KEMAMPUAN ALOKASI BELANJA MODAL MEMODERASI PENGARUH KINERJA KEUANGAN DAERAH PADA INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA
on
Ni Ketut Sandri dkk, Kemampuan Alokasi Belanja Modal Memoderasi.... 71
KEMAMPUAN ALOKASI BELANJA MODAL MEMODERASI PENGARUH KINERJA KEUANGAN DAERAH PADA INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA
Ni Ketut Sandri1
I Gusti Ayu Made Asri Dwija Putri2 A.A.N.B. Dwirandra3
-
1Program Pascasarjana Universitas Udayana, Bali, Indonesia
-
2,3 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana, Bali, Indonesia Email: [email protected].
Abstract: The Role of Capital Expenditure Allocation as The Moderator in The Effect of Regional Financial Performance on HDI. This research was to aimed to understand the role of capital expenditure allocation as the moderator in the effect of regional financial performance on HDI of all districts and city in Bali Province. The context of this research included eight districts and one city in Bali Province, and was observed during 2008-2013. The saturated sample was used, where the secondary data was obtained from the Bureau of Finance Bali Province and Bureau of Statistics Bali Province. The data was analyzed by several techniques, such as the assumption test, moderated regression analysis, coefficient determination test, F test and t test. The research result showed that the allocation of capital expenditure will weaken the influence of the tax ratio on HDI, will not moderate the influence of tax per capita on HDI, and will enhance the influence of the tax effort and fiscal space on HDI of all districts and city in Bali Province.
Keywords: tax ratio, tax per capita, tax effort, fiscal spaces, capital expenditure, human development index
Abstrak: Kemampuan Alokasi Belanja Modal Memoderasi Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah Pada Indeks Pembangunan Manusia. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti tentang kemampuan alokasi Belanja Modal memoderasi pengaruh Kinerja Keuangan Daerah pada IPM Kabupaten/Kota di Provinsi Bali. Penelitian ini mencakup 8 kabupaten dan 1 kota di Provinsi Bali dalam rentang waktu amatan 2008-2013, menggunakan sampel jenuh, dengan data sekunder yang diperoleh dari Biro Keuangan Provinsi Bali dan Badan Pusat Statistik. Teknik analisis data meliputi: uji asumsi klasik, Moderated Regression Analysis, uji koefisien determinasi, uji F, dan uji t. Hasil penelitian ini adalah alokasi belanja modal menurunkan pengaruh kinerja keuangan daerah (rasio pajak) pada IPM. Alokasi belanja modal tidak memoderasi pengaruh kinerja keuangan daerah (pajak per kapita) pada IPM, dan alokasi belanja modal meningkatkan pengaruh kinerja keuangan daerah (upaya pajak, ruang pajak) pada IPM di Kabupaten/Kota Provinsi Bali.
Kata kunci :rasio pajak, pajak per kapita, upaya pajak, ruang fiskal, Indeks Pembangunan Manusia
PENDAHULUAN
Pembangunan manusia senantiasa berada di baris terdepan dalam perencanaan pembangunan. Jadi hakekat pembangunan adalah usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat, sehingga dalam penyusunan anggaran alokasi belanja untuk keperluan pembangunan manusia perlu diprioritaskan (Fhino, 2009). Prioritas tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai alat ukurnya. Terkait dengan pembangunan, paradigma yang sedang berkembang saat ini adalah pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan pembangunan manusia, dapat dilihat melalui tingkat kualitas hidup manusia di tiap-tiap negara. Sejak tahun 1990 perkembangan tingkat kualitas hidup manusia (indeks HDI) di seluruh dunia diteliti dan laporannya
diterbitkan oleh United Nations Development Program (UNDP). Berdasarkan laporan tahunan UNDP pada tahun 2013 menginformasikan bahwa IPM Indonesia mengalami peningkatan. Kajian seksama masih perlu tetap dilakukan, mengingat IPM negara kita ternyata masih berada di bawah Malaysia, Singapura, Thailand, dan Brunei Darussalam (UNDP, 2014). Hal tersebut menunjukkan masih diperlukannya upaya keras untuk memperbaiki kualitas manusia Indonesia di tengah-tengah persaingan dengan masyarakat internasional. Upaya meningkatkan IPM Indonesia tidak dapat dilepaskan dari upaya simultan untuk meningkatkan IPM kabupaten/kota seluruh Provinsi di Indonesia, salah satunya adalah IPM di semua kabupaten/kota provinsi Bali. Perkembangan IPM Kabupaten/Kota Provinsi Bali tahun 2008 s.d 2013 disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1
Perkembangan IPM Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Periode 2008-2013
No |
Kab/Kota |
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) | |||||
2008 |
2009 |
2010 |
2011 |
2012 |
2013 | ||
1 |
Jembrana |
72.02 |
72.45 |
72.69 |
73.18 |
73.62 |
74.29 |
2 |
Tabanan |
73.73 |
74.26 |
74.57 |
75.24 |
75.55 |
76.19 |
3 |
Badung |
74.12 |
74.49 |
75.02 |
75.35 |
75.69 |
76.37 |
4 |
Gianyar |
72.00 |
72.43` |
72.73 |
73.43 |
74.49 |
75.02 |
5 |
Klungkung |
69.66 |
70.19 |
70.54 |
71.02 |
71.76 |
72.25 |
6 |
Bangli |
69.72 |
70.21 |
70.71 |
71.42 |
71.8 |
72.28 |
7 |
Karangasem |
65.46 |
66.06 |
66.42 |
67.07 |
67.83 |
68.47 |
8 |
Buleleng |
69.67 |
70.26 |
70.69 |
71.12 |
71.93 |
72.54 |
9 |
Denpasar |
77.18 |
77.56 |
77.94 |
78.31 |
78.8 |
79.41 |
Bali |
71.51 |
71.52 |
72.28 |
72.90 |
73.49 |
74.11 |
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013 (data diolah)
Pada tabel 1 ditunjukkan bahwa IPM Provinsi Bali peningkatannya tidak konsisten. Pada tahun 2009 ke 2010 peningkatan IPM Provinsi Bali adalah sebesar 0,76, sedangkan pada tahun 2012 ke 2013 peningkatannya sebesar 0,62. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa penerimaan yang dimiliki pemerintah Provinsi Bali belum optimal digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan IPM. Peningkatan IPM, salah satunya ditentukan oleh kemampuan keuangan daerah yaitu salah satunya adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Salah satu komponen PAD Provinsi Bali adalah Pajak Daerah. Dari tahun 2012 s.d. 2014 Provinsi Bali mempunyai rasio pajak di atas rata-rata nasional. Bahkan pada tahun 2012 dan 2014 Provinsi Bali adalah sebagai Provinsi dengan rasio pajak dan rasio pajak per kapita tertinggi di Indonesia (Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan/DJPK, 2014). Ini dapat dimaknai bahwa semakin meningkatnya rasio-rasio tersebut berarti pemerintah kabupaten/kota memiliki dana yang cukup untuk mendukung berbagai upaya peningkatan IPM, namun kenyataannya alokasi dana untuk belanja publik relatif rendah sehingga menyebabkan pelayanan publik tidak memadai bagi masyarakat
Semenjak diterapkannya desentralisasi fiskal, Pemerintah Daerah memiliki kewenangan untuk mengeksplorasi dan mengumpulkan PAD, sehingga dengan desentralisasi fiskal diharapkan mampu meningkatkan IPM. Bentuk indikasi dari keberhasilan penerapan desentralisasi fiskal adalah pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat meningkat. Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini telah banyak dilakukan, namun hasilnya tidak konsisten. Diantaranya penelitian Gembira (2011) menunjukkan bahwa secara simultan variabel
Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil (pajak dan bukan pajak) pengaruhnya positif pada IPM, hanya variabel Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh terhadap IPM secara parsial. Sedangkan variabel lain berupa variabel Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil (pajak dan bukan pajak) pengaruhnya tidak signifikan terhadap IPM. Artinya bahwa bila anggaran pendidikan dan anggaran kesehatan bertambah maka akan meningkatkan IPM, ceteris paribus. Di sisi lain Mirza, 2012 dalam penelitiannya menemukan bahwa kemiskinan berpengaruh negatif dan signifikan pada IPM.
Sementara itu hasil penelitian yang kontradiktif ditemukan oleh Harahap (2010) yang menemukan bahwa secara parsial Dana Alokasi Umum/DAU dan Dana Alokasi Khusus/DAK tidak berpengaruh terhadap IPM. Titin (2012) menyatakan bahwa belanja langsung tidak dapat memprediksi indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Kota di Sumatera Selatan. Sementara penelitian Setiawan dan Hakim (2013) menunjukkan bahwa Produk Domestik Bruto/PDB dan Pajak Pertambahan Nilai/ PPN berpengaruh terhadap IPM dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Estimasi model Error Correction Model (ECM), menemukan bahwa krisis ekonomi tahun 2008 berpengaruh terhadap IPM, sementara krisis tahun 1997 dan desentralisasi pemerintahan tidak berpengaruh terhadap IPM.
Ketidakkonsistenan hasil penelitian terdahulu, menyebabkan penelitian tentang IPM semakin menarik dan penting untuk dikaji, sehingga peneliti termotivasi untuk meneliti kembali, khususnya faktor-faktor yang diduga memiliki kontribusi terhadap peningkatan IPM Kabupaten/Kota di
Provinsi Bali. Salah satunya adalah kinerja keuangan daerah yang meliputi: rasio pajak (tax ratio), pajak per kapita (tax per capita), upaya pajak (tax effort) dan ruang fiskal (fiscal space), serta adanya dugaan bahwa kinerja keuangan daerah tidak serta merta meningkatkan IPM, namun kemungkinan adanya pengaruh variabel alokasi belanja modal (ABM) yang memoderasi pengaruh kinerja keuangan daerah pada IPM.
Peranan ABM sangat penting dalam upaya meningkatkan pelayanan publik, yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembangunan manusia. Oleh karena itu, besarnya belanja modal suatu daerah diduga dapat memperkuat atau memperlemah hubungan kinerja keuangan daerah yang meliputi rasio pajak, pajak per kapita, upaya pajak dan ruang fiskal pada IPM.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka pokok permasalahan penelitian ini adalah 1) Apakah alokasi belanja modal memoderasi pengaruh kinerja keuangan daerah (rasio pajak) pada IPM? 2) Apakah alokasi belanja modal memoderasi pengaruh kinerja keuangan daerah (pajak per kapita) pada IPM? 3) Apakah alokasi belanja modal memoderasi pengaruh kinerja keuangan daerah (upaya pajak) pada IPM? dan 4) Apakah alokasi belanja modal memoderasi pengaruh kinerja keuangan daerah (ruang fiskal) pada IPM?
Penelitian ini difokuskan untuk mengetahui kemampuan alokasi belanja modal memoderasi pengaruh kinerja keuangan daerah dengan parameter rasio pajak, pajak per kapita, upaya pajak, dan ruang fiskal pada IPM.
Berdasarkan teori keagenan hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memperluas kasanah teori keagenan, khususnya dalam menjelaskan konflik antara masyarakat dengan pemerintah mengenai kebijakan keuangan yang dapat memengaruhi kebijakan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan IPM. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi kepada Pemerintah Daerah sekaligus sebagai referensi untuk menentukan strategi yang tepat guna menggali pendapatan daerah dengan sumber daya yang dimiliki agar dapat meningkatkan alokasi belanja modal demi peningkatan kualitas pelayanan publik.
Teori keagenan dijadikan acuan utama dalam penelitian ini untuk menjelaskan konflik yang terjadi antara pemerintah daerah (Pemda) dan masyarakat yang diwakili oleh DPRD, berkaitan dengan kebijakan keuangan Daerah. Hal ini terjadi akibat adanya perbedaan kepentingan kedua belah pihak yang terikat dalam suatu kontrak. Dalam kontrak tersebut
pemerintah di samping ingin memuaskan prinsipal juga bertujuan untuk memaksimalkan kepentingannya.
Kaitan teori keagenan dalam penelitian ini dapat dilihat melalui hubungan antara masyarakat dengan pemerintah adalah seperti hubungan antara principal dan agent. Masyarakat yang diwakili oleh DPRD adalah principal dan pemerintah adalah agent. Agent diharapkan dalam mengambil kebijakan keuangan menguntungkan principal. Principal memiliki wewenang pengaturan kepada agent, dan memberikan sumberdaya kepada agen dalam bentuk pajak, retribusi, dana perimbangan, hasil pengelolaan kekayaan daerah dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Pemda wajib menyampaikan laporan kinerja khususnya di bidang keuangan daerahnya untuk dinilai apakah pemerintah daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Bila keputusan agen merugikan bagi principal maka akan timbul masalah keagenan. Karena tidak mengetahui apa yang sebenarnya dilakukan oleh agen (assymetric information) maka principal membutuhkan pihak ketiga yang mampu meyakinkan prinsipal bahwa apa yang dilaporkan oleh agent adalah benar.
Kinerja adalah capaian/realisasi atas apa yang telah direncanakan. Kinerja seseorang atau organisasi dikatakan baik apabila hasil yang dicapai sesuai dengan target yang direncanakan. Kinerja dikatakan sangat baik apabila pencapaian melebihi target, kinerja dikatakan buruk apabila capaian lebih rendah dari target (Sularso dan Restianto, 2011).
Halim (2007) membagi belanja modal menjadi 2 (dua) bagian : 1) Belanja publik yaitu belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat umum. Contoh belanja publik: pembangunan jembatan dan jalan raya, pembelian alat transportasi massa, dan pembelian mobil ambulans. 2) Belanja aparatur, yaitu belanja yang manfaatnya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat, tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur, seperti pembelian kendaraan dinas, pembangunan gedung pemerintahan dan pembangunan rumah dinas.
Belanja modal adalah belanja yang outputnya bersifat menambah aset tetap/inventaris yang bermanfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk juga biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas asset. Tingkat investasi modal yang semakin tinggi diharapkan mampu meningkatkan pelayanan publik, yang pada akhirnya diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan IPM.
Pendekatan kontijensi akan digunakan dalam penelitian ini, untuk mengevaluasi keefektifan hubungan antara kinerja fiskal daerah dengan IPM. Berdasarkan pendekatan di atas ada dugaan alokasi belanja modal akan memoderasi pengaruh antara kinerja fiskal daerah pada IPM.
IPM sebagai suatu standar dalam pegukuran pembangunan manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB. IPM merupakan indeks komposit yang dihitung sebagai rata-rata
sederhana dari indeks pendidikan (melek huruf dan rata-rata lama sekolah), indeks harapan hidup, dan indeks standar hidup layak. IPM digunakan sebagai alat ukur keberhasilan pembangunan di suatu tempat pada suatu waktu. Selain itu, IPM juga sebagai alat pemantau yang bisa memberikan perbandingan antar wilayah serta perkembangan antar waktu sehingga dapat memperlihatkan dampak pembangunan yang dilakukan pada periode sebelumnya (BPS, 2009:3) Konsep penelitian disajikan pada gambar 1.
Gambar 1
Konsep Penelitian
Kuncoro (2004) dalam penelitiannya menemukan bahwa pembangunan sarana dan prasarana oleh pemerintah daerah berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi. Peningkatan pelayanan sektor publik secara berkelanjutan akan meningkatkan sarana dan prasarana publik, investasi pemerintah yang meliputi perbaikan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan sarana penunjang lainnya.
Bhakti dan Hakim (2013), dalam penelitiannya menemukan bahwa PDB dan PPN berpengaruh terhadap IPM dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Estimasi model ECM menemukan bahwa krisis ekonomi tahun 2008 berpengaruh terhadap IPM, sementara krisis tahun 1997 dan desentralisasi pemerintahan tidak berpengaruh terhadap IPM.
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
H1 : Alokasi belanja modal memoderasi pengaruh
Kinerja Keuangan Daerah berupa rasio pajak pada IPM.
Kontribusi setiap penduduk terhadap pajak daerah ditunjukkan pada pajak per kapita. Semakin tinggi pajak per kapita akan dapat meningkatkan PAD, jadi semakin tinggi juga dana yang tersedia
untuk dialokasikan (salah satunya alokasi ke belanja modal) sehingga semakin tinggi stimulus peningkatan IPM.
Sumardjoko (2013), membuktikan bahwa dana otonomi khusus dan belanja modal pada indeks pembangunan manusia pengaruhnya signifikan, baik pengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap indeks pembangunan manusia melalui intervening belanja modal pada tahun 2002-2012. Penelitian ini menunjukkan bahwa antara dana otonomi khusus terhadap indeks pembangunan manusia daerah Papua dan Papua Barat, dan belanja modal berperan sebagai variabel intervening.
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
H2 : Alokasi belanja modal memoderasi pengaruh Kinerja Keuangan Daerah berupa rasio pajak Per Kapita pada indeks pembangunan manusia.
Mulyanto (2007) menyatakan bahwa upaya fiskal atau tax effort adalah jumlah pajak yang sungguh-sungguh dikumpulkan oleh kantor pajak dan dilawankan dengan potensi pajak (tax capacity potensial). Usaha pajak dapat diartikan sebagai rasio antara penerimaan pajak dengan kapasitas
atau kemampuan bayar pajak di suatu daerah. Salah satu indikator yang digunakan untuk mengetahui kemampuan membayar masyarakat adalah produk domestik regional bruto (PDRB). Jika PDRB suatu daerah meningkat, maka kemampuan daerah dalam membayar (ability to pay) pajak juga akan meningkatkan dana yang berhasil di pupuk untuk mendanai belanja daerah.
Martini dan Dwirandra 2015, dalam penelitiannya menyatakan bahwa rasio ketergantungan pengaruhnya negatif dan signifikan pada ABM, rasio efektivitas PAD pengaruhnya terhadap alokasi belanja modal, rasio tingkat pembiayaan SiLPA pengaruhnya negatif dan signifikan pada ABM, rasio ruang fiskal berpengaruh positif dan signifikan pada alokasi belanja modal, rasio efisiensi berpengaruh negatif dan signifikan pada alokasi belanja modal, dan rasio kontribusi BUMD berpengaruh positif namun tidak signifikan pada alokasi belanja modal.
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disusun hipotesis:
H3 : Alokasi belanja modal memoderasi pengaruh Kinerja Keuangan Daerah berupa upaya pajak pada IPM
Peningkatan ruang fiskal daerah untuk belanja modal sangat penting karena dapat menjadi stimulus perekonomian daerah. Selain itu, anggaran yang digunakan secara efektif dan efisien di daerah akan dapat mendukung terciptanya ruang fiskal (DJPK, 2014), dan pada akhirnya dapat meningkatkan IPM.
Holtz-Eakin (1985) dalam Darwanto (2007) menyatakan bahwa keterkaitan antara transfer dari pemerintah pusat dengan belanja pemerintah daerah sangat erat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan gambaran hasil penelitian sebelumnya tersebut, peneliti menyusun hipotesis untuk pengembangan penelitian sebagai berikut ini.
H4 : Alokasi belanja modal memoderasi pengaruh Kinerja Keuangan Daerah berupa ruang fiskal pada IPM.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di sembilan kabupaten/kota di Provinsi Bali yang terdiri dari delapan kabupaten dan satu kota dengan data panel dari periode 2008 hingga 2013. Data berjumlah 54 amatan (terdiri dari 9 kabupaten/kota x 6 tahun), dengan sampel jenuh. Data sekunder yang digunakan adalah laporan realisasi APBD dan IPM tahun 2008-2013) yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik Provinsi Bali.
Identifikasi variabel pada penelitian ini adalah 1) Variabel terikat/bebas dalam penelitian ini adalah IPM (Y); 2) Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kinerja keuangan (X) berupa: Tax Ratio (X1), Ratio Per Capita (X2), Tax Effort (X3), dan Fiscal Space (X4) dan 3) Variabel moderasi dalam penelitian ini adalah alokasi belanja modal (X5).
Solimun (2010) mengklasifikasikan variabel moderasi menjadi 4 (empat) jenis yaitu pure moderasi (moderasi murni), quasi moderasi (moderasi semu), homologiser moderasi (moderasi potensial) dan Predictor moderasi (moderasi sebagai predictor). Masing-masing klasifikasi moderasi dapat diidentifikasi sebagaimana contoh berikut, jika X adalah variabel predictor, Y variabel tergantung dan M variabel moderasi maka persamaan regresi yang dapat dibentuk sebagai berikut :
-
1) Tanpa melibatkan variabel moderasi
v1 = b0 + b1X 1 …………...................…… (1)
-
2) Melibatkan variabel moderasi
v1 = b0 + b1X 1+ b2 M1…...................…… (2)
-
3) Melibatkan variabel moderasi dan Interaksi
v1 = b0 + b1X 1+ b2M1 + b3 X1*M1………. (3)
Secara singkat, 4 jenis klasifikasi variabel moderasi dapat dilihat pada tabel 2.
No. |
Tipe Moderasi |
Koefesien |
1 |
Moderasi murni (Pure Moderasi) |
b2 non significant b3 significant |
2 |
Moderasi semu (Quasi Moderator) |
b2 significant b3 significant |
3 |
Moderasi potensial (Homologiser Moderasi) |
b2 non significant b3 non significant |
4 |
Moderasi sebagai predictor (Predictor Moderasi) |
b2 significant b3 non significant |
Sumber : Solimun (2010)
Definisi operasional variabel
-
1) Belanja Modal
Belanja modal adalah jumlah realisasi seluruh belanja pembangunan seperti infrastruktur, investasi baik belanja langsung maupun belanja tidak langsung. Belanja modal meliputi belanja tanah, gedung dan bangunan, belanja peralatan dan mesin, belanja jalan, irigasi dan jaringan dan belanja aset tetap lainnya. Belanja modal yang dimaksud adalah belanja modal pada t0 karena dampak realisasi belanja modal pada tahun berjalan baru dirasakan di tahun berikutnya.
-
2) Kinerja keuangan:
-
(1) Rasio Pajak (tax ratio): rasio pajak daerah merupakan jumlah penerimaan pajak daerah diperbandingkan dengan PDRB.
-
(2) Tax per Capita adalah jumlah penerimaan pajak yang dihasilkan suatu daerah dibandingkan dengan jumlah penduduk, (rasio pajak x PDRB per kapita),
-
(3) Tax effort dapat diartikan sebagai rasio antara penerimaan pajak dengan kapasitas atau kemampuan bayar pajak di suatu daerah. Salah satu indikator yang digunakan untuk mengetahui kemampuan masyarakat membayar pajak adalah produk domestik regional bruto.
-
(4) Fiscal space adalah jumlah Pendapatan Daerah dikurangkan dengan pendapatan hibah, pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya, belanja pegawai dan belanja bunga, kemudian dibagi dengan jumlah pendapatannya (DJPK, 2013).
-
3) Indeks Pembangunan Manusia (IPM): merupakan indeks gabungan dari tiga indeks, yaitu :
-
(1) Indeks harapan hidup, dimensinya umur panjang dan sehat (longevity)
-
(2) Indeks pendidikan, dimensinya pengetahuan (knowledge)
-
(3) Indeks standar hidup layak, dimensinya hidup layak (decent living)
Teknik analisis data mengunakan Moderated Regression Analysis (MRA), namun sebelumnya dilakukan uji asumsi klasik (uji normalitas residual, uji autokorelasi, uji multikolineritas dan uji heteroskedastisitas), perumusan model MRA, koefesien determinasi, uji kelayakan model dengan uji f, uji t dan uji hipotesis.
Model persamaan regresi yang akan diuji adalah sebagai berikut:
-
Y= α + bιχι + b2X2 + b3X3 + b4X4+ b5χ5 + b6Xi.X5
-
+ b7X2.X5+b8X3.X5+b9X4.X5 + e..................(3)
Keterangan:
Y = Variabel Indeks Pembangunan Manusia
-
X1 = Variabel Kinerja Keuangan Daerah berupa
tax ratio
X2 = Variabel Kinerja Keuangan Daerah berupa Rasio tax per capita
X3 = Variabel Kinerja Keuangan Daerah berupa Rasio tax effort
X4 = Variabel Kinerja Keuangan Daerah berupa Rasio fiscal space
X5 = Variabel Alokasi Belanja Modal
-
X1.X5= Interaksi antara variabel Kinerja Keuangan Daerah berupa tax ratio dengan Alokasi Belanja Modal
X2.X5= Interaksi antara variabel Kinerja Keuangan Daerah berupa Rasio tax per capita dengan Alokasi Belanja Modal
X3.X5= Interaksi antara variabel Kinerja Keuangan Daerah berupa tax effort dengan Alokasi Belanja Modal
X4.X5= Interaksi antara variabel Kinerja Keuangan Daerah berupa fiscal space dengan Alokasi Belanja Modal
α = Konstanta
b = Koefesien regresi (nilai peningkatan ataupun
penurunan)
e = Nilai residu
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil uji normalitas residual terhadap 54 amatan, menunjukkan hasil nilai Kolmogorov-Smirnov (K-S) =1.334 dan Asymp. Sig. (2-tailed) sebesar 0,057. Ini berarti secara tatistik nilai Sig. (2-tailed) > 0,05, jadi data terdistribusi secara normal.
Sedangkan uji autokorelasi menunjukkan nilai Durbin-Watson (DW) =2,212. Nilai dU = 1,7684, dL 1,3669. DW =2,212 berada diantara dU (1,7684) dan 4-dU (4-1,7684), jadi hasil uji autokorelasinya : dU< DW <4-dU yaitu 1,7684<2.212<4-1,7684. Ini berarti d-hitung berada pada daerah bebas autokorelasi.
Berdasarkan hasil pengujian multikolinearitas menunjukkan bahwa Rasio Pajak nilai tolerance adalah 0,402 (> 0,1) dan nilai VIF =2,486 (< 10). Rasio Pajak Per Kapita, nilai tolerance-nya =0,207 (> 0,1) dan nilai VIF = 4,833 (< 10). Untuk Upaya pajak, nilai tolerance-nya =0,238 (> 0,1) dan nilai VIF =4,207 (< 10). Untuk Ruang Fiskal, nilai tolerance-nya =0,229 (> 0,1) dan nilai VIF =4,369
(< 10). Untuk variabel BM, nilai tolerance-nya =0,681 (> 0,1) dan nilai VIF =1,469 (< 10). Hasil ini membuktikan bahwa nilai tolerance untuk seluruh variabel >10%, VIF semua variabel <10%, artinya data dalam penelitian ini tidak terjadi gejala multikolinearitas.
Berdasarkan uji Glejser asym sig. dari masing-masing variabel menunjukkan hasil di atas 0,05. Hal ini berarti seluruh variabel tersebut dapat dikatakan bebas dari heteroskedastisitas. Sedangkan uji F dapat diketahui p-value 0,00, < α =0,05 menunjukkan model penelitian ini layak untuk digunakan sebagai alat analisis menguji pengaruh variabel independen dan moderasi pada variabel dependen. Hal ini artinya variabel kinerja keuangan daerah (seperti rasio pajak, pajak per kapita, upaya pajak, dan ruang fiskal) yang dimoderating alokasi belanja modal berpengaruh terhadap variabel dependennya yaitu IPM.
Berdasarkan hasil uji kelayakan model (uji F), p-value = 0,000 < α = 0,05 membuktikan model penelitian ini layak untuk digunakan sebagai alat analisis untuk menguji pengaruh variabel independen dan moderasi pada variabel dependen. Berdasarkan analisis koefisien determinasi dapat dilihat bahwa nilai R2 =0,594, yang berarti 59,4% variasi perubahan IPM dapat dijelaskan oleh variabel kinerja keuangan daerah yang dimoderating ABM. 40,6% dipengaruhi oleh variabel lain di luar model.
Uji statistik t dilakukan untuk menunjukkan seberapa besar satu variabel bebas dan variabel moderasi secara partial dapat menjelaskan variasi variabel terikat. Uji statistik t dilakukan dengan membandingkan, hasil nilai signifikansi dengan α=0,05.
Pengujian hipotesis dilakukan dengan uji interaksi Moderated Regression Analysis (MRA), hasilnya disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3
Hasil uji Moderated Regression Analysis
Variabel |
Unstandardized Coefficients |
Standardized Coefficients |
T |
Sig. | |
B |
Std. Error |
Beta | |||
(Constant) |
70,2703456012 |
4,3127834206 |
- |
16,294 |
0,000 |
TR (X1) |
1,815689323424 |
1,09822806735 |
1,048 |
1,653 |
0,165 |
TPC (X2) |
0,000000015586 |
0,000000219954 |
0,083 |
0,071 |
0,944 |
TE (X3) |
-3,5118808794 |
1,1778917490 |
-2,501 |
-2,981 |
0,005 |
FS (X4) |
0,000000000058 |
0,000000000023 |
-2,099 |
2,557 |
0,014 |
BM (X5) |
-0,000000017020 |
0,000000039306 |
-0,193 |
-0,433 |
0,667 |
TRBM (X1.X5) |
-0,000000033364 |
0,000000013493 |
-2,454 |
-2,473 |
0,017 |
TPCBM |
0,000000000000 |
0,000000000000 |
0,864 |
0,668 |
0,508 |
(X2.X5) |
0,000000038964 |
0,000000012718 |
4,252 |
3,064 |
0,004 |
TEBM (X3.X5) |
0,000000000000 |
0,000000000000 |
-2,987 |
-2,182 |
0,034 |
FSBM (X4.X5) | |||||
R2 |
0,594 | ||||
F Hitung |
7,164 | ||||
Sig. F |
0,000 |
Sumber: Hasil olah data dengan SPSS
Persamaan regresi yang dihasilkan melalui |
TE = |
Tax Effort |
Moderated Regression Analysis (MRA) adalah |
FS = |
Fiscal Space |
sebagai berikut: |
BM = |
Belanja Modal |
Y = 70,2703456012+1,815689323424 X1+ |
TRBM = |
Interaksi Rasio Pajak dengan Belanja |
0,000000015586 X2 - 3,5118808794 X3 + 0,000000000058 X4 - 0,000000017020 X5 - |
TPCBM = |
Modal Interaksi Pajak Per Kapita dengan |
0,000000033364 X1X5+ 0,000000000000X2X5 + 0,000000038964 X3X5+ 0,00000000000 X4 |
TEBM = |
Belanja Modal Interaksi Upaya Pajak dengan Belanja |
X5 + e………………………………….(12) Keterangan: TR = Tax Ratio |
FSBM = e= |
Modal Interaksi Ruang Fiskal dengan Belanja Modal Nilai Residu |
TPC = Tax Per Capita
Berdasarkan persamaan regresi di atas dapat diketahui bahwa:
-
1) Nilai konstanta 70,2703456012 memiliki arti apabila rasio pajak, pajak per kapita, upaya pajak ruang fiskal dan belanja modal besarnya 0 satuan, maka besaran IPM adalah 70,2703456012 satuan.
-
2) Nilai koefisien regresi rasio pajak sebesar 1,815689323424 memiliki arti apabila rasio pajak bertambah sebesar satu satuan, maka IPM meningkat sebesar 1,815689323424 satuan dengan asumsi variabel lainnya konstan (cateris paribus).
-
3) Nilai koefisien regresi rasio pajak per kapita sebesar 0,000000015586 memiliki arti apabila rasio pajak per kapita bertambah sebesar satu satuan, maka IPM naik sebesar 0,000000015586 satuan dengan asumsi variabel lainnya konstan (cateris paribus).
-
4) Nilai koefisien regresi upaya pajak sebesar -3,5118808794 memiliki arti apabila upaya pajak meningkat sebesar satu satuan, maka mengakibatkan penurunan IPM sebesar 3,5118808794 satuan dengan asumsi variabel lainnya konstan (cateris paribus).
-
5) Nilai koefisien regresiruang pajak sebesar 0,000000000058 memiliki arti bahwa apabila ruang pajak bertambah sebesar satu satuan, maka IPM meningkat sebesar 0,000000000058 satuan dengan asumsi variabel lainnya konstan (cateris paribus).
-
6) Nilai koefisien regresi BM sebesar -0,000000017020 memiliki arti bahwa apabila BM meningkat sebesar satu satuan, maka mengakibatkan penurunan IPM sebesar 0,000000017020 satuan dengan asumsi variabel lainnya konstan (cateris paribus).
-
7) Nilai koefisien moderat rasio pajak BM (X1.X5)
sebesar –0,000000033364 mengindikasikan bahwa setiap interaksi rasio pajak dengan belanja modal meningkat satu satuan akan menurunkan IPM sebesar 0,000000033364 satuandengan asumsi variabel lainnya konstan (cateris paribus).
-
8) Nilai koefisien moderat rasio pajak per kapita BM (X2.X5) sebesar 0,000000000000 mengindikasikan bahwa setiap interaksi rasio pajak per kapita dengan belanja modal bertambah satu satuan maka IPM meningkat sebesar 0,000000000000 satuan dengan asumsi variabel lainnya konstan (cateris paribus).
-
9) Nilai koefisien moderat upaya pajak BM (X3.X5)
sebesar 0,000000038964 mengindikasikan
bahwa setiap interaksi upaya pajak BM dengan belanja modal bertambah satu satuan maka IPM meningkat sebesar 0,000000038964 satuan dengan asumsi variabel lainnya konstan (cateris paribus).
-
10) Nilai koefisien moderat ruang pajak ABM (X4.X5) sebesar 0,000000000000 mengindikasikan bahwa setiap interaksi ruang pajak dengan belanja modal bertambah satu satuan maka IPM meningkat sebesar 0,000000000000 satuan dengan asumsi variabel lainnya konstan (cateris paribus).
Hipotesis pertama yang menyatakan bahwa kemampuan belanja modal dalam memoderasi pengaruh kinerja keuangan daerah berupa rasio pajak pada IPM. Nilai signifikansi (Sig.t) koefisien interaksi TR dengan BM =0,017 < α = 0,05 artinya belanja modal memoderasi pengaruh rasio pajak pada IPM, sehingga H1 diterima.
Semakin meningkat belanja modal, maka semakin menurun pengaruh rasio pajak pada IPM. Hal ini sangat wajar karena semakin besar pendapatan pajak yang dialokasikan pada belanja modal akan meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan publik untuk menunjang peningkatkan kuantitas dan kualitas pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat yang ketiganya merupakan faktor pembentuk IPM.
Koefesien TR (X1) pada penelitian ini menunjukkan nilai koefesien yang tidak signifikan, sedangkan koefesien interaksi moderasi TR dan BM (X1.X5) signifikan. Hal ini berarti bahwa belanja modal merupakan variabel moderasi murni (pure moderation).
Hasil ini konsisten dengan penelitian Christy (2009), Setyowati dan Suparwati (2012), yan menemukan bahwa DAU, PAD, dan DAK berpengaruh positif pada Indeks Pembangunan Manusia melalui alokasi belanja modal. Sesuai juga dengan penelitian Sumardjoko (2013) yang membuktikan bahwa dana otonomi khusus berpengaruh seginifikan positif terhadap belanja modal APBD Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat periode tahun 2002-2012.
Hipotesis kedua menyatakan bahwa Alokasi belanja modal memoderasi pengaruh Kinerja Keuangan Daerah berupa pajak per kapita pada IPM. Berdasarkan hasil pengujian MRA, dapat diketahui bahwa alokasi belanja modal tidak mampu memoderasi pengaruh kinerja keuangan daerah berupa pajak per kapita pada IPM. Hal ini diduga disebabkan karena pendapatan pajak yang dialokasikan pada belanja modal dalam rangka menunjang program peningkatkan kuantitas dan
kualitas pendidikan, serta kesehatan masyarakat jumlahnya belum cukup untuk memenuhi besarnya jumlah penduduk yang membutuhkan layanan pendidikan dan kesehatan.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa nilai koefisien TPC (X2) tidak signifikan, sedangkan koefesien interaksi moderasi TPC dan BM (X2.X5) juga tidak signifikan. Hal ini berarti bahwa belanja modal merupakan variabel moderasi potensial (homologiser moderation).
Hasil penelitian Lilis (2012) dan Vegirawati (2012) juga sejalan dengan hasil temuan dari penelitian ini yaitu pembangunan Indonesia yang pendanaannya bersumber dari pendapatan pajak per kapita dan belanja langsung kurang mendukung pengembangan sumber daya manusia secara optimal. Kondisi ini juga diduga disebabkan karena belanja modal tidak selalu menghasilkan output yang berhubungan langsung dengan fungsi pelayanan publik, sehingga alokasi belanja modal tidak dapat menunjang kesejahteraan masyarakat. Kurang maksimalnya pengelolaan dan pemanfaatan aset tetap yang dihasilkan dari alokasi belanja modal yang berhubungan langsung dengan pelayanan publik atau digunakan oleh masyarakat, sehingga banyak proyek investasi publik yang tidak tepat sasaran, juga tentunya tidak akan dapat menunjang kesejahteraan masyarakat.
Selain itu Eisenhardt (1989) mengasumsikan tiga sifat dasar manusia, salah satunya adalah pada umumnya manusia mementingkan diri sendiri, pemerintah akan lebih mementingkan kepentingan aparatur atau dirinya sendiri daripada mementingkan kepentingan masyarakat, yaitu lebih memprioritaskan belanja pegawai untuk gaji dan tunjangan pegawai daripada belanja modal yang digunakan untuk fasilitas umum masyarakat.
Hipotesis ketiga menyatakan bahwa kemampuan belanja modal dalam memoderasi pengaruh kinerja keuangan daerah berupa upaya pajak pada IPM. Hasil pengujian MRA menunjukkan bahwa nilai signifikansi (Sig.t) koefisiennya 0,004 <α= 0,05 artinya belanja modal memoderasi pengaruh upaya pajak pada IPM, sehingga H3 diterima.
Berdasarkan hasil uji MRA juga dapat diketahui nilai koefisien TE (X3) menunjukkan hasil yang signifikan, sedangkan koefesien interaksi moderasi TE dan BM (X3.X5) juga hasilnya signifikan. Ini artinya ABM merupakan moderasi semu (quasi moderator).
Hal ini berarti sudah adanya terobosan Pemda untuk memanfaatkan fiscal space yang ada, fiscal space mampu berperan mendorong pembangunan dan penyediaan infrastruktur daerah Propinsi Bali
sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang diukur dengan peningkatan IPM.
Hipotesis keempat yang menyatakan bahwa kemampuan belanja modal dalam memoderasi pengaruh kinerja keuangan daerah berupa ruang fiskal pada IPM. Hasil pengujian menunjukkan koefisien nilai signifikansi (Sig.t) 0,034 < α = 0,05 artinya belanja modal mampu memoderasi pengaruh ruang fiskal terhadap IPM, jadi H4 diterima. Belanja modal memperkuat pengaruh ruang fiskal pada IPM.
Penelitian ini hasilnya juga menunjukkan bahwa FC (X4) nilai koefisiennya signifikan sedangkan koefesien interaksi moderasi FC dan BM (X4.X5) juga signifikan. Hal ini berarti bahwa belanja modal merupakan variabel moderasi semu (quasi moderator). Temuan penelitian ini sesuai dengan Alexiou (2009) dan Rahayu (2004) yang menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah untuk investasi publik menghasilkan dampak positif yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa alokasi belanja modal memoderasi pengaruh kinerja keuangan daerah (rasio pajak) pada IPM. Belanja Modal merupakan variabel moderasi murni (pure moderation). Alokasi belanja modal tidak memoderasi pengaruh kinerja keuangan daerah (pajak per kapita) pada IPM dan Belanja Modal merupakan variabel moderasi potensial (homologiser moderation). Alokasi belanja modal meningkatkan pengaruh kinerja keuangan daerah (upaya pajak, ruang pajak) pada IPM di Kabupaten/Kota Provinsi Bali. Belanja Modal merupakan variabel moderasi semu (quasi moderator).
Saran
Pemda diharapkan mampu lebih mengeksplorasi dan memanfaatkan potensi-potensi dan sektor-sektor ekonomi daerah yang dapat menambah sumber pendapatan pajak sehingga dapat mendanai seluruh aktivitas pemda secara mandiri dan tidak selalu tergantung terhadap dana transfer dari pemerintah pusat. Dapat memanfaatkan dana yang bersumber dari pajak per kapita untuk pengembangan sumber daya manusia secara lebih optimal, membangun infrastruktur publik dan sarana penunjang lainnya yang memang dibutuhkan oleh masyarakat.
Studi kelayakan dan analisis investasi publik selalu harus dilakukan terlebih dahulu sebelum dibangunnya sarana dan prasarana publik, agar
proyek tersebut dapat dimanfaatkan sesuai tujuan yang telah ditetapkan. Petugas yang ditugaskan mengelola operasional dari sarana dan prasarana yang dibangun harus selalu diperhatikan, agar dapat tercapainya tujuan pembangunan fasilitas publik tersebut.
Berdasarkan hasil uji Moderated Regression Analysis (MRA) menunjukkan bahwa nilai koefesien β dari interaksi antara variabel independen dengan variabel pemoderasi sangat kecil. Hal ini memberi peluang bagi peneliti selanjutnya untuk menggali kemungkinan variabel lain seperti variabel non keuangan, sebagai variabel independen dan pemoderasi pengaruh kinerja keuangan daerah pada IPM yang belum dapat dikembangkan pada penelitian ini, karena keterbatasan data yang tersedia, serta menggunakan data yang terbaru yaitu tahun 2014.
REFERENSI
Alexiou, Constantinous. 2009. Government Spending and Economic Growth: Econometric Evidence from the South Eastern Europe (SSE). Journal of Economic and Social Research. 11(1) : 1-16.
Anonim. 2012. Deskripsi dan Analisis APBD 2012.
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
________. 2013. Deskripsi dan Analisis APBD 2013. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK)–Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
________. 2014. Deskripsi dan Analisis APBD 2014. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) –Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Badan Pusat Statistik. 2009. Indeks Pembangunan Manusia 2007-2008, Jakarta:Indonesia.
________. 2012. Data Sosial Kependudukan
Provinsi NTT. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Bhakti, M. Setiawan dan Hakim, A. 2013. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia. Jurnal Economia, Vol. 9 (1). 2013
Christy, Fhino Andrea dan Priyo Hari Adi. 2009.
Hubungan Antara DAU, Belanja Modal dan Kualitas Pembangunan Manusia. The 3rd National Conference UKWMS Surabaya, October 10th 2009
Darwanto dan Y. Y. 2007. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal, Jurnal Akuntansi dan Keuangan Sektor Publik,Vol 08:24-31.
Eisenhardt K.1989. Building Theories from Case Study Research, Academy of Management Review, Vol. 14, No. 4, 532-550.
Fhino A. C. dan Priyo H. A. 2009. Hubungan Antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal Dan Kualitas Pembangunan Manusia. Naskah lengkap The 3rd National Conference UKWMS” Surabaya, October 10th 2009.
Gembira, M. (2011) “Pengaruh Kapasitas Fiskal Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Pada Pemerintahan Kota/Kabupaten Di Sumatera Utara” (Tesis). Medan: Universitas Sumatera Utara.
Halim, A. 2007. Akuntansi Sektor Publik Akuntansi Keuangan Daerah. Edisi Ke-3. Jakarta: Salemba Empat.
______. 2008. Akuntansi Keuangan Daerah, Akuntansi Sektor Publik. Salemba Empat, Jakarta.
Harahap, Riva Ubar. 2010.”Pengaruh Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil Terhadap Indeks Pembangunan Manusia pada Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara” (Tesis). Medan: Universitas Sumatera Utara.
Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah. Jakarta:Erlangga.
Lilis, S. dan Yohana, K.S. 2012. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi DAU, DAK, PAD terhadap Indeks Pembangunan Manusia dengan Pengalokasian Belanja Modal sebagai Variabel Intervening. Jurnal Prestasi, Vol 9 (1), 2012.
Martini dan Dwirandra, 2015. Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah Pada Alokasi Belanja Modal di Provinsi Bali. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana, 10.2 (2015):426-443.
Mirza Denni S. 2012. Pengaruh Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi, Dan Belanja Modal Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Di Jawa Tengah Tahun 2006-2009, Economics Development Analysis Journal EDAJ. 1(1) (2012)
Rahayu Tri. 2004. Peranan Sektor Publik Lokal Dalam Pertumbuhan Ekonomi Regional di Wilayah Surakarta. Jurnal Kinerja Vol. VIII :133-147.
Solimun, 2010. Pemodelan Persamaan Struktural Pendekatan PLS, Fakultas MIPA Universitas Brawijaya, Malang.
Sularso, H., Restianto, Y.E. 2011. Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Alokasi Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Media Riset Akuntansi, Vol.1 No.2:109-124.
Sumardjoko I. (2013). “Pengaruh Penerimaan Dana Otonomi Khusus Terhadap Indek Pembangunan Manusia Papua Dan Papua Barat Dengan Belanja Modal Sebagai Intervening” (Tesis): Universitas Airlangga
Titin, V. 2012. Pengaruh Alokasi Belanja Langsung Terhadap Kualitas Pembangunan Manusia
di Kabupaten Kota di Sumatera Selatan. Jurnal Ekonomi dan Informasi Akuntansi (Jenius) Vol 2:65-74.
UNDP. 2014. Human Development Report. Oxford University Press. New York
. 2013. Human Development Report 2013. Oxford University Press. New York.
Discussion and feedback