Jurnal Bumi Lestari, Volume 18, Nomor 2, Tahun 2018, Halaman 75-87

Perbandingan Kebutuhan Koagulan Al2(So4)3 dan PAC Untuk Pengolahan Air Bersih Di WTP Sungai Ciapus

Kampus IPB Dramaga

Pasca Eka Prasetya a*, Satyanto Krido Saptomo a

a Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Jln. Kamper, Kampus IPB Darmaga, Bogor, 16680

*Email: [email protected]

Diterima (received) 23 April 2018; disetujui (accepted) 30 Juli 2018; tersedia secara online (available online) 1 Agustus 2018

Abstract

Water Treatment Plant (WTP) IPB process water from Ciapus River by water purifying process before distributed to consumers. The type of coagulant used is Al2(SO4)3 (aluminum sulfate) or alum and Polyaluminium Chloride (PAC). This study aimed to compare the water quality by using coagulant Al2(SO4)3 and PAC in WTP Ciapus River IPB Dramaga and to find out the optimum dosage of coagulant alum and PAC . This study used a test jar method and ISO (SNI) for the analysis of physical and chemical parameters of water. Based on the results of research, PAC was better than alum with the optimum dose of 20 ppm which produces 0.22 NTU of turbidity, 1 mg/l of TSS and 150 mg/l of TDS. While the optimum dose of alum was 20 ppm which generates 0.49 NTU of turbidity, 0 mg/l of TSS and 164 mg/l of TDS. Average costs for the use of coagulant alum and PAC were Rp. 95/m3 and Rp 215/m3, while the average value of the efficient used of coagulant alum and PAC were 91.34% and 83%. The results of both coagulants meets the criteria of water quality standards in accordance with Regulation of the Minister of Health No. 429 of 2010.

Keywords: Jar test; coagulants; PAC; alum; water treatment plant

Abstrak

Water treatment plant (WTP) IPB mengolah air dari Sungai Ciapus melalui proses penjernihan air sebelum didistribusikan kepada konsumen. Jenis koagulan yang digunakan adalah Al2(SO4)3 (aluminium sulfat) atau tawas dan Polyaluminium Chloride (PAC). Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kualitas air dengan menggunakan koagulan Al2(SO4)3 dan PAC di WTP Sungai Ciapus kampus IPB Darmaga serta mengidentifikasi dosis optimum dari koagulan tawas dan PAC. Penelitian ini menggunakan metode jar test dan SNI untuk analisis parameter fisika dan kimia air. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, PAC lebih baik dibandingkan tawas dengan dosis optimum sebesar 20 ppm yang menghasilkan kekeruhan sebesar 0.22 NTU, TSS sebesar 1 mg/l dan TDS sebesar 150 mg/l. Sedangkan tawas dosis optimumnya 20 ppm yang menghasilkan nilai kekeruhan 0.49 NTU, TSS 0 mg/l dan TDS sebesar 164 mg/l. Biaya rata – rata untuk penggunaan koagulan tawas dan PAC adalah sebesar Rp. 95/m3 dan Rp 215/m3, sedangkan rata – rata nilai efisiensi penggunaan koagulan tawas dan PAC adalah 91.34% dan 83%. Hasil kedua koagulan memenuhi kriteria baku mutu kualitas air bersih menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 429

Tahun 2010.

Kata Kunci: jar test; koagulan; PAC; tawas; pengolahan air bersih

  • 1.    Pendahuluan

Kualitas air merupakan syarat untuk kualitas kesehatan manusia, karena tingkat kualitas air dapat digunakan sebagai indikator tingkat kesehatan masyarakat. WTP (water treatment plant) IPB

doi: https://doi.org/10.24843/blje.2018.v18.i02.p05


© 2018 by the authors; Content from this work may be used under the terms of the Creative Commons Attribution 3.0 licence. Any further distribution of this work must maintain attribution to the author(s) and the title of the work, journal citation and DOI. Published under licence by Udayana University, Indonesia.

menggunakan Sungai Ciapus sebagai sumber air. Air yang berasal dari Sungai Ciapus akan melewati unit pengolahan air sebagai proses untuk penjernihan air agar didistribusikan kepada konsumen. WTP IPB Sungai Ciapus melayani distribusi air untuk asrama putra, asrama putri, dan perumahan dosen. Salah satu unit yang berperan penting dalam proses penjernihan air adalah bak koagulasi. Pada bagian unit ini, penambahan zat kimia (koagulan) dilakukan untuk mempercepat pengendapan partikel-partikel kecil di dalam air. Jenis koagulan yang digunakan adalah Al2(SO4)3 atau tawas. Namun penambahan koagulan sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan yang menyebabkan air menjadi keruh dan bau di bagian output. Perlu dilakukan evaluasi penggunaan zat kimia pada unit koagulan agar kualitas air yang dihasilkan oleh WTP IPB Ciapus dapat digunakan untuk kegiatan MCK, dikonsumsi, dan sesuai dengan baku mutu. Analisis dapat dilakukan dengan menggunakan alat jar test. Jenis koagulan juga mempengaruhi tingkat kualitas air baku pada Instalasi Pengolahan Air (water treatment plant). Koagulan adalah bahan kimia yang ditambahkan untuk mendestabilisasi partikel koloid dalam air agar flok dapat terbentuk (Ebeling et al., 2004).

Pada umumnya koagulan yang paling sering digunakan adalah Aluminium Sulfat atau biasanya sering disebut tawas. Tetapi saat ini telah ditemukan koagulan yang lebih baik kinerjanya dari pada menggunakan tawas yaitu Poly Aluminium Chloride (PAC). Jika dibandingkan dengan penggunaan koagulan Aluminium Sulfat, PAC memiliki beberapa keuntungan yaitu korosivitasnya rendah, flok yang dihasilkan lebih mudah untuk dipisahkan dan pH air hasil pengolahannnya tidak terlalu rendah (Budiman et al 2008). Kualitas air ditentukan berdasarkan keadaan air dalam keadaan normal dan bila terjadi penyimpangan dari keadaan normal disebut sebagai air yang mengalami pencemaran atau disebut air terpolusi. Analisis penentuan kualitas air sangat penting bagi pengguna air sebagai informasi tentang keberadaan senyawa kimia yang terkandung di dalam air (Situmorang 2007). Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perbandingan kualitas air bersih hasil pengolahan dengan menggunakan koagulan Al2(SO4)3 dan PAC di WTP Sungai Ciapus kampus IPB Dramaga serta mengidentifikasi dosis optimum dan efisiensi dari masing-masing koagulan.

  • 2.    Metode Penelitian

Alat yang digunakan pada penelitian ini mencakup laptop yang dilengkapi software Microsoft Excel dan dirigen 20 liter. Serta alat – alat laboratorium seperti spektrofotometer, pH meter, turbiditymeter, jar test, oven, timbangan analitik, gelas piala, gelas Erlenmeyer, pipet ukur, pipet volume, gelas ukur dan cawan petri. Sedangkan bahan yang digunakan adalah koagulan PAC, tawas, akuades, air WTP ciapus dan bahan kimia untuk pengujian parameter ammoniak dan nitrit. Alat dan bahan ditunjukkan pada Tabel 1.

Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap . Metode sampling digunakan untuk mendapatkan nilai dari parameter yang akan diukur. Pada penelitian ini, sampling diambil pada in take Instalasi Pengolahan Air Ciapus sebelum menuju reservoir. Pada titik sampling dilakukan pengambilan contoh uji air sebesar 20 liter. Setelah contoh air terkumpul, air dihomogenkan dalam satu wadah. Air yang telah homogen, diletakkan di ruang terbuka agar terjadi proses evaporasi yaitu perubahan fase cair menjadi uap untuk menghilangkan kandungan organik dalam air. Pengujian jar test menghasilkan dosis koagulan optimum. Pengambilan sample air dilakukan bulan Maret sampai dengan bulan Juni dengan tujuan didapat data variasi waktu peralihan musim.

  • 2.1.    Penentuan Karakteristik Air Bersih

Pengukuran karakteristik air dilakukan dengan menghomogenkan contoh uji air terlebih dahulu menggunakan stirer selama 15 menit. Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter digital. Pengukuran pH ini berpedoman pada SNI 06-6989.11-2004 (BSN 2004c). Setelah itu dilakukan analisa parameter ammoniak dan nitrit terhadap air baku. Untuk menguji parameter ammoniak berpedoman pada SNI 06-6989.30-2005 (BSN 2005b). Analisa parameter nitrit berpedoman pada SNI 06-6989.9-2004 (BSN 2004b). Pengukuran zat padat tersuspensi (Total Suspended Solid / TSS) dilakukan dengan menggunakan kertas saring Whatman Grade 934 AH yang telah dikeringkan dalam oven dengan suhu

103-105 0C. Pengujian TSS berpedoman pada SNI 06-6989.3-2004 (BSN 2004a). Pengukuran zat padat terlarut (Total Disolve Solid / TDS) dilakukan dengan menggunakan kertas saring Whatman Grade 934 AH yang telah dikeringkan dalam, oven dengan suhu 103-105 oc dan cawan yang telah dipanaskan pada suhu 180 oc. Pengujian TDS berpedoman pada SNI 06-6989.27-2005 (BSN 2005a).

Tabel 1. Alat dan bahan penelitian

Alat

Bahan

Perangkat Microsoft Excel Jar Test pH meter Seperangkat komputer Spectrofotometer Turbidity meter Gelas piala Erlenmeyer Oven

Timbangan Analitik Cawan

Vacum

Air WTP Ciapus Bahan – bahan kimia Tawas (Al2(SO4)3) Akuades PAC

Kertas saring

Desikator

  • 2.2.    Jar Test

Uji laboratorium untuk proses koagulasi pada pengolahan air bersih dilakukan dengan metode jar test. Pengujian jar test yang dilakukan untuk membandingkan kinerja koagulan yang digunakan untuk mengendapkan padatan tersuspensi pada air sungai Ciapus di unit Instalasi Pengolahan Air IPB. Koagulan yang digunakan pada penelitian ini yaitu aluminium sulfat/alum atau tawas (Al2(SO4)3) dan PAC. Konsentrasi koagulan harus ditentukan sebelum pengujian jar test. Pada penelitian kali ini akan digunakan konsentrasi koagulan sebanyak 1%. Konsentrasi koagulan pada larutan alum tidak digunakan terlalu besar karena pada air sungai kandungan polutannya tidak sebesar pada air limbah. Pada pembuatan koagulan tawas 1 %, 10 gram bubuk tawas dilarutkan ke dalam 1000 ml air suling. Setiap 1 ml larutan alum 1 % terdapat 10 mg koagulan. Pembuatan larutan koagulan PAC sama dengan pembuatan larutan tawas.

Pada pengujian jar test ini, contoh uji air dipindahkan ke dalam gelas ukur dengan penambahan variasi konsentrasi koagulan yang berbeda. Kemudian, pengadukan cepat (rapid mixing) dengan kecepatan 100 rpm dan pengadukan lambat (slow mixing) dengan kecepatan 20 rpm. Setelah itu larutan didiamkan mengendap selama 30 menit dan kemudian fase cairan yang terbentuk setelah proses pengendapan dianalisis untuk mengetahui dosis optimum koagulan pada contoh uji.. Dengan menggunakan grafik di Microsoft Excel dilakukan perbandingan antara turbiditas dan pH sesuai dengan nilai yang diperoleh dari pencatatan hasil jar test. Grafik dibuat dengan membandingkan nilai sebelum dan sesudah dilakukan jar test atau pembubuhan koagulan. Dari grafik yang diperoleh dilakukan perhitungan efisiensi dosis optimumnya. Nilai efisiensi diperoleh dengan menggunakan persamaan (1).

η sebelum - η sesudah ,   ,

η = ------------------× 100%

(1)


η sebelum

dimana η adalah nilai kekeruhan (NTU).

Setelah diketahui dosis koagulan yang akan digunakan dan efisiensinya, maka akan dihitung jumlah koagulan yang akan digunakan dalam satuan kg/jam serta biaya yang dibutuhkan. Rumus yang akan digunakan untuk menghitung jumlah koagulan adalah persamaan (2) (Sugiarto 2006).

x =


Q × D

106


(2)


dimana x adalah jumlah koagulan (kg/jam); Q adalah debit intake (liter/jam); dan D adalah dosis koagulan (mg/liter).

  • 3.    Hasil dan Pembahasan
    • 3.1.    Kondisi Parameter Fisik Air di intake WTP IPB Ciapus

Sungai merupakan salah satu sumber air baku yang berada di permukaan (Mori 1999). Air baku yang berasal dari aliran sungai akan mengalir masuk ke bangunan penampung atau bangunan penyadap (intake). Intake atau bangunan penyadap adalah suatu unit yang berfungsi untuk menyadap atau mengambil air baku dari badan air sesuai dengan debit yang diperlukan untuk pengolahan (Utomo 2011. Nilai turbiditas dan TSS di intake WTP IPB Ciapus tersaji pada Gambar 1. Berdasarkan Gambar 1, terlihat nilai kekeruhan pada intake WTP IPB Ciapus mengalami perubahan. Turbiditas adalah kandungan bahan organic dan anorganik dalam air, sedangkan TSS (total suspended solid) adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak dapat mengendap langsung (Fardiaz 1992).

Gambar 1. Nilai kekeruhan dan TSS di intake WTP IPB Ciapus


Nilai turbiditas yang tinggi terjadi pada tanggal 19 April dengan nilai turbiditas sebesar 29.2 NTU. Sedangkan untuk nilai TSS yang paling tinggi terjadi pada tanggal 21 Maret yaitu sebesar 37 mg/l. Nilai turbiditas dan TSS cenderung semakin turun dikarenakan intensitas hujan yang mulai berkurang dan level permukaan air sungai di intake dalam kondisi rendah. Berdasarkan Gambar 3, nilai TSS pada tanggal 19 April mengalami penurunan yaitu sebesar 12 NTU sedangkan untuk nilai kekeruhannya mengalami kenaikan. Hal ini terjadi dikarenakan kondisi permukaan sungai pada tangaal 19 April terhitung paling tingi dan kondisi sedang turun hujan sehingga kondisi air menjadi sangat keruh. Menurut Fardiaz (1992), nilai kekeruhan tidak dapat dikonversi menjadi nilai TSS. Hal ini dikarenakan TSS merupakan zat – zat padat yang terdapat pada suspensi yang dapat dibedakan menurut ukurannya menjadi partikel koloid dan partikel biasa. Penyebab nilai kekeruhan mengalami kenaikan adalah pada tanggal 19 April jenis partikel yang terdapat didalam air sebagian besar adalah partikel berjenis koloid. Partikel koloid merupakan jenis partikel penyebab kekeruhan karena menyebabkan terjadinya efek tyndall ketika dilakukan pengukuran kekeruhan. Kekeruhan diukur dengan turbiditimeter dengan metode pembiasan cahaya secara optik.

Parameter fisika lainnya yang di ukur adalah suhu. Suhu memegang peranan penting dalam berbagai aktivitas kimia dan fisika perairan. Aktivitas kimia dan fisika seringkali mengalami peningkatan dengan

naiknya suhu. Mahida (1984) menyatakan bahwa tingkat oksidasi senyawa organik jauh lebih besar pada suhu tinggi dibanding pada suhu rendah. Suhu di intake WTP IPB Ciapus tersaji pada Gambar 2. Berdasarkan Gambar 2 nilai suhu di intake WTP IPB Ciapus selalu mengalami perubahan. Hal ini juga dikarenakan kondisi sungai Ciapus yang berubah – berubah mulai dari kedalaman hingga debitnya. Nilau suhu tertinggi terdapat pada tanggal 19 April dengan nilai 29°C, sedangkan suhu terendah terdapat pada tanggal 2 Mei yaitu sebesar 27.5°C. Suhu air di sungai lebih bervariasi dibanding perairan pantai di sekitarnya. Hal ini dipengaruhi oleh luas permukaan dan volume airnya. Pada sungai yang memiliki volume air yang besar dapat ditemukan suhu vertikal. Kisaran suhu terbesar terdapat pada permukaan perairan dan akan semakin kecil mengikuti kedalaman (Clark 1974).

Gambar 2. Nilai suhu di intake WTP IPB Ciapus

Gambar 3. Nilai pH di intake WTP IPB Ciapus

  • 3.2.    Kondisi Parameter Kimia Air di Intake WTP IPB Ciapus

Selain parameter fisik, parameter kimia juga merupakan faktor penentu kondisi air baku. Karakteristik kimia air meliputi pH, DO (dissolved oxygent), BOD (biological oxygent demand), COD (chemical oxygent demand), kesadahan, dan senyawa kimia beracun. Nilai pH air dapat mempengaruhi rasa dan sifat korosi. Beberapa senyawa beracun lebih toksik dalam bentuk molekul daripada dalam bentuk ion, yang bentuk tersebut dipengaruhi oleh pH. Pada pengujian kualitas air baku, uji DO, BOD dan COD tidak dianjurkan dilakukan karena pengujian DO, BOD dan COD digunakan untuk pengujian air limbah atau sumber air yang memiliki tingkat pencemaran tinggi (Margaretha dkk., 2012). Parameter kimia yang diukur di intake WTP IPB Ciapus adalah pH, ammoniak dan nitrit. Nilai pH pada intake WTP IPB Ciapus tersaji pada Gambar 3.

pH adalah kadar keasaman atau alkalinitas dalam air. pH untuk air minum umumnya antara 6.5 dan 8.0. Air pada 25°C dengan pH kurang dari 7.0 dianggap mengandung keasaman, sedangkan pH lebih dari 7.0 dianggap sebagai pH dasar (alkalin). Jika kadar pH adalah 7.0, maka air diangggap memiliki pH netral (WHO 2011). Berdasarkan Gambar 3, nilai pH di intake WTP IPB Ciapus mengalami perubahan. Nilai pH pada tanggal 7 April merupakan nilai pH terendah yaitu 6.05. Nilai ini tidak dapat digunakan sebagai air minum. Penurunan pH dapat diakibatkan oleh limbah yang mengandung asam-asam mineral bebas dan asam karbonat (Manik 2003).

Kandungan ammoniak dan nitrit di intake WTP IPB Ciapus juga perlu diuji. Ammoniak dan nitrit akan bersifat toksik didalam air pada kondisi tertentu seperti kandungan unsur senyawa logam yang banyak, suhu yang rendah dan pH yang rendah (Effendy 2006). Nilai kadar ammoniak dan nitrit di intake WTP IPB Ciapus tersaji pada Gambar 4. Berdasarkan Gambar 4, nilai kandungan ammoniak di intake WTP IPB Ciapus mengalami peningkatan. Nilai tertinggi kandungan ammoniak terdapat pada tanggal 19 April dengan nilai 0.493. Sedangkan kandungan nitrit mengalami penurunan dan nilai terkecil terdapat pada tanggal 19 April dengan nilai 0.198 mg/l. Peningkatan kadar ammoniak merupakan indikasi adanya pencemaran yang berasal dari limbah pupuk pertanian, limbah pabrik dan feses (Handayani et al., 2001). Kadar nitrit yang semakin turun diakibatkan karena nitrit merupakan peralihan antara ammoniak dan nitrat, keberadaannya di perairan tidak stabil dengan keberadaan oksigen. Apabila kandungan oksigen terlarut kecil maka kadar nitrit dalam air jumlahnya sedikit pula (Rohman 2007).

Gambar 4. Nilai kadar ammoniak dan nitrit di intake WTP IPB Ciapus

  • 3.3.    Pengaruh Penambahan Koagulan Pada Parameter Fisik dan Kimia Air

Unit koagulasi adalah tempat terjadinya peristiwa pembentukan atau penggumpulan partikel-partikel kecil dengan menggunakan bahan koagulan. Koagulasi juga diartikan sebagai proses penambahan koagulan dan pengadukan cepat air yang diberi bahan koagulan. Koagulasi terjadi karena adanya interaksi antara bahan koagulan dengan kontaminan seperti partikel koloid. Partikel koloid merupakan partikel

diskrit yang terdapat dalam suspensi air baku, dan partikel inilah yang merupakan penyebab utama kekeruhan (Rachmawati dkk., 2009). Koagulan adalah zat kimia yang menyebabkan destabilisasi muatan negatif partikel di dalam suspensi. Zat ini merupakan donor muatan positif yang digunakan untuk mendestabilisasi muatan negatif partikel. Koagulan atau flokulan pembantu biasanya dibubuhkan ke dalam air pada unit koagulasi bertujuan untuk memperbaiki pembentukan flok dan untuk mencapai sifat spesifik flok yang diinginkan (Haslindah dan Zulkifi 2012). Flok merupakan komponen pencemar yang mengendap (Gürses et al., 2003).

(24 Marel)

10     20

Dosis (ppm)

10     20

Dosis (ppm)

APAC

• Tawas

APAC

• Tawas

APAC

• Tawas

DosiS (ppm)


Dosis (ppm)

Dosis ppm)

APAC

• Tawas

APAC

• Tawas

A PAC

• Tawas

Dosis (ppm)


(24 Mei)

(2 Juni)


Gambar 5. Perbandingan pengaruh penambahan koagulan terhadap kekeruhan

Koagulan yang digunakan adalah tawas dan PAC. Pengaruh penambahan koagulan terhadap kekeruhan pada tanggal 21 Maret sampai 2 Juni tersaji pada Gambar 5. Penurunan kekeruhan pada tanggal 21 Maret, nilai terbaik didapat setelah dilakukan penambahan tawas 5 ppm dengan penurunan kekeruhan sampai 3.23 NTU. Kondisi cuara ketika pengukuran termasuk cerah dan tidak turun hujan walaupun masih dalam musim penghujan. Berdasarkan Gambar 5, hasil pengukuran pada tanggal 7 April penambahan koagulan tawas masih menghasilkan kekeruhan yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian PAC. Dosis optimum pada pengukuran ini adalah 20 ppm untuk koagulan tawas dengan penurunan kekeruhan mencapai 1.8 NTU sedangkan untuk koagulan PAC adalah 5 ppm dengan penurunan kekeruhan hingga 2.13 NTU. Kondisi cuara cerah dan tidak turun hujan selama dua hari. Pada tanggal 19 April kekeruhan pada pengukuran menunjukkan hasil yang lebih optimum dibandingkan hari pengukuran sebelumnya. Dengan kekeruhan awal 29.2 NTU, setelah dimasukkan koagulan tawas dengan

variasi dosis kekeruhan mengalami penurunan. Nilai kekeruhan terendah didapat dengan dosis koagulan tawas sebesar 15 ppm. Penambahan koagulan PAC menghasilkan hasil nilai kekeruhan yang lebih baik dari tawas, nilai kekeruhan terendah PAC lebih baik dari dosis optimum koagulan tawas yaitu dengan dosis 20 ppm menghasilkan kekeruhan sebesar 0.22 NTU. Kondisi cuara pada pengukuran ini yaitu turun hujan sehingga kekeruhan awal lebih tinggi di banding hari pengukuran sebelumnya.

Hasil pengukuran pada tanggal 2 Mei juga tersaji pada Gambar 5 . Berdasarkan Gambar 5, terlihat perbandingan kekeruhan setelah pembubuhan koagulan PAC dan tawas. Penambahan koagulan PAC mencapai kekeruhan terbaik pada dosis 10 ppm dengan nilai 0.56 NTU sedangkan pada penambahan koagulan tawas, kekeruhan terbaik terdapat pada dosis 20 ppm dengan nilai kekeruhan 0.49 NTU dan kondisi cuara ketika pengukuran termasuk cerah. Kekeruhan pada pengukuran tanggal 24 Mei menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dari hari pengukuran sebelumnya. Dengan kekeruhan awal 9.8 NTU, setelah ditambahkan koagulan tawas dengan variasi dosis kekeruhan mengalami penurunan. Nilai kekeruhan terendah didapat dengan dosis koagulan tawas sebesar 25 ppm. Penambahan koagulan PAC menghasilkan hasil nilai kekeruhan yang lebih baik dari tawas, nilai kekeruhan terendah PAC lebih baik dari dosis optimum koagulan tawas yaitu dengan dosis 15 ppm menghasilkan kekeruhan sebesar 0.49 NTU dan kondisi cuara ketika pengukuran tersebut juga termasuk cerah sehingga kekeruhan awal bernilai rendah. Pengukuran terakhir yaitu tanggal 2 Juni, penambahan koagulan dosis optimum 25 ppm untuk tawas menurunkan kekeruhan yang nilai awal 9.8 NTU menjadi 1.55 NTU sedangkan untuk PAC dengan dosis optimum 15 ppm menurunkan kekeruhan menjadi 0.47 NTU. Kondisi cuaca ketika pengukuran cerah karena pada bulan Juni sudah masuk pada musim kemarau sehingga nilai kekeruhan cenderung kecil karena debit dan tinggi muka air sungai termasuk rendah. Secara umum dapat dilihat nilai kekeruhan cenderung menurun dari waktu ke waktu, artinya kebutuhan koagulan bervariasi dari waktu ke waktu.

Pengaruh penambahan variasi dosis koagulan terhadap pH air bersih pada pengukuran tanggal 21 Maret sampai 2 Juni tersaji pada Gambar 6. Berdasarkan Gambar 6, penurunan pH pada tanggal 24 Maret terjadi pada setiap penambahan koagulan. Hal ini diakibatkan tawas dan PAC akan bersifat asam ketika bereaksi dengan air. Nilai pH optimum dihasilkan pada penambahan PAC 5 ppm dengan nilai 6.94 dan tawas 5 ppm dengan nilai pH 6.47. Sedangkan pH setelah pemberian koagulan pada tanggal 7 April lebih stabil dibandingkan dengan pengukuran pada tanggal 21 Maret. Hal ini dikarenakan pada proses pembubuhan koagulan diiringi dengan pemberian larutan kapur 1% dengan perbandingan dosis 1 : 2 dengan dosis koagulan. Nilai pH pada tanggal 19 April kedua koagulan menunjukkan nilai yang lebih stabil dibandingkan dengan hari pengukuran sebelumnya. Hal ini diakibatkan karena nilai pH berkisar antara 5.8 – 7, sedangkan koagulan PAC dan tawas akan bekerja secara optimum dengan pH antara 5.5 – 8.

Gambar 6 pada tanggal 2 Mei menunjukkan nilai pH yang stabil yaitu antara 6.3 – 6.8 untuk penambahan dosis PAC sedangkan untuk penambahan dosis tawas yaitu pH terdapat antara nilai 6.6 – 7.1. Nilai rentang ini merupakan nilai pH optimum pada air baku. Gambar 8 tanggal 24 Mei menunjukkan perubahan pH setelah dimasukkan koagulan tawas dan PAC. Nilai pH kedua koagulan menunjukkan nilai yang stabil dengan rentang pH 6.8 – 7.5. Gambar 6 tanggal 2 Juni menunjukkan perubahan pH, nilai pH tertinggi untuk penambahan tawas adalah sebesar 8.23 sedangkan untuk penambahan PAC adalah sebesar 8.59. Nilai pH yang tinggi dikarenakan penambahan kapur yang tidak sesuai dengan nilai kekeruhan dan pH awal sehingga walau telah di tambah koagulan namun nilai pH secara keseluruhan mengalami kenaikan. Kenaikan nilai pH juga dapat diakibatkan oleh kondisi awal pH air yang mengandung banyak senyawa CO2. Selain itu, menurut Gürses et al. (2003) reaksi respirasi dalam air juga mempengaruhi pH karena saat berfotosintesis, fitoplankton dan tanaman air lainnya akan mengambil CO2 dari air selama proses fotosintesis sehingga mengakibatkan pH air meningkat pada siang hari dan menurun pada waktu malam hari. Namun pada penelitian ini kadar CO2 tidak diuji, maka pada penelitian selanjutnya perlu di uji kadar CO2 dalam badan air untuk memastikan penyebab perubahan pH adalah karena perubahan kandungan CO2 di dalam air.

10

8

L 6    ■ ∙ β          APAC

4        Ate • Tawas

0       10       20

Dosis (ppm)

(2 I Maret)

io

8

q" 6     * ^ ^ i i A PAC

4                          • Tawas

0       10      20

Dosis (ppm) (WApril)

10

8

¾ “**••♦

6                          A PAC

4                          ∙ Tawas

0       10       20

Dosis (ppm)


10

8

O- 6    1 f i ∙         APAC

  • 4                 M      • Tawas

0      10     20     30

Dosis (ppm)

(7 April)

10

8

  • - 6 • * 1 • t ♦ APAC

4                          • Tawas

0       10       20

Dosis (ppm)

(2 Mei)

10

¾ 8 e i • • 4 *

6                       APAC

4                          • Tawas

0       10       20

Dosis (ppm)


(24 Mei)

(2 Juni)


Gambar 6. Perbandingan pengaruh penambahan koagulan terhadap pH air bersih

  • 3.4.    Pengaruh Dosis Optimum Koagulan Terhadap Parameter Fisik, Kimia dan Effisisensi Koagulan

Dosis optimum koagulan didapat dari nilai kekeruhan terendah dan nilai pH yang mendekati nilai 7. Berdasarkan hasil pengukuran sebanyak enam kali, didapat dosis koagulan optimum masing – masing jenis koagulan beserta pengaruhnya terhadap parameter fisika air yang tersaji pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2, dosis optimum dari enam kali pengukuran adalah PAC pada tanggal 19 April dengan dosis 20 ppm dengan hasil kekeruhan sebesar 0.22 NTU , TSS 1 mg/l dan TDS dengan nilai 150 mg/l. Sedangkan untuk tawas adalah 20 ppm dengan kekeruhan 0.49 NTU, TSS 0 mg/l dan TDS sebesar 164 mg/l. Nilai TDS lebih besar dibandingkan sebelum penambahan koagulan, hal ini dikarenakan kandungan padatan terlalut bertambah karena koagulan yang larut sehingga nilai TDS mengalami kenaikan. Nilai parameter TSS menjadi sangat kecil dikarenakan bahan pencemar telah mengendap akibat penambahan koagulan. Setelah penambahan koagulan nilai TSS berkurang dan berada di bawah baku mutu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 429 Tahun 2010 pada Lampiran 10 yaitu di bawah 50 mg/l.

Tabel 2. Pengaruh dosis optimum terhadap parameter fisika air

Tanggal

Dosis Optimum (ppm)

Parameter

Kekeruhan (NTU)

TSS (mg/l)

TDS (mg/l)

PAC

Tawas

PAC

Tawas

PAC

Tawas

PAC

Tawas

21 Maret

5

5

20.2

3.23

17

14

-

-

7 April

5

5

2.13

1.80

12

10

-

-

19 April

20

15

0.22

1.19

1

2

150

76

2 Mei

10

20

0.56

0.49

0

0

154

164

24 Mei

15

25

0.49

0.53

7

7

242

152

2 Juni

15

25

0.47

1.55

1

3

188

156

Selain parameter fisika, penambahan dosis optimum koagulan juga mempengaruhi parameter kimia air. Pengaruh dosis optimum koagulan terhadap parameter kimia air tersaji pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3, penambahan koagulan PAC dapat menurunkan kadar ammoniak di dalam air sedangkan pada penambahan koagulan tawas kadar ammoniak didalam air bertambah. Hal ini dikarenakan ammoniak cenderung lebih mudah bereaksi dengan tawas. Ammoniak didalam air akan mudah bereaksi dengan kandungan unsur logam (Effendy 2006). Untuk parameter nitrit, penambahan koagulan PAC tidak menyebabkan perubahan kadar nitrit didalam air. Untuk penambahan koagulan tawas dan PAC kadar nitrit cenderung bertambah, hal ini sama dengan yang terjadi pada ammoniak karena nitrit merupakan pecahan dari senyawa ammoniak sehingga ketika bereaksi dengan tawas dan PAC didalam air kadarnya akan bertambah.

Tabel 3. Pengaruh dosis optimum terhadap parameter kimia air

Parameter

Tanggal

Dosis optimum (ppm)

Kandungan (mg/l)

Tawas

PAC

Kontrol

Tawas

PAC

Ammoniak

21 Maret

5

5

0.140

0.493

0.135

7 April

5

5

0.136

7.880

0.129

19 April

15

20

0.493

4.680

0.140

2 Mei

20

10

0.493

6.160

0.246

24 Mei

25

15

0.246

6.650

0.140

2 Juni

25

15

0.986

7.390

0.140

Nitrit

21 Maret

5

5

0.391

0.379

0.415

7 April

5

5

0.369

0.409

0.371

19 April

15

20

0.198

0.190

0.259

2 Mei

20

10

0.039

0.143

0.168

24 Mei

25

15

0.187

0.207

0.207

2 Juni

25

15

0.154

0.132

0.163

pH

21 Maret

5

5

6.940

6.27

6.23

7 April

5

5

6.050

6.49

6.34

19 April

15

20

6.900

6.36

6.37

2 Mei

20

10

6.750

6.72

6.63

24 Mei

25

15

7.440

6.66

6.97

2 Juni

25

15

6.720

8.23

8.04

Kualitas di badan air dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti curah hujan, aliran sungai dan pola sirkulasi air (Kusumah, 2008). Curah hujan merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi

kualitas air sungai. Perubahan curah hujan merupakan akibat dari perubahan musim. Selain perubahan kondisi curah hujan, perubahan musim juga mempengaruhi kondisi suhu di badan air yang merupakan salah satu parameter penentu kualitas badan air. Pengaruh variasi waktu pengambilan sampel ialah adanya perbedaan cuaca di setiap waktu pengukuran. Perubahan cuara mengakibatkan perubahan suhu yang akan berdampak pada perbedaan kualitas air dari segi parameter fisik maupun kimia. Hasil pengukuran bulan Maret – Mei di Dramaga Bogor (musim penghujan) disajikan pada Tabel 4 (BMKG Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor 2016). Namun intensitas penyinaran matahari di pagi sampai dengan siang hari tergolong tinggi sehingga mengakibatkan suhu di badan air tinggi. Suhu yang tinggi dapat menyebabkan kegiatan fotosintesis organisme air meningkat sehingga kekeruhan air dapat berubah. Curah hujan yang tinggi di daerah Dramaga Bogor menyebabkan intensitas hujan yang tinggi, hujan dapat menyebabkan turunnya suhu badan air namun dapat meningkatkan debit dan tinggi muka air sehingga menambah jumlah partikel – partikel koloid di dalam air yang berdampak pada kenaikan nilai kekeruhan, TSS dan TDS.

Pengukuran pada bulan Juni sudah masuk musim kemarau yang mengakibatkan suhu yang tinggi dan intensitas hujan yang rendah. Suhu air yang tinggi dapat menambah daya racun senyawa-senyawa beracun seperti NO3, NH3 dan NH3N terhadap hewan akuatik. Sumber utamanya berasal dari sampah dan limbah yang mengandung bahan organik protein.

Tabel 4. Data suhu, total curah hujan dan jumlah hujan wilayah Dramaga tahun 2015

Bulan

Suhu (oC)

Total curah hujan (mm)

Jumlah hujan (hari)

Maret

25.77

233.7

13

April

25.89

193.9

18

Mei

26.27

160.1

11

Juni

26.20

82.4

7

Tabel 5. Efisiensi dan biaya penggunaan dosis optimum koagulan

Tanggal

Koagulan

Dosis Optimum (ppm)

Biaya (Rp/m3)

Efisiensi (%)

21 Maret

Tawas

5

30

88.17

PAC

5

105

26

7 April

Tawas

5

30

88.72

PAC

5

105

89.55

19 April

Tawas

15

90

95.92

PAC

20

420

99.24

2 Mei

Tawas

20

120

96.48

PAC

10

210

95.97

24 Mei

Tawas

25

150

94.59

PAC

15

315

95

2 Juni

Tawas

25

150

84.18

PAC

15

315

95.20

Setelah didapat dosis optimum masing – masing koagulan setiap tanggal pengukuran, nilai efisiensi dan biaya per m3 dapat ditentukan. Nilai efisiensi dan biaya koagulan per m3 tersaji pada Tabel 5. Nilai efisiensi didapat dengan menggunakan persamaan (1). Berdasarkan Tabel 5, nilai efisiensi tawas pada tanggal 21 Maret yaitu sebesar 88.17% lebih baik dibandingkan dengan menggunakan PAC dengan nilai 26%. Sedangkan biaya penggunaan koagulan per m3 dihitung dengan menggunakan persamaan (2). Biaya koagulan tawas lebih murah dibandingkan dengan PAC yaitu senilai Rp. 30/m3. Untuk tanggal 7 April, nilai efisiensi penggunaan PAC lebih baik dibandingkan tawas yaitu sebesar 89.55% dengan biaya per m3 Rp. 105. Tanggal 19 April nilai efisiensi penggunaan PAC menghasilkan nilai sebesar 99.24% dengan biaya per m3nya Rp.420. Kemudian untuk tanggal 2 Mei nilai efisiensi terbaik adalah

menggunakan tawas dengan nilai 96.48% dengan biaya Rp.120/m3. Tanggal 24 Mei nilai efisiensi terbaiknya dihasilkan oleh penggunaan PAC dengan nilai efisiensi sebesar 95% dan biaya per m3nya Rp.315. Pengukuran terakhir tanggal 2 Juni nilai efisiensi terbaik adalah dengan menggunakan PAC sebesar 95.20% dan biaya per m3nya sebesar Rp.315.

  • 4.    Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, PAC lebih baik dibandingkan tawas dengan dosis optimum sebesar 20 ppm yang menghasilkan kekeruhan sebesar 0.22 NTU, TSS sebesar 1 mg/l dan TDS sebesar 150 mg/l. Sedangkan tawas dosis optimumnya 20 ppm yang menghasilkan nilai kekeruhan 0.49 NTU, TSS 0 mg/l dan TDS sebesar 164 mg/l. Biaya rata – rata untuk penggunaan koagulan tawas dan PAC adalah sebesar Rp. 95/m3 dan Rp 215/m3, sedangkan rata – rata nilai efisiensi penggunaan koagulan tawas dan PAC adalah 91.34% dan 83%. Hasil kedua koagulan memenuhi kriteria baku mutu kualitas air bersih menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 429 Tahun 2010.

Kualitas air berubah setiap waktunya sehingga perlu dipertimbangkan penambahan kapur pada unit koagulasi agar koagulan bekerja lebih efektif yaitu pada pH 6.5 – 8. Jar test sebaiknya dilakukan secara berkala dengan variasi waktu pengujian dengan tujuan agar saat terjadi perubahan musim, kualitas air yang dihasilkan tetap memenuhi standar baku mutu. Data penelitian ini dapat digunakan juga sebagai dasar pengembangan sistem atau prosedur dosing pada unit koagulasi di WTP Ciapus.

Daftar Pustaka

BMKG. (2016). Data Iklim Harian. [online]. Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika.

(http://dataonline.bmkg.go.id/data_iklim), [diakses 19 Juli 2016]

BSN. (2004a). Cara Uji Padatan Tersuspensi Total Secara Gravimetri. SNI 06-6989.3-2004. Jakarta, Indonesia: Badan Standardisasi Nasional, Sekretariat Negara.

BSN. (2004b). Cara Uji Nitrit (NO2-N) Secara Spektrofotometri. SNI 06-6989.9-2004. Jakarta, Indonesia: Badan Standardisasi Nasional, Sekretariat Negara.

BSN. (2004c). Cara Uji Derajat Keasaman (pH) dengan Menggunakan Alat pH Meter. SNI 06-6989.112004. Jakarta, Indonesia: Badan Standardisasi Nasional, Sekretariat Negara.

BSN. (2005a). Cara Uji Kadar Padatan Terlarut Total Secara Gravimetri. SNI 06-6989.27-2005. Jakarta, Indonesia: Badan Standardisasi Nasional, Sekretariat Negara.

BSN. (2005b). Cara Uji Kadar Amonia Dengan Spektrofotometer Secara Fenat. SNI 06-6989.30-2005. Jakarta, Indonesia: Badan Standardisasi Nasional, Sekretariat Negara.

Budiman, A., Wahyudi, C., Irawati, W., & Hindarso, H. (2008). Kinerja Koagulan Poly Aluminium Chloride (PAC) Dalam Penjernihan Air Sungai Kalimas Surabaya Menjadi Air Bersih. Widya Teknik, 7(1), 25-34.

Clark J. (1974). Coastal Ecosystems. New York, USA: Macmillan Publishing Clone.

Ebeling, J. M., Ogden, S. R., Sibrell, P. L., & Rishel, K. L. (2004). Application of chemical coagulation aids for the removal of suspended solids (TSS) and phosphorus from the microscreen effluent discharge of an intensive recirculating aquaculture system. North American Journal of Aquaculture, 66(3), 198-207.

Effendy. (2006). Teori VSEPR, Kepolaran dan Gaya Antar Molekul Edisi Kedua. Malang, Indonesia: Bayumedia Publishing.

Fardiaz S.(1992). Polusi Air dan Udara. Yogyakarta, Indonesia: Penerbit Kanisius

Gürses, A., Yalçin, M., & Dogar, C. (2003). Removal of Remazol Red RB by using Al (III) as coagulantflocculant: effect of some variables on settling velocity. Water, Air, and Soil Pollution, 146(1-4), 297-318.

Handayani, S. T., Suharto, B., & Marsoedi. (2001). Penentuan status kualitas perairan sungai brantas hulu dengan biomonitoring makrozoobentos: tinjauan dari pencemaran bahan organik. Biosain, 1(1), 3038.

Haslindah, A., & Zulkifi. (2012). Analisis Jumlah Koagulan (Tawas/Al2(SO4)3) yang Digunakan Dalam Proses Perjernihan Air Pada PDAM Instalasi 1 Ratulangi Makassar. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. 7(13), 974-976.

Kusumah, H. (2010). Karakteristik Parameter Fisika dan Kandungan Klorofil-a di Laut Jawa. ILMU KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine Sciences, 13(2), 103-112.

Mahida, U. N. (1984). Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. Jakarta Indonesia: C.V. Rajawali.

Manik, K. E. S. (2003). Pengelolaan Lingkungan. Jakarta, Indonesia: Djambatan

Margaretha, M., Mayasari, R., Syaiful, S., & Subroto, S. (2012). Pengaruh Kualitas Air Baku Terhadap Dosis dan Biaya Koagulan Aluminium Sulfat dan Poly Aluminium Chloride. Jurnal Teknik Kimia, 18(4), 21-30.

Rachmawati, S. W., Iswanto, B., & Winarni (2009). Pengaruh pH Pada Proses Koagulasi Dengan Koagulan Aluminum Sulfat Dan Ferri Klorida. Indonesian Journal Of Urban And Environmental Technology, 5(2), 40-45.

Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta, Indonesia: Pustaka Pelajar.

Sugiarto. (2006). Dasar – Dasar Pengelolaan Air Limbah. Jakarta, Indonesia: UI Press

Utomo, K. S. (2011). Pemanfaatan Air Saluran Klambu-Kudu untuk Pemenuhan Kebutuhan Air Minum IKK Tegowanu dan IKK Gubuk. Jurnal Kompetensi Teknik, 3(1), 13-20

WHO (2011). Guidelines for drinking-water quality. Geneva, Switzerland: World Health Organization.

87