Dina Banjarnahor, dkk. : Evaluasi Kesesuaian Lahan Sumba Tengah untuk Tanaman Pangan

EVALUASI KESESUAIAN LAHAN SUMBA TENGAH UNTUK TANAMAN PANGAN SERTA PERANCANGAN POLA TANAMNYA YANG SPESIFIK LOKASI

Dina Banjarnahor* dan Bistok Hasiholan Simanjuntak

Fakultas Pertanian dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga-Jawa Tengah *Email : dina.banjarnahor@staff.uksw.edu

Abstract

The regency of Sumba Tengah in the province of East Nusa Tenggara relies on rainfall to support its dry land agriculture hence should be supported with land suitability evaluation and cropping pattern design for a more sustainable crop production. This study aims to evaluate land suitability for food crops in Sumba Tengah and formulate the appropriate precipitation-based cropping patterns. This work was carried out from March to June 2015. Stages of research were: 1) characterizing land attributes (climate and soil) by soil analysis and desk study, 2) assessing land suitability level by comparing land attributes and crops requirements, and 3) composing feasible cropping patterns by using water balance method. Soils of Sumba Tengah varied from sandy to clayey with low to neutral pH and low to very high content of organic carbon and nitrogen. Phosphate and potassium availability was very low. Sumba Tengah was exposed to only four wet months a year with annual precipitation of less than 2000 mm. This region was highly and moderately suitable for growing paddy, maize, tubers, and legumes. It was not suitable for wheat. Some of the northern part was arable merely for one cropping season in a year, mostly from December to April, with the alternative of growing paddy or other crops. The remaining was likely to cultivate for two cropping seasons. Legumes were recommended to include in the rotation for soil conservation. Shortage of irrigation led to the unlikeliness of three cropping seasons in a year.

Keywords: land suitability, cropping pattern, food crops, dry land, Sumba Tengah

  • 1.    Pendahuluan

Setiap lahan memiliki kapasitas yang berbeda dalam menunjang pertumbuhan tanaman. Budidaya tanaman sejatinya didasarkan pada efektivitas penggunaan sumber daya air, hara, dan cahaya yang tersedia di lahan untuk produksi tanaman secara optimal dan berkelanjutan (Palaniappan, 2014). Banyak faktor yang menentukan produktivitas tanaman tetapi yang perlu diperhatikan adalah kesesuaian iklim dan tanah terhadap kebutuhan spesifik tanaman untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Faktor

tanah dapat dimodifikasi sedangkan faktor iklim dalam skala meso hingga makro tidak dapat diubah (Djaenudin et al., 2002). Analisis iklim dan karakterisasi sumber daya akan tentunya akan mendukung keberhasilan perencanaan pertanian dan budidaya tanaman.

Evaluasi kesesuaian lahan seperti yang dianjurkan Food and Agriculture Organization (FAO, 1976) akan memberikan informasi tentang kelas kecocokan penggunaan suatu wilayah untuk komoditas tertentu. Kelas kesesuaian lahan terdiri dari: 1) kelas Sangat Sesuai (S1) yang menandakan

bahwa lahan tidak memiliki faktor pembatas yang nyata terhadap produksi tanaman sehingga produktivitas mampu mencapai rentang 100-80% dari potensinya, 2) kelas Cukup Sesuai (S2) yang menunjukkan bahwa lahan mempunyai faktor pembatas yang akan menurunkan produktivitas tanaman sehingga hanya mencapai hasil 80-60% dari potensinya, 3) kelas Sesuai Marjinal (S3) yang menandakan bahwa lahan mempunyai faktor pembatas yang berat sehingga produktivitas tanaman hanya berkisar pada rentang 60-40% dari potensi sesungguhnya, dan 4) kelas Tidak Sesuai (N) yang menunjukkan bahwa terdapat faktor pembatas yang sangat berat sehingga produktivitas tanaman hanya mencapai maksimal 40% dari potensi asli.

Evaluasi kesesuaian lahan ditindaklanjuti dengan perumusan pola tanam yang disesuaikan dengan ketersediaan sumber daya. Pola tanam adalah urutan tahunan dan pengaturan spasial tanaman pada satu unit lahan pertanian (Chandrasekaran et al., 2010). Keterbatasan air adalah alasan utama penyusunan pola tanam (Suryadi, 2011). Pola tanam sebagai sub-sistem dari budidaya tanaman adalah bentuk pengaturan pertanaman untuk mencapai efektivitas dan efisiensi produksi pada kondisi lingkungan budidayanya.

Kabupaten Sumba Tengah merupakan salah satu dari 21 kabupaten yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Usaha tani sebagian besar merupakan pertanian lahan kering dengan sumber air utama berupa hujan sehingga faktor iklim terutama distribusi curah hujan sangat mempengaruhi budidaya tanaman. Mengingat karakteristik semi-ringkai (lahan kering iklim kering) Sumba dengan faktor pembatas utama berupa ketersediaan air yang minim maka evaluasi kesesuaian lahan untuk pertanian serta perumusan pola tanam yang tepat akan menjadi krusial di wilayah ini. Oleh karena itu, studi ini dirancang untuk mengevaluasi kesesuaian penggunaan lahan di Sumba Tengah untuk tanaman pangan pilihan dan menyusun pola tanam yang cocok. Hasilnya dapat menjadi landasan pemilihan komoditas

potensial serta penentuan tata dan jadwal tanam yang mendukung produksi pangan di Sumba Tengah.

  • 2.    Metodologi

Penelitian dilakukan pada bulan Maret-Juni 2015 dengan tahapan berikut: (1) karakterisasi lahan, (2) evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman pangan, dan (3) perumusan pola tanam. Karakterisasi lahan (iklim dan tanah)

Karakterisasi lahan dilakukan untuk mengenal kondisi iklim dan tanah Sumba Tengah. Karakter lahan diperoleh dengan cara mengumpulkan data iklim (curah hujan dan suhu) serta mengambil dan menganalisis sampel tanah. Keterbatasan dalam tahapan pengumpulan data iklim adalah minimnya data yang relevan dengan kondisi Sumba Tengah karena stasiun meteorologi dan klimatologi terdekat berada di Sumba Timur yang berjarak 60-100 km dari wilayah penelitian. Data iklim yang digunakan adalah data suhu dan data curah hujan tahun 1997-2012. Informasi curah hujan diperoleh dari Dinas Pertanian Perkebunan Kehutanan Sumba Tengah dan berasal dari tiga stasiun penakar hujan di Kabupaten Sumba Tengah: Mananga, Lendiwacu, dan Waimamongu. Data suhu diperoleh dari Peta Suhu Sumba Tengah.

Informasi tentang karakter tanah diperoleh dengan cara pengambilan sampel tanah dan analisis di laboratorium. Titik pengambilan sampel tanah dilakukan dengan metode purposive sampling berdasarkan hasil desk study peta jenis tanah dan mengeliminasi daerah non pertanian (terutama hutan dan padang sabana). Keterbatasan tahapan ini adalah sulitnya pengambilan sampel tanah di beberapa titik karena medannya tidak dapat dilewati sarana transportasi. Keterbatasan ini umum terjadi di daerah dengan akses terbatas seperti Sumba Tengah. Akan tetapi, keterbatasan ini tidak menjadi penghalang untuk menentukan karakter umum lahan. Terdapat 15 lokasi pengambilan sampel yang tersebar di seluruh wilayah. Sampel tanah dianalisis di Laboratorium Tanah Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

Evaluasi kesesuaian lahan

Penilaian kesesuaian lahan dengan kebutuhan tanaman pangan dilakukan dengan menggunakan prosedur dan informasi dari Djaenuddin et al. (2003). Karakteristik iklim dan tanah disandingkan (matching) dengan syarat tumbuh tanaman pangan potensial menggunakan program ArcView.  Kelas kesesuaian  lahan

dikategorikan sebagai kelas S1, S2, S3, dan N. Tanaman pangan yang diujikan adalah tanaman yang dikenal serta digunakan masyarakat secara umum dan ditambah dengan tanaman gandum. Penyusunan pola tanam

Pola tanam disusun berlandaskan data curah hujan dan data komoditas tanaman pangan lokal. Metode yang digunakan adalah analisis neraca air. Neraca air menggambarkan kesetimbangan antara ketersediaan air di lahan dengan kebutuhan air tanaman. Ketersediaan air diperoleh dari estimasi curah hujan efektif bulanan. Curah hujan efektif (Re) dikalkulasi dengan dengan persamaan yang disediakan FAO (Dwiratna et al., 2013):

Re = (0,8 x R80%) – 24 untuk R80% ≥ 70 mm Re = (0,6 x R80%) – 10 untuk R80% < 70 mm

dimana R80 = hujan andalan 80% = (n/5) + 1 dimana n merupakan jumlah data yang diurutkan dari kecil ke besar. Kebutuhan air tanaman (Etc) didasarkan pada kebutuhan air untuk penggunaan air konsumtif. Besarnya diperoleh dari perkalian antara koefisien tanaman (Kc) dengan nilai evapotranspirasi potensial (ETo) yang diperoleh dari metode Penman modifikasi (Dwiratna et al, 2013). Persamaan neraca air yang digunakan diuraikan sebagai ΔS (±) = Re – Etc. Penentuan pola tanam dirujuk pada komoditas lokal dan ditentukan dengan pembandingan neraca air (ketersediaan air efektif dan kebutuhan air tanaman).

Untuk jenis tanaman yang dipilih dapat ditentukan frekuensi tanam (Indeks Pertanaman). Indeks pertanaman (IP) menunjukkan kekerapan pertanaman pada sebidang lahan pada satu tahun masa tanam. Nilai IP menentukan besarnya

tahun. dapat


(1)


produktivitas lahan tersebut selama satu Nilai indeks pertanaman (IP) potensial dihitung dengan persamaan:

Lt MH+ Lt MKI+ Lt MKII

IP =----------------------XIOO

Lt Balcu

dimana Lt MH = Luas tanam musim hujan, Lt MK I = Luas tanam musim kering 1, dan Lt MK II = Luas tanam musim kering 2 (Barus, 2001).

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

Karakter biofisik lahan

Kabupaten Sumba Tengah membentang antara 90 18’ - 100 20’ Lintang Selatan (LS) dan 1180 55’ - 1200 23’ Bujur Timur (BT). Luas

wilayah daratannya adalah 186.918 ha. Secara administratif, Kabupaten Sumba Tengah terdiri dari lima kecamatan: 1) Umbu Ratu Nggay dengan luas 79.137 ha dan rentang ketinggian tempat 0800 m di atas permukaan laut (m dpl), 2) Katikutana dengan luas 7.883 ha dan ketinggian 0800 m dpl, 3) Mamboro dengan luas 35.859 ha dan ketinggian 0-450 m dpl, 4) Umbu Ratu Nggay Barat dengan luas 27.205 ha dan ketinggian 0-800 mdpl, dan 5) Katikutana Selatan dengan luas 36.834 ha dan ketinggian 0-720 m dpl.

Kabupaten Sumba Tengah merupakan daerah kering dengan hanya empat bulan basah dalam setahun. Delapan bulan sisanya merupakan bulan relatif kering terutama bulan Juni sampai Agustus dimana hujan sangat minim (Tabel 1). Terdapat dua sumber air permukaan yaitu Sungai Bewi sepanjang 8 km di daerah Mamboro dan Sungai Pamalar sepanjang 6 km di Umbu Ratu Nggay. Di banyak desa juga terdapat mata air. Walaupun demikian, sumber air utama untuk pertanian adalah hujan karena irigasi belum memadai.

Karakter tanah Sumba Tengah bervariasi (Tabel 2). Tekstur tanah beragam mulai dari liat sampai pasir dan kemasamannya netral sampai masam. Kandungan bahan organik dan nitrogen di dalam tanah bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi. Akan tetapi, ketersediaan fosfat dan

kalium sangat rendah di semua wilayah. Karakter   hendak dikembangkan secara berkelanjutan di

tanah tersebut nantinya sangat menentukan kelas   seluruh wilayah Sumba Tengah.

kesesuaian lahan bagi komoditas pangan yang

Tabel 1. Rerata curah hujan di tiga stasiun penangkar hujan Sumba Tengah pada tahun 1997-2012

Stasiun

Jan

Peb

Ma r

Apr

Mei

Jun

Jul

Agt

Sep

Okt

Nov

Des

Total

Mananga, M

373

317

237

132

28

13

-

-

28

42

46

91

1306

Lendiwacu, URN

390

299

226

181

74

6

2

-

86

67

200

218

1749

Waimamongu, K

318

332

280

232

87

22

29

9

77

128

190

322

2027

Keterangan: M = Mamboro, URN = Umbu Ratu Nggay, K = Katikutana

Tabel 2. Karakteristik tanah Sumba Tengah

Lokasi

pH

Partikel Tanah

N total

P (P2O5) total

K (K2O) total

Bahan Organik total

% Pasir

% Debu

% Liat

Tekstur

%

Harkat

%

Harkat

%

Harkat

%

Harkat

Pusat kabupaten, KS

5,52

31,88

11,35

56,77

Liat

1,09

ST

1,03

SR

0,02

SR

12,03

ST

Wairasa, URNB

5,16

33,42

5,36

61,22

Liat

0,17

R

1,10

SR

0,05

SR

2,84

S

Padira Tana, URN

5,39

12,83

23,93

63,24

Liat

0,27

S

1,25

SR

0,03

SR

1,14

R

Padira Tana, URN

5,37

5,45

12,26

82,29

Liat

0,04

SR

1,26

SR

0,05

SR

3,24

S

Soru, URN

6,36

32,75

2,99

64,26

Liat

0,19

R

1,10

SR

0,04

SR

1,59

R

Tana Mbanas, URN

6,50

7,68

38,66

53,65

Liat

0,29

S

1,17

SR

0,05

SR

2,06

S

Tana Mbanas, URN

6,65

29,95

49,81

20,24

Lempung

0,05

SR

1,14

SR

0,03

SR

1,62

R

Tana Mbanas, URN

6,82

94,91

1,02

4,07

Pasir

0,05

SR

1,01

SR

0,02

SR

0,35

SR

Lenang, URN

6,84

57,49

23,61

18,89

Lempung Berpasir

0,22

S

1,10

SR

0,04

SR

2,02

S

Lenang, URN

7,06

79,50

12,30

8,20

Pasir Berlempung

0,07

SR

1,04

SR

0,01

SR

0,25

SR

Mano Wolu, M

7,14

17,97

49,94

32,08

Lempung Liat Berdebu

0,02

SR

1,10

SR

0,07

SR

1,52

R

Waimanu, KS

7,06

14,44

24,39

61,17

Liat

0,03

SR

1,24

SR

0,03

SR

1,76

R

Manurara, KS

7,08

4,09

25,24

70,67

Liat

0,14

R

1,17

SR

0,02

SR

10,02

ST

Tana Modu, KS

6,85

27,30

24,23

48,47

Liat

0,05

SR

1,12

SR

0,02

SR

1,59

R

Kondamaloba, KS

6,95

33,63

15,32

51,06

Liat

0,28

S

1,19

SR

0,03

SR

10,23

ST

Keterangan: 1) M = Mamboro, K = Katikutana, KS = Katikutana Selatan, URN = Umbu Ratu Nggay, URNB = Umbu Ratu Nggay Barat; dan 2) SR=Sangat Rendah, R=Rendah, S=Sedang,

T

=Tinggi, ST=Sangat Tinggi

Kelas kesesuaian lahan untuk produksi tanaman pangan

Penggunaan lahan untuk pertanian lahan basah maupun kering adalah yang terluas (Tabel 3). Tanaman pangan utama yang dibudidayakan adalah padi dan jagung serta aneka kacang dan umbi (Tabel 4).

Tabel 3. Luas penggunaan lahan sawah dan lahan kering di Kabupaten Sumba Tengah

Kecamatan

Luas Wilayah (ha)

Tipe Penggunaan Lahan

Sawah

Irigasi (ha)

Sawah Non Irigasi (ha)

Kering (ha)

Lainnya (ha)

Mamboro

35.859

782

100

32.802

2.175

Katikutana

7.883

350

951

6.292

290

Umbu Ratu Nggay Barat

27.205

647

1.314

23.383

1.861

Umbu Ratu Nggay

79.137

887

506

60.130

17.614

Katikutana Selatan

36.834

225

2.360

19.229

15.020

Total

186.918

2.891

5.231

141.836

36.960

Sumber: Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Sumba Tengah (2015)

Tabel 4. Luas produksi, produktivitas, dan sentra produksi tanaman pangan utama Sumba Tengah

Jenis tanaman

Luas produksi (ha)

Produktivitas (ton/ha)

Sentra produksi

Padi

7.600

3

Semua kecamatan

Jagung

4.780

3

Semua kecamatan

Ubi kayu

1.365

10

Semua kecamatan

Ubi jalar

314

8

Mamboro

Kacang tanah

725

1,2

Mamboro dan Umbu Ratu Nggay

Kedelai

246

1

Mamboro dan Katikutana Selatan

Kacang hijau

291

1

Mamboro dan Umbu Ratu Nggay Barat

Sumber: Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Sumba Tengah (2015)

Lahan di lima kecamatan tergolong pada kelas S1 dan S2 untuk padi sawah, padi tadah hujan, dan padi gogo (Tabel 5-6). Padi sawah dan tadah hujan membutuhkan jumlah air >200 mm per bulan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga curah hujan ideal untuk budidaya adalah 600-1.800 mm/tahun. Sementara itu, padi gogo yang merupakan padi lahan kering memiliki

kebutuhan air <200 mm/bulan selama 3 bulan berturut-turut atau setara dengan curah hujan 4501.600 mm/tahun. Suhu udara yang ideal untuk padi sawah, tadah hujan, dan gogo adalah 24 – 29°C (Djaenuddin et al., 2003). Kebutuhan ini secara umum masih dapat dipenuhi oleh karakter iklim Sumba Tengah.

Tabel 5. Kelas kesesuaian lahan untuk padi, jagung, dan ubi kayu di Sumba Tengah

Kecamatan

Padi sawah

Padi tadah hujan

Padi gogo

Jagung

Ubi kayu

Luas

Luas

Luas

Luas

Luas

Kelas

(ha)

Kelas

(ha)

Kelas

(ha)

Kelas

(ha)

Kelas

(ha)

TTmh11 Pof11

S1

41213,6

S1

71210,5

S1

39100,7

S1

882,5

S1

79137,0

Nggay

S2

37923,4

S2

7926,5

S2

40036,3

S2

77694,0

S3

560,4

Mamboro

S1

1449,0

S1

35859,0

S1

31931,0

S1

12956,6

S1

35859,0

S2

34410,0

S2

3928,0

S2

22902,4

Umbu Ratu

S1

22619,2

S1

7700,7

S1

5534,2

S1

208,5

S1

27205,0

Nggay Barat

S2

4585,8

S2

19504,3

S2

21670,8

S2

26257,5

S3

739,1

Katikutana

S1

7883,0

S2

7883,0

S2

7883,0

S2

7883,0

S1

7883,0

Katikutana

S1

34377,7

S1

19334,9

S1

17969,1

S2

36834,0

S1

36834,0

Selatan

S2

2456,3

S2

17499,1

S2

18864,9

Tabel 6. Kelas kesesuaian lahan untuk ubi jalar, aneka kacang, dan gandum di Sumba Tengah

Kecamatan

Ubi jalar

Kedelai

Kacang hijau

Kacang tanah

Gandum

Kelas

Luas (ha)

Kelas

Luas (ha)

Kelas

Luas (ha)

Kelas

Luas (ha)

Kelas

Luas (ha)

Umbu Ratu

S1

64997,8

S1

89,9

S2

79137,0

S1

1093,6

S2

50658,0

Nggay

S2

14139,2

S2

79047,1

S2

78043,4

S3

28479,0

Mamboro

S1

35859,0

S1

5329,5

S2

35859,0

S1

17583,2

S2

18231,2

S2

30529,5

S2

18275,8

S3

17627,8

Umbu Ratu

S1

24992,7

S2

27205,0

S2

27205,0

S1

2,8

S2

6910,2

Nggay Barat

S2

2212,3

S2

27202,2

S3

20294,8

Katikutana

S1

7883,0

S2

7883,0

S2

7883,0

S2

7883,0

S3

7883,0

Katikutana

S1

27686,1

S2

36834,0

S2

36834,0

S2

36834,0

S2

3018,0

Selatan

S2

9147,9

S3

25756,7

N

8059,3

Kebutuhan air untuk padi sawah atau tadah hujan sangat tinggi terutama saat pengolahan lahan (pembuatan lumpur) dan saat tanaman membutuhkan genangan. Kebutuhan tersebut dapat terpenuhi terutama pada periode hujan (bulan basah) namun akan terkendala di bulan kering karena terbatasnya sistem pengairan. Di lain sisi, meskipun kebutuhan air padi gogo lebih sedikit daripada padi sawah dan tadah hujan, air tetap merupakan faktor pembatas utama yang harus dikelola di lahan kelas S2. Pengelolaan air terutama di musim kemarau tetap diperlukan

apabila mengharapkan produksi padi sawah, tadah hujan, dan gogo secara optimal.

Kesesuaian lahan Sumba Tengah untuk jagung sebagian besar termasuk pada kelas S1 serta S2 dan sebagian kecil termasuk golongan kelas S3. Produksi optimal jagung pada lahan yang tidak beririgasi memerlukan curah hujan antara 85200 mm/bulan dan merata sepanjang hidupnya atau secara total berarti berkisar 500-1.200 mm/tahun. Suhu udara ideal untuk penanaman jagung adalah 20-26°C (Djaenuddin et al., 2003). Oleh karena jagung memerlukan cukup air pada

fase pembungaan dan pengisian biji maka jagung sebaiknya ditanam di awal musim hujan dan menjelang musim kemarau.

Ubi kayu sangat sesuai dengan variasi kondisi lahan Sumba Tengah dan ubi jalar sangat sesuai untuk sebagian besar wilayah kecamatan. Budidaya ubi kayu pada lahan tanpa pengairan memerlukan curah hujan sekitar 1.000-2.000 mm/tahun dan suhu udara optimal pada rentang 22-28oC. Produksi ubi jalar pada lahan yang tidak beririgasi membutuhkan curah hujan sekitar 8001.500 mm/tahun dan suhu udara optimal pada rentang 22 – 25oC (Djaenuddin et al., 2003). Oleh karena itu ubi kayu dapat tumbuh dengan baik di hampir seluruh Sumba Tengah.

Lahan Sumba Tengah sebagian besar cukup sesuai untuk produksi beberapa jenis kacang. Kedelai, kacang hijau, dan kacang tanah masing-masing memerlukan curah hujan sekitar 3501.100, 360-600, dan 400-1.100 mm/tahun serta rentang suhu udara ideal sebesar 23-25, 12-24, dan 25-27°C untuk produksi optimal. Faktor pembatas yang secara minor membatasi kesesuaian lahan untuk kedelai dan kacang tanah umumnya adalah air sementara faktor pembatas terhadap produksi kacang hijau adalah suhu.

Evaluasi kesesuaian lahan untuk produksi gandum juga dilakukan untuk melihat potensi pengembangannya di Sumba Tengah. Saat ini, varietas gandum yang ada di Indonesia menghendaki habitat tumbuh berupa wilayah dengan suhu rendah yaitu dataran tinggi dengan

ketinggian minimal 800 m di atas permukaan laut (m dpl). Budidaya tanaman gandum pada lahan yang tidak beririgasi memerlukan curah hujan ideal sekitar 350-1.250 mm/tahun dan rentang suhu udara ideal antara 12-23°C (Djaenuddin et al., 2003). Gandum cukup riskan untuk dikembangkan di Sumba Tengah: ditunjukkan oleh kelas kesesuaian S2, S3, dan NS dengan faktor pembatas utama berupa suhu optimal. Lahan yang cukup sesuai untuk gandum sebagian besar terdapat di Umbu Ratu Nggay.

Pola tanam Sumba Tengah

Berdasarkan analisis ketersediaan air dari data curah hujan 1997 – 2012 maka wilayah Sumba Tengah dikategorikan atas tiga tipe peluang masa tanam yaitu: 1) satu kali masa tanam dengan pola padi/palawija-bera, 2) dua kali masa tanam dengan pola padi-palawija-bera dan, dan 3) dua kali masa tanam dengan pola padi-padi gogo/palawija-bera (Gambar 1). Daerah dengan peluang hanya satu kali masa tanam dalam setahun (Indeks Pertanaman 1,00) umumnya terletak di wilayah utara terutama Kecamatan Mamboro karena daerah ini lebih kering daripada wilayah di bagian tengah dan selatan. Tanaman pangan yang termasuk kategori cukup sesuai dan sangat sesuai untuk wilayah ini adalah padi, jagung, aneka kacang, dan aneka umbi. Semua tanaman tersebut dapat menjadi komoditas pangan yang disertakan dalam sistem pertanaman lokal. Sementara itu, tanaman pangan yang akan terhambat pertumbuhannya di wilayah ini adalah gandum.

Gambar 1. Sebaran pola dan jadwal tanam di wilayah Kabupaten Sumba Tengah

Gambar 2. Jadwal tanam Sumba Tengah sesuai dengan tiga tipe pola tanam

Pertanaman di wilayah ini secara serentak dapat dilakukan di awal bulan Desember sehingga pada bulan April tahun berikutnya panen dapat dilakukan serentak (Gambar 2). Dengan cara ini pemanfaatan curah hujan menjadi maksimal karena air yang tersedia sejak hujan pertama dapat digunakan secara maksimal untuk produksi tanaman. Setelah itu lahan dibiarkan bera (tanpa budidaya) karena ketersediaan air tidak memadai.

Wilayah dengan potesi dua kali masa tanam dalam setahun tersebar di beberapa kecamatan. Masa tanam I berlangsung pada bulan November-Maret. Masa tanam II dilaksanakan pada bulan April-Juli. Setelah itu lahan tidak diolah sampai musim tanam selanjutnya. Semua tanaman pangan yang saat ini dibudidayakan secara lokal termasuk dalam kelas cukup sesuai dan sangat sesuai untuk wilayah-wilayah tersebut sehingga dapat dijadikan komoditas andalan.

Pilihan jenis tanaman untuk bagian timur Sumba Tengah terutama Umbu Ratu Nggay dapat berupa padi sawah atau tadah hujan di musim tanam I dan palawija di musim kedua (Pola 2A). Sementara itu, pilihan jenis tanaman di wilayah barat dan selatan terutama Umbu Ratu Nggay Barat, Katikutana, dan Katikutana Selatan dapat berupa padi sawah atau tadah hujan di musim I dan padi gogo atau palawija di musim kedua (Pola 2B). Tanaman aneka kacang cukup sesuai untuk ditanam di wilayah-wilayah ini sehingga sebaiknya disertakan dalam rotasi tanaman. Tujuannya adalah untuk perbaikan tanah karena adanya kemampuan tanaman mengikat nitrogen dari udara lalu melepaskannya ke dalam tanah ketika terjadi penguraian bahan organik dan mineralisasi hara (Zahran, 1999). Dengan demikian, kesuburan tanah dapat terjaga.

Tidak terdapat wilayah dengan peluang masa tanam tiga kali dalam setahun di Sumba Tengah karena ketersediaan air sepanjang tahun belum dapat diupayakan. Teknologi pengairan masih dapat dikembangkan dengan lebih intensif di wilayah ini untuk memastikan tersimpannya air di lahan dan tersedianya air di periode kering.

  • 4.    Simpulan dan Saran

Sumba Tengah memiliki karakter tanah yang bervariasi: tekstur tanah beragam mulai dari liat sampai pasir, kemasamannya mulai dari netral sampai masam, kandungan bahan organik dan nitrogennya mulai dari sangat rendah sampai sangat tinggi. Akan tetapi, ketersediaan fosfat dan kalium sangat rendah di semua wilayah. Karakter iklim Sumba Tengah adalah kering dengan hanya empat bulan basah dalam setahun dan curah hujan tahunan kurang dari 2000 mm. Karakter tanah dan iklim sangat menentukan kelas kesesuaian lahan bagi komoditas pangan lokal yaitu padi lahan basah dan kering, jagung, aneka umbi, aneka kacang, dan gandum. Pada dasarnya lahan Sumba Tengah termasuk pada kategori S1 dan S2 untuk padi, jagung, aneka umbi, dan aneka kacang namun relatif kurang sesuai untuk gandum. Beberapa lahan pertanian terutama di bagian utara Sumba Tengah hanya dapat ditanami satu kali dalam setahun, yaitu di musim hujan (Desember-April), dengan pilihan tanaman berupa padi dan palawija. Lahan lainnya dapat ditanami dua kali dalam setahun dengan rekomendasi kombinasi padi/palawija dengan aneka kacang sebagai tanaman perbaikan kesuburan tanah. Akan tetapi, oleh karena masih terbatasnya sumber daya air maka belum ada daerah yang bisa diberdayakan untuk menerapkan tiga kali masa tanam dalam setahun.

Daftar Pustaka

Barus, H. 2001. Potensi Peningkatan Indeks Pertanaman Berdasarkan Pola Ketersediaan Air Irigasi di Sumatera bagian Utara. Bogor: IPB.

Chandrasekaran, B., Annadurai, K, dan Somasundaram, E. 2010. A Textbook of Agronomy. New Age International Publishers. New Delhi, India.

Djaenudin D., Marwan H., Subagjo H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Edisi ke- 1.

Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.

Djaenudin D, Sulneman Y, Abdurachman A. 2002. Pendekatan pewilayahan komoditas pertanian menurut pedo-agroklimat di kawasan timur indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 21 : 1-10.

Djaenudin D, Marwan H, Subagyo H, Mulyani A, Suharta N. 2000. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Pengembangan Agroklimat. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Dwiratna N.P.S., Nawawi, G. dan Asdak, C. 2013. Analisis curah hujan dan aplikasinya dalam penetapan jadwal dan pola tanam pertanian lahan kering di Kabupaten Bandung. Bionatura-Jurnal ilmu-ilmu hayati dan fisik 15 (1): 29-34.

FAO. 1976. A Framework for land evaluation. soil resources management and conservation service land and water development division. FAO Soil Bulletin No. 32. FAO-U NO. Rome.

Palaniappan, S.P. dan Sivaraman, K. 1996. Cropping Systems in the Tropics. New Age International Publishers. New Delhi, India.

Rusastra, I.W., Saliem, H.P., Supriati, dan Saptana. 2004. Prospek pengembangan pola tanam dan diversifikasi tanaman pangan di Indonesia. Forum penelitian agroekonomi 22 (1): 37-53.

Suryadi, A. 2011. Studi Pengembangan Jaringan Irigasi di Daerah Irigasi bandar Sidoras. Medan: USU.

Zahran, H.H. 1999. Rhizobium-Legume Symbiosis and Nitrogen Fixation under Severe Conditions and in an Arid Climate. Microbiology and Molecular Biology Reviews 63 (4): 968-989.

118