IDENTIFIKASI KAWASAN PELUANG PEMENUHAN TARGET RUANG TERBUKA HIJAU 30% DI DKI JAKARTA
on
Susi Andriani, dkk. : Identifikasi Kawasan Peluang Pemenuhan Target Ruang Terbuka Hijau
IDENTIFIKASI KAWASAN PELUANG PEMENUHAN TARGET RUANG TERBUKA HIJAU 30% DI DKI JAKARTA
Susi Andriani1), Tarsoen Waryono2), dan Mohammad Hasroel Thayib1)
1) Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Jl. Salemba Raya No. 4 Jakarta Pusat 2)Departemen Geografi Fakultas MIPA Universitas Indonesia, Gedung H Kampus UI Depok email: [email protected]
Abstract
The research was conducted on 3 components of Green Open Space (GOS) in Jakarta, namely landscaping, agriculture and forestry. The research objective was to determine the distribution and extensive of Existing Green Open Space in Jakarta in 2012, and to identify the potential opportunity areas to fulfill the target of 30% GOS in Jakarta. Search distribution is done with Landsat TM imagery aids Band 54 corrected in 2011 by analyzing the vegetation index values (NDVI). Search area opportunity to meet the target of 30% was the buffer zone (river banks, beaches and water tanks), as well as the areas that have awakened to meet the obligation Law. 26 of 2007. The results showed the existing green open space in Jakarta in 2012 was 7,842.61 ha (13.27%) of the total land area of Jakarta. realization Landscaping recorded 2,718.37 ha, 1,950.08 ha Forestry, and Agriculture 2,813.29 ha . The opportunity potential areas to fulfill the target recorded more of 10,003.92 ha.
Keywords: green open spaces, expansive and distribution, areas opportunities, jakarta
perubahan penggunaan lahan selama jangka waktu 19 tahun (1983-2002) seperti yang diungkapkan oleh Suwargana (2005), tercatat 6.559,8 ha (10%) dari luas wilayah DKI Jakarta. Alih fungsi tersebut, untuk kepentingan permukiman dan pusat-pusat kegiatan kota. Sebagai akibat dari alih fungsi lahan tersebut, menyebabkan terdegradasinya lingkungan fisik wilayah DKI Jakarta. Kondisi ini ditandai oleh semakin menurunnya daya dukung lingkungan sebagai akibat dari pencemaran udara yang bersumber dari aktivitas transportasi, industri maupun permukiman (BPLHD, 2012). Selama jangka waktu 5 tahun terakhir (2006-2011), suhu udara perkotaan, telah mengalami perubahan dari rata-rata 30,10C meningkat menjadi 31,050C. Kadar debu dari rata-rata 435,1 mg/m2 meningkat menjadi 483,7 mg/ m2. Kadar timbal (Pb) meningkat dari rata-rata 401,5 mg/m2 menjadi 408,9 mg/m2, demikian pula dengan tingkat kebisingan dari rata-rata 43,2 dB meningkat menjadi 47,1 dB, pencemaran CO2 meningkat dari rata-rata 303,0 mg/m2 menjadi 321,3 mg/m2 (BPLHD, 2011). Selain kendaraan bermotor dengan potensi
polusinya, tingginya intensitas lahan terbangun juga menjadi salah satu faktor penyebab meningkatnya kutub-kutub panas kota.
Peningkatan kutub-kutub panas kota atau dikenal dengan istilah efek pulau bahang kota (Urban Heat Island) dicirikan dengan suhu udara di perkotaan yang lebih tinggi daripada suhu udara wilayah sekitarnya. Kondisi ini menyebabkan kenyamanan di wilayah perkotaan menurun. Beberapa kota di Indonesia yang sudah mengalami efek pulau bahang yaitu Jakarta, Surabaya, Semarang dan Bandung. Hasil penelitian Rushayati (2012) menyatakan bahwa Pulau bahang kota dapat diatasi dengan membangun ruang terbuka hijau. Dalam penelitian tersebut, berdasarkan pengukuran iklim mikro diketahui bahwa ruang terbuka hijau berupa pohon (hutan kota) lebih efektif dalam menurunkan suhu udara dan meningkatkan kelembaban udara. Selain jenis ruang terbuka hijau, indeks luas daun (kerindangan) juga mempengaruhi kondisi suhu udara. Semakin tinggi nilai indeks luas daun, maka akan semakin menurunkan suhu udara. Bentuk dan struktur hutan kota juga berpengaruh terhadap suhu dan kelembaban udara. Bentuk hutan kota yang menggerombol dan berstrata banyak paling tinggi mereduksi suhu udara dan meningkatkan kelembaban udara (Rushayati, 2012).
Ruang terbuka hijau sangat penting peranannya dalam mempengaruhi iklim mikro wilayah sekitarnya. Aneka jenis vegetasi dalam RTH mampu menyerap CO2 yang merupakan polutan di udara dan melepaskan O2 yang dibutuhkan bagi kelangsungan hidup manusia. Dalam proses fotosintesis melalui reaksi 6CO2 + 6H2O + katalis (sinar matahari + klorofil) akan menghasilkan 6C6H12O6 + 6O2. Vegetasi juga memiliki kemampuan untuk menyerap polutan dalam bentuk NOx. Hasil Penelitian Puslitbang PU (Karyono, 2005) memperlihatkan bahwa jenis tumbuhan yang sering ditanam pada taman kota dan jalur hijau kota seperti angsana (Pterocarpus indicus), mahoni (Mahagoni sweitenia), kenari (Canarium commune), salam (Eugenia polyanta), bugenfil (Bougainvillea glabra), nusa indah (Mussaenda philippica), kembang sepatu (Hibiscus rosasinensis) dan lainnya, mampu mengurangi NOx rata-rata di atas 50%. Vegetasi dalam ruang terbuka hijau perkotaan juga dapat membantu mengurangi pantulan cahaya, kekuatan angin, menyaring debu, meredam kebisingan suara, menahan dan menyimpan
air tanah, mengurangi erosi dan memperbaiki kesuburan tanah (Saraswati, 2008).
Fungsi RTH perkotaan tidak terbatas hanya pada fungsi ekologis saja, tetapi RTH perkotaan juga memiliki fungsi ekonomi, sosial dan estetika (Permen PU No. 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan). Fungsi ekonomi RTH antara lain: sebagai sumber produk yang bisa dijual, seperti tanaman bunga, buah, daun, sayur-mayur, yang bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, perkebunan, dan kehutanan kota. Disamping itu RTH juga memiliki fungsi estetika, antara lain: meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik dari skala mikro (halaman rumah, lingkungan permukimam), maupun skala makro (lansekap kota secara keseluruhan, menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota, pembentuk faktor keindahan arsitektural, menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak terbangun). Dalam aspek sosial-budaya RTH di perkotaan dapat berfungsi untuk menggambarkan ekspresi budaya lokal, sebagai sarana tempat berinteraksi warga kota, tempat rekreasi, wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam.
Hasil penelitian Jim and Chen (2009) telah membuktikan bahwa di kawasan perkotaan, hutan kota bisa menghasilkan jasa lingkungan yang signifikan, seperti menyerap emisi karbon, produsen oksigen, menghilangkan polutan udara, mengatur iklim mikro, dan rekreasi. Jasa lingkungan ini berkontribusi terhadap peningkatan kualitas lingkungan, dan pembangunan kota berkelanjutan.
Permasalahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Provinsi DKI Jakarta kini menjadi strategis kedudukannya untuk ditelaah dan direalisasikan, mengingat fungsinya yang sangat penting untuk peningkatan kualitas lingkungan dan setelah definitifnya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Dalam undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa RTH wilayah perkotaan ditetapkan sebesar 30% dari luas wilayahnya. Kondisi eksisting RTH DKI Jakarta tahun 2010 baru mencapai 11,2% (BPLHD, 2012). Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Pemprov DKI Jakarta untuk memenuhi target RTH sesuai dengan amanat undang-undang.
Mencermati uraian: (a) kecenderungan adanya alih fungsi lahan dengan mengorbankan kawasan
hijau yang telah ada, (b) kemampuan peranan fungsi jasa RTH sebagai penyeimbang lingkungan perkotaan, dan (c) upaya pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam pemenuhan target RTH 30% seperti tertuang dalam RTRW-2030, untuk itu menelaah pemenuhan target RTH di DKI Jakarta menjadi strategis kedudukannya untuk dicarikan jalan keluarnya. Identifikasi kawasan peluang pemenuhan target RTH 30% DKI Jakarta selain menginformasikan luas dan sebaran RTH eksisting tahun 2012 juga menginformasikan luas dan lokasi kawasan-kawasan peluang untuk pemenuhan target RTH 30%.
Penelitian dilakukan di semua wilayah daratan Provinsi DKI Jakarta (tidak termasuk Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu) yang mencakup 3 jenis RTH, yaitu Pertamanan, Budidaya Pertanian, dan Kehutanan. RTH eksisting tahun 2012, ditelusuri berdasarkan peta RTH tahun 2000 dan 2012. Peta RTH tahun 2000, menggambarkan kondisi awal RTH berdasarkan RTRW-2010 Provinsi DKI Jakarta (Perda No. 6 Tahun 1999), sedangkan peta RTH tahun 2012 adalah realisasi eksis pembangunan dan pengembangan kawasan hijau DKI Jakarta per akhir Januari 2012. Agar data yang ditelusuri dan dipetakan tidak menimbulkan bias, karena luas dan tata letak, maka sebelumnya peta eksisting tahun 2012 dikoreksi dengan hasil analisis NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) atas dasar Citra Landsat TM Ban 54 terkoreksi tahun 2011. Koreksi tersebut dimaksudkan agar tata letak sub-komponen RTH benar, luas dan alokasi RTH-nya benar (akurat). Berdasarkan alokasi seluruh sub-komponen RTH yang dituangkan dalam peta dasar Provinsi DKI Jakarta, maka tersusunlah Peta RTH Provinsi DKI Jakarta eksisting tahun 2012. Berdasarkan peta hasil, diperoleh informasi sebaran RTH (Pertamanan, Budidaya Pertanian dan Kehutanan), termasuk sub-komponen dan luasnya.
Kawasan peluang untuk ruang terbuka hijau dapat diidentifikasi dari tiga pendekatan, yaitu: (a). Pertama, adalah area/lahan yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai ruang terbuka hijau karena status tanahnya. Selain tanah milik pemerintah daerah yang diperuntukan sebagai kawasan penyangga (bantaran sungai, pengaman perairan situ/ waduk/danau, sempandan pantai, dan
penyangga kawasan cagar budaya), juga lahan-lahan fasos/fasum, dan daerah penyangga jalur hijau.
-
(b) . Kedua, adalah tanah milik pemerintah yang bersumber dari APBN maupun dari APBD DKI Jakarta, yang kini dikuasai oleh unsur pemerintah, maka wajib 30% untuk disisihkan sebagai wahana kawasan hijau.
-
(c) . Ketiga, adalah semua pemilik bangunan pancang di DKI Jakarta memiliki kewajiban mematuhi Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, sehingga setiap pemilik bangunan pancang (hotel, apartemen, perkantoran, rumah sakit, dan bangunan Central Business District memiliki kewajiban membangun kawasan hijau seluas 30% dari lahan bangunan pancang.
Kondisi eksisting RTH DKI Jakarta Tahun 2012, berdasarkan alokasi ruangnya disajikan pada Gambar 1 dan peta Peta sebarannya pada Gambar 2.
Gambar 1 tersebut menunjukkan bahwa lahan di Provinsi DKI Jakarta 82,27% adalah lahan terbangun, dan sisanya 17,8% adalah ruang tidak terbangun. Kawasan hijau (RTH) DKI Jakarta terdiri atas: (a) kawasan konservasi Kepulauan Seribu, (b) kawasan hijau binaan, dan (c) kawasan konservasi daratan (hijau lindung). RTH Eksis tahun 2012, tercatat seluas 7.842,61 ha (13,27%) dari luas total daratan Jakarta yang terdiri atas: (a) 2.813,29 ha RTH Budidaya Pertanian, (b) 2.718,37 ha RTH Pertamanan, dan (c) 2.310,95 ha RTH Kehutanan. Namun demikian RTH eksisting wilayah daratan yang ditelaah dalam penelitian ini adalah seluas 7.481,74 ha, karena tidak termasuk kawasan hijau di wilayah Kepulauan Seribu seluas 360,87 ha.
Pemprov DKI dalam perencanaan tata ruangnya menfokuskan penyediaan RTH di DKI Jakarta secara fungsional sesuai dengan tujuan untuk menciptakan kualitas lingkungan kota yang sehat, nyaman, indah, dan bersih, diarahkan untuk mendukung kehidupan warga dan produktifitas kota yang berlanjut (Naskah Akademis RTRW DKI Jakarta 2030). Berdasarkan Perda No. 1 Tahun 2012 tentang RTRW Jakarta 2030, secara garis besar RTH DKI Jakarta dibedakan
RTH Budidaya Pertanian (2.813 29 ha)
RIII Kehutanan (2.310,95 ha)
Provinsi DKI Jakarta
Penggunaan Lain (1.892,18 ha)
Hijau Binaan (7.311,81 ha)
Hijau Lindung (169,93 ha)
Kawasan Hijau Kep Seribu (360,87 ha)
Ruang Tidak Terbangun (11.751,92 ha)
RTH DKI Jakarta =7.842,61 ha
1. Permukiman
2. Bangunan Jasa Kantor
3. PusatKegiatan Ekonomi
4. Kawasan Industri
5. Lain-Iain
Daratan DKI Jakarta (65.000 ha)
Kepulauan Seribu kawasan hijau
Ruang Terbangun (53.248,08 ha)
Tandon Air (478 ha)
Ruang Terbuka (9.203,99 ha)
Badan Sungai (1.900 ha)
Hijau Lindung (169,93 ha)
Gambar 1. Alokasi Ruang dan RTH DKI Jakarta
menjadi Kawasan Hijau Lindung dan Kawasan Hijau Binaan. Kawasan hijau lindung adalah bagian dari kawasan terbuka hijau yang memiliki karakteristik alamiah yang perlu dilestarikan untuk tujuan perlindungan ekosistem setempat (misal: sempadan pantai, sempadan sungai dan kanal serta sempadan waduk/danau/situ) maupun untuk tujuan perlindungan wilayah yang lebih luas. Kawasan Hijau Binaan adalah Kawasan hijau Budidaya adalah kawasan hijau di luar kawasan hijau lindung yang dimanfaatkan untuk kegiatan penanaman, pengembangan, pemeliharaan, maupun pemulihan vegetasi yang diperlukan sebagai sarana ekonomi, ekologi, sosial dan estetika. Kawasan hijau budidaya meliputi: hutan kota, taman kota, kawasan terbuka hijau lainnya (sabuk hijau, RTH jalur hijau jalan, RTH ruang pejalan kaki, RTH di bawah jalan layang, RTH fungsi tertentu: RTH sempadan rel kereta api, RTH jaringan listrik tegangan tinggi dan pemakaman). Namun demikian dalam penelitian ini RTH di DKI Jakarta dibedakan menjadi 3 (tiga) kategori: RTH Budidaya Pertanian, RTH Pertamanan dan RTH Kehutanan.
-
3.1.1. RTH Budidaya Pertanian
RTH Budidaya Pertanian dibagi menjadi 5 (lima) komponen: kebun bibit, sawah, pekarangan, cagar budaya/agrowisata dan sentra tanaman hias. RTH Budidaya Pertanian adalah komponen RTH paling luas (2.813,29 ha) berdasarkan alokasi ruang RTH Eksisting DKI Jakarta. Luas masing-masing sub komponen RTH Budidaya pertanian disajikan pada tabel 1, sedangkan peta sebaran RTH Budidaya Pertanian di DKI Jakarta tahun 2012 dapat dilihat pada Gambar 2
Tabel 1. Komponen RTH Budidaya Pertanian
No |
. Komponen RTH Budidaya Pertanian |
Luas (ha) |
1 |
Kebun Bibit |
104,82 |
2 |
Sawah |
308,00 |
3 |
Pekarangan |
1.037,62 |
4 |
Cagar Budaya/Agrowisata |
969,27 |
5 |
Sentra Tanaman Hias |
393,58 |
Jumlah RTH Budidaya Pertanian |
2.813,29 |
Gambar 2. Peta sebaran RTH Eksisting DKI Jakarta Tahun 2012
Tabel 1 menunjukkan bahwa komponen RTH pekarangan, menduduki posisi paling luas (36,88%) dan diikuti oleh komponen RTH Cagar Budaya/ Agrowisata (34,45%), sedangkan komponen RTH lainnya sangat rendah karena kurang dari 30% . RTH pekarangan adalah kawasan hijau kebun dan pekarangan milik masyarakat yang masuk ke dalam inventarisasi RTH Budidaya Pertanian. Kawasan tersebut berlokasi di sepanjang koridor jalan antara Ragunan – Jagakarsa (Jakarta Selatan) dan Meruya (Jakarta Barat). RTH Cagar Budaya/Agrowisata di DKI Jakarta antara lain berlokasi di kawasan Cagar Budaya Condet (Jakarta Timur), Cagar Budaya Kampung Pitung (Jakarta Utara), Perkampungan Betawi Situ Babakan (Jakarta Selatan) dan Kawasan Agrowisata Cilangkap (Jakarta Timur).
Selain pekarangan dan cagar budaya/ agrowisata, komponen RTH budidaya pertanian yang lain adalah kebun bibit, sawah dan sentra tanaman hias. Kebun bibit di Provinsi DKI Jakarta difungsikan sebagai wadah pembibitan baik tanaman keras (pohon lindung dan tanaman buah), maupun tanaman perdu berbunga. Lahan basah (sawah) di DKI Jakarta yang masuk dalam inventarisasi RTH Budidaya Pertanian adalah seluas 308 ha, dan posisinya berada di Kompleks Halim Perdana Kusumah. Sentra tanaman hias pada dasarnya adalah warung tanaman hias yang berlokasi di permukimanan masyarakat. Selain menyediakan tanaman lindung, perdu berbunga, dan rumput, juga menyediakan bibit atau tanaman jadi dari jenis anggrek dan bunga potong.
Walaupun RTH Budidaya Pertanian menunjukkan kawasan hijau paling luas (36%), di DKI Jakarat, tetapi memiliki kecenderungan terus berkurang luasnya. Hal ini disebabkan karena dimasukannya lahan-lahan milik penduduk sebagai kawasan hijau budidaya pertanian, dimana lahan tersebut sewaktu-waktu dapat dibangun untuk fungsi lain sesuai kepentingan pemiliknya. Tidak adanya kompensasi lingkungan dari pemerintah juga memicu terjadinya alih fungsi lahan menjadi kawasan dengan nilai ekonomi yang lebih tinggi.
Sejalan dengan pendapat Sampeliling dkk (2012), peneliti setuju bahwa keberadaan lahan pertanian perkotaan memegang peranan yang penting dalam sistem produksi pertanian dan upaya menjaga kualitas lingkungan, karena lahan pertanian adalah komponen terluas dari RTH di DKI Jakarta. Selain menjaga kualitas lingkungan dan menjaga eksistensi ruang untuk keberlanjutan sistem
produksi hasil pertanian, usaha tani perkotaan juga membuka lapangan kerja dan menjadi sumber tambahan penghasilan masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu kebijakan pertanian kota yang berkelanjutan di DKI Jakarta.
Beberapa faktor penentu yang berhasil dirumuskan oleh Sampeliling dkk (2012) dalam pengembangan pertanian kota khususnya di DKI Jakarta adalah: pertama, kebijakan memperluas lahan pekarangan untuk tujuan RTH produktif yang berisi komoditas pertanian. Kedua, pengembangan tanaman produktif dengan penerapan teknologi ramah lingkungan pada komoditas tanaman hias, tanaman produktif tahunan seperti rambutan, mangga jambu, sawo. belimbing dan melinjo. Ketiga, peningkatan pembinaan petani oleh pembina teknis instansi terkait. Keempat, pemberian insentif kepada pelaku usaha tani dan pembebasan pajak lahan pertanian.
-
3.1.2. RTH Pertamanan
Realisasi RTH Pertamanan di DKI Jakarta tahun 2012 tercatat 2.718,37 ha, secara spasial menyebar di seluruh wilayah DKI Jakarta. Rincian persebarannya disajikan pada Tabel 2. Realisasi paling tinggi pada komponen RTH ini adalah penyangga jalan tol/ median, yaitu sebesar 30%, diikuti oleh RTH Taman Kota/Lingkungan (26,86%), dan RTH Pemakaman (25,26%), sedangkan 18,34% lainnya adalah RTH kawasan hijau lapangan olah raga. Hijau taman lain-lain pada tabel di atas bernilai nol karena dalam inventarisasinya masih digabung dengan taman kota/ lingkungan. Hijau taman lain-lain di DKI Jakarta meliputi: (a) taman bangunan umum, (b) taman rekreasi, (c) taman interaktif, (d) taman ex refungsi SPBU, (e) hijau penyempurna, (f) hijau tepian air, dan (g) hijau pedestrian. Peta sebaran RTH Pertamanan di DKI Jakarta disajikan pada Gambar 2.
Tabel 2. RTH Taman di Provinsi DKI Jakarta Eksisting Tahun 2012
No. |
Jenis dan Komponen RTH |
Realisasi RTH 2012 |
1 |
Taman Kota/Lingkungan |
730.38 |
2 |
Jalan tol/median |
815.76 |
3 |
Lapangan OR |
498.55 |
4 |
Pemakaman |
673.68 |
5 |
Hijau Taman Lain-lain |
0 |
Jumlah RTH Pertamanan |
2.718.37 |
Taman kota adalah bagian dari ruang terbuka hijau kota yang berdiri sendiri atau terbentuk di antara batas-batas bangunan / prasarana kota lain dengan bentuk teratur, tertentu atau tidak teratur yang ditata secara estetis dengan menggunakan unsur-unsur buatan dan alami baik berupa tata hijau maupun sarana kelengkapan lainnya serta berfungsi sebagai fasilitas rekreasi dan interaksi bagi warga kota. Pemeliharaan dan penataan taman di DKI Jakarta diarahkan pada fungsi multi-dimensi, baik fungsi ekologi, estetika maupun fungsi sosial. Contoh dari taman-taman semacam ini adalah Taman Monas, Taman Menteng, Taman Suropati dan Taman Lapangan Banteng. Penataan taman tersebut juga dibarengi dengan penataan jalur-jalur hijau baik jalur hijau jalan maupun jalur hijau tepian air (Handayani, 2009).
Jalur hijau jalan dapat berpotensi sebagai RTH yang produktif, sebagaimana ditekankan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan umum No. 05/PRT/M/ 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, bahwa untuk jalur hijau jalan, penempatan tanaman dapat dilakukan 20-30% dari ruang milik jalan (Rumija/ Damija). Namun di sisi lain, sejalan dengan pendapat Prihandono (2010), pengembangan jalur hijau jalan yang tidak dikontrol secara ketat akan merangsang pertumbuhan permukiman yang tidak terkendali. Hal ini malah merugikan keberadaan RTH yang bisa dialihfungsikan untuk kepentingan permukiman.
Realisasi penyangga lapangan olah raga di DKI Jakarta pada tahun 2012 seluas 498,55 ha. Penyangga lapangan olah raga adalah ruang terbuka tempat dibudidayakan pepohonan dan rerumputan yang teratur, untuk kepentingan kesegaran jasmani melalui kegiatan olah raga. Jenis pepohonan pada hamparan ini, terdiri atas jenis-jenis tumbuhan penghasil oksigen tinggi dan sebagai peneduh lokasi setempat.
Komponen RTH Pemakaman di DKI Jakarta, dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu (a) pemakaman khusus seperti Taman Makam Pahlawan Kalibata, (b) pemakaman umum, dan (c) pemakaman tanah wakaf. Taman-taman di lokasi pemakaman adalah kawasan hijau pelindung, dengan jenis tanaman yang dibudidayakan seperti kamboja, bunga akar kuning dalam beberapa jenis lainnya. Selain untuk tujuan perlindungan dan kenyamanan lingkungan juga untuk peningkatan resapan air dan nilai estetika.
-
3.1.3. RTH Kehutanan
RTH Kehutanan, dipilah menjadi 9 komponen RTH, namun demikian, komponen Cagar Alam Pulau (170,87 ha) dan Penghijauan Pulau (190 ha) tidak masuk ke dalam telaah penelitian ini. Berikut disajikan komponen RTH Kehutanan (Tabel 3). Dri tabel 3 terlihat bahwa realisasi pembangunan RTH pengaman perairan paling luas (52,70%), diikuti oleh komponen RTH hutan kota (17,31%), sedangkan komponen RTH lainnya kurang dari 10%. Sebaran spasial RTH Kehutanan ditampilkan pada Gambar 2.
Komponen RTH pengaman perairan terdiri atas penyangga situ-situ/danau/waduk, penyangga (sempadan) sungai dan sempadan pantai. Komponen RTH penyangga tegangan tinggi adalah kawasan hijau untuk tujuan perlindungan saluran transmisi PLN dalam bentuk jalur hijau pepohonan. Selain sebagai penyangga, kawasan ini juga berfungsi sebagai RTH wilayah resapan air tanah.Cagar Alam Muara Angke, Hutan Lindung Angke Kapuk dan Kawasan Wisata Mangrove berlokasi di pantai utara Jakarta dengan komunitas vegetasinya sebagian besar dari jenis mangrove. Kawasan ini difungsikan sebagai pengatur tata air, pencegah banjir, erosi, abrasi dan intrusi air laut. Komponen RTH Kawasan Khusus ditempatkan pada lokasi-lokasi kompleks militer dan penyangga bandara Halim Perdanakusuma. Selain memiliki tujuan penyangga kompleks dan lapangan udara, juga sebagai upaya untuk meningkatkan kenyamanan lingkungan.
Tabel 3. Komponen RTH Kehutanan Provinsi DKI Jakarta
No |
. Komponen RTH Kehutanan |
Luas (ha) |
1 |
Cagar Alam M. Angke |
25,25 |
2 |
Cagar Alam Pulau |
170,87 |
3 |
Hutan Lindung |
44,76 |
4 |
Hutan Wisata Mangrove |
99,82 |
5 |
Tegangan Tinggi |
47,40 |
6 |
Hutan Kota |
400,00 |
7 |
Pengaman Perairan |
1.217,85 |
8 |
Kawasan Khusus |
115,00 |
9 |
Penghijauan Pulau |
190,00 |
Jumlah RTH Kehutanan |
2.310,95 |
Jumlah RTH DKI Jakarta (Daratan) 2140,08 *)
Keterangan: *) tidak termasuk Cagar Alam Pulau dan Penghijauan Pulau
-
3.2. Potensi Penelusuran Kawasan Peluang Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang
Penataan Ruang secara khusus mengamanatkan bahwa setiap provinsi/kabupaten/kota diwajibkan untuk menyediakan ruang terbuka hijau (kawasan hijau) sebesar 30% dari luas wilayah administrasi pemerintahannya. Proporsi ruang terbuka hijau publik sebesar 20% dan ruang terbuka hijau privat sebesar 10%. Ruang terbuka hijau publik adalah ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah, untuk dapat dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat umum. RTH privat adalah ruang terbuka hijau yang dimiliki oleh masyarakat/swasta dan atau institusi pemerintah yang dimanfaatkan sebagai kawasan hijau.
Realisasi eksis RTH Provinsi DKI Jakarta tahun 2012 di daratan DKI Jakarta tercatat 7.481,74 ha. Berdasarkan Undang-undang No. 26 Tahun 2007 bahwa DKI Jakarta memerlukan luas RTH 30% atau seluas 20.000 ha. Mengingat dalam penelitian ini tidak termasuk penghijauan pulau dan kawasan konservasi pulau, maka pemenuhan RTH wilayah daratan DKI Jakarta [20.000 ha – (170,87 ha + 190,0 ha)] = 19.639.13 ha. Berdasarkan realisasi eksis RTH Provinsi DKI Jakarta tahun 2012 sebesar 7.481,74 ha maka kebutuhan lahan untuk pemenuhan RTH 30% wilayah daratan adalah sebesar 11.967.39 ha. Atas dasar itulah perlu dicarikan jalan keluarnya, untuk dapat memenuhi target RTH 30%.
Berdasarkan realisasi target RTH tahun 2012, penelusuran kawasan peluang dapat dilakukan dengan pendekatan sebagai berikut:
-
(1) . Memperhatikan RUTR 2005 (1985 s/d 2005) dan RTRW 2010 (2000 s/d 2010), bahwa lahan basah (sawah) tercatat 5.100 ha dipertahankan sebagai kawasan produktif pertahanan pangan dan berfungsi sebagai pengendali banjir. Namun demikian dalam penjabaran realisasi RTH eksis tahun 2012 lahan sawah yang masuk dalam inventarisasi adalah 308,0 ha. Padahal luas sawah eksisting di Provinsi DKI Jakarta tercatat 780,0 ha, yang tersebar di wilayah Jakarta Utara, Jakarta Barat maupun Jakarta Timur. Lahan basah tersebut kini telah dikuasai oleh pengembang dan industri pergudangan. Memulihkan lahan basah (sawah) sebagai bagian dari RTH Budidaya Pertanian di Provinsi DKI Jakarta (sebesar 780 ha – 308 ha= 472 ha), dapat menjadi potensi kawasan peluang pemenuhan target RTH.
Peluang penelusuran lahan basah (sawah) seluas 472 ha..................................................(1)
-
(2) . Hal serupa juga terhadap kawasan penyangga badan air, baik sempadan sungai, penyangga tandon air (situ/waduk/danau), dan sempadan pantai. Kawasan penyangga tandon air tercatat 134 ha, dan realisasi pembangunan kawasan hijau penyangga tandon air tercatat 29,95 ha. Untuk itu peluang penelusuran penyangga kawasan tandon air sebesar (134 ha – 29,95 ha) = 104,05 ha.
Peluang penelusuran penyangga tandon air seluas 104,05 ha .............................................(2)
Selain tandon air, penelusuran kawasan peluang juga dilakukan terhadap sempadan sungai. Panjang sungai yang melintas di wilayah DKI Jakarta sepanjang 421 km dengan luas badan sungai 1.900 ha, dan penyangga badan sungai (bataran) seluas 1.690 ha (Diskeltan, 2011). Realisasi tahun 2012 tercatat 1.217,85 ha. Untuk itu peluang penelusuran sempadan sungai di Provisi DKI Jakarta sebesar (1.690 ha – 1217,85 ha) = 472,15 ha
Peluang penelusuran sempadan sungai seluas 472,15 ha .............................(3)
Kawasan sempadan pantai di DKI Jakarta yang diisi oleh habitat mangrove tercatat seluas 290,13 ha, namun dalam realisasi eksisting luas kawasan mangrove DKI Jakarta tercatat 269,83 ha, sehingga kawasan peluang sempadan pantai di DKI Jakarta sebesar 290,13 ha – 269,83 ha = 20,3 ha
Peluang penelusuran sempadan pantai seluas 20,3 ha .............................................................(4)
-
(3) . Bangunan pancang (perhotelan, rumah susun, gedung perkantoran, mall, dll) yang harus memenuhi kewajiban RTH 30% tercatat 18.000 ha (Diskeltan, 2011). Untuk itu kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemilik bangunan seluas (0,3 x 18.000) = 5.400 ha.
Peluang penelusuran konpensasi bangunan pancang seluas 5.400 ha..............................(5)
-
(4) .Kewajiban bagi pengelola tanah negara (bangunan fisik) pemerintah tercatat 8.200 ha (Diskeltan, 2011). Untuk itu kewajiban yang harus diemban sebagai kawasan hijau privat seluas (0,3 x 8,200) = 2.460 ha.
Peluang penelusuran penyangga bangunan tanah negara seluas 2.460ha.........................(6)
-
(5) . Kawasan industri seluas 2.800 ha, untuk itu pemenuhan terhadap RTH sebesar (0,3 x 2.800) = 840 ha. Realisasi 5 ha à pemenuhan sebesar 835,0 ha.
Peluang penelusuran kawasan industri seluas 835,0 ha ...........................................................(7)
-
(6) . Penyangga Jalan Tol Lingkar Luar Baratdan Tol
Cilincing sepanjang 21,7 km memerlukan penyangga kawasan hijau 21.700 m x 12m = 260.400 m2= 26,04 ha.
Peluang penelusuran jalan tol seluas 8,68 ha(8)
-
(7) . Pengaman jalur Tegangan Tinggi sepanjang 76,5 km, memerlukan penyangga seluas 12,5m x 76.500 m = 956.250 m2 = 95,625 ha.
Peluang penelusuran Tegangan Tinggi PLN seluas 95,625ha(9)
-
(8) . Pengaman Rel Kereta Api sepanjang 95,0 km, memerlukan penyangga/pengaman seluas 95.000 m x 12,5 m = 1.187.500 m2= 118,75 ha
Peluang penelusuran Penyangga Rel KA seluas 118,75 (10)
Berdasarkan hasil perhitungan seperti uraian di atas, kawasan-kawasan yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai lahan pemenuhan target RTH 30%, secara rinci disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa potensi kawasan peluang yang dapat ditelusuri tercatat 10 komponen RTH dan secara keseluruhan seluas 10.003,92 ha. Peta sebaran kpotensi kawasan peluang tersaji pada Gambar 3. Semua komponen RTH kecuali peluang kompensasi bangunan pancang, tampaknya tidak menemui kendala yang berarti. Namun demikian,
terhadap kompensasi bangunan pancang, pemerintah Provinsi DKI Jakarta, perlu menyiapkan payung hukum berupa Peraturan Daerah (Perda) yang terkait dengan pembangunan kawasan hijau.
-
1. Luas ruang terbuka hijau eksisting di DKI Jakarta tahun 2012 adalah 7.842,61 ha (13,27%) dari luas total daratan Jakarta. Namun demikian RTH eksisting wilayah daratan yang ditelaah dalam penelitian ini tercatat 7.481,74 ha, karena tidak termasuk kawasan hijau di luar daratan DKI Jakarta (Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu), yaitu seluas 360,87 ha.
-
2. Potensi kawasan peluang yang dapat ditelusuri tercatat seluas 10.003,92 ha, terdiri atas: lahan basah (sawah), penyangga tandon air (situ/ waduk/danau), sempadan sungai, sempadan pantai, kompensasi bangunan pancang, penyangga bangunan di atas tanah negara, penyangga kawasan industri, penyangga jalan tol, penyangga tegangan tinggi dan penyangga rel kereta api.
Kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta disarankan untuk menyiapkan payung hukum berupa Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Hijau, tentang Penataan Ruang dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Provinsi DKI Jakarta. Melalui Perda tersebut, pemenuhan terhadap alokasi RTH publik dan privat akan terlaksana.
Tabel 4. Kawasan Potensi Peluang
No. |
Kawasan Potensi |
Luas (ha) |
1 |
Potensi lahan basah (sawah) |
472 |
2 |
Potensi penyangga tandon air |
104,05 |
3 |
Potensi sempadan sungai |
472,15 |
4 |
Potensi sempadan pantai |
20,3 |
5 |
Potensi kompensasi bangunan pancang |
5.400 |
6 |
Potensi Penyangga Bangunan di atas Tanah Negara |
2.460 |
7 |
Potensi Penyangga Kws Industri |
835 |
8 |
Potensi Penyangga Jln Tol |
26,04 |
9 |
Potensi Penyangga Tegangan Tinggi PLN |
95,625 |
10 |
Potensi Penyangga Rel KA |
118,75 |
Jumlah: |
10.003,92 | |
Gambar 3. Peta Potensi Kawasan Peluang RTH
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. 2010.
Jakarta Dalam Angka 2010.
Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta. 2011. Naskah Akademik Rencana Aksi Daerah untuk Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca DKI Jakarta.
Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta. 2012. Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta tahun 2011.
Departemen Pekerjaan Umum. 2008. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/ 2008 Tetang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Direktorat Jenderal Penataan Ruang. Departemen Pekerjaan Umum.
Departemen Pekerjaan Umum. 2008. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta. 2011. Kajian Akademik Penyediaan Lahan Untuk Pembangunan dan Pengembangan Hutan Kota.
Handayani, S. 2008. Implikasi UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terhadap Penyediaan Ruang Terbuka Hijau dan Ruang Terbuka Non Hijau di Provinsi DKI Jakarta. Online Buletin Tata Ruang Edisi Maret-April 2008.
Jim, C.Y. and Chen, W. Y. 2009. “Assessing the ecosystem service of air pollutant removal by urban trees in Guangzhou (China)”. Journal of Environmental Management 88 p.665– 676a
Karyono, T.H. 2005. Fungsi Ruang Hijau Kota Ditinjau dari Aspek Keindahan, Kenyamanan, Kesehatan, dan Penghematan Energi. Jurnal Teknik Lingkungan P3TL-BPPT 6(3): 452-457.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. 2011. Naskah Akademis Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2030.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. 2012. Perda Nomor 1 Tahun 2012 tentang RTRW Jakarta 2030
Prihandono, A. 2010. Penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Menurut UU No. 26/2007 Tentang Penataan Ruang dan Fenomena Kebijakan Penyediaan RTH di Daerah. Jurnal Permukiman, Vol.5 No.1 April 2010:24-35
Rushayati, S.R. 2012. Model Kota Hijau di Kabupaten Bandung Jawa Barat. Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sampeliling, S., S.R.P. Sitorus, S. Nurisyah, B. Pramudya. 2012. Kebijakan Pengembangan Pertanian Kota Berkelanjutan: Studi Kasus Di DKI Jakarta. Buletin Analisis Kebijakan Pertanian Volume 10 No.3, September 2012
Saraswati, A. A. 2008. Keberadaan Ruang Terbuka Hijau Dalam Pembangunan Kawasan Industri. 2008. Jurnal Teknologi Lingkungan Edisi Khusus p.1-8.
Suwargana, Nana. 2005. “Deteksi Ruang Terbuka Hijau Menggunakan Teknik Penginderaan Jauh (Studi Kasus: Di DKI Jakarta)”. Makalah disampaikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV “Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa”, Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 14 – 15 September 2005. Surabaya.
179
Discussion and feedback