Kerapatan Lamun (Seagrass) dan Kelimpahan Makrozoobenthos di Perairan Pantai Mengiat Nusa Dua, Bali
on
Jurnal Bumi Lestari, Volume 21, Nomor 02, Tahun 2021, Halaman 1-11
Kerapatan Lamun (Seagrass) dan Kelimpahan Makrozoobenthos di Perairan Pantai Mengiat Nusa Dua, Bali
Mahendra Duwi Astutik a, Ni Luh Watiniasih b*, I Wayan Darya Kartika a
a Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Kampus UNUD Bukit Jimbaran, Bali 80361, Indonesia
b Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana, Kampus UNUD Bukit Jimbaran, Bali 80361, Indonesia
*Email: luhwatiniasih@unud.ac.id
Diterima (received) 23 Juli 2021; disetujui (accepted) 6 Agustus 2021; tersedia secara online (available online) 6 Agustus 2021
Abstract
Mengiat Beach Nusa Dua, Bali is one beaches that has a seagrass ecosystem with abundant macrozoobenthos. Seagrass meadows are tall flowering plants (Angiosperms) that live submerged in shallow seabed waters. One group of marine biotas that is often found in seagrass is macrozoobenthos. This research was conducted on January - March 2021. The purpose of this study was to determine the density of the seagrass ecosystem, the abundance of macrozoobenthos and the relationship between seagrass density and the abundance of macrozoobenthos in Mengiat Beach, Nusa Dua, Bali. Seagrass and macrozoobenthos samples were taken using transect measured 0,5 x 0,5 m for 30 points at 3 stations with a distance of 20 m between points. The seagrass species found on Mengiat Beach form mixed vegetation with 7 seagrass species with the highest species density was Cymodocea rotundata. Macrozoobenthos found in this study included 1 species from the Bivalvia and 14 species from the Gastropod. The relationship between seagrass density and macrozoobenthos abundance indicates was strong with a correlation value of -0.765 with a negative direction (-), where the higher the seagrass density value, the lower the macrozoobenthos abundance.
Keywords: Mengiat Beach; Seagrass density; Abudance of macrozoobenthos
Abstrak
Pantai Mengiat Nusa Dua, Bali merupakan salah satu pantai yang memiliki ekosistem padang lamun dengan keanekaragaman makrozoobenthos yang melimpah. Padang lamun (Seagrass) merupakan tumbuhan tingkat tinggi dan berbunga (Angiospermae) yang hidup terendam pada dasar perairan laut dangkal. Salah satu kelompok biota laut yang sering dijumpai pada kawasan padang lamun adalah jenis makrozoobenthos. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari - Maret 2021. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kerapatan ekosistem lamun, kelimpahan makrozoobenthos serta hubungan kerapatan lamun dengan kelimpahan makrozoobenthos di Perairan Pantai Mengiat Nusa Dua, Bali. Sampel lamun dan makrozoobenthos diambil menggunakan transek kuadrat berukuran 0,5 x 0,5 m dengan 30 titik pada 3 stasiun dengan jarak 20 m antar titik. Spesies lamun yang ditemukan di Pantai Mengiat membentuk vegetasi campuran dengan 7 spesies lamun dengan kerapatan jenis tertinggi ditemukan pada Cymodocea rotundata. Makrozoobenthos yang ditemukan pada penelitian ini meliputi 1 spesies dari Kelas Bivalvia dan 14 spesies dari Kelas Gastropoda. Hubungan kerapatan lamun dengan kelimpahan makrozoobenthos menunjukkan hubungan yang kuat dengan nilai korelasi -0,765 dan menunjukkan arah negatif (-), dimana semakin tinggi nilai kerapatan lamun maka kelimpahan makrozoobenthos akan semakin rendah.
Kata Kunci: Pantai Mengiat; Kerapatan lamun; Kelimpahan makrozoobenthos
doi: https://doi.org/10.24843/blje.2021.v21.i02.p01

© 2021 by the authors; Content from this work may be used under the terms of the Creative Commons Attribution 3.0 licence. Any further distribution of this work must maintain attribution to the author(s) and the title of the work, journal citation and DOI. Published under licence by Udayana University, Indonesia.
Pesisir Nusa Dua merupakan kawasan pesisir yang memiliki ekosistem cukup beragam, yaitu terumbu karang, padang lamun dan hutan bakau. Pesisir Nusa Dua memiliki banyak pantai yang menawarkan ketenangan dan keindahan. Lokasi dengan kondisi seperti ini banyak dimanfaatkan untuk kegiatan renang, wisata serta pembangunan hotel di bibir pantai. Keberadaan hotel yang terletak di bibir pantai dapat membawa dampak buruk baik secara langsung maupun tidak langsung bagi keberlangsungan hidup organisme perairan yang mana salah satunya adalah makrozoobenthos yang hidup di padang lamun (Rahardiarta dkk., 2019).
Padang lamun (Seagrass) secara ekologis merupakan tumbuhan tingkat tinggi dan berbunga (Angiospermae) yang hidup terendam pada dasar perairan laut dangkal (Rahman dkk., 2016). Padang lamun memiliki peranan penting bagi ekosistem. Padang lamun dimanfaatkan sebagai tempat berlindung (nursery ground), tempat mencari makan (feeding ground), dan sebagai tempat memijah (spawning ground) (Wijaya dkk., 2019). Padang lamun memiliki produktifitas organik yang tinggi dengan keanekaragaman biota yang cukup beragam (Sulphayrin, 2018). Salah satu kelompok biota laut yang sering dijumpai pada kawasan padang lamun adalah makrozoobenthos. Makrozoobentos pada padang lamun hidup menetap pada dasar perairan dengan cara menempel, merayap atau terbenam di substrat dasar perairan (Sholihah dkk., 2020).
Pantai Mengiat merupakan salah satu pantai yang terdapat di pesisir Nusa Dua. Pantai Mengiat memiliki keanekaragaman jenis lamun dan makrozoobenthos yang cukup beragam. Sepanjang pesisir Pantai Mengiat banyak ditemukan kapal masyarakat sekitar yang berprofesi sebagai nelayan. Selain itu, di Pantai Mengiat terdapat aktivitas pariwisata, sehingga banyak hotel yang dibangun di sekitar pesisir pantai. Tuahatu dkk. (2016), menemukan bahwa ekosistem padang lamun mudah di pengaruhi oleh aktivitas masyarakat. Adanya aktivitas masyarakat lokal dan peningkatan aktivitas wisata juga dapat mempengaruhi struktur komunitas biota asosiasi pada ekosistem padang lamun. Hal tersebut dapat terjadi karena banyak wisatawan yang sering mengambil biota perairan ataupun menginjak dasar perairan yang membuat terganggunya biota khususnya biota yang hidup pada dasar perairan seperti makrozoobenthos (Pratiwi dan Ernawati, 2018). Arthana (2012), juga mengatakan bahwa adanya aktivitas manusia, pariwisata serta pembangunan seperti hotel berdampak pada kondisi padang lamun di Bali yang mengakibatkan banyak terjadinya degradasi.
Penelitian yang telah dilakukan di Pantai Mengiat diantaranya penelitian oleh Rahardiarta dkk. (2019), tentang simpanan karbon pada padang lamun dan Wandiani dkk. (2020), tentang potensi sumberdaya lamun untuk mendukung pengembangan wisata di Pantai Mengiat. Penelitian mengenai hubungan kerapatan padang lamun dengan kelimpahan makrozoobenthos belum pernah dilakukan sebelumnya di Pantai Mengiat, sehingga penelitian ini ditujukan untuk mengetahui kerapatan ekosistem lamun, kelimpahan makrozoobenthos serta hubungan kerapatan lamun dengan kelimpahan makrozoobenthos di kawasan Pantai Mengiat Nusa Dua, Bali.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari - Maret 2021. Penelitian dilakukan di Perairan Pantai Mengiat Nusa Dua, Bali (Gambar 1). Pengolahan dan identifikasi sampel dilakukan di Laboratorium Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana.
Gambar 1. Lokasi titik stasiun penelitian yang ditandai dengan titik berwarna merah, kuning dan orange yang membedakan antar stasiun penelitian.
-
2.2 Metode Penelitian
-
2.2.1. Penentuan titik Lokasi Stasiun Pengamatan
-
Penentuan titik lokasi stasiun pengamatan dilakukan dengan menerapkan metode purpossive sampling, yaitu metode pengambilan sampel yang dilakukan secara sengaja dengan asumsi bahwa sampel yang diambil dapat mewakili populasi dan kondisi dari lokasi penelitian (Kusumaatmaja dkk., 2016). Penelitian ini dilakukan pada 3 stasiun dengan jarak 500 m antar stasiun (Gambar 2).
Gambar 2. Skema titik pengambilan sampel pada setiap stasiun pengamatan.
-
2.2.2. Kerapatan Lamun
Kerapatan lamun diamati dengan metode transek kuadrat (tegak lurus pantai). Sampel lamun diambil menggunakan transek kuadrat ukuran 0,5 x 0,5 m (Gambar 3).
Gambar 3. Desain transek kuadrat 0,5 x 0,5 m.
-
2.2.3. Kelimpahan Makrozoobenthos
Pengambillan sampel makrozoobenthos dilakukan pada masing-masing kuadrat transek lamun. Sampel makrozoobenthos yang diambil meliputi di atas (epifauna) dan di bawah (infauna) substrat. Pengambilan sampel makrozoobenthos di bawah substrat dilakukan menggunakan sekop sedalam 15-20 cm.
-
2.2.4. Parameter Lingkungan
Parameter lingkungan yang diamati meliputi: suhu, salinitas, derajat keasaman (pH), oksigen terlarut (DO), dan substrat. Suhu diukur dengan menggunakan thermometer. Salinitas diukur menggunakan refraktometer. Derajat keasaman (pH) diukur dengan menggunakan pH meter. Oksigen terlarut (DO) dikur dengan DO meter. Pengamatan jenis substrat dilakukan secara visual.
-
2.3 Analisis Data
Sebaran spesies lamun dianalisa dengan mengikuti perkiraan sebaran tumbuhan oleh Brower et al. (1990), dengan rumus sebagai berikut:
N
P = — x 100% Ni
(1)
dimana P adalah persentase setiap lamun (%); Ni adalah jumlah setiap spesies I; dan N adalah jumlah total seluruh spesies.
Kerapatan lamun yaitu jumlah total individu suatu spesies lamun per satuan luas yang dinyatakan dalam satuan meter persegi (m2). Kerapatan individu lamun pada satu area diprediksi berdasarkan (Putra, 2014):
∑ Ni
(2)
K =---
A
dimana K adalah kerapatan individu (ind/m2); JNi adalah jumlah total tegakan tiap individu (ind); dan A adalah luas pengambilan sampel (m²).
Skala kerapatan individu lamun dikategorikan mengikuti Gosari dan Haris (2012), dengan kategori sangat rapat, rapat, agak rapat, jarang dan sangat jarang dengan rentang kerapatan individu seperti tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Skala kondisi padang lamun berdasarkan kerapatan.
Skala |
Kerapatan (ind/m2) |
Kondisi |
5 |
>175 |
Sangat rapat |
4 |
125 – 175 |
Rapat |
3 |
75 – 125 |
Agak Rapat |
2 |
25 - 75 |
Jarang |
1 |
<25 |
Sangat Jarang |
Penutupan lamun menyatakan luasan area yang tertutupi oleh lamun. Persentase penutupan lamun dapat diketahui dengan menggunakan rumus (Rahmawati dkk., 2014):
Jumlah nilai penutupan Penutupan (%) =
(3)
Jumlah kotak yang diamati
dimana P adalah persentase setiap lamun (%); Ni adalah jumlah setiap spesies I; dan N adalah jumlah total seluruh spesies.
Kategori kelas untuk menentukan nilai persentase penutupan lamun dapat diketahui melalui panduan Rahmawati dkk. (2014), dengan kategori tutupan penuh, tutupan 3/4 kotak kecil, tutupan 1/2 kotak kecil, tutupan 1/4 kotak kecil dan kosong dengan nilai penutupan lamun sebagai berikut:
Tabel 2. Kategori kelas untuk menentukan nilai persentase penutupan lamun. | |
Kategori |
Nilai Penutupan Lamun |
Tutupan penuh |
100 |
Tutupan 3/4 kotak kecil |
75 |
Tutupan 1/2 kotak kecil |
50 |
Tutupan 1/4 kotak kecil |
25 |
Kosong |
0 |
Kategori kelas untuk menentukan nilai persentase penutupan lamun dapat diketahui melalui skala penutupan lamun dapat dikategorikan mengikuti Rahmawati dkk. (2014), dengan kategori jarang, sedang, padat dan sangat padat dengan rentang persentase penutupan lamun sebagai berikut:
Tabel 3. Kategori penutupan lamun. | |
Persentase Penutupan (ind/m2) |
Kategori |
0 – 25 |
Jarang |
26 – 50 |
Sedang |
51 – 75 |
Padat |
76 – 100 |
Sangat padat |
Kelimpahan adalah total individu per satuan luas. Kepadatan makrozoobenthos dianalisa menggunakan indeks Shannon-Winner (Sugianto, 1994), dengan persamaan:
Ni
D = A (4)
dimana D adalah kepadatan; Ni adalah jumlah individu; dan A adalah luas daerah pengamatan (m2) Shannon-Wienner (Sugianto, 1994).
Hubungan kerapatan lamun dengan kelimpahan makrozoobenthos di analisa menggunakan metode korelasi sederhana (Bivariate Correlation, SPPS 26.6TM).
Dari 15 jenis spesies lamun yang ada di Indonesia 7 diantaranya ditemukan di lokasi penelitian yaitu: Thalassodendron ciliatum, Thalassia hemprichii, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, Syringodium isoetifolium, Halodule pinifolia dan Halophila ovalis. Cymodocea rotundata merupakan spesies dengan persentase komposisi jenis paling tinggi, yaitu sebesar 33,43. Persentase sebaran spesies lamun terendah adalah Halophila ovalis, yaitu sebesar 0,51% (Gambar 4).
Kerapatan lamun tertinggi ditemukan di stasiun 1 dengan jumlah kerapatan lamun sebesar 1005,2 individu/m². Kerapatan lamun terendah ditemukan di stasiun 3 sebesar 736,4 individu/m². Total kerapatan lamun di Perairan Pantai Mengiat sebesar 2540,8 individu/m² dengan rata-rata sebesar 120,99 individu/m² (Tabel 4). Kerapatan spesies lamun tertinggi ditemukan pada spesies Cymodocea rotundata sebanyak 849,6 individu/m². Kerapatan individu terendah ditemukan pada spesies Halophila ovalis sebanyak 13,2 individu/m² (Tabel 4).
Rata-rata persentase penutupan lamun dari ketiga stasiun pengamatan di perairan Pantai Mengiat sebesar 64,16%. Persentase penutupan lamun tertinggi ditemukan di stasiun 1 sebesar 83,5%. Persentase penutupan lamun terendah ditemukan di stasiun 3 sebesar 52% (Tabel 5).
Kelimpahan dan keanekaragaman makrozoobenthos yang diamati di perairan Pantai Mengiat terdiri dari 2 kelas, yaitu Kelas Bivalvia dan Kelas Gastropoda. Kelimpahan makrozoobenthos tertinggi ditemukan di stasiun 3 sebesar 109,9 individu/m². Kelimpahan makrozoobenthos terendah ditemukan di stasiun 1 sebesar 57,2 individu/m². Total keseluruhan makrozoobenthos yang ditemukan pada ketiga lokasi stasiun pengamatan di perairan Pantai Mengiat sebanyak 660 individu (Tabel 6).
Gambar 4. Persentase komposisi jenis lamun di Pantai Mengiat.
Tabel 4. Kerapatan spesies lamun (ind/m2) di perairan Pantai Mengiat Nusa Dua, Bali.
Jenis |
Stasiun 1 |
Stasiun 2 |
Stasiun 3 |
Kerapatan Spesies/m2 |
Thalassodendron |
24,4 |
54,4 |
31,6 |
110,4 |
Ciliatum | ||||
Thalassia hemprichii |
38,4 |
130,8 |
288 |
457,2 |
Halodule uninervis |
160,8 |
73,2 |
124,4 |
358,4 |
Cymodocea rotundata |
422 |
295,2 |
132,4 |
849,6 |
Syringodium isoetifolium |
224,4 |
195,6 |
160 |
580 |
Halodule pinifolia |
122 |
50 |
0 |
172 |
Halophila ovalis |
13,2 |
0 |
0 |
13,2 |
Jumlah total |
1005,2 |
799.2 |
736,4 |
2540,8 |
Rata-rata |
143,6 |
114,17 |
105,2 |
120,99 |
Tabel 5. Persentase penutupan lamun di perairan Pantai Mengiat Nusa Dua, Bali.
Lokasi |
Persentase Penutupan Lamun (%) |
Kategori (Rahmawati dkk., 2014) |
Stasiun 1 |
83,5 |
Sangat padat |
Stasiun 2 |
57 |
Padat |
Stasiun 3 |
52 |
Padat |
Jumlah |
192,5 | |
Rata-rata |
64,16 |
Padat |
Tabel 6. Jumlah individu dan kelimpahan makrozoobenthos di perairan Pantai Mengiat Nusa Dua, Bali dari semua stasiun penelitian.
Stasiun 1 |
Stasiun 2 |
Stasiun 3 |
Total |
Kelimpahan Spesies (individu/m2) | |
Arca ventricosa |
26 |
13 |
25 |
64 |
25,6 |
Cellana tramoserica |
- |
9 |
13 |
22 |
8,8 |
Clypomorus pentrosa |
34 |
18 |
27 |
79 |
31,6 |
Turbo brunneus |
- |
16 |
21 |
37 |
14,8 |
Littorina sculata |
- |
2 |
- |
2 |
0,8 |
Morula granulata |
- |
6 |
9 |
15 |
6 |
Murichorda fiscellum |
- |
2 |
7 |
9 |
3,6 |
Cypraea moneta |
25 |
18 |
18 |
61 |
24,4 |
Cypraea annulus |
32 |
13 |
23 |
68 |
27,2 |
Cypraea trigis |
- |
- |
5 |
5 |
2 |
Nerita undata |
- |
15 |
14 |
29 |
11,6 |
Cybiola vespertillo |
- |
30 |
22 |
52 |
20,8 |
Conus muriculatus |
26 |
31 |
35 |
92 |
36,8 |
Conus coronatus |
- |
36 |
21 |
57 |
22,8 |
Strigatella litterata |
- |
34 |
34 |
68 |
27,2 |
Total |
143 |
243 |
274 |
660 |
264 |
Kelimpahan | |||||
Makrozoobenthos |
57,2 |
97,2 |
109,9 |
264 |
88 |
(individu/m2) |
Rata-rata suhu dari ketiga stasiun adalah 28,27 °C, dengan salinitas sebesar 30 ppt, derajat keasaman (pH) sebesar 7 dan rata-rata oksigen terlarut (DO) sebesar 4,0 mg/l (Tabel 7).
Tabel 7. Parameter kualitas air di perairan Pantai Mengiat Nusa Dua, Bali.
Parameter |
Satuan |
Rata-rata Hasil Pengukuran |
Baku Mutu (MNLH No.51, 2004) |
Suhu |
°C |
28,27 |
28 – 30 |
Salinitas |
ppt |
30 |
33 – 34 |
Derajat Keasaman (pH) |
- |
7 |
7 - 8,5 |
Oksigen Terlarut (DO) |
mg/L |
4.0 |
> 5 |
-
3.2 Hubungan Kerapatan Lamun dengan Kelimpahan Makrozoobenthos
Hasil uji korelasi dengan metode korelasi sederhana (Bivariate Correlation) diketahui bahwa hubungan Kerapatan lamun berhubungan erat dengan arah hubungan negatif dengan kelimpahan makrozoobenthos di Perairan Pantai Mengiat. Hasil analisa hubungan kerapatan lamun dengan kelimpahan makrozoobenthos di Pantai Mengiat diperoleh persamaan Y = - 0,105x + 178,3, nilai R2 sebesar 0,585 dan nilai Korelasi (r) sebesar -0,765 (Gambar 5).
Gambar 5. Nilai regresi lamun dengan makrozoobenthos di Pantai Mengiat Nusa Dua, Bali.
Ekosistem lamun di Perairan Pantai Mengiat membentuk vegetasi campuran. Hal ini dapat dilihat dari jumlah spesies lamun yang ditemukan di lokasi penelitian meliputi 7 spesies yang tersebar merata di stasiun penelitian yaitu: Thalassodendron ciliatum, Thalassia hemprichii, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, Syringodium isoetifolium, Halodule pinifolia dan Halophila ovalis. Vegetasi campuran merupakan padang lamun yang terdiri lebih dari 1 - 8 spesies (Patty dan Rifai, 2013).
Rata-rata kerapatan total lamun di Pantai Mengiat sebesar 120,99 individu/m². Mengacu pada kategori kerapatan lamun menurut Gosari dan Haris (2012), maka kerapatan lamun di Pantai Mengiat termasuk dalam kategori 3 yaitu agak rapat dengan kisaran kerapatan lamun antara 75-125 individu/m². Kerapatan spesies lamun tertinggi adalah spesies Cymodocea rotundata dengan nilai 849,6 individu/m². Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Wandiani dkk. (2020), yang menemukan bahwa spesies Cymodocea rotundata mempunyai nilai kerapatan tertinggi dari semua stasiun dengan kisaran 33 – 2511 individu/m². Kerapatan lamun terendah ditemukan pada spesies Halophila ovalis dengan nilai 13,2 individu/m². Halophila ovalis memiliki laju pertumbuhan yang cepat sehingga masa hidup tumbuhan ini lebih singkat dengan umur daun sekitar 25 hari (Purnama dkk., 2013). Diduga hal inilah yang menyebabkan spesies Halophila ovalis memiliki kerapatan terendah dari semua stasiun yang ada di Pantai Mengiat.
Rata-rata persentase penutupan lamun dari ketiga stasiun pengamatan di Perairan Pantai Mengiat sebesar 64,16%. Besarnya nilai persentase penutupan lamun dari ketiga stasiun penelitian tersebut dapat dikategorikan penutupan padat mengacu pada Rahmawati dkk. (2014). Persentase penutupan lamun tertinggi dari ketiga stasiun ditemukan di stasiun 1, sedangkan persentase penutupan lamun terendah ditemukan di stasiun 3. Menurut Simon dkk. (2013), besarnya nilai persentase penutupan lamun dapat dipengaruhi oleh kepadatan yang tinggi serta kondisi pasang surut suatu perairan. Selain itu, bentuk morfologi dan ukuran suatu spesies lamun sangat berpengaruh terhadap persentase tutupan lamun.
Makrozoobenthos yang diamati di Perairan Pantai Mengiat terdiri dari 2 kelas yaitu Kelas Bivalvia dan Kelas Gastropoda. Total spesies makrozoobenthos (bivalvia dan gastropoda) yang ditemukan sebanyak 15 spesies yang terdiri dari 1 spesies Kelas Bivalvia dan 14 spesies dari Kelas Gastropoda. Keanekaragaman Kelas Gastropoda yang lebih melimpah diduga karena habitat dan faktor lingkungan mikro sesuai yang dibutuhkan oleh kelompok gastropoda ini. Wahab dkk. (2018), menemukan bahwa Kelas Gastropoda memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi untuk hidup diberbagai tipe substrat. Rendahnya keanekaragaman bivalvia diduga karena bivalvia lebih menyukai perairan dengan substrat pasir berlumpur,
sedangkan Pantai Mengiat memiliki kondisi substrat berpasir, pasir berbatu dan pecahan karang. Leatemia dkk. (2017), mengatakan bahwa bivalvia lebih dominan hidup pada substrat pasir berlumpur.
Kelimpahan makrozoobenthos tertinggi ditemukan di stasiun 3 dengan nilai 109,9 ind/m². Stasiun 3 memiliki kondisi substrat berpasir dengan pecahan karang. Pecahan-pecahan karang dapat digunakan makrozoobenthos untuk berlindung dari arus dan gelombang, seperti yang ditemukan oleh Fadli dkk. (2012), bahwa substrat dasar yang berupa pecahan karang merupakan substrat yang mendukung untuk kehidupan makrozoobenthos karena dapat digunakan untuk berlindung dari gerakan arus. Kelimpahan makrozoobenthos terendah ditemukan di stasiun 1 dengan nilai 57,2 ind/m². Stasiun 1 memiliki kondisi substrat berpasir dan pasir berbatu. Diduga kondisi substrat tersebut tidak mendukung bagi kehidupan makrozoobenthos. Rizka dkk. (2016), menemukan bahwa makrozoobenthos dapat hidup dan berkembang biak dengan baik di berbagai tipe substrat, selain itu keberlangsungan hidup makrozoobenthos juga dipengaruhi oleh parameter fisika-kimia perairan.
Pengukuran parameter kualitas air yang telah dilakukan menunjukkan bahwa rata-rata suhu perairan di Pantai Meniat sebesar 28,27°C, salinitas 30 ppt, pH 7 dan oksigen terlarut 4.0 mg/L (Tabel 7). Hasil pengukuran tersebut menunjukkan bahwa kualitas air yang ada di Pantai Mengiat masih berada dalam kisaran baku mutu air laut yang telah ditentukan dalam MNLH No.51 Tahun 2004, kecuali nilai DO yang menunjukkan nilai < 5, namun lamun dan makrozoobenthos masih dapat tumbuh di Pantai Mengiat. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi oksigen terlarut (DO) tersebut masih dapat ditoleransi bagi kehidupan organisme laut yang ada di dalamnya.
Hasil analisa hubungan kerapatan lamun dengan kelimpahan makrozoobenthos di Perairan Pantai Mengiat diketahui nilai signifikasi < 0,005 dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0,765, artinya terdapat hubungan yang kuat di perairan tersebut. Hubungan kerapatan lamun dengan kelimpahan makrozoobenthos di Perairan Pantai Mengiat memiliki arah garis linear negatif (-) artinya semakin tinggi nilai kerapatan lamun, maka semakin rendah kelimpahan makrozoobenthos pada perairan tersebut. Bestari dkk. (2020) yang telah melakukan penelitian mengenai hubungan kerapatan lamun dengan kelimpahan makrozoobenthos di Pantai Hijau Daun, Gresik mendapatkan nilai korelasi -0,653 artinya hubungan kerapatan lamun dan kelimpahan makrozoobenthos tergolong kuat dengan arah yang berlawanan. Hubungan kerapatan lamun dengan kelimpahan makrozoobenthos di Perairan Pantai Mengiat memiliki persamaan y = - 0,105x + 178,3 dengan nilai determinasi (R2) = 0,585.
Nilai determinasi (R2) menunjukkan bahwa kerapatan lamun berpengaruh terhadap kelimpahan makrozoobenthos sebesar 58,5%, sedangkan 41,5% lainnya dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor lingkungan seperti suhu, kecepatan arus, salinitas dan substrat dapat mempengaruhi pola distribusi dan kelimpahan makrozoobenthos pada ekosistem lamun. Adanya aktivitas manusia yang mengambil makrozoobenthos seperti siput ataupun kerang-kerangan untuk dikonsumsi juga dapat mempengaruhi keberadaan makrooobenthos pada suatu ekosistem. Stasiun 3 banyak dijumpai para pemancing dan pencari kerang, diduga hal ini menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kelimpahan makrozoobenthos di Pantai Mengiat. Menurut Pelealu dkk. (2018) aktivitas manusia pada lingkungan perairan juga dapat mempengaruhi keberadaan makrozoobenthos dalam suatu perairan, hal ini dikarenakan beberapa makrozoobenthos tidak dapat beradaptasi dengan kondisi tersebut. Diduga hal ini menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kelimpahan makrozoobenthos di Pantai Mengiat.
Kerapatan lamun di Perairan Pantai Mengiat Nusa Dua, Bali tergolong dalam vegetasi campuran (mixed vegetation) dimana ditemukan lebih dari 1 spesies lamun. Kerapatan lamun sebesar 120,99 individu/m², termasuk dalam kategori agak rapat, dengan persentase penutupan lamun sebesar 64,16% dan dikategorikan sebagai penutupan rapat. Kelimpahan makrozoobenthos (bivalvia dan gastropoda) di Perairan Pantai Mengiat Nusa Dua, Bali di dominasi kelas gastropoda. Rata-rata kelimpahan
makrozoobenthos dari semua stasiun sebesar 88 individu/m². Terdapat hubungan antara kerapatan lamun dengan kelimpahan makrozoobenthos yang kuat dengan nilai korelasi -0,765 dan menunjukkan arah negatif.
Daftar Pustaka
Sulphayrin, O. L. O. L., & Arami, H. (2018). Komposisi dan Jenis Makrozoobenthos (Infauna) Berdasarkan Ketebalan Substrat Pada Ekosistem Lamun Di Perairan Nambo Sulawesi Tenggara. Jurnal Manajemen Sumber Daya Perairan, 3(4), 344-352.
Arthana, I. W. (2012). Jenis dan Kerapatan Padang Lamun di Pantai Sanur Bali. Jurnal Bumi Lestari, 5(2), 1-10.
Bestari, T. P., Munir, M., & Maisaroh, D. S. 2020. Hubungan Kerapatan Lamun (Seagrass) dengan Kelimpahan Makrozoobenthos di Perairan Pantai Hijau Daun Kecamatan Sangkapura Kabupaten Gresik. Journal of Marine Resourcces and Costal Management, 1(1), 17-25.
Brower, J. E., Zar, J. E., & Ende, C. N. V. (1990). Field and Laboratory Methods for General Ecology. (3rd ed.). New York, USA: Wm. C. Brown Publisher.
Fadli, N., Setiawan, I., & Fadhilah, N. (2012). Keragaman makrozoobenthos di perairan kuala gigieng Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan, 1(1), 45-52.
Gosari, B. A. J., & Haris, A. (2012). Studi Kerapatan dan Penutupan Spesies lamun di Kepulauan Spermonde. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan, 22(3), 156-162.
MNLH. (2004). Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut. Jakarta-Indonesia: Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Kusumaatmaja, K. P., Rudiyanti, S., & Ain, C. (2016). Hubungan Perbedaan Kerapatan Lamun dengan Kelimpahan Epifauna di Pantai Lipi, Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Management of Aquatic Resources Journal, 5(4), 398- 405.
Leatemia, S. P.O., Pakilaran, E. L., & Kopalit, H. (2017). Kepadatan makrozoobenthos di daerah bervegetasi (lamun) dan tidak bervegetasi di Teluk Doreri Manokwari. Jurnal Sumberdaya Akuatik Indopasifik, 1(1), 15-26
Pelealu, G. V., Koneri, R., & Butarbutar, R. R. (2018). Kelimpahan dan Keanekaragaman Makrozoobentos di Sungai Air Terjun Tunan, Talawaan, Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Sains, 18(2), 97-102.
Patty, S. I., & Rifai, H. (2013). Struktur Komunitas Padang Lamun di Perairan Pulau Mantehage, Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Platax, 1(4), 177-186.
Pratiwi, A. M., & Ernawati, M. N. (2018). Struktur Komunitas Ekosisem Padang Lamun Pada Daerah Intertidal di Pantai Sanur, Bali. Jurnal Ecotrophic, 12(1), 50-56
Purnama, P. R., Rahmawati, S., & Purnobasuki, H. (2013). Pola Pertumbuhan Halophila ovalis (R.Brown.) Hooker f. dalam Kultur In Vitro. Jurnal Bioscientiae, 10(2), 93-101.
Putra, I. P. (2014). Kajian Kerapatan Lamun Terhadap Kepadatan Siput Gonggong (Strombus Canarium) Di Perairan Pulau Penyengat Kepulauan Riau. Skripsi. Tanjung Pinang, Indonesia: Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Rahardiarta., I. K. V. S., Putra, I. D. N. N., & Suteja, Y. (2019). Simpanan Karbon Pada Padang Lamun di Kawasan Pantai Mengiat, Nusa Dua Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences, 5(1), 1-10
Rahman, A. A., Nur, A. I., & Ramli, M. (2016). Studi Laju Pertumbuhan Lamun (Enhalus acoroides) di Perairan Pantai Desa Tanjung Tiram Kabupaten Konawe Selatan. Jurnal Sapa Laut(Jurnal Ilmu Kelautan), 1(1), 10-16.
Rahmawati, S., Irwan, A., Supriyadi, I. H., & Azkab, M. H. (2014). Panduan Monitoring Padang Lamun. COREMAP – CTI. Bogor, Indonesia: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Rizka, S., Muchlisin, Z. A., Akyun, Q., Fadli, N., Dewiyati, I. & Halim, A. (2016). Komunitas Makrozoobentos Di Perairan Estuaria Rawa Gambut Tripa Provinsi Aceh. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan Perikanan Unsyiah, 1(1), 134-145.
Sholihah, H., Arthana, I. W., & Ekawaty, R. (2020). Hubungan Keanekaragaman Makrozoobentos dengan Kerapatan Lamun di Pantai Semawang Sanur Bali. Current Trends in Aquatic Science, 3(1), 1-7.
Simon, I. P., & Rifai, H. 2013. Struktur komunitas padang lamun di Perairan Pulau Mantehage, Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Platax, 1(4), 177-186.
Sugianto, A. (1994). Ekologi Kuantitatif. Surabaya, Indonesia: Usaha Nasional. Surabaya.
Tuahatu, J. W., Hulopy, M., & Louhenapessy, D. G. (2016). Community structure of seagrass in Waai and Lateri waters, Ambon Island, Indonesia. Aquaculture, Aquarium, Conservation & Legislation, 9(6), 1380-1387.
Wahab, I., Madduppa, H., & Kawaroe, M. (2018). Perbandingan kelimpahan makrozoobenthos di ekosistem lamun pada saat bulan purnama dan perbani di Pulau Panggang Kepulauan Seribu Jakarta. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 10(1), 217-229
Wandiani, I. A. N., Restu, I. W., & Pratiwi, M.A. (2020). Potensi Sumberdaya Lamun Untuk Mendukung Pengembangan Wisata Di Pantai Mengiat Nusa Dua, Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences, 6(1), 78-89
Wijana, I. M. S., Ernawati, N. M., & Pratiwi, M. A. (2019). Keanekaragaman Lamun dan Makrozoobentos sebagai Indikator Kondisi Perairan Pantai Sindhu, Sanur, Bali. Jurnal Ecotrophic, 13(2), 238-247.
11
Discussion and feedback