.A. 2008. Tracking for underweight, overweight and obesity from childhood to adolescence: a 5-year follow-up study in urban Indonesian children. Dalam: Hormon Research, Vol. 69, p. 301-306.

Kelly, E.B. 2006. Obesity. Westport: Greenwood Press.

Kim S. Y., Nayga Jr, R.M., Capps, O. 2001. Food label use, self-selectivity and diet quality. The Journal of Consumer Affairs, Vol. 35, p. 346-363.

McLean-Meyinsse, P.E. 2001. An analysis of nutritional label use in the Southern Unites States. Journal of Food Distribution Research, Vol. 32, p. 110-114.

Nayga Jr., R.M. 1996. Determinants of consumers’ use of nutritional information on food packages. Journal of Agricultural and Applied Economics, Vol. 28, p. 303-312.

Nayga Jr., R.M., Lipinski, D., Savur, N. 1998. Consumers’ use of nutritional labels while food shopping and at home. The Journal of Consumer Affairs, Vol. 32, p. 106-120.

Piedra, M.A., Schupp, A.R., and Montgomery, D.E. 1996. Consumer use of nutrition labels on packaged meats. Dalam: Journal of Food Distribution Research, Vol. 27, No. 2, p. 42-47.

Ridgwell, J. (1996). Examining food & nutrition. Oxford: Heinemann Educational.

Roemling, C. and Qaim, M. 2012. Obesity trends and determinants in Indonesia. Dalam: Appetite 58, 1005-1013.

Shankar, A.H. and Prasad, A.S. 1998. Zinc and immune function: the biological basis of

altered resistance to infection. Dalam: The American Journal of Clinical Nutrition, Vol. 68 (suppl), p. 447S–463S.

WHO. 2001. Iron deficiency anaemia assessment, prevention, and control: A guide for programme managers. Geneva: WHO.

WHO. 2004. Iodine Status Worldwide: WHO global database on iodine deficiency. Geneva: WHO.

WHO. 2012. Obesity and overweight. URL: http:/ /www.who.int/mediacentre/factsheets/fs311/en/ index.html. (Diakses tanggal 02/03/2013).

Wills, J.M., Schmidt, D.B., Pillo-Blocka, F., and Cairns, G. 2009. Exploring global consumer attitudes toward nutrition information on food labels. Dalam: Nutrition Reviews, Vol. 67 (Suppl. 1), p. S102 - S106.

Wild, S., Roglic, G., Green, A., Sicree, R., King, H. 2004. Global prevalence of diabetes. Dalam: Diabetes Care, Vol. 27, 1047-1053.

World Bank. 20 1 3. The double burden of malnutrition in Indonesia. Jakarta: The World Bank Office Jakarta.