ANALISIS SOFT SYSTEMS METHODOLOGY (SSM) DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI: STUDI PADA SUNGAI CITARUM JAWA BARAT
on
ANALISIS SOFT SYSTEMS METHODOLOGY (SSM) DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI : studi Padasungaicitarum jawa barat
Sam’un Jaja Raharja
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Jalan Raya Bandung-Sumedang km 21 Jatinangor Sumedang Jawa Barat Email: haija_63@yahoo.com
Abstract
Deferent methods cf watershed management have different technical and organizational problems. First, watershed management approach which was based on admisitrative region had clash of interest and authority. Second, river as resources of flow was not restricted by administrative boundary and technically there were impossible that flow of river stepped or switched to other regions because of the authority of every organization or institution.
Consistent with technical and organizational problems above, watershed management based on space planning or government autonomy tended to be unoptimal, because it was not pararell with nature, characteristics of river flow (hidrologically), nor administrative or technical boundaries. In this condition, a newframe of watershed management needed, which had systemics frames, based on systemtematic thinking. One of tools of analysis which could be applaid was soft systems methodology (SSM).
Key words : administrative region, watershed management, authority, soft systems methodology
Daerah Aliran Sungai Citarum di Jawa Barat memiliki panjang 270 km, luas 11.000 km2 melintasi batas administrasi 10 kabupaten/kota dan lebih dari 9 juta orang hidup di wilayah DAS Citarum. Sepanjang Daerah Aliran Sungai Citarum terdapat tiga waduk besar (Saguling, Cirata, dan Jatiluhur) dan berbagai organisasi yang mengelola atau memanfaatkan. Organisasi tersebut antara lain Balai Pengelola DaerahAliran Sungai Citarum, Balai Besar Wilayah Sungai Citarum, Dinas Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat, Balai Citarum, PDAM dan Perusahaan Umum Jasa Tirta II, petani ikan dan kelompok masyarakat petani (P3A).
Hampir 85 % air digunakan untuk irigasi, suplai domestik (masyarakat lokal dan sumber air baku pemerintah DKI), pembangkit listrik, kebutuhan air industri (sekaligus sarana pembuangan limbah) yang berlokasi sepanjang DAS Citarum mulai dari hulu sampai ke hilir. Kelembagaan pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum didasarkan pada berbagai
peraturan yang saling tumpang tindih dan bertentangan satu dengan yang lain. Dalam kondisi demikian diperlukan suatu pengelolaan sistemik, terpadu, menyeluruh serta melibatkan banyak stakeholder.
Berpikir serbasistem merupakan cara berpikir baru yang memandang permasalahan sebagai keseluruhan, bukan terpisah-pisah (Senge,1996: 6). Hakikat berpikir serbasistem yaitu: (1) menyederhanakan kerumitan dari kompleksitas dunia nyata tanpa kehilangan inti dari sistem itu sendiri, (Aminullah, 2004 : 6) (2) proses belajar, pembelajaran atau proses pembelajaran (learning process) yang mengganti cara berpikir lama dengan cara baru (Hardjosoekarto, 2003 : 43)
Maani dan Cavana membagi pendekatan dalam berpikir serbasistem menjadi dua, yaitu hard systems thinking dan soft systems thinking (Maani and Cavana, 2000:37) So ft systems methodology (SSM)
pada hakekatnya merupakan suatu uraian dengan menggunakan bahasa tertentu yang berisikan pikiran para partisipan dalam mempersepsikan realita. Penerapan metodologi ini didasarkan atas pemahaman dan pandangan partisipan tentang solusi yang mungkin dapat dilaksanakan sesuai dengan yang diinginkan.
Gambar 1: TahapanSSM
Sumber: Chekland and Scholes, hlm. 27
Dalam penerapannya SSM dibagi dalam dua tahapan utama. Pertama, real world dengan 5 langkah. Langkah-langkah tersebut yaitu : (1) Mengkaji situasi masalah yang tidak terstruktur (2) Menyusun atau memetakan situasi masalah (strukturisasi masalah) (5) Membandingkan model konseptual dengan masalah yang telah terstruktur (6) menetapkan perubahan yang diinginkan (7) Melakukan tindakan perbaikan atas masalah. Kedua, systems thinking dengan 2 langkah yaitu langkah ke-3 membangun definisi permasalahan yang diformulasikan dari hasil strukturisasi masalah pada langkah ke-2 tahapan realword dan langkah ke-4 yaitu membuat model konseptual atas dasar hasil definisi permasalahan.
Secara umum ketujuh langkah tersebut dilakukan dalam 6 kegiatan berikut. Pertama, rich picture, yaitu menguraikan situasi yang dipersepsikan sebagai masalah atau menjadi masalah. Dalam tahap berbagai persepsi situasi masalah dikumpulkan dari partisipan dengan berbagai peran dalam situasi masalah tersebut. Kedua, membangun definisi akar permasalahan yaitu memformulasi pandangan tertentu atas situasi dengan menguraikan
sifat dari yang sesuai dengan pandangan atau perspektif yang relevan dengan situasi masalah. Dalam langkah kedua ini diuraikan berbagai perspektif dan ekspresi para partisipan sesuai dengan peran masing-masing dalam situasi. Atas dasar perspektif dan ekspresi tersebut dilakukan analisis permasalahan.
Ketiga, membuat model konseptual yaitu menggambarkan bekerjanya sistem sesuai dengan definisi permasalahan. Sistem dalam gambar tersebut menerima input dan menghasilkan output dalam suatu proses transformasi. Proses transformasi menggambarkan aktivitas dalam sistem dan urutan yang dibutuhkan untuk berlangsungnya proses transformasi tersebut.
Keempat, membandingkan model konseptual dengan dunia nyata. Pada tahap ini model konseptual yang telah dibuat pada langkah ketiga, diajukan dalam suatu diskusi (debat) dengan partisipan. Beberapa pertanyaan penting antara lain apakah aktivitas dalam model sesuai dengan dunia nyata, dan bagaimana model sistem bekerja.
Kelima, mendefinisikan perubahan yang diinginkan dan layak. Dalam langkah ini ditentukan perubahan yang mungkin terhadap situasi masalah yang dihasilkan melalui debat antar partisipasn dalam tiga macam perubahan, yaitu : (1) perubahan prosedur dalam perbaikan aktivitas dalam struktur yang ada, (2) perubahan struktural dalam bentuk re-grouping organisasi, tugas pokok, kewenangan dan tanggung jawab, (3) perubahan sikap dan kultur dalam bentuk pembelajaran, perubahan nilai, norma dan cara berfikir (mindset). Keenam, melakukan tindakan perbaikan. Dalam kegiatan ini dilakukan intervensi perubahan dalam bentuk implementasi model.
Dalam penelitian digunakan metode berfikir serba sistem (systems thinking) yaitu suatu cara untuk memecahkan masalah melalui proses pembelajaran (learning process) dari penggunaan sistem lama ke sistem baru dengan menggunakan pendekatan berpikir serbasistem. Sebagaimana dikemukakan pada tinjauan teoritis, Maani dan Cavana membagi dua pendekatan dalam berpikir serbasistem, yaitu hard systems thinking dan soft systems thinking.(Maani and Cavana, 2000: 177). Selanjutnya Maani dan Cavana dengan mengutip pendapat Pidd, menjelaskan kedua perbedaan tersebut sesuai dengan tujuan. Jika tujuan penelitian
mencari solusi dan rekomendasi, digunakan hard systems. Namun, jika tujuan penelitian pada proses pembelajaran, soft systems lebih cocok. Hardsystems digunakan untuk menganalisis masalah yang telah terstruktur denganjelas sehingga lebih sesuai untuk penelitian denganjenis data kuantitatif. Scft systems digunakan untuk menganalisis masalah yang tidak terstruktur denganjelas dan belum terdefinisi dengan baik, sehingga pendekatan yang digunakan penelitian kualitatif Berdasarkan hal itu, penelitian ini menggunakan metodologi sistem lunak (scft systems methodology) karena termasuk ke dalam penelitian kualitatif.
Soft systems methodology (SSNj) adalah proses penelitian sistemik yang menggunakan model-model sistem (Chekland 1993: 26). Pengembanganmodel sistem tersebut dilakukan dengan melakukan penggalian permasalahan yang tidak terstruktur, mendiskusikan secara intensif dengan pihak terkait, membandingkan konsep systems thinking dengan real world, dan melakukan penyelesaian masalah secara bersama.
Hubungan antarvariabel dalam kerangka sistem sejalan dengan sifat penelitian kualitatif. Neuwman menyatakan bahwa penelitian kualitatif dalam fenomena sosial merupakan sesuatu yang tidak linear, tetapi merupakan siklus dan berulang (Neuwman, 2000: 124). Adapun unit analisis dalam penelitian ini ada pada level organisasi.
Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik diskusi terfokus (focus group discussion) dalam forum diskusi stakeholder DAS Citarum. Selanjutnya dianalisis secara bersama dengan agenda pembahasan sesuai tahapan dalam soft systems methodology (SSN). Untuk merumuskan definisi dasar permasalahan, digunakan analisis yang rumusan Chekland (Flood and Jackson,1990:175) dalam akronim CATWOE (Customers, Actors, Transformation process, World View, Owners, Environmental Constraints), yaitu :
-
• Customers, pihak-pihak yang akan diuntungkan atau dirugikan dari kegiatan pemecahan masalah.
-
• Actors, pihak-pihak yang melaksanakan aktivitas pemecahan masalah.
-
• Transformation process adalah aktivitas mengubah masukan menjadi keluaran.
-
• World view, pemahaman berbagai pihak tentang
makna yang mendalam atas situasi permasalahan.
-
• Owners, pihak yang dapat menghentikan aktivitas organisasi.
-
• Environmental Constraints adalah hambatan dalam lingkungan sistem yang tak dapat dihindari.
Permasalahan dalam pengelolan DaerahAliran Sungai Citarum berkaitan dengan masalah pengorganisasian dan pengelolaan secara terpadu. Secara umum permasalahan tersebut terbagi dalam permasalahan yang saling berkaitan, yaitu : (a) apa dan mengapa terjadi permasalahan (b) apa yang perlu dilakukan dan (c) bagaimana permasalahan itu dapat dipecahkan.
Pertama, berkaitan dengan masalah apa yang menjadi penyebab berbagai permasalahan dalam pengelolaan DAS Citarum. Pertanyaan pokoknya yaitu mengapa pengelolan Daerah Aliran Sungai Citarum fragmentaris, sektoral, dan konflik antar-stakeholder serta tidak terpadu. Kedua, berkaitan dengan apa yang harus dilakukan. Pertanyaan pokoknya yaitu bentuk organisasi apa yang paling optimal yang memayungi semua kepentingan stakeholder. Apa saja yang harus termuat dalam hubungan kerja antar-stakeholder. Faktor apa saja yang mendukung dan menghambat kerjasama supaya sinkron, dan apakah perlu sanksi bagi stakeholder yang tidak partisipatif dan apa bentuk sanksi yang dijatuhkan.
Ketiga, berkaitan dengan bagaimana permasalahan dipecahkan. Pertanyaan pokoknya yaitu bagaimana meningkatkan keterpaduan antar-stakeholder dan bagaimana strategi meningkatkan keterlibatan publik supaya berjalan lebih baik. Bagaimana tata hubungan kerja antar-stakeholder disusun. Pertanyaan selanjutnya bagaimana membangun trust antar-stakeholder, situasi demokratis dalam pengelolaan DAS Citarum dan keseimbangan antara tujuan setiap organisasi dengan tujuan bersama.
Selanjutnya berkaitan dengan strategi pengelolaan DAS Citarum. Pertanyaan pokoknya yaitu bagaimana strategi yang harus disusun agar pengelolaan DAS Citarum berjalan secara sinkron. Bagaimana meningkatkan peran aktif para stakeholder dalam pengawasan dan pengendalian pengelolaan DAS Citarum. Bagaimana meningkatkan efisiensi dan keefektifan pengelolaan DAS Citarum
secara multi stakeholder 1 Bagaimana strategi yang harus dilakukan agar kerja sama antar-stakeholder dapat berjalan efektif. Bagaimana strategi meminimalkan konflik kewenangan, konflik fUngsi dan konflik kepentingan.
Berbagai deskripsi permasalahan sebagaimana dikemukakan di atas dirangkum dalam dua pokok permasalahan pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum. Kedua hal pokok tersebut yaitu Pengorganisasasian dan pengelolaan terpadu.
Deskripsi permasalahan dalam pengorganisasian meliputi beberapa isu penting. Pertama, keterpaduan antar-stakeholder belum berjalan dengan baik karena ketidakjelasan siapa yang termasuk ke dalam stakeholder. Belum ada inventarisasi siapa saja yang termasuk kategori stakeholder DAS Citarum.
Kedua, belum ada organisasi yang secarajelas yang memayungi stakeholder Masing-masing organisasi menginduk pada instansi tertentu, baik yang ada di pusat maupun di daerah. Ketiga, pengelolaan secara keseluruhan DAS Citarum kurang efisien dan kurang efektif karena tumpang tindih peraturan yang mengimbas kepada tugas pokok, fungsi, dan kewenangan secara sendiri-sendiri dari setiap instansi/ organisasi.
Keempat saat ini banyak badan yang mengelola DAS Citarum. Dalam kondisi ini perlu ditetapkan suatu keputusan bersama dalam suatu forum yang menentukan setiap stakeholder pelaksana di lapangan. Dalam keputusan tersebut harus terumus denganjelas, yaitu : (1) forum seperti apa yang akan dibentuk (2) siapa saja yang terlibat (3) tugas pokoknya apa (4) sampai level apa forum perlu dibentuk.
Kelima, kendati banyak instansi/organisasi yang mengelola DAS Citarum, namun jika terjadi persoalan di lapangan yang berdampak cost, cenderung saling lempar tanggung jawab(Pikiran Rakyat 17 Pebruari 2007). Fakta ini secara jelas ditunjukan dalam masalah perbaikan mendadak atas tiga tanggul saluran Citarum di Karawang. Ketika perbaikan secara menyeluruh harus dilakukan, muncul kekusutan tentang siapa yang harus bertanggungjawab. Ketiadaan aturan yangjelas ini menyebabkan instansi saling lempar tanggungjawab apabila timbul persoalan di lapangan, sedangkan di lapangan membutuhkan penangangan upaya segera.
Paparan kasus ini mengindikasikan hal-hal seperti berikut. Pertama, dalam setiap ada masalah
yang muncul terkait dengan Sungai Citarum, setiap instansi saling melempar tanggung jawab; Kedua, setiap instansi tidak mengetahui dan memahami fungsi instansi lain dan antarinstansi tidak ada pembagian kerja yangjelas; Ketiga, koordinasi statis, hanya berjalan ketika ada masalah; Keempat, terjadi ketidakjelasan dan konflik kewenangan karena belum ada aturan yang jelas dan tidak adanya pembagian kewenangan yang sengaja diatur di tingkat daerah (operasional level).
Permasalahan pengelolaan secara terpadu menunjukan temuan lapangan dimana berbagai kondisi yang ada tidak mendorong pengelolaan secara terpadu. Pertama, ketidakterpaduan dan kecenderungan konflik yang tinggi dalam pengelolaan DAS disebabkan oleh tidak sejalannya peraturan antara peraturan pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta banyaknya peraturan daerah-daerah yang belum disempurnakan mengacu kepada peraturan pemerintah yang lebih tinggi. Kedua, terdapat beberapa hambatan utama dalam penyelesaian masalah pengelolaan DAS Citarum secara terpadu, yaitu: (a) belum ada tools keterpaduan kerjasama, (b) orang yang ditugaskan untuk memadukan kegiatan selalu berbeda (c) staf yang diberi tugas untuk menyusun pengelolaan secara terpadu tidak melaporkan ke atasannya, (d) tumpang tindih dalam sektor yang sama, dan (e) belum adanya petunjuk pengelolaan dan adanya gap antara kewenangan pemerintah dan kewenangan publik
Ketiga, kendati sudah dirintis berbagai bentuk kerja sama seperti koordinasi, identifikasi stakeholder, analisis peran, identifikasi isu-isu strategis dan lain-lain. Kesemua yang disebutkan di atas hanya selesai sampai rencana. Bentuk implementasi kerja sama belum terumus denganjelas.
Keempat, belum tumbuhnya trust dalam kerjasama terpadu.karena masing-masing bertumpu pada ego kepentingan dan pertentangan kewenangan. Akibatnya sinergi tidak terjadi, kendati semua menyadari tidak mungkin mengandalkan instansi/organisasi secara sendiri-sendiri.
Kelima, munculnya peran dan posisi antagonis dalam mindset para pemimpin organisasi pengelola Daerah Aliran Sungai Citarum, khususnya instansi pemerintah. Organisasi non pemerintah (LSM) yang concern terhadap pengelolaan DAS Citarum dipandang sebagai “provokator” yang menggiring opini masyarakat ke “proyek minded” manakala
instansi pemerintah me- "launching” suatu kegiatan atau proyek Hal ini menghambat kegiatan yang dilakukan oleh instansi pemerintah tersebut serta rusaknya positioning masyarakat terhadap kegiatan pemerintah yaitu kesan yang muncul dalam pikiran masyarakat ketika pemerintah me-launching suatu kegiatan, sebagai suatu “proyek” dengan tuntutan “ganti untung” yang tinggi.
Pemecahan masalah dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum berdasarkan analisis berfikir sistem dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut Pertama, memperjelas peran setiap stakeholder. Kejelasan peran ini akan membantu permasalahan kewenangan, siapa, berbuat apa dan bilamana. Kedua, untuk meningkatkan koordinasi antar-stakeholder supaya lebih baik, diperlukan wadah organisasi. Bentuk wadah organisasi tersebut harus optimal sehingga dapat memayungi semua kepentingan stakeholder. Ketiga, menata ulang hubungan kerja antar-stakeholder dengan lebih baik. Dalam tata hubungan tersebut termuat hak dan kewajiban setiap stakeholder, serta aturan main yang jelas Keempat, dalam meningkatkan efisiensi dan keefektifan pengelolaan DAS Citarum dilakukan dengan cara menginventariskan kembali peran dan tugas pokok dan fungsi masing-masing
Kelima, merumuskan peran dan keterkaitan aktivitas instansi dalam perencanaan, pengorganisasian, pembiayaan, pelaksanaan, dan pengawasan pengendalian. Keterkaitan tersebut meliputi (1) watershed management (pengelolaan DAS); perencanaan dan pemanfaatan lahan dan pengendalian tata ruang, hulu-hilir, rehabilitasi hutan; (2) water resources management (pengelolaan jaringan sumber air) meliputi sarana dan prasarana sumber air dan lingkungannya, pengelolaan kualitas air dan pengendalian banjir dan (3) water use management (pengelolaan penggunaan air) meliputi irigasi, penghematan air, pengelolaan limbah, dan pengendalian pencemaran.
Selanjutnya strukturisasi permasalahan dalam pengelolaan DaerahAliran Sungai Citarum meliputi dua aspek terpenting yaitu aspek pengorganisasian dan aspek pengelolaan terpadu. Hal tersebut tergambar seperti berikut.
-
• Hubungan kerja antarinstansi belum terstruktur dengan baik dan hubungan antarorganisasi belum tertata dengan baik sehingga menghasilkan suatu relasi yang belum efektif.
-
• Singkronisasi dari setiap kegiatan belum berjalan secara baik dan dan upaya sinkronisasi belum berjalan dengan optimal.
-
• Keefektifan dan frekuensi komunikasi antar-stakeholder masih rendah.
-
• Pada keseluruhan organisasi yang terlibat dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum belum memperlihatkan pembagian tugas secara sistematis, khususnya pada organisasi non-state.
-
• Stakeholder Power yang kuat tidak dibarengi dengan aransemen kerja sama yang optimal di mana rumusan kerja sama tidakjelas dan sangat tergantung kepada peraturan yang lebih tinggi (legalistik).
-
• Trust antar-stakeholder tinggi, tetapi tidak diimbangi dengan integritas dan keteguhan untuk memegang kesekapakatan, hanya sepanjang menguntungkan organisasi sendiri .
-
• Tujuan bersama dan tujuan setiap organisasi tidak saling memberikan dukungan satu dengan lainnya sehingga berjalan secara pararel-individual, tidak serial-kolektif.
-
• Interaksi antaraktor tidak berjalan secara teratur, hanya berdasarkan kebutuhan saja. Dinamika dan tingkat kehadiran partisipan dalam pertemuan interaktifjuga rendah.
-
• Komitmen setiap organisai hanya pada tataran kesiapan lisan, tidak diimbangi dengan stamina.
-
• Struktur dan kapasitas setiap organisasi tidak sama sehingga memengaruhi komitmen dan stamina.
-
• Instrumen dan aransemen kerja sama seperti pengumpulan informasi masih bersifat pasif. Beban biaya dan tenaga atas pengumpulan informasi tidak ditanggung bersama, namun oleh instansi yang memerlukan informasi tersebut
-
• Collaborative governance dalam bentuk pengaturan pekerjaan bersama tidak teratur, tidak terumus denganjelas dan tidak ada upaya untuk merinci pengaturan tersebut.
Sementara itu, pendefinisian sistem permasalahan diawali dengan menggali persepsi dari para stakeholder. Definisi sistem permasalahan pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum
dirumuskan dalam,focus group discussion dengan stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum.
ClientZCustomers pada definisi sistem permasalahan pengorganisasia pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum yaitu masyarakat umum, industri pengguna air dan, petani irigasi dan petani di sepanjang sempadan sungai. Sebagai klien menerima semua konsekuensi atas pengorganisasi pengelolaan DAS Citarum yang ditetapkan para pengelola DAS Citarum yang berperan sebaga actor.
Berkaitan dengan pengelolaan DAS Citarum terjadi duplikasi instansi. BBWS Citarum merupakan instansi vertikal yang mengacu kepada pembagian yang bersifat sentralisasi. Acuan tugas pokok dan fungsinya didasarkan atas Undang-Undang Nomor
7 tahun 2004 tentang SumberdayaAir. Balai Citarum merupakan perangkat organisasi Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Acuan tugas pokok dan fungsinya yaitu Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentan Pemerintahan Daerah. Dengan demikian baik pemerintah pusat melalui perangkat BBWS Citarum maupun Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Balai Citarum sama-sama berperan sebagai owners. Di sini barangkali terjadinya duplikasi dan tafsiran yang berbeda berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 yang menjadikannya sebagai salah satu hambatan (environmental constraint) dalam pengorganisasian pengelolaan DaerahAliran Sungai Citarum. Selanjutnya definisi sistem permasalahan dalam Pengelolaan secara terpadu dijabarkkan dalam tabel 2.
Tabel 1 Definisi Sistem Permasalahan dalam Pengorganisasian Pengelolaan DaerahAliran Sungai Citarum
No |
Komponen Sistem Permasalahan |
Hasil Definisi Sistem Permasalahan |
1 |
Client/Customers |
Masyarakat umum, industri pengguna air Citarum, petani pemakai air (irigasi) dan petani di sempadan sungai |
2 |
Actors |
Instansi/organisasi yang terlibat dalam pengelolaan DAS Citarum |
3 |
Tranformation Process |
Terwujudnya wadah/ bingkai organisasi yang mengakomodasi dan mengikat semua pihak |
4 |
Worldview |
Tersusunnya tata hubungan kerja yang jelas dan melembaga antarorganisasi yang terlibat dalam pengelolaan DAS Citarum |
5 |
Owners |
Pemerintah Pusat, BBWS dan BPDAS, Balai Citarum |
6 |
Environmental Constraint |
Pemahaman tentang tugas pokok, fungsi masing-masing instansi dan penafsiran atas berbagai peraturan perundangan khususnya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah |
Tabel 2 Definisi Sistem Permasalahan dalam Pengelolaan Secara Terpadu
No |
Komponen Sistem Permasalahan |
Hasil Definisi Sistem Permasalahan |
1 |
Client/Customers |
Stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan DAS Citarum |
2 |
Actors |
BBWS, DPSDA, BPDAS, Dinas Kehutanan, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup |
3 |
Tranformation Process |
Terciptanya trust antar-stakeholder, aransemen kerja sama, interaksi dinamis serta dukungan dan komitmen semua stakeholder dalam pengelolaan DAS Citarum |
4 |
Worldview |
Terwujudnya kolaborasi dalam pengelolaan DAS Citarum |
5 |
Owners |
Stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan DAS Citarum |
6 |
Environmental Constraint |
Komitmen dan pemahaman atas tugas pokok, fungsi dan peran masing-masing yang cenderung ego sektoral |
ClientZCustomers dan owners pada definisi sistem permasalahan proses pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum secara terpadu adalah semua stakeholder yang terlibat. Mengapa demikian? Kolaborasi pada dasarnya ialah kerja sama berbagai pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan DaerahAliran Sungai Citarum. Dalam hal ini semua pihak yang terlibat baik dalam posisi sebagai regulator, operator, user, maupun publik yaitu pihak-pihak yang berkepentingan. Dengan demikian, semua pihak tersebut yaitu customer karena merekalah yang akan diuntungkan atau dirugikan oleh berjalan atau tidak berjalannya pengelolaan secara terpadu atas DaerahAliran Sungai Citarum.
Walupun demikian, proses terwujudnya pengelolaan yang terpadu masih dihambat lingkungan (environmental constraint). Hambatan tersebut antara lain berupa komitmen yang rendah, kurangnya pemahaman atas tugas pokok dan fungsi instansi lain, ego sektoral dan orientasi kepada arahan dari instansi yang lebih tinggi.
Pembangunan model konseptual ditujukan untuk menggambarkan situasi permasalahan yang terjadi. Pemecahan dalam masalah model konseptual yang merupakan transformasi dari root definition
Model konseptual sistem pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum yang dimuat dalam ringkasan ini yaitu model konseptual pengorganisasian dan model konseptual proses pengelolaan terpadu kolaborasi. Elaborasi dalam setiap konsep terdapat tiga hal utama, yaitu: (1) realitas (2) kerangka berpikir serbasistem untuk memecahkan masalah (3) keefektifan yang ingin dicapai dengan berpikir serbasistem
Realitas masalah dalam pengorganisasian pengelolaan DaerahAliran Sungai Citarum menjadi sesuatu yang sangat kompleks. Pertama, banyaknya instansi dan organisasi yang terlibat dan berkepentingan terhadap keberadaan Daerah Aliran Sungai Citarum, baik organisasi pemerintah maupun

Gambar 2 Model Konseptual Pengorganisasian Pengelolaan DaerahAliran Sungai Citarum
organisasi swasta dan masyarakat pada umumnya. Kedua, ekspresi organisasi didasarkan pada kepentingan sektoral masing-masing (inward looking) atau ego sektoral sesuai dengan visi, misi instansi organisasi yang bersangkutan. Ketiga, belum adanya wadah terpadu yang secara jelas mengatur tugas pokok fungsi dan peran setiap instansi/organisasi.
Dengan pendekatan kerangka berpikir serbasistem solusi masalah pengorganisasian dilakukan melalui beberapa langkah. Pertama, mengidentifikasi model organisasi pengelolaan Daerah Aliran Sungai berdasarkan pendekatan pengelolaan Sumber Daya Air terpadu (integrated water resources management). Langkah ini dilakukan dengan menyelenggarakan suatu kegiatan, yaitu : (1) pengkajian dan konsultasi publik atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber DayaAir (2) pengkajian undang-undang lain yang relevan sebagai acuan penyelenggaraan pengelolaan (3) melakukan inventarisasi dan identifikasi stakeholder yang saat ini mengelola DAS
Citarum baik itu instansi pemerintah, dunia bisnia maupun organisasi kemasyarakatan lainnya.
Kedua, berbagai persoalan pengorganisasian tersebut di atas diatasi dengan alternatif pemikiran dari bawah (bottom up) seperti dengan cara mengkaji model pengelolaan Forum DAS Citarum, Citarum Bergetar dan bentuk lainnya. Pendekatan yuridis normatif yang berasal dari atas, yaitu kebijakan organisasi pengelolaan berbasis wilayah administrasi dan wilayah sungai dipadukan dengan aspirasi dari bawah
Ketiga, mengkaji terhadap berbagai gagasan model pengelolaan seperti forum DAS dan Citarum Bergetar dan kajian dan identifikasi atas model-model pengorganisasian yang efektif secara teoretis dan mengidentifikasi masalah-masalah dalam hubungan dan tata kerja antarorganisasi pengelola Daerah Aliran Sungai Citarum. Hasil kajian kemudian dikomparasikan antara tata hubungan kerja antarorganisasi yang berjalan saat ini dengan tata kerja organisasi antarpengelola yang diharapkan.

Gambar 3 ModelKonseptualPengelolaanSecaraTerpadu Pengelolaan DaerahAliranSungaiCitarum
Proses pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum secara terpadu dimulai dengan memahami realitas masalah. Pertama, adanya Resalingtergantungan antarorganisasi yang terlibat dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum. Kedua, pengelolaan DAS Citarum saat ini belum optimal. Ketiga, adanya keinginan melaksanakan pengelolaan secara terpadu, interdependen dan winwin solutions.
Realitas masalah menunjukkan pengelolaan DaerahAliran Sungai Citarum menunjukkan model pengelolaan yang terkotak-kotak dan belum terpadu. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan tujuan, tidak ada leading sector yang secara normatif maupun efektif memainkan peran, sehingga tidak terjadi kerja sama antarorganisasi
Realitas masalah dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum menunjukan hal yang paradoks. Pertama, instansi atau organisasi yang terlibat dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum saling terkait satu sama lain terutama dalam hal memenuhi kepentingan setiap instansi/ organisasi. Secara teoretis pihak-pihak yang memiliki kepentingan yang sama (seharusnya) akan saling mendekat untuk secara bersama-sama bekerja dalam suatu wadah organisasi. Kedua, sampai saat ini tidak ada organisasi yang secara efektif berfungsi mewadahi berbagai kepentingan tersebut sehingga kerja sama yang dijalankan tidak berjalan secara optimal.
Hasil identifikasi memperlihatkan bahwa semua instansi dan organisasi yang terlibat dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum menunjukkan komitmen dan stamina yang rendah. Komitmen dan stamina yang rendah disebabkan oleh : (1) belum adanya sense of belonging yang tinggi, (2) tidak ada satu pun dari stakeholder yang terlibat menjalankan peran mengawal komitmen, sehingga tidak ada jaminan setiap stakeholder konsisten menjalankan kesepakatan bersama.
Hasil rumusan yang optimal dikaji dan dielaborasi dalam bentuk kriteria dan indikator-indikator kerja sama secara lebih nyata dan terukur. Hasil elaborasi kemudian dibandingkan dengan kriteria tiap organisasi sehingga dihasilkan rumusan kriteria dan indikator yang mencerminkan kepentingan semua pihak. Namun sampai dengan saat ini kriteria dan indikator kerja sama yang nyata dan terukur belum terumuskan secara jelas. Dalam beberapa diskusi secara informal dengan beberapa
narasumber, kriteria dan indikator kerja sama belum terumuskan karena bentuk dan arah kerja sama tidak pernahjelas dan konkret.
Perdebatan untuk menentukan kriteria dan tolok ukur keterpaduan yang efektif efektif belum berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan oleh (1) frekuensi dan kualitas interaksi antaraktor yang rendah (2) agenda yang dibahas sangat dibatasi dalam jumlah dan waktu (3) interaksi dalam bentuk rapat formal sehingga kurang memberikan atmosfer yang dinamis dan interaktif.
Karena itu, tolok ukur keberhasilan proses kerjasama yang terpadu dalam pengelolaan DAS Citarum belum menghasilkan kriteria yang optimal. Sebagai hasilnya, tolok ukur sebagai alat untuk memantau konsistensi dan ketaatan stakeholder untuk melakukan kerja sama yang terpadu sesuai dengan kesepakatan bersama belum memadai. Dengan demikian, dalam dunia nyata (real world) pengelolaan DAS Citarum secara terpadu belum terlihat secara nyata.
-
1) Analisis berfikir serbasistem/soft systems methodology pada pengelolaan DAS Citarum menunjukkan ciri-ciri tidak sistemik dan ciri-ciri organisasi yang mengalami ketidakmampuan belajar. (a) Setiap stakeholder cenderung berposisi pada sudut pandang atau kepentingan sendiri. (b) Penyelesaian permasalahan dalam pengelolaan DAS Citarum cenderung parsial-teknikal, tidak struktural-kultural dan tidak merubah mindset. (c) Dalam praktek pengelolan DAS Citarum pada aspek tertentu (pengendalian) sering terjadi peralihan sumberdaya untuk kepentingan yang lain. pengalihan ini menunjukkan bahwa persoalan pengelolaan DAS Citarum bukan prioritas dan bukan sesuatu yang harus ditangani segera. (d) Visi bersama pengelolaan DAS Citarum tidak sampai pada tataran implementasi. Dalam bahasa yang lain terjadi ambivalensi ideologis vs teknis.
-
2) Keefektifan pengelolaan secara terpadu dapat dicapai jika : (a) para stakeholder aktif berpartisipasi dalam pengelolaan daerah aliran sungai secara mandiri yang diperlihatkan dalam kemampuan menyiapkan struktur dan kapasitas setiap organisasi, (b) memelihara trust dan tidak menyembunyikan agenda tertentu (hidden
agenda), dan (c) konsisten dengan komitmen kesepakatan yang telah dibuat bersama dengan tetap bekerja sama sampai dengan kerja sama itu sendiri bubar atau berhenti berdasarkan kesepakatan.
Saran
-
1) Perlu perubahan cara berpikir lama (old mindset) stakeholder ke cara berpikir baru (new mindset) dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum. Perubahan mindset ini meliputi tiga tataran. Pertama, pada tataran penyusun kebijakan. Perubahan cara berfikir yang diperlukan adalah perubahan paradigma lama government ke paradigma baru governance sebagai cara berfikir baru yang harus digunakan (relearn). Kedua, pada tataran pelaksana kebijakan perlu perubahan cara berpikir lama yang ego sektoral ke cara berpikir baru yang serbasistem yang melihat DaerahAliran Sungai Citarum sebagai suatu yang utuh dalam satu kesatuan pengelolaan yang terpadu. Ketiga, perubahan pada tataran masyarakat (society
dalam bentu perubahan mindset untuk melihat persoalan pengelolaan DAS sebagai masalah bersama.
-
2) Proses untuk mengubah cara berpikir lama ke cara berpikir baru dilakukan dengan cara; Pertama, menggunakan analisis CATWOE untuk mendefinisikan permasalahan pengelolaan DAS Citarum sehinggajelas siapa berposisi sebagai customer, actor, owner, proses transformasi, pandangan dan persepsi partisipan yang terlibat serta hambatan lingkungan yang dihadapi. Kedua, mencerapkan pemahaman tidak terpisahkannya posisi C (customer) dengan A (actor) dan O (owners). Dengan pemosisian C, A dan O pada stakeholder yang sama membawa implikasi kepada perubahan cara berfikir (mindset) dalam memandang permasalahan Daerah Aliran Sungai Citarum. Permasalahan hanya dapat dipecahkan oleh stakeholder sebagai O (owners), yang dilaksanakan oleh stakeholder sebagai A (actor) untuk kepentingan stakeholder itu sendiri sebagai C (customer)
Daftar Kepustakaan
Aminullah, E. 2004. Beifikir Sistemik: UntukPembuatan Kebljakan Publik, Bisnis dan Ekonomi. Penerbit PPM, Jakarta
Bungin, Burhan, (ed) .2003. “Focus Group Discussion untuk Analisis Data Kualitatif ”dalam Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filoscfis dan Metodologis Ke ArahPenguasaan ModelAplikasi, Penerbit Raja Grafindo Perkasa, Jakarta,
Chekland, Peter. 1993. Systems Thinking, Systems Practice. John Willey and Sons, NewYork,
.1999. Soft Systems Methodology : a 30-year restropective, John Wiley and Sons, New York.
Chekland, Peter , and Jim Scholes. 1990. Soft System Methodology InAction. John Wiley and Sons, New York.
Flood, Robert L. and Michael C. Jackson. 1991. Creative Problem Solving: Total Systems Intervention, John Willey and Sons, New York..
Hardjosoekarto, Sudarsono. 2003. Krisis di Mata Presiden: Kaidah Betfikir Sistem Para Pemimpin Bangsa. Penerbit Mata Bangsa, Yogyakarta.
Maani, Kambiz E and Robert Y Cavana. 2000. System Thinking and Modelling Understanding Change and Complexity. Pearson Education, New Zealand.
Senge, Peter M..1996. Disiplin Kelima : Seni dan Praktek OrganisasiPembelcjar (alih bahasa Nunuk Adriani), Binarupa Aksara, Jakarta.
.2002. Buku Pegangan Disiplin Kelima: Strategi dan Alat Untuk Membangun Organisasi Pembelajar (alih bahasa Hari Suminto), Interaksara, Jakarta.
29
Discussion and feedback