I Made Juli Ardana, dkk. : Pengaruh Lingkungan Tempat Tinggal dan Karakteristik Rumah

PENGARUH LINGKUNGAN TEMPAT TINGGAL DAN KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA TERHADAP MUNCULNYA PEKERJA ANAK DI NTT (ANALISIS DATA SUSENAS DAN POTENSI DESA 2011)

I Made Juli Ardana1)*, I Gusti Bagus Arjana2), Ruslan Ramang3) 1)Badan Pusat Statistik Provinsi NTT, Jl. R Suprapto No. 5 Kupang 2)Universitas Nusa Cendana, Jl. Adi Sucipto Kupang 3)Universitas Nusa Cendana, Jl. Adi Sucipto Kupang

*Email : julistis@gmail.com

Abstract

In Nusa Tenggara Timur the appearance of child labour affected by the living environment and the household characteristic. The descriptive analysis showed that in 2011 there were 4,37 % child labour in NTT. The inference analysis showed the probability of children who live in urban area become a child labour was 0,56 times than who live in rural area, the probability of children who live in a region that there was school available become a child labour is 0,43 times than children who live in a region without school. Children with head of household work in formal sector had less probability become a child labour than children with head of household not working/work in informal sector, the probability was 0,47 times. Probability of children with head of household education highschool or above become a child labour 0,58 times than children with head of household education secondary school or less. Probability of children with head of household sex was male become a child labour 0,70 times then whose head of household sex was female. A boy have probability become a child labour 1,36 times than a girl. This result showed that living environment and household characteristics influence the appearance of child labour in NTT.

Keywords: environment; child labour; household characteristics; logistic regression

Abstrak

Fenomena pekerja dibawah umur di Nusa Tenggara Timur dipengaruhi oleh lingkungan hidup dan karakteristik rumah tangga. Analisis deskriptif menunjukkan bahwa pada 2011 ada 4,37% pekerja anak di NTT. Analisis inferensi menunjukkan probabilitas anak-anak yang tinggal di daerah perkotaan menjadi pekerja adalah 0,56 kali dibandingkan yang tinggal di daerah pedesaan, probabilitas anak-anak yang tinggal di wilayah yang tersedia sekolah menjadi pekerja adalah 0, 43 kali dibanding anak-anak yang tinggal di daerah tanpa sekolah. Anak-anak dengan kepala rumah tangga yang bekerja pada sektor formal memiliki probabilitas yang lebih kecil menjadi pekerja yaitu 0,47 kali dengan kepala rumah tangga yang tidak bekerja atau bekerja di sektor informal. Probabilitas anak-anak dari kepala keluarga dengan pendidikan menengah atas atau lebih tinggi menjadi pekerja 0.58 kali daripada kepala keluarga dengan pendidikan rendah. Probabilitas anak-anak dari laki-laki sebagai kepala kelaurga menjadi pekerja 0,70 kali daripada perempuan sebagai kepala keluarga. Seorang anak laki-laki memiliki probabilitas 1.36 kali menjadi pekerja daripada anak perempuan. Hasil penelitian ini menunjukkan lingkungan tempat tinggal dan karakteristik rumah tanggah berpengaruh terhadap pekerja dibawah umur di NTT.

Kata kunci: lingkungan; pekerja dibawah umur; karakteristik rumah tangga; regresi

  • 1.    Pendahuluan

Lingkungan hidup dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu lingkungan alam, lingkungan buatan dan lingkungan sosial (BPS, 2012a). Ketenagakerjaan merupakan salah satu masalah yang terjadi pada lingkungan sosial. Pemanfaatan anak-anak sebagai pekerja merupakan masalah yang terjadi baik itu pada negara maju maupun berkembang.

Anak-anak adalah generasi penerus bangsa yang merupakan aset tak ternilai harganya. Anak-anak pada gilirannya nanti akan menjadi penerus generasi yang ada sekarang dan melanjutkan pembangunan yang fondasinya telah diletakkan oleh generasi sekarang.Berdasarkan konvensi tentang hak-hak anak (Convention on the Right of the Child-CRC)tahun 1989, anak-anak memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan, beristirahat dan bersenang-senang, dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan dari melakukan pekerjaan berbahaya.

UU No. 20 tahun 2003 mencanangkan wajib belajar pada pendidikan dasarbagi anak-anak usia 7-15 tahun. Program pemerintah yang telah dicanangkan tersebut seharusnya mendapatkan dukungan penuh dari seluruh lapisan masyarakat untuk menjamin kualitas sumberdaya manusia di masa depan. Pada kenyataannya masih ada anak usia sekolah yang tidak bersekolah dengan berbagai alasan mulai dari kondisi ekonomi sampai alasan tidak ada atau sulitnya akses ke sekolah.

Berdasarkan UU No. 32 tahun 2009, manusia hidup pada suatu wilayah yang didefinisikan dalam suatu wilayah yang disebut dengan ekoregion yaitu wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. Sedangkan dalam kehidupan manusia sebagai penduduk Indonesia setiap orang menempati suatu wilayah administrasi tertentu.Suatu wilayah administrasi dikategorikan perkotaan apabila memenuhi persyaratan tertentu dalam hal kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan keberadaan/akses pada fasilitas perkotaan yang dimiliki suatu

desa/kelurahan(BPS, 2010b). Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak mengatur tentang hak dan kewajiban anak. Hak anak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Perhatian pemerintah terhadap fenomena pekerja anak yang terjadi selama ini sangatlah besar. Peraturan mengenai pekerja anak telah ada sejak jaman kolonial, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Ordonansi Pemerintah tanggal 17 desember tahun 1925 yang mengatur tentang pekerja anak-anak dan kerja malam bagi perempuan. Ordonansi ini membatasi usia anak-anak yang bekerja minimum 12 tahun (Thijs, 1994 dalam Syahruddin, 2004).

Rumah tangga miskin tidak bisa menyekolahkan anak-anak mereka meskipun biaya pendidikan itu gratis. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh biaya untuk hadir di sekolah sangatlah tinggi bagi rumah tangga miskin (Aldaba et al, 2004).Daliyo dkk (1998) mengungkapkan bahwa rumah tangga yang memiliki anak droupout biasanya memiliki tekanan ekonomi yang lebih besar daripada rumah tangga yang anaknya bersekolah.Orazem dan Gunnarsson (2003) mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan pencapaian prestasi sekolah antara anak yang selalu bekerja dengan anak yang tidak pernah bekerja. Anak yang tidak pernah bekerja 27,5 persen lebih baik dalam pelajaran matematika daripada anak yang selalu bekerja, dan 18,6 persen lebih baik dalam pelajaran bahasa.

Manurung (1998) mengungkapkan bahwa anak yang kepala rumah tangganya tinggal di pedesaan memiliki faktor resiko yang lebih besar menjadi pekerja anak daripada yang kepala rumah tangganya tinggal di perkotaan. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Syahruddin (2004) yang menyatakan bahwa rumah tangga yang tinggal di pedesaan lebih banyak memunculkan kasus rumah tangga dengan pekerja anak daripada rumah tangga yang tinggal di perkotaan. Usman (2002) menyatakan bahwa risiko anak yang tinggal di

pedesaan untuk bekerja lebih tinggi daripada anak yang tinggal di perkotaan, hal ini tidak terlepas dari fakta bahwa jumlah dan proporsi penduduk miskin lebih banyak di pedesaan daripada di perkotaan.

Rosati dan Tzannatos (2006) mengungkapkan bahwa biaya sekolah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan rumah tangga untuk mengirimkan anak ke dalam bursa kerja, jarak antara rumah dan sekolah digunakan sebagai pendekatan. Penelitian Cigno et al (2001) menunjukkan bahwa probabilitas anak bersekolah akan naik bila terdapat sekolah di lingkungan tempat tinggalnya. Raharja (2009) mengungkapkan bahwa peluang anak yang memiliki akses terhadap sekolah untuk bekerja lebih kecil daripada anak yang tidak memiliki akses.

Deb dan Rosati (2002) menggunakan asumsi bahwa orang tua memiliki peran utama dalam mengambil keputusan untuk mengirimkan anak ke dalam bursa tenaga kerja atau tidak. Raharja (2009) menggunakan pendekatan yang sama dalam penelitiannya yang mengasumsikan bahwa kepala rumah tanggalah yang menentukan kegiatan anaknya, apakah mereka bekerja, bersekolah atau tidak melakukan keduanya (idle).

Arjana dkk (2012) mengungkapkan bahwa 46 persen anak usia sekolah dari Kabupaten TTS yang bermigrasi ke Kota Kupang dengan tujuan mencari pekerjaan bermotif ekonomi, yakni kesulitan ekonomi orang tua. Selain faktor ekonomi, aspek kehidupan sosial yang kurang baik juga merupakan faktor pendorong anak usia sekolah untuk tidak bersekolah dan memilih untuk bermigrasi ke Kota Kupang dengan tujuan mendapatkan pekerjaan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jensen dan Nielsen (1997) mengungkapkan bahwa selain pendidikan kepala rumah tangga, status pekerjaan dan jenis kelamin kepala rumah tangga merupakan faktor penting dalam munculnya fenomena pekerja

anak. Kepala rumah tangga yang tidak bekerja atau bekerja di sektor informal memiliki kecenderungan lebih besar untuk mempekerjakan anaknya. Hal yang sama juga terjadi bagi kepala rumah tangga berjenis kelamin perempuan.

Beberapa hal yang ingin diketahui melalui penelitian ini adalah

  • 1.    Mengetahui pengaruh lingkungan tempat tinggal terhadap munculnya pekerja anak di NTT.

  • 2.    Mengetahui pengaruh karakteristik rumah tangga terhadap munculnya pekerja anak di NTT.

  • 3.    Mengetahui pengaruh lingkungan tempat tinggal dan karakteristik rumah tangga terhadap munculnya pekerja anak di NTT.

  • 2.    Metodologi

    2.1   Sumber Data

Penelitian ini dilakukan di NTT dan menggunakan data Susenas dan Podes 2011 yang telah dikumpulkan oleh BPS. Peneliti hanya melakukan kompilasi dan analisis data sesuai dengan kebutuhan.

  • 2.2    Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan dua teknik analisis yaitu analisis deskriptif dan analisis inferensial.

  • a.    Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif dengan menggunakan tabulasi silang digunakan untuk mendapatkan gambaran mengenai kondisi pekerja anak yang ada di NTT.

  • b.    Analisis Inferensial

Dalam analisis ini digunakan metode regresi logistik binomial. Metode analisis ini digunakan untuk mendapatkan kesimpulan mengenai penyebab munculnya pekerja anak di NTT.Tahap-tahappenelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:

  • 1.    Model yang digunakan adalah :

I P ir>r>

(1)


  • ln I      I= β0 + β1 x 1 + β2 x 2 + β3 x 3 + β4 x4 + β5 x 5 + β6 x 6 + β7 x 7

11 - p)

Keterangan :

  • x1       : status tempat tinggal.

  • x2      : keberadaan sekolah sesuai umur anak.

  • x3       : status kemiskinan.

  • x4      : pendidikan kepala rumah tangga.

  • x5      : jenis kelamin kepala rumah tangga.

  • x6      : jenis kelamin anak.

  • x7      : pekerjaan kepala rumah tangga

  • 2.    Menggabungkan data susenas 2011 dan data podes 2011 untuk mendapatkan keberadaan sekolah pada lokasi tempat tinggal pekerja anak.

  • 3.    Melakukan uji simultan atau Likelihood Ratio Test untuk menguji keseluruhan model dengan menggunakan variabel-variabel yang signifikan dalam uji kebebasan chi square, apakah variabel bebas mempengaruhi variabel terikat secara keseluruhan

  • 4.    Melakukan uji parameter model dengan menggunakan uji Wald. Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah ada pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat jika diuji secara parsial

  • 5.    Odds ratio merupakan ukuran risiko atau kecenderungan untuk mengalami kejadian tertentu antara satu kategori dengan kategori lainnya dalam suatu variabel penjelas. Odds ratio ini menyatakan tingkat resiko kecenderungan pengaruh variabel dengan

kategori x =  1 adalah n kali lipat

dibandingkan  dengan  variabel  dengan

kategori x = 0.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1   Analisis Deskriptif

  • a.    Kegiatan Anak Berdasarkan  Status

Kemiskinan

Proporsi pekerja anak dengan kategori miskin sebesar 1,36 kali lipat daripada pekerja anak dengan kategori tidak miskin. Pada kelompok

miskin terdapat 5,43 persen pekerja anak sedangkan pada kelompok tidak miskin hanya ditemukan 3,98 persen pekerja anak. Dengan temuan ini bisa dikatakan bahwa kejadian munculnya pekerja anak di Provinsi NTT sama dengan kejadian pekerja anak pada umumnya.

  • b.    Kegiatan Anak Berdasarkan Pendidikan

Kepala Rumah Tangga

Pekerja anak dengan pendidikan kepala rumah tangga SD ke bawah sebesar 5,19 persen, SMP sebesar 3,88 persen dan SMA ke atas sebesar 1,78 persen. Penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi pekerja anak paling banyak ditemukan pada rumah tangga dengan pendidikan kepala rumah tangga SD ke bawah sedangkan pada kelompok pendidikan SMP dan SMA ke atas proporsi pekerja anaknya lebih kecil.

  • c.    Kegiatan Anak Berdasarkan Status

Pekerjaan Kepala Rumah Tangga

Pada kelompok kepala rumah tangga yang tidak bekerja terdapat pekerja anak sebesar 1,76 persen, pada kelompok kepala rumah tangga yang bekerja di sektor informal terdapat 5,93 persen pekerja anak dan pada kelompok kepala rumah tangga yang bekerja pada sektor formal terdapat 2,14 persen pekerja anak.

  • d.    Kegiatan Anak Berdasarkan Jenis

Kelamin Kepala Rumah Tangga

Rumah tangga dengan perempuan sebagai kepala rumah tangganya memunculkan 6,08 persen pekerja anak sedangkan pada kepala rumah tangga laki-laki memunculkan 4,12 persen pekerja anak. Beberapa alasan yang dikemukakan para ahli dalam penelitiannya adalah pendidikan perempuan pada umumnya lebih rendah daripada laki-laki, maka rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan lebih miskin daripada rumah tangga yang dikepalai oleh laki-laki yang secara tidak langsung memperbesar peluang munculnya pekerja anak.

  • e.    Kegiatan Anak Berdasarkan Jenis

    Kelamin

Berdasarkan hasil Survey Pekerja Anak (SPA) yang dilakukan pada tahun 2009, rasio pekerja anak adalah 144 (yaitu 144 laki-laki untuk 100 perempuan), ini berarti anak-anak yang bekerja cenderung laki-laki daripada perempuan (BPS, 2010a). Secara universal pekerja anak laki-laki sekurang-kurangnya dua kali lebih banyak daripada pekerja anak perempuan, argumen yang digunakan adalah adanya anggapan bahwa pekerja anak laki-laki lebih produktif daripada perempuan (Betcherman dkk, 2004).

Untuk wilayah Provinsi NTT jumlah proporsi anak laki-laki yang bekerja lebih besar daripada anak perempuan. Anak perempuan yang bekerja adalah sebesar 3,75 persen dan anak laki-laki yang bekerja adalah sebesar 4,96 persen. Kondisi sebaliknya terjadi untuk proporsi anak yang tidak bekerja, sebanyak 96,25 persen anak perempuan tidak bekerja dan untuk anak laki-laki 95,04 persen. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh jenis pekerjaan yang dapat dilakukan oleh pekerja anak adalah pekerjaan yang membutuhkan kekuatan fisik, sehingga proporsi pekerja anak laki-laki lebih besar daripada perempuan.

  • f.    Kegiatan      Anak      Berdasarkan

Lingkungan Tempat Tinggal

Di wilayah perdesaan terdapat pekerja anak sebesar 4,79 persen sedangkan di wilayah perkotaan hanya 1,76 persen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi pekerja anak di wilayah perdesaan lebih besar daripada di perkotaan. Kondisi ini menunjukkan bahwa situasi pekerja anak di NTT hampir serupa dengan situasi pekerja anak di tempat lain.

  • g.    Kegiatan     Anak     Berdasarkan

Keberadaan Sekolah

Data keberadaan sekolah yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari Podes 2011 yang telah dilakukan oleh BPS. Keberadaan sekolah disesuaikan dengan usia anak, anak usia 10-12 tahun seharusnya masih duduk di bangku SD sehingga untuk usia tersebut dilihat keberadaan SD di desa tempat tinggalnya. Untuk anak usia 13-

14 tahun yang seharusnya sudah duduk di bangku SMP dilihat keberadaan SMP di desanya. Pendekatan ini dilakukan untuk melihat akses anak terhadap sekolah di lingkungan tempat tinggalnya.

  • 3.2   Analisis Inferensial

  • a.    Uji Simultan/Uji Seluruh Model/Uji G

(Likelihood Ratio Test)

Pada tahap ini akan dilakukan pengujian terhadap seluruh model untuk mengetahui apakah ada minimal satu variabel bebas yang berpengaruh terhadapa model. Dalam pengujian ini akan dilihat nilai likelihood yang dihasilkan, jika Gχ2(α;p) maka H0 ditolak pada tingkat signifikansi α. Hal ini berarti model sudah sesuai dan tepat untuk digunakan.

Berdasarkan output yang diperoleh dapat diketahui nilai statistik G pada model terbaik adalah sebesar 2.093,953, sedangkan nilai 2

X (7;0,05) adalah 14,07, ini berarti bahwa Ho ditolak pada tingkat kesalahan 5%. Tolak H0 juga dapat dilihat dari nilai signifikansi yang dihasilkan yaitu sebesar 0,000 yang lebih kecil dari tingkat kesalahan yang ditetapkan sebesar 0,05. Berdasarkan hasil pengujian didapatkan informasi bahwa model yang digunakan tepat ketika seluruh variabel bebas dimasukkan ke dalam model. Dengan demikian model ini telah sesuai dan tepat untuk digunakan.

  • b.    Uji Signifikansi Tiap-Tiap Parameter/Uji

Parsial (Wald)

Pengujian ini digunakan untuk melihat signifikansi masing-masing variabel bebas dalam model secara parsial. Hasil pengujian dapat dilihat dari tabel outputvariables in the equation. Nilai Wald pada output tersebut menunjukkan bagaimana pengaruh variabel lokasi tempat tinggal (x1),    keberadaan sekolah    (x2),    status

kemiskinan(x3), pendidikan kepala rumah tangga (x4), jenis kelamin kepala rumah tangga (x5), jenis kelamin anak (x6)dan status pekerjaan kepala rumah tangga (x7) dalam model. Untuk mengetahui variabel bebas apa saja yang berpengaruh secara signifikan dapat dilihat dari

nilai Wald yang lebih besar dari -(a: i) atau dapat pula dilihat dari nilai signifikansi yang lebih kecil dari α = 0,05.

Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

InI -p- I = -2,012 - 0,575x, - 0,834x2 - 0,552x4 - 0,354x5 + 0,311x6 - 0,748x7

Iv 1 - p j                          ‘             i                            J             °             '


lnl -p- I = -2,012 - (0,575 ×0) -(0,834 ×0) -(0,552 ×0) -(0,354 ×0) + (0,311 ×0) -(0,748 ×0) 11 - P J

lnI —p-∣ = -2,012

v1 - p J


p I = e-2,012

1 - P J


P =


e 2,012

1 + e ^2,012


= 0,1179


  • (2)

  • (3)

(4)

  • (5)

  • (6)


Berdasarkan model yang dihasilkan maka dapat dihitung peluang bahwa seorang anak yang di lingkungan tempat tinggalnya tidak ada sekolah, pendidikan kepala rumah tangganya hanya SMP ke bawah, kepala rumah tangganya tidak bekerja/bekerja di sektor informal, jenis kelamin kepala rumah tangganya perempuan dan jenis kelamin anak perempuan adalah sebesar 0,1179, dengan kata lain bahwa peluang seorang anak untuk menjadi pekerja anak dengan karakteristik tersebut adalah sebesar 11,79 persen.

  • 3.3    Perbandingan Resiko (Odds Ratio) a. Status Kemiskinan

Dalam penelitian ini status kemiskinan menggunakan pendekatan rata-rata pendekatan per kapita per bulan yang dibandingkan dengan garis kemiskinan dan dibedakan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Hasil pengujian secara parsial menunjukkan hasil bahwa variabel kemiskinan yang digunakan dalam model tidak signifikan secara statistik pada taraf 0,05, ini

ditunjukkan oleh nilai signifikansi yang dihasilkan sebesar 0,249 yang jauh lebih besar dari 0,05. Variabel x3 telah dikeluarkan pada pengujian tahap pertama, dengan demikian variabel ini dikeluarkan dari model.

  • b.    Lokasi Tempat Tinggal Anak

Koefisien variabel x1 mempunyai nilai sebesar -0,575, tanda negatif menunjukkan bahwa peluang seorang anak menjadi pekerja apabila bertempat tinggal di daerah perkotaan lebih kecil daripada anak yang tinggal di daerah perdesaan. Nilai odds ratio sebesar 0,56menunjukkan bahwa peluang anak menjadi pekerja bila di lingkungan tinggal di perkotaan adalah sebesar 0,56 kali daripada anak yang tinggal di daerah perdesaan.

  • c.    Keberadaan Sekolah di Lingkungan

Tempat Tinggal

Koefisien variabel x2 mempunyai nilai sebesar -0,834, tanda negatif menunjukkan bahwa peluang seorang anak menjadi pekerja apabila di lingkungan tempat tinggalnya ada sekolah lebih

kecil daripada anak yang tinggal di lingkungan yang tidak ada sekolahnya. Nilai odds ratio sebesar 0,43 menunjukkan bahwa peluang anak menjadi pekerja bila di lingkungan tempat tinggalnya ada sekolah adalah sebesar 0,43 kali daripada anak yang tinggal di lingkungan yang tidak ada sekolahnya.

  • d.    Pendidikan Kepala Rumah Tangga

Koefisien variabel x4 sebesar -0,552, dengan nilai signifikansinya lebih kecil dari 0,05, ini berarti variabel x4 dapat dimasukkan dalam model karena berpengaruh secara signifikan terhadap munculnya pekerja anak. Nilai tersebut menunjukkan bahwa peluang seorang anak menjadi pekerja apabila pendidikan kepala rumah tangganya SMA ke atas lebih kecil daripada anak yang pendidikan kepala rumah tangganya SMP ke bawah. Nilai odds ratio yang sebesar 0,58 menyatakan bahwa kecenderungan anak yang pendidikan kepala rumah tangganya SMA ke atas adalah sebesar 0,54 kali dibandingkan anak yang kepala rumah tangganya SMP ke bawah.

  • e.    Jenis Kelamin Kepala Rumah Tangga

Koefisien variabel x5 mempunyai nilai sebesar -0,354 menunjukkan bahwa peluang seorang anak menjadi pekerja apabila jenis kelamin kepala rumah tangganya laki-laki lebih kecil daripada anak yang jenis kelamin kepala rumah tangganya adalah perempuan. Nilai odds ratio yang sebesar 0,70 menunjukkan bahwa peluang bekerja seorang anak yang kepala rumah tangganya laki-laki sebesar 0,70 kali daripada anak yang kepala rumah tangganya perempuan.

  • f.    Jenis Kelamin Anak

Koefisien variabel x6 mempunyai nilai sebesar 0,311 menunjukkan bahwa peluang seorang anak laki-laki menjadi pekerja lebih besar daripada anak perempuan. Nilai odds ratio sebesar 1,36 memberikan informasi bahwa peluang bekerja anak laki-laki adalah sebesar 1,36 kali anak perempuan. Lebih besarnya peluang anak laki-laki menjadi pekerja tidak terlepas dari anggapan bahwa anak laki-laki lebih kuat daripada perempuan.

  • g.    Pekerjaan Kepala Rumah Tangga

Koefisien variabel x7 mempunyai nilai sebesar -0,748, dengan tingkat signifikansi 0,00 yang berarti variabel ini signifikan dan dapat dimasukkan ke dalam model. Nilai odds ratio sebesar 0,47 menunjukkan bahwa anak yang kepala rumah tangganya bekerja pada sektor formal memiliki kecenderungan bekerja sebesar 0,47 kali dari anak yang orang tuanya tidak bekerja/bekerja pada sektor informal. Dengan kata lain resiko anak-anak yang kepala rumah tangganya tidak bekerja/bekerja di sektor informal lebih besar daripada anak-anak yang kepala rumah tangganya bekerja pada sektor formal. Kondisi ini dapat dimengerti mengingat sebagian besar pekerja anak yang ada di NTT merupakan pekerja keluarga atau pekerja tak dibayar.

  • 4.    Simpulan dan saran

    4.1   Simpulan

Provinsi NTT tidak bebas dari fenomena pekerja anak, hal ini terlihat dari keberadaan pekerja anak sebesar 4,7 persen pada tahun 2011. Pekerja anak lebih banyak terdapat pada rumah tangga yang berstatus miskin, kepala rumah tangga berpendidikan SMP ke bawah, kepala rumah tangganya perempuan, kepala rumah tangga tidak bekerja/bekerja di sektor informal, di lingkungan tempat tinggalnya tidak ada sekolah, tinggal di daerah pedesaan dan pekerja anak laki-laki lebih banyak daripada pekerja anak perempuan. Munculnya pekerja anak tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat tinggal dan karakteristik rumah tangga.

  • 4.2    Saran

Dalam penelitian ini telah diungkapkan bahwa lingkungan tempat tinggal dan karakteristik rumah tangga mempengaruhi munculnya pekerja anak di NTT. Berdasarkan temuan penelitian diharapkan para pembuat kebijakan dapat mengembalikan anak-anak yang terlibat dalam dunia kerja ke bangku sekolah sesuai dengan umurnya. Menghilangkan pekerja anak bukanlah

pekerjaan yang mudah karena kondisi ini berkaitan dengan banyak faktor yang ada dalam suatu rumah tangga.

Daftar Pustaka

Aldaba, F. T., Lanzona, L. A., Tamangan, R. J. 2004. An Empirical Analysis on The Trade-off Between Schooling and Child Labor in The Philippines. Philippine Journal of Development Number 58, Second Semester, Volume XXXI, No. 2.

Arjana, I G B., Samin, M., Punuf, D. 2012. Migrasi Penduduk Usia Sekolah Pencari Kerja (Studi Kasus Migrasi dari Kabupaten TTS ke Kota Kupang). Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Nusa Cendana. Kupang.

Betcherman, G., Fares, J., Luinstra, A., and Prouty, R. 2004. Child Labor, Education, and Children’s Rights. Social Protection Discussion Paper. No.30161. July 2004. The World Bank.

BPS. 2010a. Pekerja Anak di Indonesia 2009.Jakarta.

____.  2010b. Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 37 Tahun 2010 Tentang Klasifikasi Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia. Cetakan II. Buku 3 Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Jakarta.

____. 2012a. Statistik Lingkungan 2012. Jakarta.

Cigno, A., Rosati, F.C., and Tzannatos, Z. 2001. Child Labor, Nutrition and Education in Rural India: An Economic Analysis of Parental Choice and Policy Options. Social Protection Discussion Paper. No.24081. (Dec., 2001).

Convention On The Rights Of Child. 1989.

Daliyo., May,M., Guest, P., dan Tirtosudarmo, R. 1998. Pekerja Anak dan Perencanaan Pendidikan di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Policy Paper No.7.AisAID.

Deb, P., and Rosati, F.C. 2002. Determinants of Child Labor and School Attendance: The

Role of Household Unobservables. UCW Working Paper, (Dec., 2002).University of Rome “Tor Vergata”.

Jensen, P., Nielsen, H.S. 1996. Child Labour or School Attendance? Evidence From Zambia. Springer.

Manurung, D. 1998. Keadaan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pekerja Anak di Indonesia (Analisis Data Sakernas 1994). Tesis S-2 Program Studi Kependudukan dan    Ketenagakerjaan    Universitas

Indonesia.

Orazem, F., and Gunnarsson, V. 2003. Child Labor, School Attendance and Performance:  A  Review. ILO/IPEC

Working Paper. ILO, Geneva.

Raharja, H.D. 2009. Analisis Probabilitas Munculnya Pekerja Anak dan Anak

dengan Kegiatan Idledi Indonesia Berdasarkan Susenas 2006 dan Podes 2006. Tesis S-2 Program Kajian Kependudukan dan Ketenagakerjaan Universitas Indonesia.

Rosati, F.C., Tzannatos, Z. 2006. Child Labour In Vietnam. Pasific Economic Review, 11:1. doi:  10.1111/j.1468-0106.2006.00296.x.

Blackwell Publishing Ltd.

Syahruddin, J. 2004. Determinan Keberadaan rumah tangga dengan pekerja anak di Kawasan Timur Indonesia. Universitas Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 2002.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2003.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009. Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 2009.

Usman, H. 2002. Determinan dan Eksploitasi Pekerja Anak-anak di Indonesia (Analisis DataSusenas 2000 KOR). Tesis  S-2

Program Kajian Kependudukan dan Ekonomi Sumber Daya Manusia Universitas Indonesia.

107