PENGARUH LETAK SARANG DAN KERAPATAN TELUR TERHADAP LAJU TETAS TELUR PENYU HIJAU (Chelonia mydas)
on
PENGARUH LETAK SARANG DAN KERAPATAN TELUR TERHADAP LAJU TETAS TELUR PENYU HIJAU (Chelonia mydas)
I Ketut Sukada
Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana
Abstract
This research was conducted in Tarjung Benoa Village, Subdistrict cf Southern Kuta, Badung Regency, Bali between February 7, and April 12, 2006. The aim of this research was to observe the length of hatchery of eggs of green turtles (Chelonia mydas) in twoplaces. Those places were: (1) which was freely exposured to the sunlight and (2) which was not freely exposed. These two places were set up to be closely to the natural (semi natural) nesting sites where eggs eggs being put underground in deferent densities. Factorial Randomise Block Design was applied in this research. The first factor was the density of eggs that was 40, 50, and 60 eggs in each hole and the secondfactor was the location of nest, whether was or was notfreely exposed to the sun light. There were 4 replicates made, so the total eggs of C. mydas utilised in this research was 1200.
Result of this research indicated that the hatching rates from various mean at calm place was better than those of the other place (did not calm) — higher hatching rates 4.34% (P<0,01), shorter hatching time (day) 2.5 (P<0,01) and hatchlings were bigger in size 0.14% (P<0,01). The density of eggs of 50for every nest wasfound to be significantly better (P<0,01) compared to those of the density of 40 and 60. Temperatures in calm place and that was not calm in the morning, during the mid day and in evening were 18.1600 C, 21.66°C, 19.750C and 19.660C, 30.750C, 27.330C respectively
Key words : green tultle, eggs, desity, hachling, artificial nest
Penyu hijau bertelur sebanyak 115 butir dengan interval bertelur 2 sampai dengan 3 kali dalam setahun. Lama masa inkubasi rata-rata 60 hari (Claris A Thomas, 2005). MaarufKasim (2006) melaporkan, penyu hijau bertelur 50 sampai 150 butir, namun hanya 11 ekor yang bisa bertahan hidup mencapai laut secara alami. Penyu hijau diprediksi dalam 10 tahun terakhir ini telah mengalami penurunan populasi (The Indonesian Coral Reef Fondation, 2008). Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1999 yang salah satu isinya melarang penangkapan penyu hijau dimaksudkan agar penyu hijau terhindar dari ancaman kepunahan. Berkurangnya jumlah penyu-penyu betina yang naik bertelur di wilayah-wilayah cagar alam setiap tahun, membuktikan bahwa populasi penyu hijau di wilayah perairan Indonesia diprediksi semakin menurun. Dalam pandangan internasional, semua jenis penyu telah dianggap
langka (endangered) dan telah dilindungi undang-undang (Sukresno, S.A. 1997).
Sejak ratusan tahun yang lalu masyarakat Bali telah memanfaatkan penyu untuk keperluan upacara adat agama Hindu. (Triwibowo, E. 1991). Bali merupakan pusat penyembelihan penyu hijau yang paling intensif di Indonesia dan di dunia (Limpus, C.J. 1997), khususnya di wilayah Denpasar Selatan, KabupatenBadung (Triwibowo, E. 1991). Padatahun 1994-1995 tercatat 15.000-21.000 ekor penyu setiap tahunnya ditangkap dan diangkut ke Bali (Troeng, S. 1997).
Untuk menangkal citra negatif ini, Bali khususnya Tanjung Benoa telah melakukan upaya pelepasan ribuan ekor tukik ke laut, bahkan tahun 2002 telah berhasil melepaskan tukik sesuai dengan angka tahun dan mendapat penghargaan dari Gubernur Bali yang diterima oleh ketua pelestari penyu Tanjung Benoa (Sukada I Ketut, 2002). Jika
upaya ini dapat dilakukan secara berkesinambungan maka populasi penyu hijau masih berpeluang untuk diselamatkan.
Hasil Penelitian Silalahi.S (1990) di Pantai Pangumbahan Sukabumi menyatakan, penetasan telur penyu hijau pada sarang semi alami yang tertutup, laju penetasannya lebih tinggi dibandingkan dengan ditetaskan pada sarang semi alami yang terbuka. MenurutNuitja (1983), kedalaman sarang penyu hijau berkisar 55-60 cm, dan diameter liang sarang 23-25,9 cm. Kedalaman sarang penyu hijau menurut Anwari (1986) berkisar 48,5-85,5 cm dengan rata-rata 25 cm. Kisaran masa pengeraman menurut Natih (1989) berkisar 47-57 hari. Keberhasilan penetasan menurut Nuitja (1982) berkisar antara 88-95,3 %, sedangkan menurut Sillahi (1989b) berkisar antara 87,7 - 96,7 %. Penetasantelur penyu hijau pada sarang semi alami menurut Alvian (1989) berkisar antara 80-100%, dengan nilai rata-rata 96,2%. Kepadatan telur dalam sarang juga mempengaruhi keberhasilan penetasan. Persentase keberhasilan penetasan pada kepadatan 50 butir per sarang ternyata lebih besar daripada kepadatan 75 dan 100 butir persarang (Silalahi.S.,1989 b). Faktor perbedaan kedalaman sarang antara 40 cm dengan 70 cm tidak mempengaruhi hasil penetasan (Natih, 1989b). Selanjutnya juga dikatakan bahwa posisi sarang yang berada pada naungan menunjukkan keberhasilan tingkat penetasan yang lebih baik daripada penanaman telur pada sarang tanpa naungan.
Wilayah Pantai Tanjung Benoa yang sangat padat dengan kegiatan pariwisata namun masih tersedia tempat-tempat penanaman telur penyu di celah-celah sudut bangunan, bukan tidak mungkin penetasan telur penyu berpeluang bisa ditetaskan pada tempat tersebut. Hal ini telah terbukti secara nyata, bahwa Team Pelestari Penyu Tanjung Benoa atas bantuan KSDA Bali telah berhasil beberapa kali menetaskan telur penyu hijau dan melepaskan ribuan ekor tukik ke perairan. Pantai Tanjung Benoa telah begitu banyak dapat menetaskan telur penyu hijau, namun belum pernah terukur secara pasti, seberapa besar potensi yang dimiliki sebagai habitat penetasan telur penyu hijau. Potensi habitat tempat penetasan telur penyu dapat diprediksi melalui beberapa parameter yaitu : lama penetasan, laju penetasan, jumlah telur yang menetas normal,jumlah tukik yang menetas cacat,jumlah yang mati atau tidak menetas. Melalui penemuan ini maka usaha untuk membantu
populasi penyu melalui pengeraman pada sarang semi alami dapat menambah keyakinan bahwa populasi penyu hijau niscaya akan dapat diselamatkan asal saja lebih banyak umat manusia peduli dan menyadari dilema ini.
Penelitian ini dilaksanakan di Pantai Tanjung Benoa, Kelurahan Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung dengan lama penelitian dua bulan atau 65 hari, yaitu mulai tanggal 7 Februari sampai dengan 12 April 2006.
Materi Percobaan
Menggunakantelurpenyuhijau sebanyak 1200 butir yang didatangkan dari Pantai Pangumbahan Suka Bumi, Jawa Barat atas bantuan dari KSDA Bali. Penanaman pertama dilakukan pada tempat yang terbuka, agak jauh dari bangunan dan rerimbunan pohon. Tiap lubang sarang yang berdiameter 40 cm dan kedalaman 60 cm diisi masing-masing dengan telur penyu 40, 50 dan 60 butir tiap lubang dengan jarak tanam antar lubang 15 cm. Penanaman yang kedua dilakukan pada tempat yang teduh karena ditanam pada rerimbunan pohon di areal bangunan PT. Bathara Marina Tanjung Benoa. Penanaman telur penyu hijau sebanyak 3000 butir dengan tujuan mendapatkan tukik sebanyak-banyaknya untuk dilepas kelaut. Di antara 3000 butir itu sebanyak 1200 butir penanamannya dirancang melalui experiment seperti di atas, sedangkan 1800 butir ditanam secara bebas dengan kerapatan kurang lebih 50 butir per lubang. Penanaman telur penyu hijau pada mulanya tidak bertujuan untuk penelitian tetapi menanam sebanyak-banyaknya sehingga menghasilkan tukik yang banyak untuk dilepas kelaut. Atas usulan dari penulis yang waktu itu ditunjuk menjadi ketua tim maka penulis mencoba menanam 1200 butir sesuai dengan rancangan percobaan seperti di atas, sehingga diperoleh data untuk dijadikan pedoman pada masa mendatang.
Perlakuan Saat Penanaman
Lubang sarang dengan diameter 40 x 60 cm dengan jarak lubang satu dengan lubang yang lainnya berjarak 15 cm, diisi telur bertumpuk melingkar berbentuk piramid sehingga setelah
menetas tukik-tukik itu beriring satu persatu melewati puncak piramid sebagai lubang pintu gerbang keluar. Permukaan lubang penanaman dilingkari kawat burung dengan diameter 40x15 cm, sehingga saat telur menetas tukik-tukik yang keluar mudah dapat dipantau dan dihitung jumlahnya. Jika tidak dipasangi kawat pada permukaan lubang maka saat penetasan tukik akan bercampur antara tukik dari lubang satu ke lubang yang lain sehingga sulit dipantau. Selanjutnya setelah telur semua tertanam dan sudah dipasangi kawat burung maka selanjutnya dilakukan pemagaran diseputar wilayah tempat penanaman. Pagar pelindung terbuat dari tiang-tiang kayu dan juga kawat burung untuk menghindari kemungkinan adanya gangguan dari luar yang dapat merusak sarang penetasan.
Gambar 1. Gambar Lubang Sarang (Foto.Sukada, 2006)
Perlakuan Saat Telur Menetas
Pencatatan dilakukan pagi siang dan sore hari ketika telur mulai menetas. Pemantauan secara kontinu ini dilakukan guna menghindari tukik-tukik yang menetas di siang hari tersengat oleh terik matahari sehingga mengalami kematian. Tukik-tukik yang telah dihitung dimasukan kedalam ember plasik berisi air laut yang selanjutnya dibawa ke bak pemeliharaan. Bak pemeliharaan seluas 4x5 m dengan ketinggian 70 cm sebanyak 2 buah dengan kapasitas tampung masing-masing kurang lebih 2000 ekor tukik. Bak diisi air laut setinggi 50 cm yang ditarik dari laut memakai pompa listrik. Letak bak sangat dekat ke laut sehingga mudah menarik air laut dan sirkulasi air selalu terjaga.
Gambar 3. Gambar Seekor Tukik yang baru menetas dan keluar dari lubang sarang (Foto.Sukada, 2006)

Gambar 2. Gambar Telur Penyu Hijau yang dimasukkan kedalam lubang sarang buatan. (Foto. Sukada, 6)

Gambar 4. Gambar Sekelompok Tukik yang baru menetas dan keluar dari lubang sarang (Foto. Sukada,2006)
Perlakuan TukikYang Baru Menetas
Tukik yang baru menetas sebagian dimasukkan kedalam ember plastik lalu diangkut dengan sampan untuk dilepas di dekat pesisir laut yang agak dangkal pada wilayah-wilayah batu karang yang ditumbuhi pohon lamun dan rumput laut yang rimbun. Sebagian tukik yang tidak dilepas kelaut dimasukkan kedalam bak pemeliharaan. Tukik-tukik ini dimaksudkan untuk dijadikan penelitian lebih lanjut khususya untuk mengetahui pertumbuhannya melalui penambahan bobot tubuh setiap minggu.
Gambar 5. Gambar Tukik-tukik yang dipelihara dalam bak pemeliharaan.
(Foto.Sukada,2006)
Pengamatan Suhu Ruang Tempat Penelitian
Pencatan suhu ruang dilakukan sebanyak tiga kali yaitu pagi, siang dan sore hari dengan menggunakan Thermometer Kenko Japan
Rancangan Penelitian
Rancangan yang digunakan untuk mengetahui pengaruh kerapatan telur pada tempat yang teduh dan tempat yang tidak teduh terhadap laju tetas digunakan rancangan acak kelompok Faktorial dua faktor, faktor pertama yaitu kerapatan telur yang terdiri atas tigajenis : kerapatan 40, 50 dan 60 butir per lubang sedangkan faktor kedua tempat sarang yang terdiri atas 2 jenis, yaitu tempat yang teduh dan tidak teduh. Tiap-tiap kerapatan telur diulang sebanyak 4 kali sehingga untuk dua tempat memerlukan telur sebanyak 1200 butir telur. Laju Penetasan adalah ratio antara jumlah penetasan normal dengan lama waktu penetasan. Uji hipotesis digunakan uji LSD (SteeldanTorrie, 1991).
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Hasil
-
-
1) Persentase Penetasan
-
(1) Pengaruh kerapatan terhadap persentase tetas pada tempat tertutup tidak berbeda nyata (P>0,05);
-
(2) Pengaruh kerapatan terhadap persentase tetas pada tempat terbuka : Kerapatan 50 butir per sarang nyata dan sangat nyata lebih besar masing-masing 3%* (p<0,05) dan 6,25%**(P<0,01) terhadap persentase penetasannya dibandingkan dengan kerapatan 40 butir per sarang dan 60 butir per sarang. Kerapatan 60 butir per sarang nyata lebih besar 3,25%** terhadap persentase penetasannya (P<0,05) dibandingkan dengan kerapatan 40 butir per sarang;
-
(3) Rataan kerapatan tempat tertutup sangat nyata lebih besar 4,34% ** (P<0,01) persentase tetasnya daripada rataan kerapatan pada tempat terbuka.
-
(1) Pengaruh kerapatan terhadap lama penetasan pada tempat tertutup. Pengaruh kerapatan terhadap lama penetasan tidak berbeda nyata(P<0,05).
-
(2) Pengaruh kerapatan terhadap lama penetasan pada tempat terbuka: Kerapatan 50 butir persarang sangat nyata lebih lama 2 hari**(P<0,01) dibandingkan pada kerapatan 60 butir per sarang dan 60butir per sarang. Sedangkan kerapatan yang lain tidak berbedanyata (P>0,05).
-
(3) Pengaruh tempat tertutup sangat nyata lebih cepat 2,5 hari **(P<0,01) menetas dibandingkan dengan tempat terbuka.
-
(1) Pengaruh kerapatan terhadap laju penetasan pada tempat tertutup. Kerapatan 50 butir per lubang nyata lebih besar 0,05 % per hari (P<0,05) dibanding kerapatan 40 butir per lubang. Kerapatan yang lain nonsignificant.
-
(2) Pengaruh kerapatan terhadap laju penetasan pada tempat terbuka Kerapatan 50 butir persarang sangat nyata lebih besar 0,083%**(P<0,01) dibandingkan kerapatan 40 butir per sarang. Kerapatan 60 butir per sarang sangat nyata lebih besar 0,08 %**(P<0,01) dibandingkan kerapatan 40 butir per sarang.
-
(3) Pengaruh tempat tertutup sangat nyata lebih besar 0,14%**perhari (P<0,01)
terhadap laju tetas dibandingkan dengan tempat terbuka.
Pencatatan suhu ruang untuk tempat teduh dan tidak teduh, pagi, siang dan sore hari, yaitu : 18,160C, 21,660C, 19,750C dan 19,660C, 30,75°C 27,33°C.
Tabel. 1. Penetasan Telur Penyu Hijau yang Menetas Normal, Cacat, Tidak Menetas∕Mati(%) Serta Lama Waktu Penetasan (Hari) dan Laju Tetas (Persen Menetas Normal∕Lama Waktu Penetasan).
Lokasi |
Kerapatan |
Ulangan |
Normal |
Hasil(%) | |||
Cacat |
Mati |
Waktu |
Laju tetas | ||||
Teduh |
40 |
1 |
90 |
0 |
10 |
60 |
1.5 |
2 |
94 |
1 |
11 |
61 |
1.540984 | ||
3 |
93 |
0 |
7 |
59 |
1.576271 | ||
4 |
95 |
0 |
5 |
60 |
1.583333 | ||
50 |
1 |
92 |
0 |
8 |
60 |
1.533333 | |
2 |
96 |
0 |
4 |
60 |
1.6 | ||
3 |
94 |
0 |
6 |
58 |
1.62069 | ||
4 |
98 |
0 |
2 |
60 |
1.633333 | ||
60 |
1 |
95 |
0 |
5 |
57 |
1.666667 | |
2 |
93 |
1 |
6 |
60 |
1.55 | ||
3 |
93 |
0 |
7 |
59 |
1.576271 | ||
4 |
92 |
0 |
8 |
60 |
1.533333 | ||
Tidak Teduh |
40 |
1 |
85 |
0 |
15 |
63 |
1.349206 |
2 |
85 |
1 |
14 |
62 |
1.370968 | ||
3 |
87 |
1 |
12 |
61 |
1.42623 | ||
4 |
87 |
0 |
5 |
62 |
1.403226 | ||
50 |
1 |
92 |
1 |
7 |
63 |
1.460317 | |
2 |
94 |
0 |
6 |
64 |
1.46875 | ||
3 |
90 |
0 |
10 |
62 |
1.451613 | ||
4 |
94 |
1 |
5 |
63 |
1.492063 | ||
60 |
1 |
92 |
0 |
8 |
62 |
1.483871 | |
2 |
88 |
1 |
11 |
61 |
1.442623 | ||
3 |
88 |
1 |
11 |
61 |
1.442623 | ||
4 |
90 |
0 |
10 |
60 |
1.5 |
Tabel 2. Pencatatan Temperatur Ruang Rata-rata selama Penetasan pada Sarang di tempat yang Teduh dan di tempat yang TidakTeduh.
Sarang pada Tempat Teduh |
Sarang pada tempat Tidak Teduh | ||||
Pagi |
Siang |
Sore |
Pagi |
Siang |
Sore |
18,160C |
21.660C |
19.750C |
19.660 C |
30.750C |
27.330C |
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan, persentase tetas, lama penetasan dan laju tetas telur pada tempat yang teduh sangat nyata (P<0,01) lebih baik dibandingkan dengan pada tempat yang tidak teduh. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pengaruh lingkungan yang bebas seperti hujan dan matahari langsung. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Silalahi. S (1988) yang menyatakan, laju penetasan telur penyu hijau yang ditanam pada wilayah sarang yang tertutup (beratap) lebih tinggi dibandingkan dengan laju penetasan telur penyu hijau yang ditanam pada wilayah sarang yang terbuka (P<0,05).
Pengaruh kerapatan telur lebih nyata terlihat pada tempat yang terbuka, yaitu pada kerapatan telur 50 butir per sarang sangat nyata (P<0,01) lebih baik dibanding dengan kerapatan 40 dan 60 butir per sarang. Pada tempat tertutup pengaruh kerapatan berpengaruh lebih kecil (P<0,05). Hal ini sesuai dengan pernyataan di atas, bahwa pata tempat terbuka lebih banyak mendapat pengaruh-pengaruh ekstrim dari luar, seperti panas matahari dan hujan. Selain itu, perbedaan kerapatan itu sendirijuga akan menimbulkan kelembaban dalam sarang yang berbeda, sehingga terjadi pengaruh yang bervariasi antarkerapatan yang berbeda terhadap persentase tetas, lama penetasan dan laju tetas.
Berdasarkan perbedaan tempat penanaman telur, maka persentase, lama penetasan dan laju tetas telur yang ditanam pada tempat yang teduh sangat nyata lebih baik (P<0,01) dibandingkan ditanam pada tempat yang tidak teduh.
Berdasarkan aspek kerapatan penanaman telur, antarkerapatan penanaman telur pada tempat tidak teduh nampak sangat berpengaruh nyata (P<0,01). Hal ini ditunjukan oleh kerapatan 50 butir per sarang persentase penetasan, lama penetasan dan laju tetas telur sangat nyata lebih baik dibandingakan kerapatan 40 dan 60 butir per sarang. Antarkerapatan pada tempat yang teduh hanya berpengaruh tidak nyata sampai nyata, namunjika dibandingkan dengan tempat terbuka maka kerapatan pada tempat yang teduh sangat nyata lebih baik hasilnya. Kerapatan yang terbaik pada tempat yang teduh yaitu 50 butir per sarang.
Untuk melakukan penetasan telur secara semi alami maka diperlukan atap dan pagar pelindung sehingga penetasan telur lebih aman dan terjamin. Tempat yang berpagar dan beratap dapat melindungi pengeraman telur dari pengaruh-pengaruh lingkungan yang ekstrim.
Daftar Pustaka
Alfiah, H. 1989. Pengaruh Waktu Pemindahan Telur Penyu Hljau (Chelonia mydas L.) terhadap Tingkat Keberhasilan Penetasan Semialami di Pantai Pangumbahan. Jurusan Management Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan, IPB, Bogor. (hlm.39).
Anwari, P. 1986. Studi Masa Inkubasi dan Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hljau (Chelonia mydas L.) secara Alami dan Semi alami di Pantai Citirem, Suaka Margastawa, Cikepuh, Jawa Barat. Fakultas Perikanan, IPB Bogor, (hlm.64).
Clarine, A.Thomas. 2005. Determining Correlation Sea Surface Temperature Chlorophyll Consentration , Quik SCAT Wind Data and the presence of Caretta-caretta and Chelonia mydasin Mid-Atlantic. Undergraduatresearch experience in Ocean Marine and Space Science South Carolina State University Orangeburg, sc 29115, USA.
Limpus, C.J. 1997. Populasi Penyu di Asia Tenggara dan Wilayah Paslfik Barat: Penyebaran dan Statusnya. Makalah Seminar Penelitian dan Pengelolaan Penyu di Indonesia. Jember- Indonesia.
Natih, N.M.N. 1989b. Tingkah Laku Penyu Hijau (Chelonia mydas.L), Melakukan Penelitian Peneluran di PantaiPangumbahan. Jurusan Management Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan IPB. Bogor. (hlm.31).
Nuitja, I.N.S. 1982. Inkubasi dan Keberhasilan Penetasan dalam Inkubasi Buatan terhadap Telur Penyu, Daging, Chelonia mydas.L. Fakultas Perikanan IPB. Bogor. (hlm 31).
___,,___. 1983. Studi Ekologi Peneluran Penyu Daging (Chelonia mydas.L) di Pantai Sukamade, Kabupaten Banyuwangi. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat, Dirjen. Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. (hlm121),.
Sukada, K. 2002. Penetasan Telur Penyu HlJau di Pantai Tanjung Benoa dan Pelepasan Tukik ke Laut. Dalam Upaya Pelestarian Penyu Hijau oleh Team Pelestari Penyu Tanjung Benoa bekerjasama dengan KSDABali.
Sukresno, S.A. 1997. Pemanfaatan Penyu Laut di Indonesia. Makalah Seminar Penelitian dan Pengelolaan Penyu di Indonesia. Jember-Indonesia.
Silalahi, C.P. 1989a. Penyu laut di Indonesia. Laporan Kongres Ilmu PengetahuanNasional Kedua, MIPI. 5 : 571-585.
Silalahi, S. 1989b. Pengaruh Jumlah Telur terhadap Keberhasilan Penetasan Telur Penyu Hfau (Chelonia mydas.L). Jurusan Management Sumberdaya Perairan, Fakultas perikanan, IPB., Bogor. (hlm. 44).
Triwibowo dan Sunandar, T.N. 1990. Upaya Pemanfaatan dan Pelestarian Penyu Laut di Prcpinsi Jawa Timur. Surabaya.
Troeng, S. 1997. Pemanfaatan Penyu di Indonesia. Makalah Seminar Penelitian dan Pengelolaan Penyu di Indonesia. Jember- Indonesia.
60
Discussion and feedback