ANALISIS KESESUAIAN PRASYARAT KAMPUNG SASARAN DENGAN KAMPUNG TERAPAN TERHADAP PROGRAM POLA PENANGANAN PERMUKIMAN KUMUH PERKOTAN DI INDONESIA
on
ANALISIS KESESUAIAN PRASYARAT KAMPUNG SASARAN DENGAN KAMPUNG TERAPAN TERHADAP PROGRAM POLA
PENANGANAN PERMUKIMAN KUMUH PERKOTAAN DI INDONESIA
Jauhari Effendi dan Sudirman S
Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Program Pasca Sarjana, Universitas Nusa Cendana, Jl. Adisucipto-Penfui, Kupang.NTT 85361, Indonesia Email: [email protected] dan [email protected]
Abstract
This study aim to analyze concordance of target kampong prerequisite with applied kampong from result of execution of 4 project of settlement handling pattern of urban which has been executed in Indonesia (KIP, P2KP, CoBILD, and NUSSP). In this study takes 4 samples of dirty settlement in 2 metropolitans town in Indonesia, Penjaringan Kampong (Jakarta) through KIP, while 3 between of location in Makassar City (Sulsel), Ballaparang Kampong (P2KP), Cambayya Kampong (CoBILD), and Rappokalling Kampong ( NUSSP). Primary survey is done by means of assists questionaire to obtain condition of applied kampong reality becoming case for every handling pattern, and situation success of repair component in every handling pattern. Responder is leader RT/RW, prominent public, member of the existing kampong and member of former case kampong which populating has outside case kampong assumed knows initial condition of the kampong. This study applies technique snowballing causing is obtained a number of purposive sample from third kinds of the responder. Result of study indicates that fourth of program which has been executed this generally there is unconformability between conditions signed for target kampong with initial condition of applied kampong. Unconformability between conditions of target kampongs with condition of applied kampong reality, indicates that handling pattern of urban slump which has been executed from year to year has not fully experiences change of condition of happened during the period as according to execution time of the handling pattern.
Keywords: Slump Urban; pattern; kampong; settlement handling
Pertumbuhan penduduk perkotaan merupakan fenomena yang sedang dihadapi di Indonesia dimana saat ini jumlah penduduk perkotaan mencapai 36% dari total jumlah penduduk Indonesia. Selain itu, akibat tingginya laju urbanisasi tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan, menyebabkan berkembangnya kawasan permukiman padat penduduk dan kumuh di wilayah perkotaan (D.T. Saraswati, 2004). Akibatnya terjadi peningkatan jumlah orang-orang yang datang dan menetap di kota menjadikan kota semakin padat. Pada tahun 2006 misalnya, tercatat luas lingkungan permukiman kumuh Indonesia sebesar 47.393 ha dengan total
penduduk yang berada di dalamnya sekitar 17,2 juta jiwa (Anonim, 1975).
Di perkotaan Indonesia terjadi penurunan kualitas lingkungan permukiman yang signifikan. Penurunan kualitas ini turut disumbang oleh belum memadainya pelayanan di lingkungan permukiman. Dengan demikian, banyak kawasan perumahan dan permukiman yang telah melebihi daya tampung dan daya dukung lingkungan, ditandai dengan meningkatnya lingkungan kumuh. Akibatnya, timbul persepsi dan paradigma di masyarakat termasuk sudut pandang dari pemerintah kota, bahwa permukiman kumuh merupakan bagian wilayah di perkotaan yang sangat tidak produktif, kotor, tidak
memiliki potensi, tidak efisien dan mengganggu estetika serta keindahan (Effendi, J., 2005) dan Hidayat, 1985). Kemudian, seringkali terpikirkan bahwa satu-satunya solusi yang terbaik adalah dengan menggusur, memindahkan atau menghilangkan kawasan kumuh tersebut dari lingkungan wilayah perkotaan (Turner, J.F.C., 1976). Menurut Krause, G.H. (1975), fenomena permukiman kumuh sudah diakui sebagai bagian dari permasalahan kota, dan bukan lagi hanya merupakan permasalahan lingkungan lokal semata. Hal ini diperkuat oleh Werlin, H. (1999), bahwa fenomena seperti ini mencerminkan salah satu dampak dari proses pembangunan, yang semakin berat dengan tingkat pertumbuhan yang cepat dari penduduk perkotaan, serta jauh dari proses penyediaan kebutuhan perumahan beserta sarana fasilitas pelayanan dan prasarana lingkungan perkotaan oleh pemerintah kota.
Disisi lain, pemerintah telah menggulirkan dan melaksanakan beberapa program sebagai upaya untuk menangani permukiman kumuh perkotaan di Indonesia diantaranya, Program Perbaikan Kampung (Kampung Improvement Program) atau KIP, Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan atau P2KP, Community Based Initiatives for Housing and Local Development atau CoBILD dan Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project atau NUSSP. KIP adalah pola pelaksanaan perbaikan kampung (fisik, sosial, dan ekonomi) yang bertumpu pada aktivitas masyarakat dengan cara swadaya. Tujuan pola ini adalah mendayamampukan masyarakat untuk mengembangkan sumber daya yang dimilikinya (manusia, alam dan lingkungan). Sedangkan pola P2KP merupakan salah satu proyek nasional yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka menanggulangi berbagai persoalan kemiskinan yang terjadi di masyarakat, khususnya bagi masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan (urban). Pemerintah Indonesia selanjutnya menugaskan Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman -Departemen Kimpraswil (sekarang Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum), sebagai pelaksana proyek dari P2KP. P2KP sebagai suatu proyek yang merupakan suatu upaya pemerintah yang bermuara kepada program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan melalui strategi pemberdayaan sebagai investasi modal sosial menuju pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Artinya proyek yang diprakarsai pemerintah ini pada
akhirnya diharapkan dapat menjadi program penanggulangan kemiskinan yang tumbuh atas inisiatif dan prakarsa masyarakat sendiri, dan didukung oleh pemerintahnya maupun kelompok-kelompok peduli, organisasi-organisasi masyarakat sipil dan dunia usaha yang ada.
Selanjutnya, program Cobild adalah salah satu model pembiayaan perumahan dengan konsep komunitas, penyaluran dana diberikan oleh kelompok swadaya masyarakat. Dana Cobild diperoleh atas bantuan pemerintah Belanda melalui Departemen PU untuk disalurkan kepada masyarakat luas dengan sasaran masyarakat berpenghasilan rendah. Proyek Cobild bertujuan untuk meningkatkan pembangunan perumahan dan permukiman bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah (tidak bisa meminjam melalui bank) melalui program dana bergulir. Selain segi pembiayaan, program Cobild juga memberi perhatian terhadap pengembangan social capital dengan tujuan agar program dana bergulir perumahan dapat berlanjut berdasarkan kekuatan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat. Sementara program NUSSP merupakan kegiatan kerjasama antara Pemerintah Indonesia melalui Departemen Pekerjaan Umum dengan Asian Development Bank (ADB) diarahkan untuk perbaikan lingkungan permukiman kumuh di perkotaan yang dilaksanakan melalui kemitraan antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat serta upaya penguatan kelembagaan pada tingkat komunitas.
Berkaitan dengan pelaksanaan proyek yang diluncurkan oleh pemerintah ini, oleh Effendi, J. (2007), mengungkapkan program-program ini menggunakan pola penanganan yang berbeda-beda. dan mengkaji dampak dari program yang telah dilaksanakan sesuai dengan persepsinya, Akan tetapi, kajian dampak dari pelaksanaan program ini umumnya dilaksanakan oleh pengelola/pemilik proyek/program sehingga evaluasi program hanya bersifat formal saja bagi kepentingan akuntabilitas pengelola. Sebaliknya, pendapat warga penghuni sendiri terhadap keberhasilan program jarang diikutsertakan dalam evaluasi tersebut. Berkaitan dengan hasil pelaksanaan dari beberapa program perbaikan permukiman kumuh yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah, maka tujuan dalam penelitian ini adalah mencoba menganalisis kesesuaian antara prasyarat kampung sasaran dengan kampung terapan terhadap hasil pelaksanaan dari program tersebut dan melakukan penilaian
tentang keberhasilan dari kegiatan yang sudah dilakukan.
Waktu penelitian dilakukan selama 1 tahun dengan mengambil 2 lokasi penelitian kota metropolitan di Indonesia yang menjadi lokasi pelaksanaan proyek program penanganan permukiman kumuh perkotaan, yakni: DKI Jakarta, dan Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Kemudian dipilih 4 (empat) buah program perbaikan untuk mengamati perkembangan karakteristik pola penanganan permukiman kumuh dan kemudian dari masing-masing pola penanganan dipilih 1 Kampung yang mewakili untuk melihat bagaimana perubahan antar pola itu terjadi untuk menjawab setiap pertanyaan penelitian. Keempat pola penanganan tersebut dengan kampung kasusnya adalah: (1) Program Perbaikan Kampung (Kampung Improvement Program/KIP), dengan Kampung Penjaringan, Jakarta; (2) Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan/P2KP, dengan Kampung Ballaparang; (3) Community Based Initiatives for Housing and Local Development/ CoBILD, dengan Kampung Cambayya, dan Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project/NUSSP, dengan Kampung Rappokaling).
Metodologi penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan melakukan analisis deskriptif pada hasil-hasil survei primer dengan alat bantu kuesioner dan observasi lapangan. Survei primer dilakukan dengan alat bantu kuesioner untuk memperoleh 3 (tiga) hal yakni, kondisi nyata kampung terapan yang menjadi kasus untuk setiap pola penanganan, keadaan keberhasilan komponen perbaikan di setiap pola penanganan, dan tentang keadaan keberhasilan upaya tambahan atau mandiri yang dilakukan oleh warga setelah program perbaikan yang ada pada setiap pola penanganan selesai dilaksanakan. Responden adalah pimpinan RT/RW serta pemuka masyarakat dan warga kampung saat ini dan warga kampung kasus dahulu yang sudah berdiam di luar kampung kasus yang dianggap mengetahui kondisi awal kampung tersebut.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan langsung (direct observation), dan wawancara kepada responden secara langsung. Responden adalah pimpinan RT/RW serta pemuka masyarakat dan warga kampung saat ini dan warga kampung kasus dahulu yang sudah berdiam di luar kampung kasus yang dianggap mengetahui kondisi awal kampung tersebut. Penelitian ini menggunakan teknik snowballing sehingga diperoleh sejumlah purposive sample dari ketiga macam responden tersebut (Haryani, N.S,. 1997 dan Effendi,J.2007). Jenis data yang diambil meliputi data primer dan sekunder yang antara lain:
Pengumpulan data primer
Data primer merupakan data yang didapat dari sumber pertama baik individu atau perorangan. Pengumpulan data primer dilakukan melalui beberapa cara antara lain; wawancara dan observasi/ pengamatan.
Pengumpulan data sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui pengumpulan data ke beberapa instansi yang terkait berupa laporan akhir pengelola proyek dari keempat program pola penanganan terhadap keempat kampung yang telah dilaksanakan. Informasi yang diperoleh digunakan untuk mendukung permasalahan/tema studi yang diangkat dan menjadi arahan dasar bagi pelaksanaan survei primer dan tahapan studi selanjutnya. Dalam hal ini, adalah kesesuaian antara karakteristik pola penanganan/ perbaikan dengan kondisi nyata permukiman kumuh yang akan dikaji melalui penilaian kesesuaian antara kondisi komponen permukiman yang dipersyaratkan. Dimana persyaratan yang harus terpenuhi pada permukiman atau target kampung yang akan diperbaiki disebut sebagai kondisi prasyarat komponen kampung sasaran. Sedangkan kondisi nyata/aktual komponen-komponen pada permukiman atau kampung yang dipilih untuk diperbaiki selanjutnya disebut kondisi nyata komponen kampung terapan.
Analisis ini merupakan hasil wawancara terhadap pengelola proyek tentang prasyarat bagi
kampung sasaran untuk menangani kampung kumuh. Wawancara ini sebagai cross check terhadap jawaban dari ketiga responden dari masyarakat kampung terapan sebagai tempat pelaksanaan proyek.
Pola Penanganan Program KIP
Perbaikan lingkungan fisik adalah karakteristik dasar dalam pola Kampung Improvement Program (KIP) yang diterapkan pada kampung kasus yaitu Kampung Penjaringan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta di Tahun 1990-an. Lingkungan fisik yang dimaksud dalam pola penanganan ini adalah komponen-komponen permukiman yang selanjutnya dirinci menjadi komponen jalan, drainase, pengelolaan sampah, pengadaan air minum atau air bersih, dan fasilitas mandi cuci kakus (MCK). Prasyarat pola Kampung Improvement Program (KIP) yang diperoleh dari pengelola proyek (data sekunder) adalah rendahnya ketersediaan atau rusaknya komponen-komponen rinci tersebut. Indikasinya dinyatakan dengan persentase, yaitu 80% dalam kondisi rusak (untuk jalan, drainase, MCK) atau 80% komponen tidak tersedia (gerobak sampah untuk pengelolaan sampah).
Dalam penelitian ini membandingkan prasyarat pola KIP kampung sasaran dengan kampung terapan yang direpresentasikan dengan kampung kasus, melalui pengamatan kondisi kampung kasus untuk beberapa komponen berupa jalan, drainase, pengelolaan sampah, pengadaan air bersih, dan fasilitas MCK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi jalan di kampung kasus menunjukkan kerusakan jauh di bawah 80%, yaitu hanya 20% saja
jalan yang rusak, sedangkan sebagian besar jalan telah berupa rabat beton dan aspal. Demikian halnya dengan kondisi drainase yang mengalami kerusakan sebesar 64% dari 80% yang disyaratkan. Temuan ini menunjukkan bahwa adanya ketidaksesuaian antara prasyarat dengan penerapannya pada komponen jalan, sedangkan dalam kasus drainase, perbaikan diperlukan karena dalam kondisi banjir saluran air eksisting tidak dapat menampung debit air yang akan menggenangi kampung tersebut.
Hal yang sama juga terjadi pada pengelolaan sampah di kampung kasus menunjukkan bahwa sebesar 77% sampah telah diangkut oleh petugas kebersihan, sedangkan sisanya dibuang sendiri, baik ke lahan kosong maupun ke laut. Ketidaksesuaian dalam aspek persampahan juga terjadi, walaupun selisihnya dengan persentase prasyarat tidak sebesar komponen jalan dan drainase. Selanjutnya, pengadaan air bersih dan air minum di kampung kasus menggambarkan kondisi 53% penduduk membeli air galon, 38% menggunakan saluran Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), dan sisanya, 4%, menggunakan hidran umum. Kondisi ini tidak sesuai dengan prasyarat kampung sasaran, yang mengindikasikan kekurangan air bersih dan air minum. Kemudian, fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK) yang menjadi perhatian dalam pola penanganan ini, menunjukkan bahwa 81% warga kampung telah memiliki septic tank pribadi dan 14% warga memiliki septic tank bersama (komunal) dalam keadaan baik. Hal ini menunjukkan ketidaksesuaian yang signifikan, mengingat prasyarat pola penanganan KIP yaitu 80% fasilitas MCK dalam keadaan rusak. Untuk lebih jelasnya, seluruh komponen rinci yang menunjukkan ketidaksesuaian prasyarat KIP dengan hasil penelitian di Kampung Terapan seperti dalam Tabel 1.
Tabel 1. Presentase Komponen Rinci Pelaksanaan Program KIP
Komponen |
Kampung Terapan (Data Primer, Hasil Perhitungan) |
Kampung Sasaran (Prasyaratj Data Sekunder) |
Jalan |
Rusak (hanya 20% ) |
Rusak (80%) |
Drainase |
Rusak (64%) |
Rusak (80%) |
Fasilitas MCK |
Sepric ZaHfcpribadi (81%) dan septic Zanfcbersama (14%) |
Tidak tersedia (80%) |
Pengelolaan Sampah |
Petugas kebersihan (77%), dan sisanya dibuang sendiri ke lahan kosong /ke laut |
Tidak tersedia gerobak (80%) |
Pengadaai air Bersih |
Tersedia (95%): membeli air galon (53%),PDAM (38%), hidran umum (4%) |
Tidaktersedia (80%) |
Pola Penanganan Program P2KP
Perbaikan usaha ekonomi masyarakat merupakan karakteristik dasar dalam Pola Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang diterapkan di Kampung kasus, yaitu pada Kampung Ballaparang di Kota Makassar. Pendekatan pola P2KP yaitu perbaikan ekonomi dengan menggulirkan dana sebesar 80% untuk usaha ekonomi dan 20% untuk perbaikan lingkungan. Prasyarat pola P2KP yang diperoleh dari pengelola proyek (data sekunder) adalah rendahnya tingkat dan ketersediaan komponen-komponen rinci yang meliputi ekonomi, pendidikan, dan lingkungan. Indikasi dinyatakan dengan persentase, yaitu 80% dalam tingkat rendah (untuk usaha ekonomi skala kecil dan tingkat pendidikan dasar) dan 60% komponen tidak tersedia (gerobak untuk pengelolaan sampah).
Pengamatan kondisi kampung kasus untuk tiap komponen rinci meliputi, usaha ekonomi, tingkat pendidikan, dan pengelolaan sampah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi usaha ekonomi di kampung kasus menunjukkan keragaman skala usaha, yaitu 40% usaha skala kecil dan 60% berupa skala menengah dan besar. Temuan ini
Hasil penelitian ini juga mengungkapkan bahwa pendidikan keterampilan yang dimiliki penduduk sudah memadai, yang ditunjukkan melalui lulusan akademi (2%) serta keberadaan tukang bangunan dan pekerja bengkel. Seperti halnya komponen ekonomi, tingkat pendidikan yang disyaratkan tidak sesuai dengan kondisi nyata di kampung kasus. Berbeda dengan kedua komponen di atas, pengelolaan sampah di kampung kasus telah mencukupi sebesar 40%. Hal ini sesuai dengan prasyarat pengelolaan sampah yaitu tidak tersedianya gerobak sampah sebesar 60% walaupun pengoperasian pengelolaannya diindikasikan kurang terealisasi. Ketiga temuan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi ketidaksesuaian antara kondisi yang disyaratkan untuk kampung sasaran pola P2KP dengan kondisi awal kampung terapan, dalam hal ini kondisi Kampung Kasus Ballaparang di tahun 1999. Dua dari tiga komponen rinci ini menunjukkan ketidaksesuaian yang signifikan, yaitu komponen ekonomi dan pendidikan, sedangkan komponen pengelolaan sampah menunjukkan kesesuaian walau dinilai rendah pada pelaksanaannya. Indikasi prasyarat program ini dengan hasil penelitian di lapangan dapat dilihat dalam Tabel 2.
Tabel 2. Presentase Komponen Rinci Pelaksanaan Program P2KP
Komponen |
Kampung Terapan (Data Primer. Hasil Perhitungan) |
Kampung Sasaran (Prasvarat. Data Sekunderj | |
Ekonomi |
Usaha skala kecil [40%) dan skala menengah dan besar (60%) |
Usaha ekonomi skala keeil dalam tingkat rendah |
(80%) |
Pendidikan |
SD (<50% 1, SLTP (36%). SLTA (30%). Akademir2%), sisanya buruh bangunan dan pekerja bengkel. |
Tingkat pendidikan dasar dalam tingkat rendah |
[80% 1 |
Lingkungan |
Pengelolaan sampah telah mencukupi sebesar 40%. |
Tidak tersedia gerobak pengelolaan sampak (60%) |
untuk |
mengungkapkan ketidaksesuaian yang signifikan, antara prasyarat ekonomi usaha kecil kampung sasaran dengan kampung terapan (kampung kasus), yang hanya memiliki usaha kecil setengah dari prasyarat komponen tersebut. Kemudian pola ini mengindikasikan tingkat pendidikan kampung sasaran, yaitu 80% penduduk hanya mengenyam tingkat pendidikan dasar, sedangkan kondisi di kampung kasus menunjukkan bahwa lebih dari 50% penduduk telah tamat pendidikan dasar dan menengah (36%) dan tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (30%).
Pola Penanganan Program Cobild
Cobild merupakan salah satu pendekatan penanganan pembangunan perumahan dengan konsep berbasis pada prakarsa komunitas masyarakat. Pola ini mengembangkan dan menerapkan pendekatan pembangunan perumahan yang menekankan pada penerapan pola pembangunan perumahan yang bertumpu pada masyarakat berdasarkan pemberdayaan masyarakat, pengembangan mekanisme pembangunan yang berbasis pada komunitas masyarakat, dan penciptaan sistem pendukung kelembagaan pemberdayaan
Tabel 3. Presentase Komponen Rinci Pelaksanaan Program CoBILD
Komponen |
Kampung Terapan (Data Primer1 Hasil Perhitunganj |
Kampung Sasaran (Prasvarat. Data SekunderJ |
Komponen |
Hasii Penelitian |
Prasvarat |
Prasaranajalan |
Rusak (40%) can rabat beton (60%) |
Tingkat rendah (60%) |
Bangunan Rumah |
Sehagiar. besar layak huni |
Tidak Iavak huni ⅛{J%∣ |
Gerobak Sampah |
Tersedia gerobak Sarnoah (58%) |
Tidak tersedia (60%j |
Sertifikat Tanah |
Vlemiliki sertifikat Hak Gana Banaa-nan (HGB) (95%) |
tidak mempunyai sertifikat (80%) |
komunitas masyarakat. Perbaikan struktur bangunan rumah serta prasarana lingkungan merupakan karakteristik dasar pola CoBILD yang diterapkan pada kampung Kampung Cambayya di Kota Makassar (Effendi, J. 2007). Pendekatan pola CoBILD yaitu mengalokasikan dana sebesar 100% untuk perbaikan struktur bangunan dan prasarana lingkungan melalui pengguliran dana kepada masyarakat. Prasyarat pola CoBILD yang diperoleh dari pengelola proyek (data sekunder) adalah rendahnya ketersediaan komponen-komponen rinci yang meliputi struktur bangunan rumah, kepemilikan sertifikat, dan pengelolaan sampah. Indikasi dinyatakan dengan persentase, yaitu 60% komponen dalam tingkat rendah (untuk struktur bangunan rumah tidak layak huni dan gerobak sampah) dan 80% komponen yang tidak dimiliki, dalam hal ini kepemilikan sertifikat tanah.
Pengamatan kondisi kampung kasus untuk untuk pola ini meliputi komponen rinci, yakni: struktur bangunan, kepemilikan sertifikat dan pengelolaan sampah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi jalan di kampung kasus mengalami kerusakan di bawah 60%, yaitu hanya 40% jalan yang rusak dan tidak berfungsi, sedangkan 60% jalan telah berupa rabat beton. Kemudian kondisi struktur bangunan di kampung kasus menunjukkan sebagian besar bangunan rumah dalam kondisi layak huni. Temuan ini mengungkapkan ketidaksesuaian antara prasyarat struktur bangunan kampung sasaran dengan kampung terapan (kampung kasus).
Selanjutnya, mengenai kepemilikan sertifikat tanah di kampung kasus mengungkapkan bahwa 95% warga memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atau girik, 3% warga telah memiliki sertifikat, dan hanya 2% warga yang belum sama sekali memiliki sertifikat. Temuan ini mengindikasikan ketidaksesuaian, mengingat prasyarat yang ditetapkan adalah 80% penduduk belum memiliki
sertifikat. Demikian halnya dengan komponen pengelolaan sampah juga menunjukkan gejala ketidaksesuaian, walau tidak sebesar komponen struktur bangunan dan kepemilikan sertifikat. Kampung kasus telah menyediakan 58% gerobak sampah (42% belum tersedia) namun pengelolaanya belum dapat direalisasikan dengan baik. Temuan-temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi ketidaksesuaian antara kondisi yang disyaratkan untuk kampung sasaran Pola CoBILD dengan kondisi awal kampung terapan, dalam hal ini kondisi Kampung Kasus Cambayya di tahun 2002. Indikasi ketidaksesuaian prasyarat kampung sasaran dengan pelaksanaan program CoBILD di Kampung Terapan dapat dilihat dalam Tabel 3.
Pola Penanganan Program NUSSP
Kombinasi perbaikan prasarana lingkungan dan perbaikan perumahan dengan pengguliran kredit mikro merupakan karakteristik dasar pola NUSSP yang diterapkan pada kampung kasus, yaitu Kampung Rappokaling di Kota Makassar (Effendi, J. 2007). Prasyarat pola NUSSP yang diperoleh dari pengelola proyek (data sekunder) adalah rusaknya komponen-komponen rinci yang meliputi komponen jalan, drainase, fasilitas MCK, pengelolaan sampah, dan kredit mikro perumahan. Indikasi kerusakan dinyatakan dengan persentase, yaitu 60% dalam kondisi rusak untuk seluruh komponen rinci, kecuali fasilitas MCK (40% dalam kondisi rusak).
Pengamatan kondisi kampung kasus untuk pola NUSSP dilakukan dengan menggunakan beberapa komponen rinci, yaitu jalan, drainase, fasilitas MCK, pengelolaan sampah, dan kredit mikro perumahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi drainase mengalami kerusakan sebesar 73% dari minimal 60% yang disyaratkan, sedangkan komponen jalan terdapat kesesuaian antara prasyarat dengan penerapannya. Kemudian fasilitas Mandi
Cuci Kakus (MCK) di kampung kasus, menunjukkan bahwa 92% warga kampung telah memiliki septic tank pribadi dan dalam keadaan berfungsi. Hal ini menunjukkan ketidaksesuaian yang signifikan, mengingat prasyarat pola penanganan yang mentargetkan 40% fasilitas Mandi Cuci Kakus dalam keadaan rusak. Untuk pengelolaan sampah di kampung kasus menunjukkan bahwa sebesar 57% sampah sudah ditangani, sedangkan sisanya dibuang sendiri, baik ke lahan kosong maupun ke sungai. Ketidaksesuaian dalam aspek persampahan juga terjadi, walaupun selisihnya dengan persentase prasyarat tidak sebesar komponen jalan dan MCK.
Komponen rinci lain, yakni kredit mikro perumahan yang dinilai menurut persepsi warga kampung. Hasil penilaian menunjukkan bahwa sebagian besar warga (75%) beranggapan bahwa bunga kredit terlalu tinggi, 15% penduduk mempertanyakan persyaratan kelengkapan dokumen, dan hanya 10% yang setuju dan tidak mempersoalkan kredit mikro perumahan yang diberikan pada rumah yang tidak layak huni. Dari hasil penelitian ini mengungkapkan adanya ketidaksesuaian antara kondisi yang disyaratkan untuk kampung sasaran pola NUSSP dengan kondisi awal kampung terapan, dalam hal ini kondisi Kampung Kasus Rappokaling di tahun 1999. Empat dari lima komponen rinci menunjukkan ketidaksesuaian dengan variasi atau keragaman tertentu, dimana komponen jalan dan MCK menunjukkan ketidaksesuaian yang signifikan, sedangkan komponen drainase menunjukkan kesesuaian. Indikasi prasyarat kampung sasaran dengan pelaksanaan program NUSSP di Kampung Terapan dapat dilihat dalam Tabel 4.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat program ini menggunakan pola penanganan yang berbeda-beda. Program KIP yang dilaksanakan di Kampung Penjaringan (Jakarta) menggunakan pola perbaikan lingkungan fisik, sedangkan program P2KP menggunakan pola pendekatan perbaikan usaha ekonomi masyarakat yang dilaksanakan di Kampung Ballaparang (Sulsel) dengan menggulirkan dana sebesar 80% untuk usaha ekonomi dan 20% untuk perbaikan lingkungan. Kemudian, program CoBILD menerapkan perbaikan struktur bangunan rumah dan prasarana lingkungan dengan mengalokasikan dana 100% di Kampung Cambayya (Sulsel), sedangkan program NUSSP menggunakan kombinasi perbaikan prasarana lingkungan dan perbaikan perumahan dengan menggulirkan kredit mikro di Kampung Rappokalling kota Makassar.
Selanjutnya, dalam penelitian ini ditemukan bahwa keempat program yang telah dilaksanakan ini umumnya terdapat ketidaksesuaian antara kondisi yang diisyaratkan untuk kampung sasaran dengan kondisi awal kampung terapan. Ketidaksesuaian antara kondisi kampung sasaran dengan kondisi nyata kampung terapan, mengindikasikan bahwa pola penanganan / perbaikan permukiman kumuh perkotaan yang telah dilaksanakan dari tahun ke tahun belum sepenuhnya mengalami perubahan kondisi yang terjadi selama periode tersebut sesuai dengan waktu pelaksanaan pola penaganan yang ada . Dengan kata lain, penerapan permukiman kumuh atau kampung yang ditargetkan untuk diperbaiki pada setiap pola penanganan yang diperkenalkan hanya berdasaarkan kepada asumsi akan sebuah kondisi kampung tertentu. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut:
Tabel 4. Presentase Komponen Rinci Pelaksanaan Program NUSSP
Komponen |
Hasil PeneJitian |
Prasyarat |
Jalan |
Rusak( 60% j |
Rusak (60%) |
Drainase |
Kondisi baik (73%) |
Rusak (60%) |
Fiisijiias MCK |
Septic tank pribadi dalam kondisi baik (92%) |
Dalam kondisi rusak (40%) |
Pengelolaan Sampah |
Sudah dikelola (57%) sisanya dibuang ke lahan kosong sungai |
Tidak dikelola (60%) |
Kredi: Mikre |
Seiuju. tidak mempersoalkan kredit mikro [1 0%) |
Setuja. tidak mempersoalkan Aiedil mikro (6()%) |
Penilaian Kesesuaian Pola KIP
Dengan berdasarkan hasil presentase komponen rinci dalam Tabel 1 terlihat perbandingan prasyarat pola KIP kampung sasaran dengan kampung terapan yang direpresentasikan dengan kampung kasus, pada saat pola tersebut dilaksanakan. Pengamatan kondisi kampung kasus untuk tiap komponen, yaitu jalan, drainase, pengelolaan sampah, pengadaan air bersih, dan fasilitas MCK, menunjukkan kerusakan jauh di bawah 80%, yaitu hanya 20% jalan yang rusak, sedangkan sebagian besar jalan telah berupa rabat beton dan aspal. Kondisi ini mengungkapkan bahwa terjadi ketidaksesuaian yang signifikan antara prasyarat kampung sasaran dengan kampung terapan untuk komponen jalan. Sebaliknya, tingkat keberhasilan dari pola penanganan KIP menunjukkan bahwa perbaikan jalan dan pemanfaatan buruh lokal dinilai sangat baik oleh responden, sedangkan sebagian besar komponen lainnya dinilai sedang Hal ini juga telah diungkapkan oleh Dicky Irawan (2003), bahwa penerapan program KIP hanya mampu memberikan prasarana jalan yang memadai serta lapangan kerja yang bersifat sementara. Dengan demikian, setelah kegiatan proyek berakhir masyarakat kembali tidak berdaya dan tetap merasa miskin, serta merasa harus tetap dibantu oleh pemerintah.
Penilaian Kesesuaian Pola P2KP
Dari Tabel 2 menunjukkan kondisi usaha ekonomi di kampung kasus terdapat keanekaragaman skala usaha, yaitu 40% usaha skala kecil dan 60% berupa skala menengah dan besar. Kondisi ini mengungkapkan ketidaksesuaian yang signifikan, antara prasyarat ekonomi usaha kecil kampung sasaran dengan kampung terapa, yang hanya memiliki usaha kecil setengah dari prasyarat komponen tersebut. Selain itu, pola ini mengindikasikan tingkat pendidikan kampung sasaran, yaitu 80% penduduk hanya mengenyam tingkat pendidikan dasar, sedangkan kondisi di kampung kasus menunjukkan bahwa lebih dari 50% penduduk telah tamat pendidikan dasar dan menengah (36%) dan tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (30%). Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa pendidikan keterampilan yang dimiliki penduduk sudah memadai, yang ditunjukkan melalui lulusan akademi (2%) serta keberadaan tukang bangunan dan pekerja bengkel.
Berbeda dengan kedua komponen di atas, pengelolaan sampah di kampung kasus telah mencukupi sebesar 40%. Hal ini sesuai dengan prasyarat pengelolaan sampah yaitu tidak tersedianya gerobak sampah sebesar 60%. Walaupun, pengoperasian pengelolaannya diindikasikan kurang terealisasi. Ketiga kondisi tersebut mengindikasikan bahwa, terjadi ketidaksesuaian antara kondisi yang disyaratkan untuk kampung sasaran pola P2KP dengan kondisi awal kampung terapan.
Selanjutnya, keberhasilan pola penanganan P2KP berdasarkan responden hanya tertuju pada komponen perbaikan usaha kecil dan pemberdayaan ekonomi, sedangkan sebagian komponen lainnya (jalan, drainase, dan sampah) dinilai kurang berhasil. Ketidakberhasilan komponen ini oleh Nina Fatma (2007) dalam penelitiannya mengungkapkan, adanya faktor tingkat partisipasi masyarakat masih rendah dalam kegiatan fisik P2KP. Hal ini didukung dengan ditemukannya beberapa sarana dan prasarana fisik yang dibangun melalui bantuan P2KP, ternyata kondisinya sekarang malah bertambah parah, bahkan ada yang tidak berfungsi lagi.
Penilaian Kesesuaian Pola CoBILD
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan dalam Tabel 3 menunjukkan bahwa kondisi jalan di kampung kasus mengalami kerusakan di bawah 60% (hanya 40% jalan yang rusak dan tidak berfungsi), sedangkan 60% jalan telah berupa rabat beton. Hal ini mengungkapkan ketidaksesuaian antara prasyarat kampung sasaran dengan kampung terapan untuk komponen jalan. Kemudian kondisi struktur bangunan di kampung kasus menunjukkan sebagian besar bangunan rumah dalam kondisi layak huni. Mengenai kepemilikan sertifikat tanah di kampung kasus mengungkapkan bahwa 95% warga memiliki sertifikat HGB atau girik, 3% warga telah memiliki sertifikat, dan hanya 2% warga yang belum sama sekali memiliki sertifikat. Kedua komponen ini mengindikasikan ketidaksesuaian antara prasyarat struktur bangunan kampung sasaran dengan kampung terapan.
Demikian juga komponen pengelolaan sampah menunjukkan gejala ketidaksesuaian, walau tidak sebesar komponen struktur bangunan dan kepemilikan sertifikat. Kampung kasus telah menyediakan 58% gerobak sampah (42% belum
tersedia) namun pengelolaanya belum dapat direalisasikan dengan baik dengan merujuk pada prasyarat yang menetapkan 60% gerobak sampah yang belum tersedia. Kondisi ini menunjukkan ketidaksesuaian komponen rinci yang disyaratkan dengan variasi dan keragaman tertentu (Supranto, 1973 dan LP3ES,1982). Ditinjau dari keberhasilan program CoBild terlihat hanya pada perbaikan rumah dan penambahan kamar yang dinilai sangat baik, sedangkan sebagian besar komponen lainnya dinilai rendah (sertifikat tanah, jalan, drainase, dan sampah) oleh responden.
Penilaian Kesesuaian Pola NUSSP
Perbandingan prasyarat pola kampung sasaran dengan kondisi kampung terapan yang direpresentasikan dalam Tabel 4, menunjukkan kondisi drainase mengalami kerusakan sebesar 73% dari minimal 60% yang disyaratkan dan 92% warga kampung memiliki fasilitas MCK, dari 40% yang ditargetkan. Sedangkan komponen jalan dan pengelolaan sampah, terdapat kesesuaian antara prasyarat dengan penerapannya. Tingkat keberhasilan penanganan pola NUSSP cukup baik pada sebagaian besar komponen-komponen yang terdiri dari jalan, drainase, MCK, sampah, kemitraan, pemberdayaan kemampuan kelembagaan. bahan bangunan lokal, dan pemanfaatan buruh lokal. Hanya komponen kredit mikro dan perencanaan partisipatif saja yang dinilai rendah. Aprianto Patabang (2010) dalam hasil penelitiannya mengungkapkan, rendahnya tingkat partisipatif masyarakat dalam program NUSSP dipengaruhi oleh kepemimpinan para tokoh masyarakat setempat dan sumber daya manusia yang tersedia. Empat dari lima komponen rinci ini menunjukkan ketidaksesuaian antara kondisi yang disyaratkan untuk kampung sasaran pola NUSSP dengan kondisi awal kampung terapan, dimana komponen jalan dan MCK menunjukkan ketidaksesuaian yang signifikan.
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Ketidaksesuaian antara kondisi prasyarat kampung sasaran dengan kondisi nyata kampung terapan, mengindikasikan bahwa pola penanganan/perbaikan permukiman kumuh atau kampung perkotaan yang dilaksanakan dari periode ke periode belum sepenuhnya memperhatikan perubahan kondisi yang terjadi selama periode tersebut sesuai dengan waktu pelaksanaan pola penanganan yang ada.
-
2. Penetapan permukiman kumuh atau kampung yang ditergetkan untuk diperbaiki pada setiap pola penanganan yang diperkenalkan hanya didasarkan kepada asumsi akan sebuah kondisi kampung tertentu yang didasarkan kepada pemahaman umum terhadap kondisi kampung yang terjadi (general condition) pada periode tersebut dan belum kepada kondisi nyata yang dipunyai kampung-kampung tersebut (site specific),
-
3. Bagaimanapun bentuk program penanganan kawasan permukiman kumuh di perkotaan dilaksanakan, maka yang paling penting dilakukan oleh pemerintah adalah mengajak serta masyarakat untuk ikut andil mulai dari usulan program, perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pengoperasiannya dan pemeliharaannya, sehingga program-program tersebut benar-benar bermanfaat bagi masyarakat. Selain itu, pemerintah harus duduk bersama-sama dengan masyarakat untuk mensosialisasikan program-program yang akan dilaksanakan secara transparan sehingga masyarakat mengerti benar akan hal-hal yang harus dilaksanakan sesuai dengan kapasitasnya sebagai penerima program.
Daftar Pustaka
Anonimm. 1975. Pelaksanaan Proyek MH Thamrin DKI Jakarta. BAPPEM MHT. Jakarta.
Aprianto Patabang. 2010. “Faktor-Faktor Pendorong dan Penghambat Partisipasi Masyarakat Pada Pelaksanaan Program NUSSP Di Kel.Rappocini – Kel. Pannampu Kota Makassar”. Tugas Akhir tidak diterbitkan, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang.
D.T. Saraswati. 2004. “Analisis Kebijakan Penataan Kawasan Permukiman Kumuh Perkotaan di DKI Jakarta (Studi Kasus Kelurahan Kapuk, Kecamatan Cengkareng, Kotamadya Jakarta Barat”. Tugas Akhir tidak diterbitkan, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Indonesia, Jakarta.
Dicky Irawan. 2003. “Peran Serta Masyarakat Dalam Penyediaan Perkotaan Melalui Community Contract di Kota Pentianak”. Tugas Akhir tidak diterbitkan, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang.
Effendi,J. 2005. “Kawasan Kumuh dan Pengembangannya. Makalah disajikan pada Seminar Nasional ASPI, Universitas Taruma Negara.
Effendi,J.2007. “Perubahan Kondisi Permukiman Perkotaan dan Perkembangan Karakteristik Pola Penanganannya”. Tugas Akhir tidak diterbitkan, Program Doktor Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Bandung.
Hidayat. 1983. “Situasi Pekerjaan, Setengah Pengangguran dan Kesempatan Kerja di Sektor Informal”. Makalah disampaikan pada Lokakarya Angkatan Kerja dan Kesempatan Kerja. Jakarta.
Haryani, N.S,. 1997. Hubungan Kondisi Fisik Lingkungan Permukiman Kumuh dengan Kondisi Sosial Ekonomi Penghuni. Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.
Krause, G.H. 1975. “The Kampong of Jakarta, Indonesia: A Study of Spatial Patterns in Urban Poverty”. Tugas Akhir tidak diterbitkan, Ph.D Disertasi. University of Pittsburgh.
LP3ES. 1982. “Studi Monitoring dan Evaluasi Program Perbaikan Kampung”. Jakarta.
Nina Fatma. 2007. “Upaya Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Mendukung Keberlangsungan Kegiatan Pembangunan Fisik dari Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) (Studi Kasus : Kelurahan Situsaeur dan Kelurahan Sukahaji, Kota Bandung). Tugas Akhir tidak diterbitkan, Institut Teknologi Bandung.
Supranto. 1973. “Hasil Survey Kampung-kampung DKI yang Terkena Proyek M. Husni Thamrin, Prisma”. LP3ES. Jakarta.
Turner, J.F.C. 1976. “Housing by People, Towards Autonomy in Building Environments, Morion Boyars”. London.
Werlin, H. 1999. “The Slum Upgrading Myth”. Urban Studies, 36(9). 1523-1534.
210
Discussion and feedback