GUGATAN GANTI KERUGIAN OLEH KELOMPOK PERWAKILAN MASYARAKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN
on
GUGATAN GANTI KERUGIAN OLEH KELOMPOK PERWAKILAN MASYARAKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN
I Made Arya Utama
Fakultas Hukum Universitas Udayana
Abstrak
Penerapan sanksi perdata berupa ganti kerugian merupakan salah satu instrumen yang dapat diterapkan dalam upaya perlindungan kelestarian lingkungan hidup beserta fungsinya. Kewajiban membayar ganti kerugian bagi mereka yang terbukti mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup sejalan dengan prinsip pencemar membayar yang dikembangkan dalam Hukum Lingkungan. Berdasarkan proses kelahirannya, ganti rugi sebagai suatu sanksi dapat dimohonkan oleh seseorang maupun sekelompok masyarakat secara langsung maupun perwakilan baik melalui jalur peradilan atau jalur diluar badan peradilan. Dalam hal gugatan masyarakat melalui perwakilan (class action) ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi yang dalam prakteknya masih dijumpai beberapa kendala yang bersifat hukum maupun non hukum.
Kata kunci : penegakan hukum, kelompok perwakilan masyarakat, ganti rugi
Abstract
Private Sanction in the form of compensation is represent one of the instrument to be applied in the effort protection of environment sustainable and its function. This obligation is in line with polluter pays principle which is developed in Environmental Law. Compensation as a sanction can be requested by someone and also a group of society directly and also delegation either by or outside of judicial jurisdiction. In the case of society suing through class action, there are some conditions which must be fulfilled which in practice still met some legal and unlegal constraint.
Key words :law enforcement, class action, compensation
Menurut Siti Sundari Rangkuti, keberadaan hukum bagi masyarakat diharapkan dapat berperan sebagai “agent of stability” dengan fungsi perlindungan dan kepastian bagi masyarakat, serta
sebagai “agent of development” atau “agent of change” dengan fungsi sebagai sarana pembangunan (Siti Sundari Rangkuti; 1986 : 1). Fungsi-fungsi seperti itu dimaksudkan untuk dapat mencapai tujuan hukum itu sendiri, yakni mencapai
ketertiban, keadilan dan kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa serta bernegara. Dalam pada itu, aparatur pemerintah berkewajiban mengusahakan agar setiap kaidah dapat ditaati masyarakat menurut tata cara yang telah ditentukan. Dengan kata lain, dalam proses penegakan hukum (termasuk juga dalam Hukum Lingkungan), baik pemerintah Indonesia maupun masyarakat berkewajiban bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Hal ini sejalan dengan tuntutan reformasi untuk mewujudkan supremasi hukum dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance).
Sehubungan dengan upaya perlindungan kelestarian lingkungan hidup beserta fungsinya, salah satu instrumen yang dapat dilakukan melalui penerapan sanksi hukum, seperti sanksi hukum administrasi, sanksi perdata (tanggung jawab perdata) serta sanksi pidana (A. Hamzah; 1995 : 63). Membatasi pada sanksi perdata atau tanggung jawab perdata, dikaji dari bentuknya adalah berupa ganti rugi. Adapun pihak yang berkewajiban membayar ganti rugi adalah pihak yang karena perbuatannya diduga atau telah
menimbulkan perusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup yang berakibat kepada kerugian pihak lain. Kewajiban membayar kerugian ini sejalan dengan prinsip pencemar membayar (polluter pays principle) yang dikembangkan dalam Hukum Lingkungan (Koesnadi Hardjasoemantri; 1985 : 290). Selanjutnya jika dikaji dari proses kelahirannya, ganti rugi sebagai suatu sanksi yang dibebankan kepada seseorang dapat timbul melalui 2 (dua) jalur, yakni jalur proses di luar lembaga peradilan dan jalur proses melalui badan peradilan. Kedua jalur tersebut, dalam rangka penegakan hukum lingkungan merupakan hal yang menarik, minimal bilamana dikaji dari kelembagaan, proses beserta faktor-faktor penghambatnya. Sehubungan dengan hal itulah maka paper ini mencoba membahas penerapan sanksi perdata berupa ganti rugi bersangkutan dalam kaitan dengan penegakan hukum lingkungan melalui jalur peradilan.
Ada beberapa permasalahan yang menarik untuk dikaji berkaitan dengan upaya penyelesaian sengketa lingkungan
melalui class action. Di antaranya adalah sebagai berikut.
-
1) Bagaimanakah sanksi hukum perdata berupa ganti rugi dapat terjadi untuk menyelesaikan sengketa lingkungan hidup ?
-
2) Faktor-faktor apa yang mempengaruhi penerapan sanksi ganti rugi dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui jalur peradilan ?
Krisis ekonomi, krisis politik, dan krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah yang berkepanjangan melanda Indonesia, memberikan kesan bahwa berbagai sistem dan subsistem yang ada dalam tatanan kehidupan bernegara seolah-olah tidak mampu lagi mengakomodasi berbagai tantangan yang dihadapi. Aparatur pemerintahan yang pada awalnya diciptakan untuk memberikan keteraturan dan pelayanan kepada masyarakat dalam berbagai kehidupan seolah-olah sudah jenuh dan memerlukan perombakan. Orang mulai berpaling kembali kepada hukum dan
lembaga peradilan, apakah hukum masih sebagi benteng terakhir dari keadilan ?
Harapan terhadap peranan hukum dan lembaga peradilan untuk memberi penyegaran kepada masyarakat atas berbagai kekacaubalauan yang terjadi menunjukkan pemikiran supremasi hukum dipertanyakan implementasinya. Secara konsepsional, pemikiran supremasi hukum juga diangkat sebagai salah satu karakter pemerintahan yang baik sebagaimana dikemukakan Ryaas Rasyid dalam makalahnya yang berjudul “Arah Kebijaksanaan Pemberdayaan Sumber Daya Aparatur Negara Yang Profesional Dalam Era Pembangunan Indonesia Baru” (Ryaas Rasyid; 2000 : 3). Menurut beliau ada 6 (enam) karakteristik dari good governance tersebut, yakni :
pertama, adanya kepastian hukum, keterbukaan, profesional dan memiliki akuntabilitas; kedua, menghormati hak-hak asasi manusia; ketiga, dapat meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan mengutamakan pelayanan prima kepada masyarakat tanpa diskriminasi; keempat, mampu mengakomodasikan kontrol sosial masyarakat; kelima, partisipasi,
otoaktivitas dan desentralisasi; keenam, berkembangnya sistem checks and balances.
Menyimak keenam karakteristik tersebut, maka kepastian hukum menjadi salah satu di antara yang perlu dikembangkan, sedangkan diketahui persoalan kepastian hukum tidak dapat dilepaskan dengan masalah supremasi hukum dan lembaga peradilan.
Menurut Sudikno Mertokusumo, supremasi hukum dikenal juga dengan the rule of law (negara hukum) yang diartikan dengan the governance not by man but by law (Sudikno Mertokusumo; 2000 : 2). Dalam hal ini dianut suatu “ajaran kedaulatan hukum” yang menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi (Ismail Suny; 1984 : 8). Hukum dijadikan guiding principle bagi segala aktivitas organorgan negara, pemerintahan, pejabat-pejabat beserta rakyatnya. Hampir semua aktivitas di bidang kenegaraan, pemerintahan dan kemasyarakatan harus berdasar atau dapat ditelusuri benang merahnya kepada hukum. Oleh karena itu, tindakan pemerintah yang bersifat melawan hukum (onrechmatig), melanggar wewenang (onbevoegdheid),
sewenang-wenang (willekeur), ataupun menyalahgunakan wewenang
(detournement de pouvoir) dalam menjalankan kewenangannya merupakan hal terlarang di Indonesia sebagai suatu negara hukum. Demikian pula sebaliknya, masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam baik yang dapat maupun tidak terbaharui haruslah juga didasarkan pada hukum. Perselisihan kepentingan antar manusia atau dengan pemerintah dan sebaliknya hanya dapat dilakukan melalui jalur-jalur hukum yang telah disediakan baik melalui lembaga di luar maupun di dalam lembaga peradilan, serta bukan dengan cara-cara yang tidak sah seperti main hakim sendiri (eigenrichting).
-
3.2 Class Action sebagai Instrumen Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup tentang Ganti Kerugian
Dikaitkan dengan kompetensi absolut lembaga peradilan di Indonesia sebagaimana diatur pada Pasal 10 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang hal yang sama, adapun kewenangan untuk menyelesaikan
perkara perdata dengan pokok gugatan ganti kerugian ditetapkan menjadi kompetensi absolut lembaga Peradilan Umum. Mengenai dasar penyebab timbulnya gugatan ganti rugi dalam Peradilan Umum dapat dijumpai pada rumusan Buku III KUH Perdata, yakni perihal Perikatan Hukum mulai Pasal 1365-1380 KUH Perdata. Berdasarkan sejumlah ketentuan itu, yang paling menarik untuk dicermati adalah Pasal 1365-nya yang berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum.
Pasal 1365 KUH Perdata menetapkan: “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Rumusan ini tidak menjelaskan pengertian dari perbuatan melanggar hukum, kecuali syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menuntut ganti rugi karena alasan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak tertentu. Menurut Hukum Lingkungan, pihak yang dimaksudkan tidak terbatas pada orang perorangan, lembaga dan badan hukum juga dapat diminta untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya
yang diduga melawan hukum.Syarat-syarat materiil yang harus dipenuhi untuk menuntut ganti kerugian atas dasar perbuatan melawan hukum sebagaimana ditentukan pada Pasal 1365 KUH Perdata seperti berikut.
-
a. Adanya perbuatan melawan hukum
Pengertian hukumd alam konteks ini dimaksdukan dalam arti luas, sehingga tidak hanya menyangkut peraturan perundang-undangan. Hal ini juga dikemukakan oleh Rachmat Setiawan yang berpendapat “perbuatan melawan hukum yaitu tidak hanya jika melawan kewajiban hukum tertulis, tetapi juga jika melanggar itikad baik yang berlaku di masyarakat” (Rachmat Setiawan; 1982 : 14).
-
b. Adanya kesalahan (schuld)
Kesalahan dalam hukum perdata tidaklah mengenal kualitas dan gradasi atau tingkat-tingkatan seperti halnya dalam KUH Pidana. Dengan kata lain, kualitas kesalahan yang dilakukan dengan kesengajaan (dolus) maupun kealfaan (culpa) di dalam hukum perdata diberikan akibat yang sama. Menurut hukum perdata, seseorang itu dikatakan bersalah jika terhadapnya dapat disesalkan bahwa ia telah melakukan/tidak melakukan suatu
perbuatan yang seharusnya dihindarkan. Adapun perbuatan yang seharusnya dilakukan/tidak dilakukan ini tidak terlepas dari dapat hal itu dikira-kirakan dengan tolok ukur sebagai berikut.
-
1) . Secara objektif, artinya manusia normal dapat mengira-ngirakan dalam keadaan tertentu, perbuatan itu seharusnya dilakukan atau sebaliknya tidak dilakukan;
-
2) . Secara subjektif, artinya orang dalam kedudukan tertentu dapat mengira-ngirakan bahwa perbuatan itu seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan;
-
3) . Mampu dibertanggungjawabkan, artinya orang yang melakukan perbuatan harus dapat bertanggung jawab atau dipertanggungjawabkan, sehingga orang tersebut harus sudah dewasa, sehat akalnya, dan tidak berada dibawah pengampuan.
-
c. Adanya kerugian (schade)
Kerugian yang dimaksudkan dalam hal ini adalah kerugian yang timbul akibat dari perbuatan melawan hukum dan bukan kerugian yang timbul dari
wanprestasi atas suatu perjanjian. Di samping itu, kerugian yang dimaksudkan dalam konteks Hukum Lingkungan dikuantitaskan berupa uang atas kerugian yang bersifat materiil dan/atau immateriil, sehingga dapat meliputi beaya, kerugian yang nyata maupun tidak nyata diderita, serta keuntungan yang diharapkan.
Hal ini untuk mengetahui hubungan suatu pihak dengan kerugian yang diderita oleh pihak lain. Dengan kata lain, perlu ada benang merah antara kerugian yang terjadi sebagai akibat dari suatu perbuatan, sehingga jika tidak ada perbuatan maka tidak ada akibat (kerugian). Untuk memenuhi persyaratan ini, dalam praktek peradilan dikembangkan teori “adequate veroorzaking” Von Kries yakni, yang dianggap sebagai sebab adalah perbuatan yang menurut pengalaman manusia yang normal sepatutnya dapat diharapkan menimbulkan akibat, dalam hal ini adalah kerugian (Abdulkadir Muhammad; 1982 : 148).
Keempat unsur di atas sifatnya kumulatif, sehingga bila salah satu unsur tidak
terpenuhi berarti pihak yang digugat bebas dari dugaan melawan hukum.
Sehubungan dengan pihak penggugatnya, dalam konsep Hukum Lingkungan tidak semata-mata hak dari pihak yang merasa dirugikan secara langsung. Sejalan dengan prinsip dasar bahwa “lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak setiap orang (sic utere tuo ut alienum non laedas)”, sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 5 UUPLH yang menyatakan bahwa “setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”, maupun Pasal 6 UUPLH yang menyatakan “setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup”. Pemerintah maupun masyarakat yang tidak merasakan secara langsung terhadap akibat kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup secara proaktif juga dapat mengajukan gugatan atau meminta pertanggungjawaban hukum kepada pihak yang diduga mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup. Dengan kata lain, proses penegakan Hukum Lingkungan sesuai dengan Pasal 5, 6, 37 dan 38 UUPLH dapat timbul atas
inisiatif orang sebagai perorangan maupun pengusaha yang dirugikan secara langsung, oleh pihak masyarakat secara berkelompok (class action), pihak pemerintah, maupun pihak organisasi masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan hidup, seperti LSM Lingkungan melalui gugatan atas nama lingkungan hidup (NGO’s to sue, legal standing atau ius standi).
Mengenai masyarakat yang merasakan dirugikan oleh perbuatan pihak lain yang diduga mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, hak menggugatnya diatur dalam Pasal 37 ayat (1) UUPLH yang menetapkan: “masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat”. Ketentuan itu menunjukkan, bahwa masyarakat yang merasakan dirugikan atas lingkungan hidupnya yang baik dan sehat dapat mengajukan gugatan perwakilan masyarakat yang juga disebut class action atau actio popularis. Dengan demikian, gugatan perwakilan kelompok merupakan gugatan ganti kerugian dari sekelompok kecil masyarakat yang
bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang merasa dirugikan melalui lembaga peradilan.
Menurut penjelasan Pasal 37 ayat (1) UUPLH, agar kelompok perwakilan diakui memiliki hak gugat ada beberapa persyaratan yang mesti diperhatikan. Persyaratan yang dimaksudkan di dalam dan antara kelompok perwakilan dengan masyarakat yang diwakilinya, meliputi : a. adanya kesamaan permasalahan;
-
b. adanya kesamaan fakta hukum;
-
c. adanya kesamaan tuntutan yang ditimbulkan berkaitan dengan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang didugakan;
Selanjutnya mengenai hukum acara yang mengatur gugatan perwakilan tersebut, saat ini telah ditetapkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (PERMARI) No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
Sejalan dengan penjelasan Pasal 37 ayat (1) UUPLH, Pasal 2 PERMARI No. 1 Tahun 2002 lebih memperjelas mengenai dasar pertimbangan dapat diterimanya suatu gugatan kelompok, yakni bila :
-
a. jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga
tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan;
-
b. terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya;
-
c. wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya;
-
d. hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan penggantian pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompoknya.
Sehubungan dengan gugatan perwakilan yang diajukan, menurut Pasal 3 PERMARI 1 Tahun 2002 , di samping
memenuhi ketentuan formal dalam Hukum Acara Perdata, juga diwajibkan memuat hal-hal :
-
a. identitas lengkap dan jelas wakil kelompok;
-
b. definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa menyebutkan nama anggota
kelompok satu persatu;
-
c. keterangan tentang anggota
kelompok yang diperlukan dalam kaitan dengan kewajiban pemberitahuan;
-
d. posita dari seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun anggota kelompok, yang teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi yang
dikemukakan secara jelas dan terinci;
-
e. dalam satu gugatan perwakilan, dapat dikelompokan beberapa bagian kelompok atau sub kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda;
-
f. tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci, memuat usulan tentang mekanisme atau
tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim atau panel yang membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian.
Beberapa contoh kasus lingkungan hidup yang telah menerapkan instrumen gugatan class action melalui lemabaga Peradilan Umum adalah kasus kebakaran hutan di Sumatra Barat dengan Putusan PN Medan No. 425/Pdt.G/1997/PN.Mdn, kasus pencemaran DAS Way Seputih dengan Putusan PN Metro No. 04/Pdt.G/2000/PN.M.
-
3.3 Faktor-Faktor Pendukung Penerapan Ganti Rugi untuk Menyelesaikan Sengketa Lingkungan Hidup
Untuk mendukung penerapan ganti rugi sebagai salah satu sanksi hukum dalam menyelesaikan sengketa lingkungan hidup, maka ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan baik bersifat hukum maupun non hukum. Adanya produk hukum yang mengatur secara tegas dan pasti tentang Baku Mutu Sumber Daya Lingkungan Hidup di masing-masing
provinsi, mekanisme pengambilan keputusan ganti rugi oleh pihak penengah beserta kekuatan hukum dan pelaksanaan eksekusi dari penetapan ganti ruginya, prosedur pemeriksaan gugatan class action beserta mekanisme eksekusi putusan pengadilan tentang hal itu merupakan beberapa contoh persoalan hukumnya. Selanjutnya adanya instrumen laboratorium yang layak, ketersediaan aparat penegak hukum yang berkualitas, kesadaran dan budaya hukum masyarakat yang peduli serta ramah lingkungan merupakan contoh beberapa faktor non hukum yang wajib diperhatikan dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui gugatan ganti kerugian.
Banyak kasus lingkungan hidup yang sulit diselesaikan melalui lembaga peradilan, karena sulitnya pembuktian maupun membuktikan untuk telah terjadinya suatu tindakan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Hal ini sebagai konsekuensi masih dianutnya prinsip “yang mendalilkan yang membuktikan” dalam sebagian besar proses penegakan Hukum Lingkungan. Di samping itu, lemahnya komitmen dan persepsi dari aparat penegak hukum di bidang lingkungan hidup juga masih
mewarnai penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan. Sementara untuk menutupi kelemahan-kelemahan itu, orang masih berpaling kepada penegakan produk hukum Pemerintah Daerah yang terkait dengan lingkungan hidup, seperti Perda tentang kebersihan dan ketertiban umum yang memiliki keterbatasan dalam menyadarkan pihak-pihak potensial pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup
Menyimak pembahasan yang telah dikemukakan, beberapa simpulan yang dapat dikemukakan terkait dengan pokok permasalahan yang dibahas, yakni sebagai berikut.
-
4.1 Ganti rugi sebagai sanksi hukum perdata dapat dijatuhkan untuk menyelesaikan sengketa lingkungan hidup di dalam peradilan melalui gugatan perwakilan kelompok (Class Action atau Actio Popularis);
-
4.2 . Persyaratan untuk diterimanya suatu gugatan kelompok bilamana antara kelompok kecil masyarakat yang bertindak mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang merasa dirugikan terdapat adanya kesamaan
permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan yang ditimbulkan karena pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
-
4.3 Ada berbagai persoalan yang mempengaruhi penerapan ganti kerugian tersebut baik yang bersifat hukum maupun non hukum. Secara normatif berkaitan dengan produk hukum yang memberikan landasan hukum bagi mekanisme penerapan sanksi hukum perdata berupa ganti
rugi tersebut. Sebaliknya secara non normatif berhubungan dengan faktor-faktor ekternal yang mempengaruhi dapat diterapkannya norma-norma hukum terkait dengan penerapan sanksi hukum perdata berupa ganti rugi, baik menyangkut kemampuan aparat penegak hukum, sarana dan prasarana hukum, kesadaran hukum masyarakat serta budaya hukum yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Daftar Pustaka
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982.
Hamzah,A., Penegakan Hukum Lingkungan, Penerbit Arikha Media Cipta, Cet. ke-1, Jakarta, 1995.
Suny, Ismail, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Aksara Baru, Jakarta, 1984.
Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Prress, 1985.
Atmosudirdjo, Prajudi, Hukum Administrasi, Cet. keempat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981.
Setiawan, Rachmat, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Bandung, 1982.
Rasyid, Ryaas, Arah Kebijaksanaan Pemberdayaan Sumber Daya Aparatur Negara Yang Profesional Dalam Era Pembangunan Indonesia Baru, Makalah, 2000.
Rangkuti, Siti Sundari, Hukum Lingkungan Dan Kebijaksanaan Lingkungan Dalam Proses Pembangunan Hukum Nasional Indonesia, Disertasi, Universitas Airlangga, Surabaya, 1986.
Mertokusumo, Sudikno, Upaya Meningkatkan Supremasi Hukum, dalam Majalah Justitia Et Pax, Fak Hukum Univ. Atmadjaya, Yogyakarta, Edisi Bulan Mei-Juni 2000 Thn. XX No. 19.
GUGATAN GANTI KERUGIAN OLEH KELOMPOK PERWAKILAN MASYARAKAT DALAM PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN
Oleh :
I Made Arya Utama, S.H.,M.H.
Staf PPLH & Dosen Fak. Hukum Univ. Udayana
DENPASAR
2005
13
Discussion and feedback