REVITALISASI PELAKSANAAN KETENTUAN PERATURAN PEMERINTAH DAN PEMEGANG IZIN PERTAMBANGAN DALAM MENYIKAPI PELESTARIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DI KAWASAN HUTAN
on
REVITALISASI PELAKSANAAN KETENTUAN PERATURAN PEMERINTAH DAN PEMEGANG IZIN PERTAMBANGAN DALAM MENYIKAPI PELESTARIAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DI KAWASAN HUTAN
I Putu Gede Ardhana
Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Udayana. Denpasar-Bali
Abstract
This Article aims to study the governmental policy for methods which participate the act No. 19 of 2004th concerning the perspective preservation of biodiversity. This Article represent the normative legal research that is concern with legislation approach (the statute approach), case study approach (the case approach), approach by factual (the fact approach), the approach of analytical legal concept (analytical conceptual approach), and the bibliography approach (the library approach) that is the collection of the reading materials related with this topic of problems. From the conclusion of this article, we can obtain the summary that act No. 19 of 2004th was the concretion of synchronized activity of the mining industry in the forest zone and threatens the preservation of biodiversity. To remove this threaten we must revitalize the methods which enact laws and regulations concerning with forestry, conservation of biodiversity, and ecosystem against the mining’s operation. Especially against the conduct of 13 mining companies which are authorized by permissions of the mining industry for exploitation, the sanction agents the offender accurately must be imposed and must be accordance with the law or regulation in force for methods which guarantee the reservation of biodiversity.
Key words: mining, forest zone, preservation, biodiversity, law, regulation.
-
1. Pendahuluan
Kehadiran Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 sebagai perwujudan PERPU No. 1 Tahun 2004 merupakan peristiwa menandai dibukanya usaha atau kegiatan kembali untuk menambang dengan metode open pit minning di kawasan hutan lindung.
Hal ini berarti telah merangsang kembali iklim investasi dari sektor pertambangan, walaupun gugatan judicial review dari Tim Advokasi Penyelamat Hutan Lindung dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) sebagai salah satu anggotanya dan penanggung jawab secretariat1 terhadap pemerintah agar produk hukum tersebut dibatalkan, namun Mahkamah Konstitusi (MK) tetap menolak. Adapun yang menjadi petimbangan MK dalam memutuskan perkara tersebut adalah PERPU No. 1/2004 telah diterima dan disetujui oleh DPR RI
menjadi Undang-Undang No. 19/2004. MK juga menggunakan lampiran Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan yang menyatakan bahwa segala hubungan hukum yang ada atau tindakan hukum yang terjadi, baik sebelum, pada saat maupun sesudah perundang-undangan yang baru itu dinyatakan mulai berlaku, tunduk pada ketentuan perundang-undangan yang baru. Dengan demikian, seharusnya semua ketentuan Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan termasuk tentang adanya larangan penambangan di hutan lindung dengan pola pertambangan terbuka, berlaku untuk semua pelaku penambangan, setidak-tidaknya bagi yang sudah memperoleh izin sebelum berlakunya Undang-Undang No. 41/1999 harus menyesuaikan2
Penggunaan kawasan hutan lindung untuk
kegiatan pertambangan akan dilaksanakan atas dasar persetujuan Kementerian Kehutanan dalam bentuk izin kegiatan atau izin pinjam pakai kawasan hutan lindung tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Kegiatan Pertambangan, dengan tujuan untuk membatasi dan mengatur penggunaan kawasan hutan lindung untuk kegiatan penambangan. Namun demikian disebutkan pula bahwa persetujuan Menteri Kehutanan tersebut hanya berlaku terhadap 13 izin atau perjanjian di bidang pertambangan yang nama perusahaan, lokasi penambangannya tercantum dalam lampiran Keputusan Presiden No. 41 Tahun 2004.3
Pemberian izin untuk melakukan penambangan di hutan lindung di atas merupakan konsekuensi dari disetujuinya PERPU No. 1 Tahun 2004 tentang perubahaan atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan oleh DPR RI, yang telah ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Keppres No. 41 Tahun 2004 yang mengijinkan 13 perusahaan melakukan penambangan di hutan lindung. Pada saat itu, salah satu pertimbangan pemerintah memberikan izinpenambangan kepada 13 perusahaan tersebut, karena dinilai telah siap melakukan eksploitasi, namun ternyata pengajuan izin kegiatan yang dilakukan ke 13 perusahaan tersebut ada yang masih dalam tahap studi kelayakan dan eksplorasi (Tabel 1).
Pemerintah dalam hal ini kementerian kehutanan dalam memproses perijinan yang diajukan, tetap berpegang pada azas kelestarian, dan akan memperketat terhadap kemungkinan-kemungkinan kerusakan hutan lindung akibat aktivitas penambangan. Akibat lahirnya Undang-Undang No. 19 Tahun 2004, di lain pihak produk hukum tersebut
Tabel 1. Nama Perusahaan Tambang yang Mendapatkan Izin Melakukan Penambangan di Hutan Lindung Pedoman Keppres 41 Tahun 2004
No. |
Nama Perusahaan |
Jenis |
Tahap Kegiatan |
Lokasi Penambangan |
Luas (Ha) |
1 |
PT. Freeport Indonesia |
Tembaga, emas, dan mineral pengikutnya (dmp) |
Produksi |
Papua |
212.950 |
2 |
PT. Indominco Mandiri |
Batubara |
Produksi |
Kaltim |
25.121 |
3 |
PT. Inco Tbk. |
Nikel |
Produksi |
Sulsel, Sulteng dan Sultra |
218.528 |
4 |
PT. Aneka Tambang |
Nikel |
Produksi |
Sultra |
14.570 |
5 |
PT. Karimun Granit |
Granit |
Produksi |
Kepulauan Riau |
2.761 |
6 |
PT. Aneka Tambang |
Nikel |
Eksplorasi |
Maluku Utara |
39.040 |
7 |
PT. Gag Nikel |
Nikel |
Eksplorasi |
Papua |
13.136 |
8 |
PT. Pelsart Tambang Kencana |
Emas dmp |
Eksplorasi |
Kalsel |
201.000 |
9 |
PT. Weda Bay Nickel |
Nikel |
Eksplorasi |
Maluku Utara |
76.280 |
10 |
PT. Sorikmas Mining |
Emas dmp |
Eksplorasi |
Sumatera Utara |
66.200 |
11 |
PT. Interex Sacra Raya |
Batubara |
Studi kelayakan |
Kaltim dan Kalsel |
15.650 |
12 |
PT. Natarang Mining |
Emas dmp |
Kontruksi |
Maluku Utara |
12.790 |
13 |
PT. Nusa Halmahera |
Emas dmp Minerals |
Produksi Konstruksi Eksplorasi |
Maluku Utara |
29.622 |
Sumber: Departemen Kehutanan, 2005
mengancam pelestarian keanekaragaman hayati (biodiversity) pada kawasan hutan yang akan ditambang. Kemunduran dan kerusakan habitat-pun tidak dapat dihindari, pelestarian plasma nutfah pada kawasan hutan yang akan ditambang sangat sensitif dari sisi konservasi dan telah ditunjuk fungsinya sebagai kawasan hutan lindung dan konservasi.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 atau disebut juga Undang-Undang Konservasi Hayati (UUKH) pada prinsipnya telah mengatur prinsip perlindungan antara lain: perlindungan jenis yang meliputi jenis-jenis yang dilindungi dan jenis-jenis yang tidak dilindungi. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 38 ayat (4) juga telah mengatur bahwa pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan terbuka. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 38 ayat (1) disebutkan bahwa kegiatan penambangan diluar kehutanan yang dapat dilaksanakan didalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang ditetapkan secara selektif, dan dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan serius dan mengakibatkan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan. Disini sudah jelas adanya suatu ketentuan Undang-Undang yang melarang suatu kegiatan pembangunan yang merusak kawasan hutan lindung.
Setelah melalui proses persidangan dan berdasarkan pertimbangan, serta keterangan para ahli, MK menilai bahwa gugatan yang diajukan oleh masyarakat yang mewakili berbagai kepentingan dan profesi, tidak cukup beralasan sehingga permohonan mereka ditolak. Dengan demikian, diharapkan semua pihak menghormati keputusan MK tersebut, khususnya para pengusaha pertambangan di hutan lindung yang akan melanjutkan prosesnya pada tahap eksploitasi.4
Mencermati dari latar belakang permasalahan di atas dengan lahirnya Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 yang merupakan perwujudan PERPU No. 1 Tahun 2004 dalam penyelenggaraan pemerintah tentang kegiatan pertambangan pada kawasan hutan sehubungan dengan hal itu perlu ditegaskan agar dilakukan revitalisasi pelaksanaan ketentuan peraturan pemerintah dan pemegang izin pertambangan dalam menyikapi pelestarian keanekaragaman hayati di kawasan hutan.
-
2. Metode Telaahan
Tipe telaahan ini tergolong ke dalam telaahan hukum normatif dan penelitian hukum kepustakaan maka titik berat penelitian mempergunakan bahan hukum bukan data, sehingga data primer yang dipergunakan hanya bersifat memperkuat, melengkapi dan menunjang, kemudian sumber data sekunder dilakukan melalui sumber data kepustakaan (library research) yang terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Adapun bahan hukum primer yang digunakan terutama berpusat dan bertitik tolak pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Berikutnya dipergunakan pula bahan hukum sekunder berupa pendapat para ahli hukum, hasil-hasil kajian, kegiatan ilmiah dan beberapa informasi dari media masa. Pendekatan masalah yang dipakai terhadap telaahan ini, adalah beberapa pendekatan yang dikenal dalam hukum normatif, yaitu pendekatan kasus (the case approach), pendekatan perundang-undangan (the statute approach), pendekatan analisis konsep hukum (analitical conceptual approach).
Jenis bahan hukum yang dipergunakan berupa bahan-bahan hukum primer seperti peraturan perundang-undangan, Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan Menteri, sedangkan bahan-bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan-bahan hukum primer dapat membantu menganalisis dan memahami hukum primer adalah : a) hasil karya ilmiah para sarjana; b) hasil kajian; c) laporan-laporan, media massa.
Bahan-bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder meliputi bibliografi. Adapun metode pengumpulan bahan
hukum dalam telaahan ini adalah dengan menggunakan metode gabungan antara bola salju (snowball method) dengan metode sistematis (systematic method). Berlandaskan hasil pengumpulan bahan hukum, kemudian dianalisis, dikontruksi dan diolah sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditetapkan, kemudian disajikan secara deskriptif. 5
Undang-Undang Kehutanan ini dikeluarkan pada tanggal 30 September 1999, untuk mengganti Undang-Undang No. 5 Tahun 1967. Dalam penjelasan umum, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 disebutkan bahwa Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 dianggap belum cukup memberikan landasan hukum bagi perkembangan pembangunan kehutanan oleh karena itu perlu diganti sehingga memberikan landasan hukum yang lebih kokoh dan lengkap bagi pembangunan kehutanan pada saat ini dan saat mendatang.
Dengan lahirnya Undang-Undang kehutanan ini maka sesuai ketentuan Pasal 38 ayat (4) diatur bahwa pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 38 ayat (1) disebutkan bahwa kegiatan pembangunan di luar kehutanan yang dapat dilaksanakan di dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi ditetapkan secara selektif. Kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan dilarang. Kegiatan pembangunan di luar kehutanan adalah kegiatan untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakan antara lain kegiatan pertambangan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Kehutanan beserta penjelasannya dapat disimpulkan bahwa untuk kepentingan di luar pembangunan kehutanan dimungkinkan untuk melakukan perubahan peruntukan dan perubahan fungsi kawasan. Namun perubahan tersebut harus melalui serangkaian penelitian terpadu yang
melibatkan instansi terkait yaitu LIPI selaku Scientific Authority, lingkungan hidup, Departemen yang terkait dan penetapannya atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Penelitian dimaksud meliputi aspek biofisik (perubahan iklim, ekosistem, gangguan tata air) dan aspek sosial ekonomi masyarakat.6 Ketentuan perundang-undangan kehutanan dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 sudah sangat jelas dan kuat untuk mempertahankan kondisi kawasan hutan lindung agar pembangunan yang akan dilaksanakan tetap menjamin kelestarian fungsi lingkungan hidup yang ada di sekitarnya sehingga pembangunan dapat berjalan dengan berkesinambungan “sustainable development” yang sampai saat ini masih terus menjadi topik pembahasan dalam forum-forum Konferensi Tingkat Tinggi Internasional.
Penyelenggaraan kehutanan disebutkan berazaskan pada manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan. Azas manfaat dan lestari dimaksudkan agar setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial-budaya, dan ekonomi. Menyikapi pelaksanaan azas itu kemudian dilakukan dengan mengalokasikan kawasan hutan sesuai dengan fungsinya menjadi hutan lindung, hutan produksi dan hutan konservasi. Secara khusus diatur pula tentang perlindungan hutan dan konservasi alam. Pengaturan ini dimaksudkan untuk menjaga agar fungsi hutan tetap lestari. Oleh karena itu, Undang-Undang ini merinci berbagai perbuatan yang dianggap memberi kontribusi pada kerusakan fungsi hutan, menetapkan larangan-larangan serta mekanisme penegakan hukumnya.
Negara yang dalam hal ini ditafsirkan sebagai pemerintah memegang peran penting dalam penguasaan dan pengelolaan sumberdaya hutan. Pasal 4 menyebutkan bahwa semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penguasaan hutan oleh negara memberikan wewenang kepada pemerintah pusat untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan
hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan, mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan serta perbuatan hukum mengenai kehutanan. Pengurusan hutan meliputi kegiatan perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, penyuluhan kehutanan serta pengawasan. Dengan demikian, pemerintah berfungsi sebagai pengatur, pengalokasi, pemberi izin, perencana, pengelola, peneliti, pendidik, penyuluh sekaligus pengawas.
Semangat desentralisasi dalam Undang-Undang ini dimuat dalam Pasal 66. dalam rangka penyelenggaraan kehutanan pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah. Namun kewenangan yang diserahkan itu hanyalah kewenangan kebijakan yang bersifat operasional. Kebijakan umum dan mendasar tetap dipegang pemerintah pusat. Pemerintah daerah pun tidak terlibat dalam proses penyusunan kebijakan pusat. Ketentuan tentang desentralisasi semacam ini bertentangan dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 10 ayat (1).
Ditinjau dari aspek kelembagaan, Undang-Undang ini memberikan kewenangan terlampau luas kepada Departemen Kehutanan. Departemen Kehutanan berwenang menetapkan status dan fungsi hutan. Khusus dalam penetapan status hutan yang berkaitan dengan penguasaan tanah tidak ada satu pun ketentuan yang menyebutkan perlunya koordinasi antara Departemen Kehutanan dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hal ini berpotensi menimbulkan perebutan kewenangan dalam pengaturan mengenai lahan hutan antar instansi pemerintah serta tumpang tindih pengaturan dalam wilayah yang sama terutama pada kegiatan penambangan di kawasan hutan lindung yang sebagian besar tumpang tindih dengan kawasan konservasi.
Penegakan hukum diatur cukup rinci dalam Undang-Undang ini. Sanksi yang diberikan tidak hanya pidana tetapi juga perdata dan administratif.
Selain itu diatur juga tentang penyelesaian sengketa kehutanan yang tidak hanya bisa dilakukan melalui pengadilan, tetapi juga upaya penyelesaian sengketa kehutanan melalui jalur luar pengadilan (alternative dispute resolution).7
Dengan lahirnya Undang-Undang No. 19 tahun 2004 merupakan perwujudan PERPU No. 1 Tahun 2004. Hal tersebut berarti akan terbuka kembali iklim investasi dari sektor pertambangan. Di lain pihak peristiwa hukum tersebut mengancam pelestarian ekosistem dan pelestarian plasma nutfah pada kawasan hutan yang akan ditambang mengingat kawasan hutan yang akan menjadi objek kegiatan pertambangan termasuk wilayah yang sangat sensitif dan telah ditunjuk fungsinya sebagai kawasan hutan lindung. Hutan lindung tersebut sesuai fungsinya sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan dan mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah (Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999.8 Namun demikian semestinya pemerintah harus memikirkan kondisi kawasan hutan lindung sebelum menetapkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 agar terhindar dari kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (PERPU) No. 1 Tahun 2004 ini adalah bentuk peraturan perUndang-Undangan yang ditetapkan oleh presiden tanpa melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat terlebih dahulu yang kedudukannya sejajar dengan Undang-Undang.
PERPU disusun berdasarkan ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945, berbunyi sebagai berikut.
-
1) Dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang;
-
2) Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut;
-
3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut.
Sedangkan batasan PERPU adalah PERPU dapat dilaksanakan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa; PERPU merupakan “Noodverordening-recht” Hak Presiden untuk mengatur dalam kegentingan yang memaksa; PERPU disusun dalam hal keadaan yang mendesak dan perlu segera diatur dengan peraturan yang sederajat dengan Undang-Undang, supaya tidak berlarut agar keselamatan Negara terjamin; PERPU mempunyai derajat dan kekuatan yang sama dengan Undang-Undang; Materi muatan PERPU adalah materi yang seharusnya diatur dalam Undang-Undang; PERPU harus mendapat persetujuan DPR pada sidang berikutnya untuk diubah menjadi Undang-Undang. Apabila PERPU tidak disetujui DPR harus dicabut.
Lahirnya PERPU dalam penyelenggaraan pemerintahan diperlukan apabila benar-benar dalam keadaan yang mendesak dan untuk kepentingan Negara dan bangsa Indonesia. Sedangkan dalam pengelolaan hutan tidak pernah mengalami dalam keadaan genting dan mendesak sehingga harus diterbitkam PERPU No. 1 Tahun 2004 dan kemudian menjadi Undang-Undang No. 19 Tahun 2004. Adapun alasan dikeluarkan PERPU tersebut adalah untuk mengakomodir perizinan dan perjanjian yang telah ada agar pemerintah tidak dituntut oleh para investor di International Arbitrase. Alasan tersebut sangat tidak rasional karena Undang-Undang No. 41 tidak berlaku surut artinya perizinan yang telah ada pada tahap eksploitasi tetap berlanjut sesuai izin. Padahal dengan menggunakan mekanisme Pasal 19 Undang-Undang No. 41 tahun 1999, hal yang terkait dengan kegiatan pertambangan dapat di atasi dengan pertimbangan yang sangat selektif dengan melibatkan Tim Terpadu dan persetujuan DPR untuk mempertimbangkan aspek lingkungan. Semestinya pemerintah dapat memberlakukan PERPU dengan alasan bahwa kondisi hutan pada saat ini sedang mengalami tantangan dan ancaman yang cukup berat dan sangat mengkhawatirkan yang dapat mengakibatkan kemunduran.
Kemunduran akibat kerusakan habitat, umumnya karena adanya konversi habitat alam menjadi sistem buatan manusia seperti perkebunan, pertanian, pemukiman, hutan tanaman industri,
industri, lapangan golf, pembangunan pertambangan dan sebagainya. Di samping itu juga karena perburuan yang melampaui regenerasi populasi (over-harvesting), pencemaran, serta introduksi jenis tumbuhan dan hewan eksotik yang tidak melalui prosedur karantina yang benar, yang kemungkinan dapat mendesak kelestarian jenis endemic yang ada. Jadi kemunduran keanekaragaman hayati itu terutama diakibatkan oleh ulah manusia yang merupakan ancaman terhadap upaya pembangunan, dan pada akhirnya mengancam keselamatan manusia.9
Pertambangan batubara misalnya, menjadi ancaman utama bagi keanekaragaman hayati karena cadangan terbukti Indonesia (4,4 milyar ton) dan perkiraan cadangan (27,7 milyar ton dari perkiraan 35 milyar ton di semua Negara ASEAN) demikian besarnya dan hampir sebagian besar terletak langsung di bawah hutan hujan tropis yang sangat kaya dengan keanekaragaman hayati. Produksi tahunan batubara, sebagian besar di Sumatera, naik dari kira-kira 337 ribu ton tahun 1980 menjadi 22,5 juta ton tahun 1992 (Marr, 1993). Rencana pembangunan yang sedang berjalan sekarang menetapkan perluasan produksi menjadi 71 juta ton menjelang tahun 1999 (GOI, 1994).10
Sampai saat ini sudah ada sekitar 150 kontrak pertambangan dengan seizin pemerintah, telah mengeluarkan biaya investasi yang cukup besar untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di wilayah hutan. Sementara fakta di lapangan menunjukkan, pertambangan merupakan salah satu penyebab kerusakan hutan.
Di lokasi-lokasi pertambangan terlihat jelas bagaimana wajah hutan Indonesia yang hancur karena penggalian, pembuangan limbah batuan dan limbah tailing serta aktivitas penunjang operasi tambang lainnya. Beberapa perusahaan yang akan menghentikan kegiatan tambangnya, menyatakan tidak mampu menghutankan kembali bekas lubang tambang dan kolam limbah mereka.Lubang-lubang itu dibiarkan terus menganga dan menjadi danau asam beracun pasca penambangan. Begitu pula kolam limbah tailing akan menjadi hamparan pasir yang mengandung logam berat dalam kurun waktu sangat panjang.
PT. Kelian Equatorial Mining misalnya, akan menutup tambangnya di Kelian, Kalimantan Timur pada tahun 2003. perusahaan milik Rio Tinto ini akan membiarkan lubang tambangnya seluas 1.766.250 m2 sedalam 600 meter tanpa mampu dihutankan kembali. Keterbatasan teknologi dan besarnya biaya yang mereka pakai sebagai alasan menelantarkan tanah yang porak poranda setelah sumberdayanya mereka nikmati dan tak lagi bisa diperah hasilnya.
Hal yang sama dilakukan PT. Freeport Indonesia. Limbah tailing Freeport yang dibuang langsung ke Sungai Ajkwa telah mematikan ratusan hektar hutan di kawasan operasi tambangnya. Sementara Newmont Minahasa Raya di Sulawesi Utara yang menutup tambangnya di tahun 2003, menyebutkan meninggalkan enam lubang tambang besar dan dalam yaitu : Mesel, Nibong, Limpoga, Nona Hua dan Pasolo dengan luas totalnya 26 ha.
Mesel merupakan daerah bekas tambang terluas dengan lubang besar sepanjang 700 meter, lebar 500 meter dan kedalaman maksimum 250 meter. Sedang kedalaman lubang lain diperkirakan 100-110 meter. Lebih tragis lagi mereka hanya akan mereklamasi sebesar 15,4% dari wilayah bekas penambangan.
Banyak perusahaan lain juga tidak mampu atau tidak mau menghutankan kembali bekas galian tambang mereka seperti, PT Indo Muro Kencana di Kalimantan Timur, PT Adaro di Kalimantan Selatan, PT Timah di Bangka dan Belitung, PT Barisan Tropical Mining di Sumatera Selatan, PT Kaltim Prima Coal di Kalimantan Timur dan banyak lainnya.Semua perusahaan ini akan meninggalkan lubang-lubang tambang yang menyerupai danau pada akhir operasional pertambangan mereka, di kawasan yang dulunya hutan.11
Secara global Indonesia menyepakati berbagai hasil dan kesepakatan dalam Konperensi Rio de Janeiro United Nation Conference on Environment and Development (UNCED) khususnya bab ke 15 tentang Conservation of Biological Diversity serta Convention on Biological Diversity.Dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati ini disebutkan bahwa setiap negara mempunyai hak atas sumberdaya hayati, tetapi masing-masing juga berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk memelihara serta melaksanakan konservasi keanekaragaman hayati dan untuk memanfaatkan sumberdaya hayati itu secara berkesinambungan atas dasar berwawasan lingkungan.
Ancaman utama inilah yang semestinya sebagai dasar pemerintah untuk menentukan kebijakan pertambangan dalam menerbitkan PERPU di kawasan hutan lindung. Dengan demikian PERPU yang seharusnya disusun pemerintah yaitu tentang moratorium pemanfaatan hasil hutan untuk keperluan komersial dalam jangka waktu tertentu agar hutan dapat bernafas dan memulihkan kondisinya. Bukan sebaliknya justru menerbitkan PERPU yang sangat Kontroversial sebagaimana PERPU No. 1 Tahun 2004 yang selanjutnya menjadi Undang-Undang No. 19 Tahun 2004.
Dengan dikeluarkannya PERPU No. 1 Tahun 2004 yang kemudian di syahkan menjadi Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 yang berakibat melemahkan posisi Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 dalam pengelolaan Hutan Lindung. Lahirnya Undang-Undang ini cenderung kebijakan Pemerintah mengarah ke faham antroposentris sempit yang tidak peduli terhadap lingkungan dan merupakan kemunduran dari sisi kebijakan lingkungan. Pendapat ini didukung oleh Budi Riyanto, 2005. Namun Undang-Undang ini masih harus berhadapan dengan Undang-Undang konservasi hayati dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Mengingat 6 (enam) lokasi yang telah ditetapkan pemerintah mempunyai fungsi sebagai hutan konservasi yang dilarang melakukan kegiatan selain untuk fungsi kawasan tersebut dan kegiatan ini harus melalui studi analisis dampak lingkungan terlebih dahulu untuk menganalisis perencanaan dan menganalisis dampak yang akan terjadi apabila kegiatan pertambangan dilaksanakan sehingga mekanisme pengkajian lingkungan telah terpenuhi dan tidak melecehkan keberadaan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 12
Di dalam Undang-Undang Dasar Indonesia, wewenang dan tanggung jawab untuk “cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak” berada dalam tangan Negara, dan sejak tahun 1967 pemerintah telah membuat berbagai Undang-Undang dan kebijaksanaan untuk memudahkan penggunaan sumberdaya secara besar-besaran. Tetapi dalam sepuluh tahun yang terakhir ini, pemerintah juga membuat Undang-Undang dan alat-alat perencanaan yang sengaja dirancang untuk melindungi keanekaragaman hayati. 13
Dasar hukum untuk pengelolaan kawasan lindung diperkuat dengan disahkannya Undang-Undang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya tahun 1990. Hal ini dimaksudkan sebagai kerangka menyeluruh untuk pelestarian keanekaragaman hayati dan penggunannya. Undang-Undang ini bertujuan melindungi sistem pendukung kehidupan; melindungi keanekaragaman jenis tanaman dan hewan, termasuk ekosistemnya, dan melestarikan tumbuhan dan hewan yang dilindungi. Undang-Undang ini dikeluarkan pada tanggal 10 Agustus 1990, setelah ada kesadaran perlunya melindungi ekosistem dan perlindungan jenis tumbuhan dan satwa yang berguna bagi pelestarian alam. Kesadaran tersebut baru muncul setelah 23 (dua puluh tiga) tahun sejak lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1967.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, pemanfaatan hutan dilakukan melalui: 1) perlindungan sistem penyangga kehidupan, dimaksudkan untuk terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia;
-
2) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dengan cara menjaga keutuhan kawasan suaka alam agar tetap dalam keadaan asli;
-
3) pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, dilakukan melalui kegiatan:
-
a. pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan;
-
b. pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar, dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar14
Perlindungan kawasan pada hakikatnya melindungi kawasan hutan beserta unsur kehidupan di atasnya sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan dan pelestarian plasma nutfah agar tetap utuh. Sehingga kegiatan yang ada di dalam kawasan hanya diperbolehkan untuk kegiatan tertentu yaitu antara lain penelitian dan pengembangan yang menunjang fungsi kawasan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya dan wisata alam (kecuali di cagar alam tidak diperkenankan kegiatan wisata alam). Sedangkan kegiatan lain di luar hal-hal tersebut di atas dilarang termasuk kegiatan pertambangan. Keutuhan ekosistem merupakan hal yang sangat penting dalam pengelolaan kawasan hutan konservasi.15
Undang-Undang ini mengartikan sumberdaya alam hayati sebagai unsur-unsur hayati di alam yang terdiri atas sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya yang secara keseluruhan membentuk ekosistem. Unsur-unsur dalam sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling bergantung antara satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem.
Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya dalam pandangan Undang-Undang ini merupakan urusan negara yang kemudian dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya dapat menjalankan urusan ini jika ada
pendelegasian wewenang ataupun menjalankannya sebagai tugas pembantuan dari pemerintah pusat. Namun mengingat sangat tersebarnya kegiatan konservasi hayati di seluruh kepulauan Indonesia, adanya penyerahan urusan dan tugas pembantuan merupakan conditio sine qua non.
Dalam pada itu perlu diperhatikan, bahwa upaya konservasi ini memerlukan tenaga-tenaga yang mempunyai keterampilan teknis yang hanya dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan tentang konservasi. Tenaga-tenaga seperti ini tidak selalu tersedia di daerah. Di samping tenaga-tenaga teknis di bidang konservasi hayati diperlukan pula tenaga-tenaga di bidang hukum yang dapat menuangkan berbagai ketentuan konservasi dalam bentuk peraturan. Dengan sendirinya para tenaga di bidang hukum ini perlu memahami berbagai segi yang berhubungan dengan konservasi.
Berbagai ketentuan perlu dituangkan dalam bentuk peraturan daerah yang memerlukan kerjasama dengan pihak DPRD. Ini berarti, bahwa para anggota DPRD perlu memahami berbagai aspek konservasi ini. Pada kenyataannya lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif sama sekali tidak memiliki kepedulian untuk mewujudkan hutan yang memiliki fungsi ekonomi dan ekologi.Dengan demikian, penyerahan urusan dan tugas pembantuan memerlukan perangkat pelaku sebagaimana tersebut di atas untuk dapat dilaksanakan secara berdaya guna dan berhasil guna. Dalam hubungan ini, kerja sama antara Pemerintah Daerah, DPRD dan pihak universitas akan dapat meningkatkan kemampuan daerah yang bersangkutan untuk melaksanakan kebijaksanaan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.16
-
3.4 Revitalisasi Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah dan Pemegang Izin Pertambangan dalam Menyikapi Pelestarian Keanekaragaman Hayati
Hak, Wewenang dan Kewajiban Pemerintah: Berdasarkan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Pasal 4 ayat (2) tentang ketentuan pemerintah mempunyai hak, wewenang, kewajiban dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu
yang berkaitan dengan hutan dan hasil-hasil hutan:
-
1) untuk mendapatkan penggunaan kawasan hutan lindung harus berdasarkan persetujuan Menteri Kehutanan dalam bentuk izinpinjam pakai dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Sesuai dengan Pasal 38 ayat (3) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
-
2) pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan dalam memproses perijinan yang diajukan, tetap berpegang pada azas kelestarian dan berusaha memperketat terhadap kemungkinan-kemungkinan kerusakan hutan lindung akibat penambangan;
-
3) melakukan penilaian areal kerja dan deposit mineral yang ekonomis untuk ditambang. Penilaian ini dilakukan dengan maksud untuk memperkirakan luasan yang diijinkan untuk dieksplorasi maupun dieksploitasi sehingga nantinya akan jauh lebih kecil daripada yang dimohon. Dengan kata lain untuk meminimalisasi kemungkinan kerusakan hutan akibat aktivitas penambangan;
-
4) menentukan jangka waktu pemberian izinpinjam pakai pada tahap eksploitasi selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang setelah diadakan evaluasi. Untuk menjaga agar kegiatan penambangan di hutan lindung tidak menimbulkan kerusakan yang luas, pemerintah melakukan monitoring dan evaluasi, monitoring dilakukan oleh instansi yang terkait di daerah dan di koordinasikan oleh Dinas Propinsi yang membidangi kehutanan.
-
5) kegiatan penambangan di kawasan hutan lindung harus dilakukan dengan menggunakan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, dengan proses reklamasi bekas tambang yang harus dilakukan secara simultan setelah blok awal diselesaikan;
-
6) para pengusaha tambang dan asosiasinya diwajibkan untuk memahami kebijakan Dephut tersebut;]
-
7) pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pengawasan kehutanan, sesuai
dengan Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999;
-
8) pemerintah berkewajiban melakukan pengawasan terhadap pengurusan hutan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah, sesuai dengan Pasal 61 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999;
-
9) dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah, sesuai dengan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999;
-
10) pemerintah wajib mendorong peranserta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna, sesuai dengan Pasal 70 ayat (2) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999.
Adapun Hak, Wewenang dan Kewajiban Pemegang Izin Pertambangan
-
1) Pemegang izin atau penambang diberikan hak menambang secara terbuka di kawasan hutan lindung sesuai dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 jo Undang-Undang No. 41 Tahun 1999.
-
2) Mengajukan permohonan izin penggunaan kawasan hutan lindung sebelum perusahaan tambang melaksanakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi penambangan sesuai dengan persyaratan perizinan usaha pertambangan Pasal 64 dan 65 Undang-Undang No. 4 Tahun 2009. Selanjutnya harus melalui Studi Analisis Dampak Lingkungan sesuai dengan PP No. 27 Tahun 1999.
-
3) Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan hutan lindung wajib menjaga, memelihara dan melestarikan hutan tempat usahanya, sesuai dengan Pasal 32 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999.
-
4) Melampirkan peta lokasi dan luas kawasan yang di mohon untuk eksplorasi, izin atau perizinan di bidang pertambangan dan rencana kegiatan eksplorasi di dalam kawasan hutan lindung, sesuai dengan ketentuan Permen No. P.12/Menhut-II/2004.
-
5) Mewajibkan kepada pemohon untuk membayar ganti rugi nilai tegakan yang ditebang pada tahap eksplorasi, menyediakan dan menyerahkan tanah kepada Dephut sebagai kompensasi atas kawasan hutan lindung yang
dipinjam, menyusun rencana kerja. Penggunaan kawasan hutan lain lima tahun maupun tahunan, membayar dana jaminan reklamasi, membeayai reboisasi, bertanggung jawab atas dampak negatif lingkungan sekitarnya akibat penambangan, mereklamasi kawasan hutan lindung yang dipinjam pakai, sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) dan (2), Pasal 45 ayat (2) dan (3), Pasal 48 ayat (3) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 dan Pasal 95 (a) dan (e), Pasal 96 (c) dan (e), Pasal 97, 98 dan 99 Undang-Undang No. 4 Tahun 2009.
-
6) Pemegang izin yang melanggar atau tidak menaati kewajiban dikenakan sanksi administratif yang dapat berupa penghentian sementara kegiatan di lapangan apabila pemegang izin tidak memenuhi satu atau lebih perjanjian. Selain sanksi administratif juga dapat berupa pencabutan izin pakai apabila pemegang izin dalam waktu satu tahun tidak memenuhi kewajiban, tidak menggunakan kawasan yang dipinjam pakai sesuai izin yang diberikan meninggalkan kawasan hutan yang dipinjam pakai sebelum waktunya berakhir, memindah tangankan sebagian atau seluruh kawasan hutan yang dipinjam pakai kepada pihak lain tanpa persetujuan tertulis Menteri Kehutanan, sesuai dengan Pasal 80 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999.
-
7) Izin pinjam pakai dapat pula dicabut apabila pemegang izin dikenai sanksi pidana, sesuai dengan Pasal 78 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 setelah ada putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
-
1) Untuk menyikapi ancaman pelestarian keanekaragaman hayati diperlukan revitalisasi pelaksanaan Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 Jo Undang-Undang No. 41 Tahun 1999.
-
2) Kehadiran Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 merupakan perwujudan PERPU No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan oleh DPR RI dan telah ditindak lanjuti dengan Keppres No. 41 Tahun 2004 yang mengijinkan 13 perusahaan melakukan penambangan di kawasan hutan
lindung maka pemerintah dalam hal ini Dephut hendaknya secara konsekuen menerapkan kebijakan tersebut dalam hal pemberian izinpertambangan yaitu hanya khusus diberlakukan untuk 13 perusahaan saja yang dinilai telah siap untuk melakukan eksploitasi, walaupun masih terdapat 6 (enam) perusahaan yang masih dalam tahap studi kelayakan dan tahap eksplorasi dan pada saat memasuki tahap eksploitasi harus tunduk pada ketentuan Pasal 38 ayat (4) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 sepanjang antara izineksplorasi dan eksploitasi tidak merupakan satu kesatuan atau terpisah, dan tunduk pada ketentuan Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1990.
-
4.2 Saran
-
1) Lembaga-lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif hendaknya memiliki kepedulian terhadap keberadaan hutan dalam menyikapi ancaman serius terhadap pelestarian keanekaragaman hayati.
-
2) Dalam mengelola sumberdaya alam, etika lingkungan sangat perlu diperhatikan karena jiwa Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 yang menganut faham antroposentris, harus dikesampingkan dengan menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dan ekologi agar terhindar dari malapetaka bagi kelestarian lingkungan hidup terutama untuk menjamin pelestarian keanekaragaman hayati.
-
3) Ditinjau dari aspek sosial masyarakat yang bermukim diwilayah yang akan dilakukan kegiatan pertambangan perlu diberikan informasi dan dimintakan persetujuan bagi rencana pemberian izinpertambangan, agar tidak merugikan masyarakat setempat terutama bagi masyarakat adat. Masyarakat adat ini perlu diperhatikan hak-hak adat mereka dan diberdayakan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sesuai dengan Pasal 95 (d) Undang-Undang No. 4 Tahun 2009.
Daftar Pustaka
Ashshofa, B., 2004. Metode Penelitian Hukum. PT. Rineka Cipta, Jakarta
Bappenas. 1993. Biodiversity Action For Indonesia. Bappenas, Jakarta
Barber, C.V., N. Johnson, and E. Hafild. 1994. Breaking the Logjam; Obstacles to Forest Policy Reform in Indonesian and the United States. Washington, D.C: World Resources Institute (WRI)
Barber, C.V., S. Afiff, dan A. Purnomo. 1997. Meluruskan Arah Pelestarian Keanekaragaman Hayati dan Pembangunan di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Barber, C.V. 1997. Meluruskan Arah Pelestarian Keanekaragaman Hayati dan pembangunan di Indonesia.
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Departemen Kehutanan. 2005. Aktualisasi Kebijakan Kehutanan Kumpulan Siaran Pers Tahun 2005. Departemen Kehutanan, Jakarta
Iskandar, U., dan S.A. Siran. 2000. Pola Pengelolaan Hutan Tropika Alternatif Pengelolaan Hutan yang Selaras dengan Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Yogyakarta: BIGRAF Publishing
Kadin. 2009. http://www.kadin-indonesia.or.id/enm/images/dokumen/KADIN-107-2412-02012008.pdf. diakses tanggal 22 Juni 2010.
Keputusan Presiden No. 41 Tahun 2004 tentang Pemberian IzinPenambangan Kegiatan 13 Perusahaan Pertambangan
Khakim, A. 2005. Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia Dalam Era Otonomi Daerah. Citra Aditya Bakti, Bandung
Nurjaya, I.N. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum. Prestasi Pustaka, Jakarta
Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Peraturan Pemerintah, 2009. http://www.icel.or.id/judicial_ review_uu_no._19_ tahun_ 2004_ penetapan_peraturan_pemerintah_pengganti_uu_p.icel
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerUndang-Undangan.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 tentang PERPU No. 1 Tahun 2004.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Riyanto, B. 2005. Bunga Rampai Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 dalam Perspektif Etika Lingkungan. Hukum Kehutanan dan Sumberdaya Alam. Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan, Bogor
Soerjani, M. 1997. Pembangunan dan Lingkungan Meniti Gagasan dan Pelaksanaan Sustainable Development. IPPL, Jakarta
Walhi, No.2/th XXII/2002. “Tanah Air”. Majalah Advokasi Lingkungan Hidup Indonesia. Walhi. Jakarta
Wikipedia. 2009. “Hutan”. http://id.wikipedia.org/wiki/Hutan. diakses tanggal 10 Juni 2010.
104
Discussion and feedback