Jurnal Bumi Lestari, Volume 17 No. 1, Pebruari 2017, hlm. 58-68

IDENTIFIKASI KESESUAIAN PENGGUNAAN LAHAN PERTANIAN DAN TINGKAT PENCEMARAN AIR SUNGAI

(STUDI KASUS DAS BRANTAS HULU KOTA BATU)

Novia Lusiana1)*, Bambang Rahadi1), Fajri Anugroho1)

1 Program Studi Teknik Lingkungan – Jurusan Keteknikan Pertanian – Fakultas Teknologi Pertanian – Universitas Brawijaya, Jl. Veteran Malang, 65145

*Penulis Korespondensi, Email :[email protected],[email protected]

Abstract

Development on each sector would gived negatife effect for environment quality, such as agriculture development to be agroindustry. One of the negative effect of intensification effort through using of pesticide is donate contaminant to water. Identification of suitability agriculture landuse and water polution level by pesticide using is the one effort to save a resource from intensification agriculture efforts. The methods that we was used are analysis spatial for determined of suitability agriculture landuse and contamination indeks for describe how far the water contamination. The result showed that the area where suitable for agriculture in Batu is 1333, 54 Ha or 6,78% and the evaluation result showed there is unsuitable landuse in existing condition is 25,67% from total area, and 32,05% for spatial planning condition. The increased of unsuitable landuse on spatial planning caused by agriculture sector development which the area for agriculture more larger than the land capability, planing for agriculture area is 3289, 76 Ha. Contamination level for water river in Brantas from good condition with IP value is 0.92 on Sumber Brantas and the higest level in Ngujung’s river with IP value is 245,39 with weigh level status. Agriculture intensification efforts also have contribution to reduction water quality on the upper of Brantas.

Keywords: Brantas watershed; suitability landuse; water river contamination; agriculture

Abstrak

Perkembangan setiap sektor pembangunan akan membawa dampak negatif terhadap lingkungan, begitu juga dengan perkembangan sektor pertanian menjadi agroindustri. Salah satu dampak negatif dari perkembangan kegiatan pertanian adalah usaha intensifikasi pertanian melalui penggunaan pestisida yang berpotensi mencemari air sungai. Identifikasi terhadap kesesuaian penggunaan lahan pertanian serta tingkat pencemaran air sungai oleh penggunaan pestisida merupakan langkah awal dalam usaha menjaga sumberdaya alam akibat usaha intensifikasi pertanian. Metode penelitian yang digunakan terdiri dari dua metode yaitu analisa spasial untuk kesesuaian penggunaan lahan pertanian dan indeks pencemaran untuk mendeskripsikan tingkat pencemaran air sungai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas lahan yang sesuai dengan peruntukan pertanian (Kelas I dan II) di Kota Batu sebesar 1333,54 Ha atau 6,78%, hasil evaluasi kelas kemampuan lahan menunjukkan ketidaksesuaian penggunaan lahan kondisi saat ini sebesar 25,67% dan berdasarkan RTRW sebesar 32,05% . Peningkatan ketidaksesuaian penggunaan lahan juga diperoleh dari perkembangan sektor pertanian dimana luas lahan pertanian yang dialokasikan 3289,756 Ha lebih dari luas lahan pertanian yang tersedia. Tingkat pencemaran air sungai DAS Brantas hulu Kota Batu berada pada status pencemaran ringan sampa berat dengan indeks pencemaran terendah 0,92 (kondisi baik) berada di Sumber Brantas dan tertinggi 245,39 pada Sungai Ngujung, Desa Pandanrejo. Usaha intensifikasi pertanian di Kota Batu juga memiliki kontribusi terhadap penurunan kualitas air di DAS Brantas Hulu.

Kata kunci: DAS Brantas; kesesuaian lahan; pencemaran air sungai; pertanian

  • 1.    Pendahuluan

Sebagian masyarakat perkotaan bertempat tinggal di sekitar aliran sungai dan karena alasan ekonomi, mereka memanfaatkan air sungai untuk aktivitas MCK (mandi, cuci dan kakus) dan keperluan lainnya misalnya irigasi (Pradityo, 2011). Hal ini dapat mengakibatkan beragam gangguan kesehatan karena kualitas air tidak sesuai dengan peruntukannya bagi manusia, dan pada akhirnya juga berdampak terhadap penurunan kualitas air sungai (Effendi, 2003). Salah satu kegiatan yang berpotensi menurunkan kualitas air adalah usaha intensifikasi pertanian dengan tujuan untuk meningkatkan produksi pertanian secara cepat. Penggunaan pestisida di dalam kegiatan usaha intensifikasi pertanian merupakan salah satu contoh usaha yang dapat menurunkan kualitas perairan.

Kota Batu adalah wilayah yang memiliki tanah dengan tingkat kesuburan yang relatif baik sehingga banyak komoditas yang sesuai untuk dibudidayakan. Sebagian besar masyarakat Kota Batu bermatapencaharian sebagai petani sehingga sebagian besar lahannya dimanfaatkan sebagai lahan peruntukan pertanian disamping sektor pariwisata dikarenakan cuaca yang cukup rendah. Kota Batu merupakan salah satu lokasi hulu DAS Brantas dan berada pada sub DAS Ambang. Sub DAS Ambang terbagi menjadi 3 Sub DAS yaitu: Sub DAS Upper Brantas (Kota Batu), Sub DAS Ambang (Kota Malang dan Kabupaten Malang) dan Sub DAS Bango (Kota Malang dan Kabupaten Malang). Posisi DAS Brantas Kota Batu yang berada di hulu meletakkan DAS Brantas sebagai penyangga ketersediaan air bagi masyarakat yang berada di hilir yang berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Timur No 61 Tahun 2010 menetapkan kualitas air sungai DAS Brantas berada pada Kelas I sebagai peruntukan air minum. Hasil penelitian (Fatmawati, 2012) menunujukkan bahwa kualitas air di Kali Ngrowo anak Sungai Brantas yang terletak di Tulungagung menurun dimana parameter BOD sudah melalmpui batas ambang kelas II dan III.

Berdasarkan indikator kualitas air menurut Yetti, 2007 pada tahun 2003 Sungai Brantas mempunyai pH 7,8, kandungan nitrit sebesar 3,79 mg/L dan fosfat sebesar 0,5 mg/L, sedangkan pada tahun 2004 BOD Sungai Brantas sebesar 18,83 mg/L dan COD 39,59 mg/L yang masing-masing diatas ambang batas baku mutu. Hal ini mengindikasikan adanya pencemaran di DAS Brantas yang menyebabkan penurunan

peruntukan. Secara statistik (metode STORET) menunjukkan bahwa Kali Brantas di daerah hulu dan tengah (mulai dari jembatan pendem kota batu sampai dengan DAM Lengkong) berada pada kondisi tercemar sedang dan di hilir (mulai dari DAM lengkong hingga pecah menjadi Kali Surabaya dan Kali Porong sampai ke muara) tercemar berat (BLH Jawa Timur, 2011). Hasil penelitian Rahadi 2013, menunjukkan kondisi penggunaan lahan saat ini sebesar 25,66% tidak sesuai dengan kelas kemampuan lahan, sedangkan kondisi penggunaan lahan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah terdapat peningkatan ketidaksesuaian penggunaan lahan sebesar 32,05%. Hal ini dapat mempengaruhi kualitas air di DAS Brantas.

Identifikasi terhadap kesesuaian penggunaan lahan pertanian serta tingkat pencemaran air sungai oleh penggunaan pestisida merupakan langkah awal dalam usaha menjaga sumberdaya alam akibat usaha intensifikasi pertanian. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kesesuaian penggunaan lahan pertanian di Kota Batu dan menentukan tingkat pencemaran DAS Brantas Hulu Kota Batu akibat usaha intensifikasi pertanian.

  • 2.    Metodologi

    • 2.1    Bahan

Sampel yang diambil adalah air Sungai Brantas Hulu yang melalui Kota Batu, titik pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 1. Peta penggunaan lahan existing dan peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Batu dari BAPPEDA menjadi referensi untuk penentuan kesesuaian penggunaan lahan pertanian Kota Batu.

  • 2.2    Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah cool box, currentmeter, botol sampel, meteran dan freezer. Serta satu perangkat Personal Computer dilengkapi dengan software ArcView 3.3 sebagai software Sistem Informasi Geografis.

  • 2.3    Metode

Metode yang digunakan untuk identifikasi kesesuaian lahan pertanian adalah overlay (tumpang tindih) antara peta kelas kemampuan lahan dengan peta penggunaan lahan serta peta rencana tata ruang wilayah Kota Batu dengan kategori hasil adalah

sesuai dan tidak sesuai. Kelas kemampuan lahan ditentukan berdasarkan karakteristik lahan yang diklasifikasikan ke dalam sub kelas yang terdiri dari tekstur tanah, permeabiltas, drainase, kedalaman efektif, kelerengan dan erosi (Permen LH No. 17 Tahun 2009). Pengklasifikasian kelas lahan akan menentukan arahan peruntukan lahan yang sesuai dengan kemampuan lahan, dimana kelas lahan dibagi menjadi I-VIII yang dibagi berdasarkan faktor penghambat. Kelas I, II digunakan sebagai peruntukan pertanian, kelas III sebagai pemukiman, kelas IV, V, dan VI sebagai peruntukan lahan tanaman tahunan/keras, padang rumput, kelas VII sebagai hutan produksi dan kelas VIII sebagai hutan lindung (Rustadi, 2010).

Penentuan titik pengambilan sampel air menggunakan metode grab sampling, yaitu cara penentuan titik pengambilan sampel air dengan melihat pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan oleh peneliti antara lain didasari atas kemudahan askes, biaya maupun waktu dalam penelitian (Yuliastuti, 2011). Penentuan titik pengambilan sampel air harus dapat mengambarkan karakteristik keseluruhan sungai. Parameter yang digunakan dalam penelitian ini adalah debit, pH, BOD, COD, TSS, DO dan Total N (sebagai identifikasi adanya pencemaran dari aktivitas pertanian).

Penentuan status mutu air sungai dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Indeks Pencemaran (Kepmen LH No. 115 Tahun 2003). Rumus perhitungan dengan metode Indeks Pencemaran adalah sebagai berikut:

Pij =J^2⅛⅛     (1)

dimana :

Lij      : kosentrasi parameter kualitas air yang

dicantumkan dalam baku mutu peruntukan air (j),

Ci       : konsentrasi parameter kualitas air (i), PIj :

Indeks Pencemaran bagi peruntukan (j),

(Ci/Lij)M : nilai Ci/Lij maksimum, dan (Ci/Lij)R : Nilai Ci/Lij rata-rata.

Indeks Pencemaran ini mencerminkan keterce-maran sungai dengan membandingkannya dengan baku mutu sesuai kelas air yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 82 Thn 2001. Sehingga dapat diperoleh informasi dalam menentukan dapat atau tidaknya air sungai dipakai untuk peruntukan tertentu sesuai kelas air. Langkah-Langkah dalam penentuan status mutu air sungai dengan menggunakan metode Indeks Pencemaran sesuai dengan Keputusan Menteri Lingkungan

Gambar 1. Peta lokasi pengambilan sample


Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Penentuan status pencemaran sungai. Kategori indek pencemaran dibagi menjadi empat yaitu kondisi baik dengan nilai 0 d” Pij d” 1,0, kondisi cemar ringan dengan nilai 1,0 < Pij d” 5,0, cemar sedang dengan nilai 5,0 < Pij d” 10, dan cemar berat Pij > 10,0.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Deskripsi Lokasi Penelitian

Kota Batu secara geografis terletak diantara 122° 17’ - 122° 57’ Bujur Timur dan 7° 44’ - 8° 26’ Lintang Selatan. Wilayahnya, secara administratif terletak di wilayah Propinsi Jawa Timur. Luas wilayah Kota Batu secara keseluruhan adalah sekitar 19.908,75 Ha yang terdiri tiga kecamatan yaitu : Kecamatan Batu dengan luas 4545,81 Ha, Kecamatan Junrejo dengan luas 2565,02 Ha dan Kecamatan Bumiaji dengan luas 12797,92 Ha. Ketinggian lokasi berkisar antara 575 m sampai dengan 3275 m dpl. Penggunaan lahan aktual Kota Batu bervariatif dengan komposisi luasan sebagai berikut hutan alam 6155,62 Ha (30,92%), hutan produksi 362,40 Ha (1,82%), kebun campuran951,11 Ha (4,78%), padang rumput 221,23 Ha (1,11%), pemukiman 1984,52 Ha (9,97%), sawah irigasi2381,74 Ha (11,96%), sawah tadah hujan 881,92 Ha (4,43%), semak belukar2653,49.Ha (13,33%) dan tegalan 4316,72 Ha (21,68%).

Berdasarkan rencana tata ruang wilayah Kota Batu Tahun 2010-2030, pemerintah Kota Batu mengembangkan sector pemukiman dengan peningkatan lahan pemukiman sebesar 8,42%, peningkatan lahan hutan produksi sebesar 14,83%, hutan lindung atau alam sebesar 13,15%. Peningkatan beberapa peruntukan lahan tentunya akan menurunkan luasan lahan peruntukan lainnya seperti kebun campuran sebesar 4%, sawah irigasi dan tadah hujan sebesar 8,65%, semak belukar sebesar 13,01% dan tegalan 13,08%.

Kota Batu memiliki lima kategori kelerengan yaitu landai (l2) dengan luas wilayah 6263,4 Ha, agak miring/bergelombang (l3) dengan luas wilayah 4363,8 Ha, miring berbukit (l4) dengan luas wilayah 3982,9 Ha, agak curam (l5) dengan luas wilayah 4987,8 Ha, curam (l6) dengan luas wilayah 287,2 Ha. Laju erosi pada kondisi tata guna lahan saat ini, dapat diketahui bahwa jumlah erosi total Kota Batu dengan luas Kota

sebesar 19.908,75 Ha mencapai 2.633.536,59 ton/thn dengan rata-rata 132,28.ton/ha/thn, sedangkan berdasarkan RTRW diketahui jumlah erosi total Kota Batu mencapai 933.406,27.ton/thn dengan rata-rata 46,88 ton/ha/thn (Rahadi, 2013). Dari perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa terjadi penurunan laju erosi sebesar 1.700.130,32 ton/thn atau 64,56 % dari erosi yang terjadi saat ini. Tekstur tanah Kota Batu terdiri dari tiga jenis yaitu halus (t1), sedang (t3), dan kasar (t4). Luasan wilayah yang bertekstur halus sebesar 211,7 Ha, bertekstur sedang 8229,1 Ha, wilayah bertekstur agak kasar 11468,3 Ha. Sifat permeabilitas tanah di Kota Batu terdiri dari agak lambat (p2), lambat (p1), sedang (p3). Luasan wilayah yang tergolong permeabilitas lambat seluas 211,7 Ha, permeabilitas agak lambat 7762,5 Ha, permeabilitas sedang seluas 11934,9 Ha.

Kemampuan drainase yang dimiliki oleh Kota Batu terdiri dari tiga kategori, yaitu ber-drainase baik sebesar 211,7 Ha. Kemampuan drainase agak buruk sebesar 19522,9 Ha. Kemampuan drainase buruk seluas 173,8 Ha. Kota Batu memiliki tiga kategori kedalaman, yaitu kedalaman tanah dalam (> 90 cm) seluas 211,7 Ha, kedalaman tanah sedang (90 - 50 cm) seluas 7762,5 Ha, dan kedalaman tanah dangkal (50 - 25 cm) seluas 11934,9 Ha.

  • 3.2    Kelas kemampuan lahan dan Kesesuaian

Penggunaan Lahan

Berdasarkan hasil klasifikasi sub kelas lahan, Kota Batu tergolong dalam lahan kelas I, II, III, IV, V , VI dan VII (Gambar 2). Berdasarkan kelas kemampuan lahan arahan penggunaan lahan yang sesuai untuk pertanian (Kelas I, II) sebesar 1333,54 Ha atau 6,79%, luas lahan yang sesuai untuk pemukiman (Kelas III) sebesar 3606,95 Ha atau 18,37%, luas lahan yang sesuai untuk tanaman tahunan/keras, padang rumput dan penggembalaan sebesar 12594,06 Ha atau 64,13%, lahan yang sesuai untuk hutan produksi sebesar 2099,03 Ha atau 10,69%. Berdasarkan data diatas menunjukkan bahwa luas lahan pertanian yang dialokasikan pada kondisi aktual maupun rencana tata ruang wilayah lebih besar bila dibandingkan ketersediaan lahan pertanian yang sesuai dengan kelas kemampuan lahan, pada kondisi aktual penggunaan lahan pertanian lebih besar 1930,12 Ha dan pada rencana tata ruang penggunaan pertanian lebih besar 207,02 Ha. Ketidaksesuaian penggunaan lahan pertanian memberikan kontribusi terhadap


Keterangan:

m: Kelas I. : Kelas II. M : Kelas III

■■ : Kclas IV ^: Kebs V. M : Kebs VI ^B : Kclas VII

Gambar 2. Peta kelas kemampuan lahan Kota Batu

penurunan kualitas lingkungan, pembukaan lahan menyebabkan semakin terbukanya lahan sehingga menyebabkan sedimentasi dalam jumlah tinggi mudah terbawa oleh limpasan air permukaan.

  • 3.3    Indek Pencemaran Air

Status mutu air mencerminkan kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air yang diukur dan diuji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metode tertentu dalam waktu tertentu dengan membandingkan dengan baku mutu air yang ditetapkan (Rahmawati, 2011). Air sungai dikatakan terjadi penurunan kualitas air, jika air tersebut tidak dapat digunakan sesuai dengan status mutu air secara normal (Azwir, 2006). Peraturan Gubernur Jawa Timur No 61 Tahun 2010 menetapkan kualitas air sungai DAS Brantas berada pada Kelas I sebagai peruntukan air minum. Berdasarkan beberapa penelitian dan artikel yang bersumber dari BLH Jawa Timur menunjukkan adanya penurunan kualitas air di DAS Brantas dan penggunaan lahan di sekitar

DAS yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan rata-rata pH di DAS Brantas Hulu Kota Batu adalah 8,5 yang sudah melewati batas ambang baku mutu air Kelas 1 (6-9), grafik pH dapat dilihat pada Gambar 3.

Berdasarkan hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa tiga titik pengambilan sampel kondisi pH di Sumber Brantas masih dibawah ambang batas baku mutu, namun untuk titik selanjutnya kondisi pH berada di atas ambang baku mutu dengan nilai 12,28. Kondisi fluktuatif nilai pH di DAS Brantas Hulu Kota Batu berada di titik pengambilan (titik 16-25) pada Kali Kungkuk yang melewati Desa Sumberejo, Desa Sisir, Desa Temas dan Desa Pandanrejo dengan pH tertinggi sampai 8,57. Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan mempunyai pH sekitar 6,5 – 7,5. Air akan bersifat asam atau basa tergantung besar kecilnya pH air atau besarnya ion hidrogen di dalam air. Air yang mempunyai pH lebih kecil dari pH normal akan bersifat asam, sedangkan air yang mempunyai pH lebih besar dari normal akan bersifat

Gambar 3. Distribusi pH pada 35 Titik Pengambilan Sampel


basa. Air limbah dan bahan buangan industri akan mengubah pH air yang pada akhirnya akan menggangu kehidupan organisme di dalam air (Wardhana, 2004).

Parameter BOD di DAS Brantas menunjukkan bahwa sebagian besar sungai dalam kondisi tercemar yang ditunjukkan dengan kandungan BOD telah melewati batas ambang bakumutu ( 2 untuk air Kelas 1). Total 35 titik sampel yang diambil hanya 6 titik yang masih berada di kondisi dibawah ambang baku mutu yaitu Sumber Brantas, Kali Kungkuk Desa Punten, Kali Kungkuk Desa Sumberejo, Kali Brantas

Desa Temas, Kali Curah Krikil Desa Mojorejo. Sedangkan 29 titik lainnya berada di atas ambang baku mutu dengan konsentrasi BOD tertinggi 73,59 mg/L di titik Kali Kungkuk Desa Pandanrejo. Semakin besar kadar BOD mengindikasikan bahwa perairan telah tercemar, kadar BOD dalam air yang tingkat pencemarannya masih rendah dan dapat dikategorikan sebagai perairan yang baik berkisar 0 – 10 ppm (Salmin, 2005). Perairan yang memiliki nilai BOD lebih dari 10 mg/ltr dianggap telah mengalami pencemaran (Effendi, 2003). Grafik konsentrasi BOD di DAS Brantas Hulu dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Distribusi Kadar BOD pada 35 Titik Pengambilan Sampel


Menurut Wardhana (2004), Chemical Oxygen Demand atau kebutuhan oksigen kimia adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia. Hasil uji laboratorium manunjukkan konsentrasi COD yang masih berada di bawah ambang batas bakumutu (10 mg/L) sebanyak 6 titik yaitu titik Sumber Brantas, Kali Kungkuk Desa Tulungrejo, Kali Kungkuk Desa Punten, Kali Brantas Desa Punten, Kali Curah Krikil Desa Mojorejo. Kandungan COD tertinggi berada di

titik Kali Kungkuk Desa Temas dengan konsentrasi COD sebesar 261,58 mg/L (Gambar 5). Angka COD yang tinggi, mengindikasikan semakin besar tingkat pencemaran yang terjadi (Yudo, 2010).

Perairan yang memiliki nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan dan pertanian (Effendi, 2003). Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l (UNESCO/ WHO/UNEP, 1992).Kadar oksigen yang terlarut diperairan alami bervariasi tergantung pada suhu,

Gambar 5. Distribusi Kadar COD pada 35 Titik Pengambilan Sampel


Gambar 6. Distribusi Kadar DO pada 35 Titik Pengambilan Sampel


salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfir. Semakin besar suhu dan ketinggian (altitude) serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil (Jeffries dan Mills, 1996 dalam Effendi, 2003). Hasil uji laboratorium menunjukkan terdapat 16 titik sampel yang memiliki kandungan DO dibawah batas ambang bakumutu (6 mg/L) sedangkan 19 titik lainnya sudah tercemar dengan nilai DO tertinggi sebesar 15,44 mg/L (Gambar 6). Perairan dapat dikategorikan sebagai perairan yang baik dan tingkat pencemarannya rendah jika kadar oksigen terlarutnya

> 5 mg/l (Salmin, 2005). Kadar oksigen terlarut (DO) pada perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/ltr (Effendi, 2003).

Total Suspended Solid atau padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak dapat mengendap langsung. Padatan tersuspensi terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil dari pada sedimen, seperti bahan-bahan organik tertentu, tanah liat dan lainnya (Fardiaz, 1992). Hasil uji laboratoium menunjukkan dari 35 titik

Gambar 7. Distribusi Kadar TSS pada 35 Titik Pengambilan Sampel


Gambar 8. Distribusi Kadar Total N pada 35 Titik Pengambilan Sampel


Tabel 1. Perhitungan Indeks Pencemaran Air

Titik

Ci/Li (pH)

CI/LI (BOD)

Ci/LI

COD

Ci/Li (TSS)

Ci DO baru

Ci/LI (DO)

Ci/li (Total N)

Total Ci/Li

(Ci/Li) R

(Ci/U) M

Pix

Status

1

0.25

1.21

0.88

0.11

0.33

0.06

0.38

2.88

0.48

1.21

0,92

Baik

2

0.11

3.14

3.59

0.33

0.57

0.10

0.38

7.65

1.28

3.59

2.69

ringan

3

0.15

3.90

0.84

' 0.17

1.30

0.22

0.29

5.57

0.93

3.9

2.83

ringan

4

0.13

3.42

2.56

0.27

0.84

0.14

0.35

6.87

1.15

5.46

3.94

ringan

5

0.18

3.92

3.82

1.70

0.43

0.07

0.38

10.07

1.68

3.92

3.02

ringan

6

0.09

5.58

4.39

0.39

0.77

0.13

0.34

10.91

1.82

5.58

4.15

ringan

7

0.09

5.49

4.36

0.46

0.75

0.13

0.34

10.86

1.81

11.4

8.16

sedang

8

0.40

1.10

0.80

0.12

0.23

0.04

16.00

18.45

3.08

16

11,52

berat

9

-0.02

4.88

3.86

0.41

0.68

0.11

2.51

11.76

1.96

2.64

2.32

ringan

10

-0.01

4.75

3.75

0.40

0.66

0.11

2.99

11.99

2.00

2.98

2.54

ringan

11

0.13

1.49

0.81

0.15

1.10

0.18

1.44

4.21

0.70

1.49

1.16

ringan

12

0.00

4.49

3.52

0.38

0.52

0.09

2.86

11.33

1.89

18.91

13.44

berat

13

0.07

8.37

5.64

1.53

3.90

0.65

0.69

16.94

2.82

8.37

6.25

sedang

14

-0.04

6.72

4.74

1.04

2.03

0.34

1.61

14.41

2.40

4.87

3.84

ringan

15

3.04

1.87

1.32

0.29

5.62

0.94

0.45

7.90

1.32

3.57

2.69

ringan

16

13.85

17.97

12.67

2.79

6.30

1.05

4.31

52.64

8.77

33.16

24.25

berat

17

10.05

14.35

10.11

2.23

3.61

0.60

3.44

40.77

6.79

27.39

19.95

berat

18

0.09

4.62

3.45

0.28

3.50

0.58

0.76

9.78

1.63

4.62

3.46

ringan

19

0.06

7.39

5.22

0.48

4.00

0.67

0.52

14.33

2.39

7.39

5.49

sedang

20

10.57

7.25

13.63

1.25

1.04

0.17

1.43

34.30

5.72

19.28

14.22

berat

21

26.07

36.99

26.16

2.39

8.44

1.41

2.73

95.75

15.96

36.99

28.49

berat

22

0.19

1.59

0.77

0.17

2.97

0.50

0.38

3.60

0.60

1.59

1.20

ringan

23

24.05

34.23

24.18

2.22

7.55

1.26

2.55

88.49

14.75

297.84

210.86

berat

24

0.28

3.50

2.24

2.00

2.70

0.45

0.28

8.74

1.46

3.5

2.68

ringan

25

9.48

15.39

10.73

2.08

1.27

0.21

1.16

39.05

6.51

314.32

222.31

berat

26

3.60

9.66

6.73

1.31

1.81

0.30

0.73

22.33

3.72

73.68

52.17

berat

27

0.06

8.49

7.59

2.58

4.60

0.77

1.12

20.60

3.43

8.49

6.48

sedang

28

3.05

9.48

6.87

1.51

2.25

0.38

0.79

22.06

3.68

20.68

14.85

berat

29

0.03

3.49

2.16

1.20

2.57

0.43

0.54

7.84

1.31

3.49

2.64

ringan

30

0.44

4.61

3.51

1.71

4.00

0.67

0.74

11.68

1.95

4.61

3.54

ringan

31

0.81

4.10

2.42

1.48

2.13

0.36

0.52

9.69

1.62

4.1

3.12

ringan

32

0.81

4.10

2.43

1.48

2.15

0.36

0.52

9.71

1.62

6.71

4.88

sedang

33

4.23

6.08

3.60

2.19

0.19

0.03

0.78

16.91

2.82

6.08

4.74

ringan

34

0.78

1.91

0.94

0.60

2.87

0.48

0.39

5.10

0.85

1.91

1.48

ringan

35

0.48

4.18

2.28

0.47

2.60

0.43

0.42

8.26

1.38

4.18

3.11

ringan

pengambilan sampel menunjukkan 18 titik berada di atas batas ambang baku mutu (50 mg/L), dengan konsentrasi TSS tertinggi adalah 139,48 mg/L yang terletak di Kali Kungkuk Desa Sumberejo (Gambar 7).

TSS sendiri terdiri dari lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air (Effendi, 2003). Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan pada musim penghujan sehingga kandungan TSS yang tinggi disebabkan oleh terbawanya sedimentasi oleh air hujan dari lahan kosong yang tidak bervegetasi.

Nitrat (NO3) merupakan salah satu bentuk nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae, nitrat sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil, senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan (Effendi, 2003). Hasil uji sampel menunjukkan bahwa terdapat 12 titik yang memiliki konsentrasi Total N melebihi batas ambang bakumutu (0.5 mg/L). Konsentrasi Total N tertinggi sebesar 8 mg/L yang berada di Kali Kungkuk Desa Punten, grafik konsentasri. Total N dapat dilihat pada Gambar 8. Nitrat merupakan bentuk senyawa yang stabil dan keberadaannya berasal dari buangan pertanian, pupuk, kotoran hewan dan manusia dan sebagainya (Winata dkk., 2000).

Status mutu air mencerminkan kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air yang diukur dan diuji berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metode tertentu dalam waktu tertentu dengan membandingkan dengan baku mutu air yang ditetapkan (Rahmawati, 2011). Air sungai dikatakan terjadi penurunan kualitas air, jika air tersebut tidak dapat digunakan sesuai dengan status mutu air secara normal (Azwir, 2006).

  • 4.    Simpulan dan Saran

Kondisi penggunaan lahan Kota Batu yang merupakan lokasi DAS Brantas menunjukkan adanya ketidaksesuaian penggunaan lahan pertanian. Ketidaksesuaian penggunaan lahan pertanian merupakan usaha intensifikasi terhadap sektor pertanian yang berpeluang meningkatkan penggunaan pestisida dalam kegiatannya dan memiliki konsibusi terhadap penuruan kualitas air

sungai. Berdasarkan parameter pH, BOD, COD, DO, TSS dan Total N menunjukkan bahwa DAS Brantas Hulu Kota Batu mengalami pencemaran dengan status baik sampai tercemar berat. Pencemaran di DAS Brantas Hulu Kota Batu juga dipengaruhi oleh aktivitas pertanian yang ditunjukkan adanya kandungan Total N yang melebihi batas ambang bakumutu.

Ucapan Terimakasih

Ucapan terimakasih disampaikan kepada Direktoral Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah mendanai penelitian ini pada Tahun Anggaran 2015 Melalui DIPA Universitas Brawijaya.

Daftar Pustaka

Azwir. 2006. Analisa Pencemaran Air Sungai Tapung Kiri oleh Limbah Industri Kelapa Sawit PT. Peputra Masterindo di Kabupaten Tangerang. Tesis. Universitas Diponegoro, Semarang.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Fatmawati, R., A. Masrevaniah, dan M. Solichin. 2012. “Kajian Identifikasi Daya Tampung Beban Pencemaran Kali Ngrowo dengan Menggunakan Paket Program Qual2kw”. Jurnal Teknik Pengairan, 3. 122-131.

KLH. 2003. Undang-Undang Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia.2001. Undang-Undang Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pendendalian Pencemaran Air.

KLH. 2009. Undang-Undang No 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah.

PERGUB Jawa Timur. 2010. Undang-Undang No. 61 Tahun 2010 tentang Penetapan Kelas Air Sungai.

Pradityo, T. 2011. Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan dan Aktivitas Manusia terhadap Kualitas Air Sub DAS Saluran Tarum Barat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rahadi, Bambang et.al. 2013. Model Pengelolaan DAS Berbasis Daya Dukung Lingkungan Untuk Penataan Ruang dan Wilayah dalam Pemanfaatan Sumberdaya Alam yang Optimal. LPPM-UB. Malang.

Rahmawati, D. 2011. Pengaruh Kegiatan Industri Terhadap Kualitas Air Diwak di Bergas Kabupaten Semarang dan Upaya Pengendalian Pencemaran Air Sungai. Tesis. Universitas Diponegoro, Semarang.

Rustiadi, E., S. Saefulhakim, dan D.R. Panuju. 2010. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. CrestPent. Press. Bogor. ISBN 9789792572582 pp 22-48.

Salmin. 2005. “Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) sebagai Salah Satu

Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan”. Jurnal Oseana, 30. 21-26.

UNESCO/WHO/UNEP. 1992. Water Quality Assesments. Edited by Chapman, D. Chapman and Hall Ltd, London.

Wardhana, W.A. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Edisi Revisi. Penerbit Andi Offset, Yogyakarta.

Winata, I.N.A., A. “Siswoyo dan T. Mulyono. 2000. Perbandingan Kandungan P dan N Total Dalam Air Sungai di Lingkungan Perkebunan dan Persawahan”. Jurnal Ilmu Dasar, 6. 34-42.

Yudo, S. 2010. “Kondisi Kualitas Air Sungai Ciliwung di Wilayah DKI Jakarta ditinjau dari Parameter Organik, Amoniak, Fosfat, Detergen dan Bakteri Coli”. Jurnal Akuakultur Indonesia, 6. 34-42.

Yuliastuti, E. 2011. Kajian Kualitas Air Sungai Ngringo Karanganyar dalam Upaya Pengendalian Pencemaran Air. Tesis. Universitas Diponegoro, Semarang.

68