PENGELOLAAN HUTAN KOTA: BERDASARKAN ASPEK EKOLOGI DAN ASPEK SOSIAL (Kasus di Hutan Kota-2 BSD City Kota Tangerang Selatan)
on
Siti Pratiwi Iriani : Pengelolaan Hutan Kota : Berdasarkan Aspek Ekologi dan Aspek Sosial.
PENGELOLAAN HUTAN KOTA:
BERDASARKAN ASPEK EKOLOGI DAN ASPEK SOSIAL (Kasus di Hutan Kota-2 BSD City Kota Tangerang Selatan)
Siti Pratiwi Iriani
Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia Jl. Salemba Raya 4, Jakarta Pusat.
Email: [email protected], [email protected]
Abstract
This study was conducted at Urban Forest BSD-2 in South Tangerang City. This study aims to analyze: the distribution of vegetation types; microclimatic conditions as determinants comfort index; and relationship between environmental and awareness with behavior. Distribution of vegetation analysis found 30 species with number of the erect of trees 245 individuals. The result of the vegetation analysis shows that the erect of density the highest the growth rate of seedlings (3500 individual/ha). Diversity of vegetation types in Urban Forest-2 BSD City including fairly the diversity. The results of analysis carbon absorption that type of Albizia sp, type of Samanea saman, and type of Spatodea campanulata have the average value which high in CO2 absorption high as 3,16 tons/ha, 2,31 tons/ha, and 2,28 ton/ ha. The microclimate analysis showed that the Urban Forest-2 BSD City have index environmental comfort with the category the half uncomfortable. The result of statictic test proved there was unidirectional relationship between knowledge and awareness with behavior of urban forest management. Suggestion research is urban forest management should be emphasized on the ecological aspects and social aspects.
Key words: diversity, density, microclimate, knowledge, awareness, and behavior
tahun 2014 memperlihatkan lahan terbangun yaitu permukiman dan perumahan di Kota Tangerang Selatan memiliki luas lahan paling besar diantara penggunaan lahan lainnya dengan luasan 65,72 km2 dan 22,72 km2. Dibandingkan alokasi RTH seluas 15,64 km2 (10,63%) dan hutan kota seluas 0,06% dari luas wilayahnya 14.719 ha, maka penggunaan lahan eksisting di Kota Tangerang Selatan belum mengacu UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah RI No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota. Berkurangnya lahan terbuka hijau baik alami dan buatan berdampak buruk pada penurunan kualitas lingkungan perkotaan, seperti meningkatnya suhu udara, terjadinya polusi udara, dan -sumber udara bersih. Oleh karena itu dibutuhkan upaya untuk memperbaiki sekaligus meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan dengan pembangunan dan pengembangan hutan kota.
Hutan Kota-2 BSD adalah kawasan hijau yang dikembangkan Kota Tangerang Selatan dan termasuk hutan kota dengan luas lahan terbesar dibandingkan hutan kota lainnya. Keberadaan Hutan Kota-2 BSD dapat menjadi salah satu alternatif mengatasinya permasalahan lingkungan kota. Irwan (2005) berpendapat bahwa hutan kota secara garis besar memiliki tiga fungsi yaitu fungsi ekologi/lingkungan, fungsi sosial, dan fungsi estetika. Fungsi ekologi/ lingkungan antara lain meningkatkan suhu dan meningkatakan kelembaban udara, penghasil oksigen, mengurangi polusi udara, dan ruang hidup satwa. Fungsi sosialnya antara lain sebagai tempat interaksi sosial, sedangkan fungsi estetika antara lain meningkatkan keindahan kota.
Besarnya manfaat dan fungsi dari kehadiran hutan kota, harus diimbangi dengan pengelolaannya. Salah satu indikasi menurunnya pengelolaan hutan kota dapat dibuktikan dengan indek kenyamanan (IK) lingkungan disekitarnya. Berdasarkan data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Kota tahun 2015 bahwa kondisi suhu dan kelembaban udara disekitar Hutan Kota-2 BSD pada tahun 2012-2013 memiliki indeks kenyamanan (IK) lingkungan 27,00 atau kategori kurang nyaman, padahal menurut Setyowati (2008) kondisi iklim mikro dapat dikatakan kategori nyaman, jika IK lingkungan antara 25,0-
-
<27,0. Hal tersebut dapat dikatakan fungsi hutan kota belum sepenuhnya berdampak pada lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu hutan kota diperlukan pengelolaan yang baik dengan memperhatikan persebaran jenis vegetasi (keanekaragaman jenis vegetasi dan kerapatan tegakan jenis vegetasi) (Dwyer et al., 2003 ; Sukarta, 2012), iklim mikro (suhu dan kelembaban) (Sukarta, 2012), dan dimensi manusia (Dwyer et al., 2003).
Penelitian dilaksanakan selama antara Bulan Januari 2016 hingga April 2016 di Hutan Kota-2 BSD City Tangerang Selatan, Provinsi Banten, Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan karena sebagian besar data pada penelitian ini mempunyai nilai variabel yang terukur. Populasi penelitian ini adalah vegetasi dan manusia. Populasi vegetasi adalah semua pohon yang terdapat di Hutan Kota-2 BSD City dengan luas area 4,75 hektar dengan kriteria pohon, tiang, pancang, dan semai. Sampel sebanyak 15 petak contoh (plot) dengan intensitas sampling 10% menggunakan metode kombinasi. Pengamatan persebaran jenis vegetasi dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Titik Pengamatan Persebaran Jenis Vegetasi
Populasi manusia adalah semua pengunjung Hutan Kota-2 BSD City. Pengunjung adalah penduduk yang berkunjung ke Hutan Kota-2 BSD City dengan kriteria semua penduduk dengan memiliki pendidikan akhir minimal Sekolah Menengah Pertama dan sudah pernah satu kali kunjungan ke lokasi Hutan Kota-2 BSD City. Penentuan sampel dengan menggunakan teknik insidental sampling dengan sampel responden 40 orang.
Berdasarkan hasil pengamatan persebaran vegetasi yang didapatkan sebanyak 30 jenis pohon dengan jumlah tegakan pohon sebanyak 245 individu.
Hasil analisis kerapatan tegakan vegetasi diperoleh bahwa nilai kerapatan tegakkan tingkat pertumbuhan pohon yaitu 265 individu/ha, tingkat pertumbuhan tiang yaitu 630 individu/ha, tingkat pertumbuhan pancang yaitu 1,960 individu/ha, dan tingkat pertumbuhan semai yaitu 3,500 individu/ha. Terlihat bahwa semakin rendah tingkat pertumbuhan, maka semakin tinggi kerapatan tegakannya, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 3.1. Apabila dibandingkan tiap tingkat pertumbuhan dapat diketahui bahwa tingkat semai dan pancang memiliki kerapatan tegakkan tinggi dibandingkan tingkat pertumbuhan tiang dan pohon. Oleh karena itu dapat dikatakan status regenerasi tegakan hutan kota dapat dikatakan baik. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Indriyanto, 2008 dalam Utami et al., 2014 yang berpendapat bahwa tegakan hutan yang status
Gambar 3.1
Distribusi Individu Tingkat Pertumbuhan Hutan
Kota-2 BSD
regenerasinya dikatakan baik jika kerapatan individu tingkat semai>tingkat pancang>tingkat pohon.
Gambar 3.1 memperlihatkan distribusi pertumbuhan yang membentuk huruf “J” nomal. Keberadaan tersebut dapat disinyalir bahwa tingkat pertumbuhan yang terjadi karena distribusi persebaran bukan dari pohon induk menjadi tingkat pertumbuhan berikutnya (semai, pancang, dan tiang). Keberadaan tersebut walaupun memperlihatkan adanya struktur tajuk yang berlapis-lapis, karena kecepatan tumbuh yang berbeda. Kondisi pelapisan tajuk, secara langsung akan berpengaruh pada masuknya intensitas cahaya ke dalam tegakan. Intensitas cahaya yang masuk secara optimal akan mengubah kondisi iklim mikro dalam tegakan hutan kota. Hal ini dikarenakan kerapatan tegakan vegetasi adalah salah satu faktor pengatur suhu udara. Oleh karena itu peneliti sepakat dengan Pioh et al. (2013) bahwa suhu tanah maupun suhu udara disekitar tajuk tanaman, tinggi rendahnya suhu disekitar tanaman selain ditentukan oleh radiasi matahari, juga ditentukan oleh kerapatan tegakan.
Indeks nilai penting (INP) digunakan untuk mengetahui tingkat penguasaan spesies pada suatu komunitas. Hasil indentifikasi persebaran jenis vegetasi didapatkan 14 jenis tingkat pohon, 18 jenis tingkat tiang, 20 jenis tingkat pancang, dan 4 jenis tingkat semai.
Hasil perhitungan INP dapat diketahui bahwa tumbuhan yang memiliki nilai INP paling besar untuk tingkat pohon adalah Albizia Sp. (sengon laut) sebesar 67,08%, selanjutnya tumbuhan Spatodea campanulata (kecrutan) sebesar 56,56%, dan tumbuhan Swietenia macrophylia (mahoni daun lebar) sebesar 40,84%. Sedangkan ke-11 jenis vegetasi lainnya memiliki INP jenis kurang dari 20%.
Hasil perhitungan indeks nilai penting vegetasi pada tingkat pertumbuhan tiang didapatkan bahwa vegetasi tusam memiliki nilai paling besar yakni 44,46%. Walaupun tumbuhan Pinus merkusii (tusam) memiliki INP paling besar, namun berdasarkan observasi sebagian tumbuhan tusam mengalami kondisi sakit. Selanjutnya tumbuhan yang
memiliki INP besar adalah Swietenia macrophylia (mahoni daun lebar) sebesar 41,01% dan Peronema canescens (sungkai) sebesar 19,48%, sedangkan 16 jenis lainnya memiliki INP kurang dari 20% atau pada kisaran antara 5,14% hingga 19,48%.
Hasil dari perhitungan indeks nilai penting untuk tingkat pertumbuhan pancang, tumbuhan Pinus Merkusii (tusam) masih memiliki nilai terbesar yaitu 20,2%. Selanjutnya tanaman yang memiliki indeks nilai penting besar kedua dan ketiga yaitu Diospyrus discolor (bisbul) sebesar 18,75%, Agathis damara (damar) sebesar 15,44%, dan Bauhinia pupurea (kupu-kupu) sebesar 15,44%, Sedangkan ke-16 jenis lainnya memiliki nilai INP jenis kurang dari 14,0%.
Hasil perhitungan indeks nilai penting pada tingkat pertumbuhan semai diperoleh tumbuhan Albizia sp (sengon laut) dengan nilai terbesar yaitu 84,16%, disusul tumbuhan Swietenia macrophylia (mahoni daun lebar) sebesar 58,33%. Kemudian tumbuhan dengan indeks nilai penting terkecil yaitu Calodphyllum inophyllum (nyamplung) dengan nilai 19,16%. Melalui inventarisasi vegetasi pada tingkatan pertumbuhan, maka dapat mengetahui persebaran jenis vegetasi sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 memperlihatkan hanya 4 (empat) jenis yang memiliki potensi sebagai regenerasi tingkat pertumbuhan pancang, tiang, dan pohon yaitu Albizia Sp., Spatodea campanulata, Swietenia macrophylia, dan Calophyllum inophyllum. Jenis Albizia dan Swietenia menjelaskan bahwa adanya
tingkat pertumbuhan lengkap dan sempurna, dikarenakan ditemuikan dalam setiap petak tingkat pertumbuhan pohon, tiang, pancang, dan semai. Hal tersebut dapat membuktikan bahwa jenis Albizia memiliki karakteristik cepat tumbuh (fast growing species) dan bereproduksi (buah/biji) yang cepat yaitu setelah berumur 5 tahun, sehingga regenerasi terjadi secara alami. Oleh karena itu hasil ini sesuai dengan pendapat Krisnawati et al., 2012 yang mengatakan terdapat jenis-jenis cepat tumbuh seperti mangium (Acacia mangium), sengon laut (Albizia Sp.), dan ekaliptus (Eucalyptus Sp.). Namun demikian menurut Krisnawati et al., 2012 bahwa jenis Swietenia memiliki karakteristik lambat tumbuh (slow growing species). Oleh karena itu peneliti berpendapat bahwa jenis Swietenia regenerasinya terjadi bukan secara alami melainkan karena adanya kegiatan penanaman yang dapat dilakukan pada tingkat pancang, tiang, ataupun pohon.
Jenis Spatodea campanulata terdapat pada tingkat pohon, tiang, dan semai, tetapi pada tingkat pancang tidak ditemukan. Tingkat semai dengan dominansi 38,33% menperlihatkan penguasaan pada tingkat pertumbuhan. Hal tersebut memberikan keyakinan bahwa pertumbuhan alaminya benar terbukti, walaupun tingkat pancang tidak ditemukan. Kondisi tersebut bahwa Spatodea adalah jenis cepat tumbuh dan bereproduksi (berbuah/berbiji) setelah 8 tahun. Tidak ditemukan pada tingkat pertumbuhan pancang, dimungkinkan karena kondisi tapak (tanahnya) sangat lembab dan kurang sinar matahari, sehingga menyebabkan kematian awal pada pertumbuhan semai mejadi tingkat pancang. Karena untuk pertumbuhan semai dan pancang sangat memerlukan ultra violet yang tinggi dan bersumber dari sinar matahari.
Tabel 3.1 Persebaran Jenis Berdasarkan Tingkat Pertumbuhan
No |
Pohon |
Tiang |
Pancang |
Semai |
1 |
Albizia sp |
Albizia sp |
Albizia sp |
Albizia sp |
2 |
Spatodea |
Spatodea |
—- |
Spatodea |
campanulata |
campanulata |
campanulata | ||
3 |
Swietenia |
Swietenia |
Swietenia |
Swietenia |
macrophylia |
macrophylia |
macrophylia |
macrophylia | |
4 |
— |
Calophyllum |
Calophyllum |
Calophyllum |
inophyllum |
inophyllum |
inophyllum |
Jenis Calophyllum inophyllum walaupun pada tingkat pertumbuhan pohon tidak ditemukan, akan tetapi tingkat tiang, pancang, dan semai cukup melimpah. Berdasarkan INP jenis pada tingkat tiang tercatat 15,23%, tingkat pancang 9,37% dan tingkat semai 19,16%. Ketiga fakta tersebut menjelaskan bahwa pertumbuhan alaminya pada Calophyllum benar terbukti. Tidak ditemukannya Calophyllum pada petak contoh dapat terjadi, akan tetapi kehadiran tingkat tiang, pancang, dan semai menjelaskan adanya hirarki tingkat pertumbuhan. Dapat diyakini bahwa tingkat pertumbuhan pohon jenis Calophyllum tumbuh di sekitar petak contoh. Biji Calophyllum tumbuh dan berkembang menjadi tingkat tiang, pancang, dan semai dikarenanya adanya kegiatan penanaman yang dapat dilakukan oleh manusia ataupun hewan.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa regenerasi tumbuhan penyusun khususnya tingkai semai di Hutan Kota-2 BSD City kurang berkembang dengan baik. Ketersediaan anakan pohon baik di tingkat semai mencerminkan kemampuan suatu jenis pohon dalam bereproduksi untuk keseimbangan regenerasi selanjutnya. Selain itu berperan memenuhi kebutuhan bibit dalam bentuk anakan alam, terutama pada saat tidak terjadi musim berbuah. Dengan demikian peneliti sepakat dengan pendapat Atmoko (2011) yang menyatakan keberadaan semai ini selain penting peranannya dalam regenerasi tegakan, juga berperan dalam memenuhi kebutuhan bibit dalam bentuk anakan alam, terutama pada saat tidak terjadi musim berbuah. Kondisi seperti ini akan mempengaruhi kestabilan ekosistem hutan kota di masa mendatang serta mengubah komposisi dan struktur hutan kota selanjutnya.
Keanekaragaman jenis vegetasi dapat dijadikan sebagai ukuran kemampuan suatu komunitas vegetasi untuk tetap stabil walaupun mendapat gangguan dari luar. Hasil analisis keanekaragaman jenis vegetasi dapat diperoleh bahwa vegetasi di Hutan Kota-2 BSD City baik tingkat pertumbuhan semai, pancang, tiang, dan pohon masuk pada kriteria keanekaragaman sedang indeks Shannon 1,0<H’<3,322. Tabel 3.2 memperlihatkan keanekaragaman jenis vegetasi Hutan Kota-2 BSD.
Tabel 3.2 Keanekaragaman Jenis Vegetasi Hutan Kota-2 BSD City
No Tingkat |
Indeks Shannon (H) |
Kriteria Nilai Indeks Shannon (H) | |
1 |
Semai |
1,17 |
Keanekaragaman sedang |
2 |
Pancang |
2,74 |
Keanekaragaman sedang |
3 |
Tiang |
2,93 |
Keanekaragaman sedang |
4 |
Pohon |
1,91 |
Keanekaragaman sedang |
Peneliti berpendapat bahwa tingkat pertumbuhan semai memiliki nilai indeks keanekaragaman mendeketi rendah, dikarenakan adanya aktivitas sosial di Hutan Kota-2 BSD City. Hutan kota yang memiliki fungsi sosial yang sering digunakan masyarakat untuk rekreasi, menyalurkan hobi, olahraga, dan sebagai tempat interaksi. Hal ini yang menyebabkan terganggunya pertumbuhan tingkat semai di Hutan Kota-2 BSD City dan menjadikan potensi terjadinya kepunahan vegetasi. Oleh karena itu peneliti setuju dengan pendapat Aldridge (2009) dalam Sukarta (2012) yang menyatakan bahwa aktivitas rekreasi memiliki andil dalam mengubah habitat yang akan menjadi ancaman terbesar bagi spesies.
Hasil perhitungan biomassa dan cadangan karbon di Hutan Kota-2 BSD City, maka diperoleh total cadangan karbon vegetasi sebesar 196,82 ton/ ha. Jika berdasarkan pertumbuhannya, cadangan karbon pada tingkat pohon sebesar 112,13 ton/ha dengan biomassa 224,27 ton/ha dan tingkat tiang sebesar 84,11 ton/ha dengan biomassa 168,22 ton/ ha. Cadangan karbon pada tingkat pancang sebesar 0,55 ton/ha dengan 1,14 ton/ha dan tingkat semai sebesar 0,03 ton/ha dengan biomassa 0,071 ton/ha. Berdasarkan hasil total cadangan karbon yaitu sebesar 196,82 toh/ha dapat dikatakan Hutan Kota-2 BSD City masuk kategori sebagai hutan alam tropis sesuai dengan pendapat Murdiyarso et al., 1994 dalam Lubis et al., 2013. Nilai cadangan karbon di Kota Tangerang Selatan akan semakin meningkat ketika target 10% perluasaan hutan kota tercapai di Kota Tangerang Selatan, sesuai yang diamanatkan Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002.
Tabel 3.3 Kelas Diameter Batang, Tinggi, Biomassa, dan Cadangan Karbon
Diameter Batang Pohon (cm) |
Tinggi Pohon (m) |
Biomassa (ton/ha) |
Cadangan Karbon (ton/ha) |
>20-68 |
3,5-8,5 |
0,57-4,14 |
0,28-2,07 |
>10-20 |
3-4 |
0,24-0,58 |
0,12-0,27 |
Tabel 3.3 memperlihatkan cadangan karbon pada kelas diameter batang pohon. Berdasarkan hasil cadangan karbon vegetasi pada Hutan Kota-2 BSD City mengalami peningkatan sejalan dengan peningkatan diameter batang pohon. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Lubis et al., 2013 yang menyatakan cadangan karbon pohon mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan diameter batang.
Berdasarkan hasil cadangan karbon dapat diketahui nilai serapan CO2 berdasarkan pertumbuhannya, bahwa tingkat pertumbuhan pohon memiliki estimasi dalam menyerap CO2 sebesar 411,16 ton/ha, tingkat pertumbuhan tiang sebesar 308,40 ton/ha, tingkat pertumbuhan pancang sebesar 2,04 ton/ha, dan tingkat pertumbuhan semai sebesar 0,13 ton/ha. Tabel 3.4 memperlihatkan estimasi jenis vegetasi berdasarkan tingkat pertumbuhan dalam menyerap CO2.
Tabel 3.4 Estimasi Jenis Vegetasi Menyerap CO2
Tingkat Jumlah Individu Menyerap CO2 Pertumbuhan ton/ha
Pohon |
112 |
411,16 |
Tiang |
64 |
308,40 |
Pancang |
54 |
2,04 |
Semai |
15 |
0,13 |
Berdasarkan hasil perhitungan serapan CO2 di Hutan Kota-2 BSD City dapat diketahui bahwa pada tingkat pertumbuhan pohon, jenis Albizia sp (sengon laut) memiliki nilai rata-rata serapan CO2paling tinggi yaitu 3,16 ton/ha, jenis Samanea saman (trembesi) yaitu 2,31 ton/ha dan jenis Spatodea campanulata (kecrutan) yaitu 2,28 ton/ha. Hal tersebut sesuai
pendapat Junaedi (2007) bahwa jenis pohon cepat tumbuh seperti sengon laut dengan jarak cukup rapat potensi serapan karbon cenderung labih tinggi. Jika dibandingkan dengan jenis pohon lambat tumbuh seperti seperti Pinus merkusii (tusam), Swietenis macrophylla (mahoni), dan Tectona grandis (jati) cenderung tidak memiliki serapan karbon yang tinggi.
Pengukuran kerapatan tajuk vegetasi di Hutan Kota-2 BSD City dilakukan sebanyak 15 petak dengan nilai persentase terendah sebesar 50% dan nilai persentase tertinggi sebesar 85,57%. Nilai persentase tersebut dikelompokan menjadi tiga kriteria yaitu kerapatan tajuk rendah, kerapatan tajuk sedang, dan kerapatan tajuk tinggi sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5 Kriteria Kerapatan Tajuk Vagetasi
Persentase Kriteria
50% - 61,85% Kerapatan tajuk vegetasi rendah 61,86% - 73,71% Kerapatan tajuk vegetasi sedang 73,72% - 85,57% Kerapatan tajuk vegetasi tinggi
Hasil pengukuran suhu udara pada waktu pagi hari memperlihatkan bahwa pada petak 13, petak 14, dan petak 15 memiliki suhu udara tertinggi yaitu 28,11oC, 28,07oC, dan 28,52oC. Pada waktu siang hari memperlihatkan terjadinya peningkatan suhu udara dan terdapat beberapa petak memiliki suhu udara paling tinggi yaitu petak 8 (32,12oC), petak 14 (32,11oC), dan ke-15 (32,64oC). Kemudian pada sore hari memperlihatkan terjadinya penurunan suhu udara, namun terdapat beberapa petak yang masih memiliki suhu udara tertinggi yaitu petak 5 (30,14oC), petak 6 (30,10oC), dan petak 15 (30,25oC) sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.6.
Berdasarkan hasil pengukuran suhu udara dapat diketahui bahwa pada petak 15 memiliki suhu udara paling tinggi di tiga waktu yaitu pagi hari, siang hari, dan sore hari serta memiliki suhu udara rata-rata tertinggi. Namun demikian berdasarkan pengamatan persebaran jenis vegetasi, pada petak 15 memiliki cukup banyak individu dan jenis vegetasi yang tumbuh serta memiliki kerapatan tajuk tinggi. Hal ini
dapat dikatakan terdapat faktor lingkungan lain yang menyebabkan petak 15 memiliki suhu udara tertinggi dibandingkan petak lainnya.
Tabel 3.6 Hasil Pengukuran Suhu Udara Hutan Kota-2 BSD City
Petak |
Suhu Udara (oC) |
Rata-Rata (oC) | ||
Pagi |
Siang |
Sore | ||
1 |
27,55 |
31,32 |
29,82 |
29,56 |
2 |
27,20 |
31,67 |
29,54 |
29,47 |
3 |
27,37 |
31,85 |
29,67 |
29,63 |
4 |
27.31 |
31,92 |
29,77 |
29,66 |
5 |
27,34 |
31,98 |
30,14 |
29,82 |
6 |
27,25 |
32,02 |
30,10 |
29,79 |
7 |
27,24 |
32,08 |
30,00 |
29,77 |
8 |
27,30 |
32,12 |
30,00 |
29,80 |
9 |
27,64 |
31,91 |
29,87 |
29,80 |
10 |
27,51 |
31,90 |
29,72 |
29,71 |
11 |
27,70 |
31,91 |
29,52 |
29,71 |
12 |
27,52 |
32,01 |
29,57 |
29,70 |
13 |
28,11 |
31,84 |
29,47 |
29,80 |
14 |
28,07 |
32,11 |
29,62 |
29,93 |
15 |
28,52 |
32,64 |
30,25 |
30,47 |
29,77 |
Sumber: Hasil Penelitian, 2016
Hasil pengukuran kelembaban udara pada waktu pagi hari memperlihatkan bahwa keseluruhan petak memiliki kelembaban udara yang stabil dan dikatakan tinggi. Berbeda halnya hasil pengukuran pada waktu siang hari keselurahan petak mengalami penurunan kelembaban udara, dikarenakan faktor penyinaran matahari. Kemudian pada sore hari memperlihatkan terjadinya peningkatan kelembaban udara mendekati kelembaban udara pada pagi hari sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.7.
Hasil pengukuran kelembaban udara pada waktu sore hari terdapat beberapa petak yang mengalami perlambatan pada proses peningkatan kelembaban udara yaitu petak 5, petak 6, petak 7, dan petak 8. Hal tersebut dapat terjadi karena posisi ke empat petak tersebut berdekatan dengan fasilitas plaza interconnection yang memiliki tutupan tanah yaitu beton.
Tabel 3.7 |
Hasil Pengukuran Kelembaban Udara Hutan Kota-2 BSD City | |||
Petak |
Kelembaban Udara (%) Pagi Siang Sore |
Rata-Rata (%) | ||
1 |
83,45 |
70,28 |
80,88 |
78,20 |
2 |
87,60 |
69,90 |
81,58 |
79,69 |
3 |
87,61 |
68,12 |
81,37 |
79,03 |
4 |
86,98 |
68,54 |
80,40 |
78,64 |
5 |
87,08 |
67,70 |
76,52 |
77,10 |
6 |
88,21 |
65,52 |
76,58 |
76,77 |
7 |
88,24 |
67,22 |
77,45 |
77,63 |
8 |
88,25 |
66,50 |
77,08 |
77,27 |
9 |
85,55 |
66,74 |
79,37 |
77,22 |
10 |
87,78 |
67,62 |
80,51 |
78,63 |
11 |
87,30 |
65,20 |
81,62 |
78,04 |
12 |
85,68 |
66,48 |
81,80 |
77,98 |
13 |
84,10 |
66,52 |
82,82 |
77,81 |
14 |
83,68 |
65,05 |
82,21 |
76,98 |
15 |
83,10 |
63,65 |
79,81 |
75,52 73,10 |
Sumber: Hasil Penelitian, 2016
Hasil pengukuran iklim mikro pada pagi hari diketahui bahwa petak 1 sampai petak 12 memiliki indeks kenyamanan (IK) lingkungan pada kategori nyaman. Namun tidak pada petak 13, petak 14, dan petak 15 yang masuk pada ketegori sebagian tidak nyaman. Walaupun petak 13, petak 14, dan petak 15 memiliki kerapatan tajuk sedang dan tinggi, tetapi belum mampu mengubah kondisi iklim mikro menjadi nyaman. Berdasarkan observasi petak 13, petak 14, dan petak 15 berdekatan dengan tutupan lahan yaitu beton dan di dominasi oleh tanaman tusam yang sakit, sehingga kondisi tersebut menyebabkan IK lingkungan di petak tersebut masuk pada kategori sebagian tidak nyaman. Berikut grafik IK lingkungan pada pagi hari sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2
Grafik Indeks Kenyamanan Pagi Hari di Hutan Kota-2 BSD City
Siang hari
Pada pengukuran iklim mikro siang hari didapatkan bahwa semua petak memiliki (IK) lingkungan tidak nyaman. Walaupun sebagian besar petak memiliki kerapatan tajuk sedang dan tinggi, namun belum mampu memberikan efek pendingin
pada siang hari. Selain karena kerapatan tajuk tidak didominasi oleh kerapatan tajuk yang tinggi, hal ini dikarenakan juga rendahnya keanekaragaman vegetasi di Hutan Kota-2 BSD City. Berikut grafik IK lingkungan pada siang hari dapat dilihat pada Gambar 3.3.

Gambar 3.3
Grafik Indeks Kenyamanan Siang Hari di Hutan Kota-2 BSD
Sore hari
Hasil pengukuran iklim mikro pada sore hari didapatkan bahwa sebagian besar petak mengalami perubahan IK lingkungan. Pada sore hari semua petak kecuali petak 15 memiliki IK lingkungan
sebagian tidak nyaman, sedangkan petak 15 masih memiliki IK lingkungan tidak nyaman. Berikut grafik IK lingkungan pada sore hari dapat dilihat pada Gambar 3.4.

Rsssrtssrrsrstt
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 H 12 13 14 15
∙÷ReallK
— IdeaIIK
Kerapatan Tajuk Pohon
R: Rendah
S: Sedang
T: Tinggi
Petak Contoh
Gambar 3.4
Grafik Indeks Kenyamanan Sore Hari di Hutan Kota-2 BSD
Hasil pengukuran suhu dan kelembaban udara di tiga waktu yaitu pagi, siang, dan sore secara keseluruhan berdasarkan Tabel 4.14 dan Tabel 4.15 didapatkan IK lingkungan yaitu 28,17. Artinya kondisi lingkungan Hutan Kota-2 BSD City secara umum masuk kategori sebagian tidak nyaman dengan kisaran IK 27,0-<29,0.
Regenerasi suatu jenis vegetasi dipengaruhi suhu dan kelembaban udara sebagai faktor lingkungan. Suhu udara yang tinggi dan rendahnya kelembaban akan berpengaruh pada proses pertumbuhan vegetasi. Berdasarkan hasil pengukuran iklim mikro bahwa pada saat siang hari lingkungan hutan kota memiliki indeks kenyamanan kategori tidak nyaman, dan pada sore hari masuk dalam kategori sebagian tidak nyaman. Hal ini yang menjadi salah satu sebab terhambatnya pertumbuhan anakan pohon tingkat semai di Hutan Kota-2 BSD City. Dengan demikian peneliti setuju dengan pendapat Utami et al., 2014 yang menyatakan bahwa faktor lingkungan yang kurang menguntungkan
menjadi salah satu sebab pertumbuhan tingkat semai dan pancang terhambat dan menyebabkan tumbuhan tidak dapat tumbuh dengan baik, sehingga regenerasi tegakan pohon kurang berkembang dengan baik.
Hasil pengukuran kuesioner pengetahuan lingkungan hidup hutan kota kepada 40 responden pengunjung secara umum memiliki tingkat pengetahuan lingkungan hidup hutan kota tinggi sebanyak 36 responden (90%) dan 4 responden (10%) memiliki pengetahuan lingkungan hidup hutan kota rendah. Berdasarkan hasil bahwa sebagian besar responden yang memiliki pengetahuan positif memiliki tingkat pendidikan akhir yaitu SMA dan S1. Sebanyak 26 responden dengan tingkat pendidikan SMA, 24 responden memiliki pengetahuan positif dan 2 responden memiliki pengetahuan negetif.
Semua responden dengan tingkat pendidikan akhir S1 memiliki pengetahuan positif.
Jika dikorelasikan tingkat pendidikan akhir dengan tingkat pengetahuan maka koefisien korelasi sebesar 0,431 dengan CE yaitu 0,05. Hal ini berarti terdapat searah dengan hubungan cukup antara tingkat pendidikan akhir dengan pengetahuan. Peneliti berpendapat bahwa tingkat pendidikan dapat memberikan stimulus kepada pengunjung untuk memiliki pengetahuan lingkungan hidup positif. Oleh itu hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Notoatmodjo (2002) yang menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin banyak informasi yang didapatkan, sehingga menyebabkan semakin tinggi pengetahuannya.
Hasil pengukuran kuesioner kesadaran lingkungan hidup hutan kota kepada 40 responden pengunjung secara umum memiliki tingkat kesadaran lingkungan hidup tinggi sebanyak 20 responden (50%), 18 responden (45%) memiliki kesadaran lingkungan hidup sedang, dan 2 responden (5%) memiliki kesadaran lingkungan rendah. Berdasarkan hasil bahwa, responden dengan kesadaran lingkungan hidup tinggi dan memiliki pendidikan terakhir SMA sebanyak 15 orang (62,5%), sedangkan responden dengan pendidikan terakhir S1 justru hanya 2 orang (33,33%). Artinya dalam kasus ini tingkat pendidikan terakhir belum mampu menentukan kesadaran yang dimiliki seseorang. Hal tersebut didukung dengan uji korelasi tingkat pendidikan akhir dengan tingkat kesadaran yang memiliki koefisien korelasi sebesar 0,202 dengan yaitu 0,05. Artinya terdapat searah dengan hubungan yang lemah.
Jika kesadaran lingkungan hidup dilihat berdasarkan faktor jenis kelamin, maka perempuan yang memiliki skor tertinggi yaitu 55,55%, dibandingkan laki-laki memiliki skor 45.45%. Artinya perempuan memiliki kesadaran (sikap) lingkungan hidup lebih tinggi, dibandingkan laki-laki. Hasil penelitian ini sama dengan hasil kasus penelitian Tuncer et al. 2005b di Turkish yang menyatakan bahwa perempuan menjadi lebih sadar pada masalah lingkungan dan masing-masing bertanggung jawab serta memiliki kesadaran (sikap) lebih positif daripada anak laki-laki
Hasil pengukuran kuesioner perilaku pengelolaan hutan kota kepada 40 responden pengunjung secara umum memiliki perilaku pengelolaan hutan kota baik sebanyak 34 responden (85%) dan 6 responden (16%) memiliki perilaku pengelolaan hutan kota buruk. Walaupun sebagian besar responden memiliki perilaku positif dalam menjawab pernyataan, namun hal tersebut belum menjamin perilaku riil saat di hutan kota apakah sesuai dengan jawaban pernyataan. Dikarenakan perilaku suatu hal yang sulit untuk diramalkan dengan itu peneliti melakukan pengamatan lingkungan hutan kota untuk mencari kesesuaian pernyataan dengan keadaan riil di hutan kota.
Berdasarkan pengamatan di Hutan Kota-2 BSD City masih ditemukan kegiatan vendalisme atau kegiatan yang mengancam keberlangsungan hutan kota yang dilakukan oleh pengunjung seperti membuang sampah sembarangan, mencoret-coret fasilitas hutan kota, menginjak tumbuhan kecil dan rumput, dan menancapkan paku ke batang pohon. Sebagian besar pelaku vandalisme Hutan kota-2 BSD City adalah seorang pelajar dengan kelompok usia 13-18 tahun. Hal tersebut didukung juga dengan hasil kuesioner bahwa 18% responden yang memiliki perilaku pengelolaan hutan kota yang buruk adalah pelajar dengan usia 16-18 tahun.
Berdasarkan pengamatan dan hasil kuesioner maka temuan ini sesuai dengan hasil temuan penelitian yang dilakukan Nyoman (2000) bahwa vandalisme yang paling sering dilakukan pengunjung adalah membuang sampah sembarangan, setelah itu memetik bunga/mengambil bagian dari tanaman, mematahkan ranting pohon, mencoret-coret fasilitas, mengambil tanaman dan menerobos pagar.
Hasil perhitungan didapatkan bahwa korelasi pengetahuan dengan perilaku memiliki nilai koefisien korelasi (R) yaitu 0,111 dengan a yaitu 0,05. Diartikan searah dengan tingkat hubungan sangat lemah. Hal tersebut dapat dikatakan adanya hubungan pengetahuan lingkungan hidup dengan perilaku pengelolaan hutan kota, sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi pengetahuan lingkungan hidup hutan kota, maka akan semakin tinggi juga perilaku pengelolaan hutan kota. Dengan demikian hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Molina
et al., 2013 yang menyatakan kekurangan pengetahuan atau adanya informasi yang bertentangan dengan lingkungan mungkin akan membatasi perilaku pro-lingkungan dan sebaliknya semakin tinggi pengetahuan tersebut akan mendorong perilaku pro-lingkungan.
Namun demikian hubungan pengetahuan dengan perilaku dikatakan sangat lemah. Jika dikorelasikan hubungan pendidikan pengunjung dengan pengetahuan yang dimilikinya, maka koefisien korelasi sebesar 0,431 dengan yaitu 0,05. Hal tersebut berarti terdapat searah dengan hubungan cukup. Artinya pendidikan belum sepenuhnya memberikan stimulus terbentuknya perilaku pengelolaan hutan kota melalui pengetahuan pengunjung. Peneliti berpendapat bahwa terdapat faktor internal lainnya yang memiliki hubungan kuat dengan pengetahuan yang dapat memberikan stimulus munculnya perilaku, yang belum peneliti kaji.
Hasil perhitungan didapatkan bahwa kesadaran yang mengarah ke perilaku memiliki nilai koefisien korelasi (R) yaitu 0,308 dengan a yaitu 0,05. Diartikan searah dengan tingkat hubungan yang lemah. Hal ini dapat dikatakan adanya hubungan antara kesadaran lingkungan hidup dengan perilaku pengelolaan hutan kota. Namun demikian hubungan kesadaran dengan perilaku dikatakan lemah. Jika dikorelasikan pengetahuan dengan kesadaran maka memiliki koefisien korelasi (R) yaitu 0,184 dengan a yaitu 0,05. Diartikan searah dengan tingkat hubungan yang sangat lemah. Hal ini dapat dikatakan bahwa hubungan yang lemah antara kesadaran dengan perilaku, bukan dikarenakan tingkat pengetahuan.
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka secara rinci peneliti menarik kesimpulan sebagai beriku: 1. Sebaran jenis vegetasi Hutan Kota BSD-2 City terdiri atas variasi yang berbeda berdasarkan tingkat pertumbuhan. Tumbuhnya tingkat pertumbuhan pancang dan semai di petak contoh sebagian besar tidak memiliki hubungan kekerabatan berdasarkan tumbunya jenis pada tingkat pertumbuhan pohon dan tiang.
Keanekaragaman jenis vegetasi berdasarkan Indeks Shannon masuk kriteria sedang, hal
tersebut dikarenakan pengaruh dari tingginya dominasi suatu jenis.
-
2. Kondisi iklim mikro di Hutan Kota-2 BSD City berdasarkan elemen suhu dan kelembaban udara pada waktu pagi, siang, dan sore hari, menjelaskan bahwa pada siang hari suhu udara lebih tinggi dan kelembaban udara lebih rendah dibandingkan pada pagi dan sore hari. Perubahan suhu dan kelembaban udara di Hutan Kota BSD-2 City menjelaskan bahwa Indeks Kenyamanan lingkungan masuk kriteria sebagian tidak nyaman (27,0-<29,0). Hal tersebut bukan dipengaruhi oleh waktu pengukuran, tetapi disebabkan karena kerapatan tajuknya dimoniasi pada kriteria rendah (40%) dan sedang (47%).
-
3. Terdapat hubungan searah antara pengetahuan lingkungan hidup hutan kota dengan perilaku dan terdapat hubungan searah antara kesadaran lingkungan hidup hutan kota dengan perilaku pengelolaan hutan kota. Salah satu faktor internal yang mendorong pengunjung berperilaku pengelolaan hutan kota yaitu tingkat pendidikan.
Daftar Pustaka
Atmoko, T. 2011. Potensi regenerasi dan penyebaran Shorea balangeran (Korth.) burck di Sumber Benih Kajang, Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian DIPTEROKARPA, Vol. 5 No. 2, Desember 2011.
Harahap, F. R. (2013). Dampak urbanisasi bagi perkembangan kota di Indonesia. Jurnal Society, Vol. I, No. 1.
Irwan, S. N. R dan Kaharuddin. 2010. Studi kenyamanan untuk aktivitas di lanskap hutan kota UGM studi kasus; Klaster Argo UGM. Jurnal Ilmu Kehutanan, Vol. IV No. 2, Juli-September 2010.
Junaedi, A. 2007. Kontribusi hutan sebagai rosot karbondioksida. Jurnal Info Hutan, Vol. V No. 1:1-7, 2008.
Krisnawati, H., W. C. Adinugroho dan R. Imanuddin. 2012. Model-model monograf alometrik untuk pendugaan biomassa pohon pada berbagai tipe ekosistem hutan di Indonesia. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor.
Molina, M. A. V., A. F, Sainz and J. I, Olaizola. 2013. Environmental knowledge and other variables affecting pro-environmental behaviour: comparison of university students from emerging and advanced countries. Journal of Cleaner Production, 61 (2013) 130-138.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi penelitian kesehatan. Rhineka Cipta, Jakarta.
Pioh, D. D., L. Rayes., B. Polii and L. Hakim. 2013. Analisis suhu tanah di kawasan wisata alam Danau Linow Kota Tomohon Sulawesi-Utara. Journal of Indonesian tourism and development studies, Vol. 1, No. 2, April 2013.
Setyowati, D. L. 2008. Iklim mikro dan kebutuhan ruang terbuka hijau di Kota Semarang. Jurnal Manusia dan Lingkungan, Vol 15 No. 3 (125140).
Sukarta, D. K. H. Thayib dan H. S. Alikodra. 2012. Pengelolaan hutan kota berkelanjutan: tinjauan aspek teknis, alam, dan sosial. Jurnal Bumi Lestari, Vol. 13 No. 1, Februari 2013, hlm. 124134.
Utami, S., S. Anggoro dan T. R. Soeprobowati. 2014. Regenerasi tegakan pohon di Hutan Lindung Pulau Panjang Kabupaten Jepara Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional Biologi 29 November 2014. Universitas Negeri Semarang, Semarang.
28
Discussion and feedback