Fritz Hotman S. Damanik : Perempuan Pelestari DAS, Perempuan Berdaya

PEREMPUAN PELESTARI DAS, PEREMPUAN BERDAYA (Merintis Keberdayaan Pelajar Melakukan Pemberdayaan Perempuan Bersendikan Kearifan Lokal Sesuai Kurikulum 2013)

Fritz Hotman S. Damanik1

Abstrak

Di Indonesia terdapat 5.590 sungai utama dan sekitar 65.017 anak sungai, serta 500 danau (Status Lingkungan Hidup Indonesia, 2010). Ironisnya, lingkungan sungai beserta DAS sejak dahulu mengalami tekanan dahsyat karena merupakan pusat berkembangnya peradaban sekaligus aktivitas sosial ekonomi masyarakat. Lebih lanjut lagi, analisis terhadap 40 DAS di Jawa Barat mengindikasikan telah merosotnya fungsi hidrologis. 14 DAS dikategorikan sangat kritis, sementara 8 DAS tergolong kritis. Hal yang sama diyakini juga terjadi di sepenjuru Indonesia.

Dalam Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Sosiologi Kelas XII Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial, antara lain, termuat tuntutan agar peserta didik mampu merancang, melaksanakan dan melaporkan aksi pemberdayaan komunitas dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal di tengah pengaruh globalisasi. Dari kompetensi dasar ini, sungguh sangat tepat jika mencoba merumuskan suatu aksi pemberdayaan perempuan sebagai pelestari DAS bersendikan kearifan lokal, dengan peserta didik selaku fasilitator. Mengapa perempuan ? Jawabannya terkait erat dengan beberapa stereotip gender yang selama ini dilekatkan pada perempuan. Perempuan dicitrakan mempunyai sifat lemah lembut, peka, penyabar, penuh pertimbangan, pemelihara, dan masih banyak lagi. Stereotip dimaksud meniscayakan bahwa perempuan memiliki kualitas yang dibutuhkan untuk diberdayakan dalam pelestarian lingkungan hidup serta pemanfaatan secara berkelanjutan. Atau dengan perkataan lain, perempuan diasumsikan memiliki kemampuan untuk meningkatkan kesejahteraan tanpa merusak.

Kata Kunci : pemberdayaan, perempuan, kearifan lokal, kurikulum 2013

Abstract

In Indonesia, there are 5.590 main rivers, 65.017 tributaries, and 500 lakes (Status Lingkungan Hidup Indonesia, 2010). Ironically, the rivers’ surroundings and watershed have faced enormous pressure since years ago because of they became the center of the development of civilization as well as the center of communities’ social-economic activities. Furthermore, the analysis to 40 watersheds in West Java indicated the decline of hydrological functions. 14 watersheds can be categorized as extremely critical, while 8 watersheds considered to be critical. The same situations are believed to occur all across Indonesia.

The Basic Competence of Sociology for Social Sciences Specialization in High School, contained the demand for students to able to design, implement, and report community development action by using local wisdoms as foundation in the globalization era. From this basic competence, it is so appropriate to try to formulate an empowerment action for women as watershed conservationist, with high scholl students as facilitators. Why womesn ? The answers mostly related to gender stereotypes associated to women, such as gentle, sensitive, patient, and full of considerations. The stereotypes will enable women to conservate as well as using the environment continuously. Or by other words, women are assumed to have the ability to improve welfare without ruin nature.

Keywords : empowerment, women, local wisdom, 2013 Curriculum

  • 1.    Pendahuluan

    1.1    Latar Belakang

Dalam UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, daerah aliran sungai (selanjutnya disingkat DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Sementara Suripin (dalam Marfai, 2012) menyebut bahwa DAS merupakan merupakan suatu ekosistem dimana di dalamnya terjadi suatu proses interaksi antara faktor biotik, non biotik, dan manusia.

Di Indonesia terdapat 5.590 sungai utama dan sekitar 65.017 anak sungai, serta 500 danau (Status Lingkungan Hidup Indonesia, 2010). Sungai dan danau tersebut, selain berperan secara hidrologis, juga berperan dalam memelihara potensi keanekaragaman hayati, nilai ekonomi, budidaya, transportasi, pariwisata, dan banyak lagi lainnya. Ironisnya, lingkungan sungai beserta DAS sejak dahulu mengalami tekanan dahsyat karena merupakan pusat berkembangnya peradaban sekaligus aktivitas sosial ekonomi masyarakat. Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, maka kebutuhan ketersediaan air untuk berbagai kepentingan pun terus mengalami peningkatan signifikan.Tekanan penduduk dengan kegiatannya yang kian meningkat malah telah melampaui daya dukung lingkungan, sehingga berakibat kerusakan pada aspek biofisik maupun kualitas air.

Sebagai contoh, mengutip data Status Lingkungan Hidup Indonesia (2010), hingga tahun 2007, kualitas air sungai di Jawa Barat memperlihatkan kondisi memprihatinkan. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 7 sungai utama, yaitu Cimanuk, Citarum, Cisadane, Kali Bekasi, Ciliwung, Citanduy, dan Cilamaya menunjukkan status mutu D atau kondisi sangat buruk. Pada DAS Citarum, bahkan tidak satu lokasi pun yang kualitas airnya memenuhi kriteria mutu air kelas II (peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/ sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, pengairan tanaman). Lebih lanjut lagi, analisis terhadap 40 DAS di Jawa Barat

mengindikasikan telah merosotnya fungsi hidrologis. 14 DAS dikategorikan sangat kritis, sementara 8 DAS tergolong kritis. Hal yang sama diyakini juga terjadi di sepenjuru Indonesia.

Dampak kerusakan DAS sejatinya sangatlah mengkhawatirkan. Kondisi kuantitas (debit) air sungai, misalnya, menjadi fluktuatif antara musim penghujan dan kemarau. Selain itu, juga terjadi penurunan cadangan air (terutama yang memenuhi syarat air baku air minum) serta tingginya laju sedimentasi atau pun erosi. Dampak yang dirasakan kemudian adalah terjadinya banjir di musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Itulah sebabnya, perlu segera dilakukan upaya mencegah berlanjutnya kerusakan serta melestarikan DAS di mana pun.

  • 1.2    Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka yang menjadi perumusan masalah adalah :

  • 1)    Bagaimanakah dapat merintis keberdayaan pelajar melakukan pemberdayaan perempuan bersendikan kearifan lokal sesuai Kurikulum 2013 ?

  • 1.3    Metode Penelitian

Dalam proses pengumpulan data, penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data sebagai upaya untuk mendapatkan atau memperoleh informasi yang diperlukan dan memastikannya terjaring sebaik mungkin. Adapun teknik yang digunakan oleh penulis adalah : a) Metode Observasi

Dalam penulisan ini dimaksudkan untuk mengamati suatu gejala sosial tertentu, yakni realitas pelayanan publik di sejumlah instansi. b) Studi Kepustakaan

Dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data yang menyangkut dengan masalah yang ditulis melalui penelusuran pustaka dan sumber sekunder lainnya.

Setelah data terkumpul, maka selanjutnya dibaca, dipelajari, ditelaah, serta direduksi guna memperoleh rangkuman inti dari data. Tahap akhir ialah melakukan interpretasi terhadap data, hingga sampai pada konsep-konsep pemecahan masalah secara tuntas dan menyeluruh.

  • 2.    Kajian Pustaka

    2.1    Pembelajaran Sosiologi secara Saintifik

Dalam kehidupan sehari-hari, adalah tidak mungkin untuk mengabaikan adanya realitas dan masalah sosial yang mewarnai hubungan antar individu dalam masyarakat. tidak jarang juga suatu masalah sosial bahkan membekas sedemikian mendalam sehingga mempengaruhi berlangsungnya relasi sosial secara jangka panjang. Di sinilah peran sosiolog atau mereka yang telah mempelajari Sosiologi sangat diperlukan untuk memberikan kontribusi atau sumbangsih pemikiran. Sebagai suatu ilmu pengetahuan, Sosiologi tidak terpaku pada teori dan konsepsi belaka, tetapi dapat pula diterapkan untuk memahami sekaligus merekomendasikan solusi bagi fenomena sosial yang senantiasa berubah. Atau, dengan perkataan lain, Sosiologi mencakup stabilitas (social statics) serta perubahan (social dynamics).

Sosiologi, dalam arti seutuhnya, bukanlah sekedar deretan konsep dan teori yang harus dihafalkan. Bukan pula suatu bidang ilmu yang membingungkan karena banyaknya hal yang mesti dipahami. Sebagai sebuah ilmu, Sosiologi sejatinya memiliki peran yang sangat penting berkaitan dengan upaya memberdayakan masyarakat (community development) sebagai sebuah cikal bakal menuju kemandirian. Sosiologi menyediakan alat dan perspektif yang dibutuhkan untuk mengelola potensi konflik serta mempertahankan keteraturan dalam masyarakat.

Dengan demikian, proses pembelajaran tentunya tidak cukup bila hanya sebatas pertemuan tatap muka untuk menjabarkan materi sesuai tuntutan kurikulum, melainkan harus disertai kegiatan-kegiatan yang mendekatkan peserta didik dengan realitas sosial aktual masyarakat. Ini mutlak dilakukan supaya apa yang diajarkan lebih membumi dan bukan semata-mata konsep atau pun teori yang terkesan ilmiah namun tanpa makna. Untuk itulah, pembelajaran harus dilakukan menurut langkah-langkah saintifik sesuai tuntutan Kurikulum 2013 :

  • 1)    Mengamati

Metode mengamati mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningful learning). Metode ini memiliki keunggulan tertentu, seperti menyajikan media obyek secara nyata, peserta didik senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya.

  • 2)    Menanya

Guru yang efektif mampu menginspirasi peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuannya. Pada saat guru bertanya, ketika itu pula ia membimbing atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik. Ketika guru menjawab pertanyaan peserta didiknya, kala itu pula ia mendorong siswa untuk menjadi penyimak dan pembelajar yang baik. Artinya, guru dapat menumbuhkan sikap ingin tahu siswa, yang diekspresikan dalam bentuk pertanyaan.

  • 3)    Menalar

Penalaran adalah proses berpikir yang logis dan sistematis atas fakta-fakta empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Penalaran dimaksud merupakan penalaran ilmiah, meski penalaran nonilmiah tidak selalu tak bermanfaat.

  • 4)    Mencoba

Eksplorasi adalah upaya awal membangun pengetahuan melalui peningkatan pemahaman atas suatu fenomena. Strategi yang digunakan adalah memperluas dan memperdalam pengetahuan yang menerapkan strategi belajar aktif.

  • 5)    Membentuk jejaring

Peserta didik dapat membentuk jejaring yang lebih luas dengan menginformasikan atau pun berbagi tentang hasil penugasan, proyek atau makalah melalui berbagai media.

  • 2.2    Pemberdayaan Masyarakat

Konsep pemberdayaan berkembang dari realitas individu atau pun komunitas yang tidak berdaya atau lemah. Ketidakberdayaan atau kelemahan ini mengacu pada keterbatasan pengetahuan, pengalaman, optimisme, keterampilan, modal usaha, jejaring, semangat, etos kerja, ketekunan, dan banyak lagi lainnya. Untuk mengatasi ketidakberdayaan atau kelemahan inilah, proses pemberdayaan menjadi sangat bermakna. Menurut Jim Ife (dalam Anwas, 2013), pemberdayaan adalah mempersiapkan sumber daya, kesempatan, pengetahuan, dan keahlian untuk meningkatkan kapasitas komunitas sehingga mampu menentukan masa depannya, serta berpartisipasi dan mempengaruhi kehidupan komunitas lain dalam masyarakat. Sedangkan Pranarka dan Muljarto (dalam Anwas, 2013) menyebut pemberdayaan sebagai

suatu upaya untuk membangun eksistensi pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, pemerintah, negara, dan tata nilai dalam kerangka proses aktualisasi kemanusiaan yang adil dan beradab dalam seluruh sendi kehidupan bermasyarakat. Pemberdayaan juga bermakna merevitalisasi tatanan nilai, budaya, serta kearifan lokal dalam membangun jati dirinya sebagai individu maupun anggota masyarakat.

Pemberdayaan memiliki sejumlah karakteristik (Mardikanto, 2012) yakni :

  • •    Kesukarelaan, artinya keterlibatan seseorang

atau suatu komunitas dalam kegiatan pemberdayaan seharusnya tidak disebabkan karena adanya paksaan, melainkan dilandasi oleh kesadaran diri dan keinginan untuk meningkatkan kedayaan atau memecahkan masalah kehidupan yang dialaminya.

  • •   Otonom, yakni kegiatan pemberdayaan harus

memampukan warga atau komunitas sasarannya untuk mandiri dan melepaskan diri dari segala bentuk ketergantungan.

  • •   Keswadayaan, artinya kegiatan pemberdayaan

harus mampu menumbuhkan inisiatif warga dalam pengambilan keputusan dengan penuh tanggung jawab, tanpa menunggu arahan atau dorongan dari pihak mana pun.

  • •   Partisipatif, yaitu kegiatan pemberdayaan

harus melibatkan sebanyak mungkin warga dalam suatu komunitas atau masyarakat.

  • •   Egaliter, artinya pemberdayaan menempatkan

semua pihak yang terlibat di dalamnya pada posisi yang setara.

  • •   Demokrasi, yakni adanya hak yang dimiliki

semua pihak untuk menyampaikan pendapat maupun aspirasinya mengenai kegiatan pemberdayaan.

  •    Keterbukaan, artinya kegiatan pemberdayaan dilandasi kejujuran, saling percaya, dan kepedulian.

  •    Kebersamaan, yakni mengutamakan kegotongroyongan, saling membantu, dan saling mendukung untuk mencapai tujuan bersama.

  • •   Akuntabilitas, artinya pelaksanaan kegiatan

pemberdayaan harus senantiasa terbuka untuk diawasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

  • 2.3    Kearifan Lokal

Sebagai bangsa yang terlahir atas dasar kesepakatan berbagai nilai, baik yang bersifat sentripetal (pusat) maupun sentrifugal (daerah), Indonesia sungguh beruntung karena telah dikaruniai Tuhan Yang Maha Esa dengan beragam kearifan lokal yang dapat dijadikan pegangan hidup, penguat ketahanan budaya, sekaligus pendorong untuk mencapai kemajuan serta keunggulan seutuhnya. Menurut Robert Sibarani (2012), kearifan lokal adalah kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Jika hendak berfokus pada nilai budaya, maka kearifan lokal dapat pula didefinisikan sebagai nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan guna mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif dan bijaksana.

Dalam masyarakat multikultural Indonesia, sesungguhnya tidaklah sulit menemukenali berbagai kearifan lokal yang hidup dan menghidupi masyarakat. Kearifan lokal dapat ditemui dalam tarian, nyanyian, pepatah, petuah, atau pun semboyan kuno yang melekat pada keseharian. Kearifan lokal acap dikenal sebagai pengetahuan setempat (indigenous or local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genius) yang menjadi dasar identitas kebudayaan (Nasruddin, 2011). Kearifan lokal biasanya tercermin pula pada kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama maupun nilai-nilai yang berlaku di kelompok masyarakat (komunitas) bersangkutan. Nilai-nilai tersebut umumnya dijadikan pegangan, bahkan bagian hidup yang tak terpisahkan, hingga dapat diamati melalui sikap dan perilaku sehari-hari.

Lebih lanjut, Robert Sibarani (2012) menyebut bahwa berdasarkan maknanya, kearifan lokal dapat dibedakan atas :

  • 1)    Kearifan lokal inti etos kerja (core local wisdom of work ethics)

Sekian banyak kearifan lokal Indonesia mengingatkan pentingnya senantiasa memacu semangat bekerja demi tercapainya kesejahteraan yang dicita-citakan bersama.

  • 2)    Kearifan lokal inti kebaikan (core local wisdom of kindness)

Kearifan lokal inti kebaikan menganjurkan

kepada seluruh manusia agar senantiasa jujur, lurus hati, berbudi, terpuji, santun, rendah hati, setia, gemar memberi pertolongan, murah hati, berpikiran positif, dan tak lalai bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jika sungguh dipedomani, kearifan lokal ini diyakini akan menciptakan kerukunan, keamanan, dan kenyamanan yang mendukung upaya-upaya pencapaian kesejahteraan dalam kehidupan.

  • 3.    Pembahasan

Sebagai seorang guru mata pelajaran Sosiologi, saya tergerak untuk berusaha melakukan inovasi dalam pembelajaran demi mendukung upaya pelestarian DAS. Bentuknya tentu saja tak lagi cukup hanya mengandalkan pembelajaran di kelas, walau seinteraktif dan semenarik apa pun itu. Pembelajaran Sosiologi secara saintifik sesuai tuntutan Kurikulum 2013 menghendaki agar peserta didik melakukan pemberdayaan masyarakat (community development) sebagai cikal bakal menuju kemandirian. Hal ini termuat dalam beberapa Kompetensi Dasar akhir mata pelajaran Sosiologi Kelas XII Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial dimana peserta didik dituntut mampu merancang, melaksanakan, dan melaporkan aksi pemberdayaan komunitas dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal di tengah-tengah pengaruh globalisasi. Selain itu, peserta didik juga diharapkan dapat memaparkan inisiatif, usulan, alternatif, dan rekomendasi berdasarkan hasil evaluasi aksi pemberdayaan komunitas. Dari kedua kompetensi dasar ini, sungguh sangat tepat jika mencoba merumuskan suatu aksi pemberdayaan perempuan sebagai pelestari DAS bersendikan kearifan lokal, dengan peserta didik selaku fasilitator.

Mengapa perempuan ? Jawabannya terkait erat dengan beberapa stereotip gender yang selama ini dilekatkan pada perempuan. Perempuan dicitrakan mempunyai sifat lemah lembut, peka, penyabar, penuh pertimbangan, pemelihara, dan masih banyak lagi. Stereotip dimaksud meniscayakan bahwa perempuan memiliki kualitas yang dibutuhkan untuk diberdayakan dalam pelestarian lingkungan hidup serta pemanfaatan secara berkelanjutan. Atau dengan perkataan lain, perempuan diasumsikan memiliki kemampuan untuk meningkatkan kesejahteraan tanpa merusak. Keunggulan perempuan ditegaskan pula oleh kearifan lokal Jawa Timur berbunyi ’sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti’ (keberanian, kekuatan, dan kekuasaan dapat

ditaklukkan oleh salam sejahtera atau kelemahlembutan. Ini dapat pula dimaknai bahwa masalah seberat apa pun dapat ditaklukkan oleh sikap lemah lembut seorang perempuan).

Sebelum memulai kegiatan pemberdayaan, guru mata pelajaran Sosiologi tentunya perlu menyampaikan sekelumit pengetahuan mengenai konsep pemberdayaan. Yang terpenting sesungguhnya adalah menanamkan sejumlah pemahaman kepada para peserta didik sebagai calon pelaku pemberdayaan, di antaranya :

  • 1)    Pemberdayaan dilakukan dengan cara yang demokratis dan menghindari unsur paksaan. Setiap individu memiliki hak yang sama untuk berdaya. Setiap individu juga memiliki kebutuhan, masalah, bakat, minat, dan potensi berbeda.

  • 2)    Kegiatan pemberdayaan didasarkan pada masalah, kebutuhan, dan potensi warga atau komunitas sasaran. Hakikatnya, setiap manusia memiliki kebutuhan serta potensi dalam dirinya. Proses pemberdayaan dimulai dengan menumbuhkan kesadaran pada sasaran mengenai kebutuhan dan potensinya untuk diberdayakan mencapai kemandirian. Proses pemberdayaan juga dituntut berorientasi pada kebutuhan dan potensi yang dimiliki sasaran.

  • 3)    Individu maupun komunitas sasaran merupakan subyek atau pelaku dalam kegiatan pemberdayaan. Oleh sebab itu, pendapat individu maupun komunitas hendaknya dijadikan dasar pertimbangan dalam menentukan tujuan, pendekatan, dan bentuk pemberdayaan.

  • 4)    Pemberdayaan berarti menumbuhkan kembali nilai, budaya, dan kearifan lokal yang sarat nilai luhur dalam masyarakat. Berbagai keluhuran seperti kegotongroyongan, kerja sama, toleransi, penghormatan kepada sesama, dan sikap terpuji lainnya sebagai jati diri masyarakat hendaknya ditumbuhkembangkan melalui berbagai bentuk pemberdayaan sebagai modal sosial demi mewujudkan kemajuan serta kesejahteraan.

  • 5)    Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses yang memerlukan waktu, sehingga harus dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Tahapan ini dilakukan secara logis, dimulai dari yang sifatnya sederhana menuju yang lebih kompleks.

  • 6)    Kesabaran dan kecermatan dari fasilitator pemberdayaan perlu ditingkatkan, terutama dalam menghadapi keragaman karakter, kebiasaan, dan nilai-nilai budaya yang mengakar.

  • 7)    Pemberdayaan dilakukan agar individu dan komunitas memiliki kebiasaan untuk belajar sepanjang hayat (lifelong learning). Individu dan komunitas perlu dibiasakan belajar dari berbagai sumber di sekitarnya, seperti kearifan lokal, pengalaman orang lain, teknik tradisional, dan sebagainya. Pemberdayaan juga hendaknya diarahkan agar individu dan komunitas mampu belajar sambil bekerja (learning by doing).

  • 8)    Individu atau komunitas yang menjadi sasaran pemberdayaan perlu ditumbuhkan semangatnya untuk berwirausaha sebagai modal menuju kemandirian.

Setelah peserta didik memiliki pemahaman memadai tentang konsep pemberdayaan, maka dapat dilanjutkan dengan perencanaan yang didahului dengan kegiatan mengamati dan bertanya kepada tokoh masyarakat serta partisipan pemberdayaan (perempuan yang bermukim di sekitar DAS). Ini karena mereka paling memahami situasi yang dialaminya (clients know their situations best). Pentingnya perencanaan telah diingatkan oleh kearifan lokal Jawa Barat, yaitu ’kudu nepi memeh indit’ (segala sesuatu membutuhkan perencanaan yang matang) dan ‘neangan luang ti papada urang’ (belajar dari pengalaman orang lain).

Perlu diingat bahwa perencanaan harus melalui proses menalar secara seksama agar mampu mewujudkan pemungkinan (menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi perempuan untuk berkembang secara optimal), penguatan (memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki individu untuk memecahkan masalah serta memenuhi kebutuhannya), perlindungan (menghapuskan segala bentuk diskriminasi yang merugikan), penyokongan (memberikan bimbingan dan dukungan berkelanjutan), serta pemeliharaan (memelihara situasi yang kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi kedayaan antara berbagai kelompok). Adapun sebagai tujuan akhir, meminjam kearifan lokal Batak Toba, adalah ’ hamoraon, hagabeon, hasangapon’ (kekayaan, umur panjang, kemuliaan). Namun, jangan dilupakan bahwa kesejahteraan tidak hanya semata-mata ditentukan

oleh kedudukan atau kebendaan, melainkan tetap lestarinya lingkungan. Ini diingatkan oleh kearifan lokal Jawa Barat yakni ‘leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak’ (jika hutan rusak, air akan habis, maka manusia tentu akan sengsara) serta Bali yaitu ‘eka makandikan nyalah masa, sengkala nyen’ (alam dan potensinya sangatlah luas juga rumit, setiap manusia haruslah mempelajarinya dengan seksama agar tidak salah bertindak atau mengakibatkan kerusakan).

Perempuan Pelestari DAS, Perempuan Berdaya (PPDPB), inilah penamaan tepat bagi kegiatan yang akan dilaksanakan. Sebagai pelaku atau fasilitator pemberdayaan hendaknya dipilih para pelajar yang bersedia senantiasa mempedomani kearifan lokal Batak Toba yang terkandung dalam falsafah Partondion Siopat Suhi (Sibarani, 2012), yaitu :

*

*

*

*


Parhatian sibola timbang (orang adil yang seadil-adilnya),

Paninggala sibola tali (orang jujur yang sejati), Pamuro somarambalang (bekerja tanpa merebut hak orang lain),

Parmahan so marbatahi (memimpin tanpa kekerasan).

Dengan berpedoman pada kearifan lokal Batak

Toba tersebut, para pelajar diyakini dapat melaksanakan rangkaian kegiatan pemberdayaan sebagai bagian dari upaya menerapkan ilmu pengetahuan yang dimiliki dalam kehidupan nyata.

Awalnya, para pelajar diminta mencari serta mengajak sebanyak mungkin perempuan dewasa yang bermukim di sekitar DAS untuk menjadi partisipan. Sebelum melakukan pencarian, perlu diingatkan kepada mereka agar senantiasa bersikap santun dan menggunakan kalimat bernada simpatik agar tak timbul jarak sosial (social distance) yang dapat menjadi penghambat. Ini bersesuaian dengan kearifan lokal Sulawesi Selatan (‘aja mumatebek ada, apak iyatu adae maega bettawanna; muatutuiwi lilamu, apak iya lilae pawere-were’, artinya setiap orang haruslah menjaga ucapannya agar tidak menyakiti hati orang lain) dan Batak Toba (‘pantun hangoluan, tois hamagoan’, artinya kesopansantunan sumber kehidupan, kesombongan sumber kehancuran).

Fasilitator hendaknya jangan memposisikan diri lebih tinggi, misalnya dengan menggunakan kalimat, “Kami akan mengajarkan Ibu melestarikan DAS !” atau “Kami akan mengubah perilaku Ibu yang mengakibatkan kerusakan DAS !” Sebaliknya,

biasakan para pelajar calon pelaku pemberdayaan untuk bersikap rendah hati dan mengucapkan, “Kami berharap dapat membantu Ibu melestarikan lingkungan sekitar DAS,” atau “Kami sungguh bahagia jika kelak Ibu bisa memetik manfaat dari kegiatan yang akan diadakan.” Secara persuasif, para pelajar juga diharapkan mampu menyemangati para perempuan tersebut, sebab walau ada hambatan, setiap orang tetap harus memiliki tekad kuat dan keberanian memperjuangkan kebaikan (kearifan lokal Kalimantan Selatan, ‘dalas bahalang babujur’). Bagaimana pun, tingkat partisipasi atau jumlah perempuan yang bersedia berpartisipasi adalah tolok ukur keberhasilan kegiatan. Tapi tentunya penting juga mempertimbangkan kemampuan fasilitator dalam melayani kebutuhan partisipan.

Kenal DAS adalah tahap pertama dalam kegiatan pemberdayaan. Dalam tahap ini, fasilitator yang terdiri dari para pelajar Kelas XII Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial membimbing para perempuan untuk mengenal segala aspek dari DAS berikut realitas kerusakan yang diakibatkan perilaku manusia. Kegiatan ini seharusnya dijiwai oleh kearifan lokal Yogyakarta, ‘ngèlmu iku kelakoné kanthi laku’, artinya mencari pengetahuan adalah keharusan bagi setiap orang. Selagi partisipan giat berkutat meningkatkan pengetahuannya mengenai DAS, sebagian fasilitator dapat menggantikan mengasuh anak-anak mereka, mengajak belajar sambil bermain, atau membantu mengerjakan tugas-tugas dari sekolah. Dengan demikian, peran pengasuhan takkan terabaikan.

Jika partisipan telah cukup memahami keberadaan DAS, maka kegiatan pemberdayaan pun berlanjut pada Manfaat DAS, yakni pengembangan minat melestarikan DAS dengan menunjukkan manfaat yang bisa diperoleh. Tahap ini didasari oleh pandangan Abraham Maslow (1908-1970) bahwa seseorang akan semakin serius menggeluti sesuatu bila dapat merasakan manfaat berarti bagi dirinya. Di sini, peran para pelajar Kelas XII Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial semakin meningkat. Secara berkelanjutan, mereka dituntut tekun memperkenalkan berbagai cara memanfaatkan DAS secara berkelanjutan agar perempuan mampu menjadi pilar kokoh keluarganya (kearifan lokal Sumatera Barat, ‘limpapeh rumah nan gadang’).

Sebagai permulaan, tentu tepat bila memperkenalkan berbagai jenis tanaman bermanfaat yang jika ditanam di sekitar DAS tak hanya akan

mendukung konservasi tanah dan air, melainkan juga dapat menambah penghasilan keluarga. Sebagai contoh adalah sayuran, pisang, tebu, teh, atau kopi. Demi menciptakan suasana lebih menarik dan menggembirakan, misalnya, dapat diadakan lomba memasak dengan bahan utama dari tanaman bermanfaat tadi. Bahan-bahan masakan disediakan oleh fasilitator, sementara para partisipan diberikan kebebasan untuk menciptakan kreasi masakan terbaik yang layak jual. Pada akhir lomba, partisipan dengan cita rasa masakan terlezat dinobatkan sebagai pemenang. Hadiahnya tentu saja bibit, benih tanaman, berikut perlengkapan bercocok tanam agar sang pemenang yang telah mulai memahami kemungkinan memanfaatkan DAS dapat segera mulai menanam beragam tanaman bermanfaat.

Di kesempatan lain, fasilitator dapat membawakan bahan-bahan bacaan mengenai resep jamu dari berbagai tanaman berkhasiat obat. Setelah membacanya, para partisipan kemudian diminta mengamati lingkungan sekitar DAS untuk mengetahui adanya ragam tanaman mujarab dan cara meraciknya hingga bisa dimanfaatkan sebagai pertolongan pertama jika ada anggota keluarga yang mendadak jatuh sakit. Atau, fasilitator bisa juga mengajak partisipan bersama membuat kebun tanaman obat di sekitar DAS. Jenis tanamannya sungguh beragam. Contohnya, daun kembang emas ampuh mengobati luka. Daun kremi dapat digunakan untuk menyembuhkan sakit perut, peluruh air seni, wasir dan rambut rontok. Batang dan daun kremah berkhasiat sebagai obat sakit perut, sakit kepala, serta buang air besar bercampur darah. Daun kemarogan bisa dimanfaatkan untuk mengobati encok, demam, mual, juga meningkatkan nafsu makan. Tentunya ini hanya sekelumit dari banyak lagi lainnya. Tak hanya menghemat pengeluaran keluarga, melainkan juga sekaligus melestarikan pengetahuan setempat (indigenous or local knowledge) sebagai bagian dari kearifan lokal.

Sebagai selingan, dapat diadakan lomba mendongeng. Secara bergantian, partisipan diminta membawakan sebuah dongeng pengantar tidur rekaan sendiri di depan partisipan lainnya. Dongeng haruslah memuat pesan tentang pentingnya pelestarian DAS dan kearifan lokal berinti kebaikan (core local wisdom of kindness). Sebagai contoh, dapat direka cerita tentang kebingungan hewan-hewan yang tinggal di sekitar sungai akibat air yang mendadak keruh. Ketika diselidiki, tak satu pun mau

mengaku telah mengotori sungai. Namun, lambat laun, akhirnya terungkap bahwa kotornya sungai adalah karena ulah sang kancil yang selalu membuang sampah di sungai. Cerita ini mengandung pesan bahwa kesalahan sekecil apa pun akhirnya akan tampak jua (kearifan lokal Jawa Tengah, ‘sapa sing salah bakal seleh’). Atau, kisah seorang lelaki tua miskin yang selalu sabar mengingatkan orangorang di sekitarnya agar giat melestarikan daerah aliran sungai demi mencegah banjir yang tiap tahun melanda kota. Dengan kesabaran lelaki tua itu, banjir pun tak lagi menjadi masalah. Kisah ini mengingatkan manusia agar senantiasa bersikap sabar dan mengalah (kearifan lokal Jawa Timur, ‘sing sabar lan ngalah dadi kekasih Allah’).

Dongeng-dongeng yang memuat pesan tentang pentingnya pelestarian DAS dan kearifan lokal berinti kebaikan tersebut diyakini kelak mampu melahirkan generasi muda yang mencintai alam serta bersedia bergiat melestarikan DAS. Ditambah lagi, sesuai kearifan lokal Bali, tak ada kasih sayang yang paling utama, selain memanjakan dan menyanjung anak sendiri (‘tan wenten sayange sane utama, luwihan aleme mawoka’).

Pada kali lainnya lagi, dapat diadakan lomba kreasi wisata sekitar DAS. Secara berkelompok, partisipan diminta membersihkan lingkungan DAS, mengingatkan warga agar tak lagi melakukan hal-hal yang menyebabkan kerusakan, serta menyusun rancangan sederhana untuk memanfaatkan lingkungan DAS menjadi lokasi kegiatan wisata keluarga. Kegiatan dimaksud bisa berupa perjalanan dengan rakit mengarungi sungai, wisata memancing, wisata kuliner dengan bahan utama ikan yang ditangkap langsung dari sungai, atau banyak gagasan lainnya yang mampu memikat pelancong datang berkunjung serta membelanjakan uangnya.

Tahap selanjutnya adalah Berdaya DAS. Di sini, para pelajar Kelas XII Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial dapat mengundang beberapa pelaku kewirausahaan yang telah mengenyam keberhasilan agar bersedia hadir dan berbagi pengalaman dengan partisipan pemberdayaan. Diharapkan ini akan menggugah niat serta semangat untuk melestarikan DAS agar bisa dimanfaatkan guna berwirausaha. Pengetahuan memasak, misalnya, dapat digunakan untuk merintis wirausaha kuliner pembuatan kue tradisional, kue kering, atau pun jenis makanan lainnya. Penguasaan khasiat beragam tanaman pun bisa dimanfaatkan

guna memulai wirausaha jamu racikan. Sementara rancangan kreasi wisata bisa segera diwujudnyatakan dengan dukungan dari warga sekitar. Tentunya, semua membutuhkan kerja keras sebagaimana ditegaskan kearifan lokal Jawa Timur berbunyi ‘jer basuki mawa bea’ (untuk mendapatkan sesuatu yang dicita-citakan pastinya senantiasa membutuhkan kerja keras dan pengorbanan). Oleh sebab itu, para partisipan hendaknya selalu bersikap pantang menyerah sesuai kearifan lokal Kalimantan Selatan (haram manyarah waja sampai ka putting). Hanya dengan demikian, lingkungan sekitar DAS akan segera mewujud menjadi sentra wirausaha unggulan maupun obyek wisata memikat.

Apa pun itu, kelestarian DAS jelas merupakan kunci pembuka berbagai peluang pemanfaatan menuju keberdayaan secara ekonomi. Hal mana telah diingatkan oleh kearifan lokal Aceh (‘teugoh teuga ta ibadat, tahareukat yoh goh matee’ yang artinya manfaatkanlah waktu dengan sebaik-baiknya untuk beribadah dan mencari rezeki halal) dan Bali (‘dija ada langite endep’ yang artinya di mana pun tidak ada langit yang rendah, sehingga setiap manusia hendaknya tekun dan ulet bekerja sehingga dapat mencapai kemakmuran setinggi langit). Dengan tetap lestarinya DAS, para perempuan pun diyakini akan mampu mengentaskan diri dari kemiskinan yang senantiasa disertai penderitaan. Dalam hal ini, sungguh tepat bila mengingat kearifan lokal Batak Toba sebagai penyemangat, yaitu ‘hotang hotari hotang pulogos; gogo ma mansari, na dangol do na pogos’ (bekerjalah sekuat tenaga untuk mengatasi kemiskinan, karena kemiskinan itu membawa penderitaan).

Seiring bergulirnya kewirausahaan, para pelajar Kelas XII Peminatan Ilmu-Ilmu Sosial didampingi beberapa guru dapat berkunjung ke bank pelaksana Kredit Usaha Rakyat (KUR) terdekat untuk menjajaki kemungkinan memperoleh dukungan permodalan. Program KUR menyediakan kredit atau pembiayaan modal kerja kepada Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) di bidang usaha produktif dan layak dengan plafon kredit sampai dengan Rp. 500.000.000,-(lima ratus juta rupiah) yang dijamin oleh Perusahaan Penjamin. Penjaminan ini diberikan untuk membantu pelaku wirausaha memenuhi persyaratan perkreditan atau pembiayaan dari perbankan yang selama ini seringkali dipandang memberatkan, seperti misalnya penyediaan agunan maupun persyaratan administratif lainnya sesuai ketentuan perbankan.

Tentunya fasilitator hanya sebatas membantu menjajaki. Adapun keputusan akhir untuk mengajukan permohonan KUR tetap berada di tangan para partisipan yang kini telah mulai mengembangkan keberdayaannya. Toh persyaratan pengajuan KUR tidaklah menyulitkan. Jika berminat, cukup melampirkan identitas diri lengkap serta membuktikan kelayakan usaha (usaha haruslah menguntungkan dan memberikan laba sehingga mampu membayar bunga/marjin dan mengembalikan seluruh hutang/ kewajiban pokok Kredit/Pembiayaan dalam jangka waktu yang disepakati antara Bank Pelaksana dengan penerima KUR serta memberikan sisa keuntungan untuk mengembangkan usahanya).

Sebagai bekal untuk membangun kewirausahaan menggunakan KUR, ada beberapa kearifan lokal yang hendaknya selalu didengungkan oleh pelaku pemberdayaan kepada para partisipan, antara lain :

  •    Martantan ma baringin, marurat jabi-jabi. Horas ma tondi madingin, tumpahon ni Ompunta Mulajadi (kearifan lokal Batak Toba, artinya ’penanaman pohon tertentu akan membawa kesejukan dan kebahagiaan’. Ini dapat dimaknai pula bahwa lingkungan yang lestari dapat memastikan kehidupan sejahtera).

  •    Paddioloiwi niak madeceng ri temmakdupana iyamanenna (kearifan lokal Sulawesi Selatan, artinya ‘awali dengan niat baik sebelum melaksanakan suatu pekerjaan’).

  •    Ulah kumeok memeh dipacok (kearifan lokal Jawa Barat, artinya ‘jangan mundur sebelum berupaya keras’).

  •    Aja kuminter mundak keblinger, aja cidra mundak cilaka, sing was-was tiwas (kearifan lokal Jawa Timur, artinya ‘jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah, jangan suka berbuat curang agar tidak celaka, barangsiapa ragu-ragu akan merugi’).

  • •    Tata, titi, tentrem (kearifan lokal Yogyakarta,

artinya ‘taat aturan, bijak dalam bertindak, aman dan tentram’).

  •    Nek wis makmur aja lali sedulur (kearifan lokal Yogyakarta, artinya ‘jika sudah makmur hendaknya tidak melupakan saudara atau kerabat’).

  •    Tahemat yoh mantong na, beuteugoh that yoh goh cilaka (kearifan lokal Aceh, artinya ‘berhematlah di saat senang dan berhati-hatilah agar tidak celaka’).

  •    Barandah pada kencur (kearifan lokal Kalimantan Selatan, artinya ‘merendahkan hati dan tidak sombong’).

Tahap akhir dari pemberdayaan adalah Mantap DAS, dimana para partisipan diajak untuk terampil berorganisasi. Melalui organisasi bentukannya sendiri, perempuan diharapkan mampu mengembangkan cara berpikir yang lebih lepas dan terbuka, agar menjadi sosok perempuan yang percaya diri, memahami perannya secara utuh dalam keluarga dan masyarakat, sekaligus sigap mengambil keputusan (decisive). Organisasi tersebut juga dapat diarahkan sebagai wadah untuk kian gencar menjaga kelestarian DAS sekaligus menyumbangkan sebagian potensi bagi perempuan lain di sekitar DAS yang belum tersentuh pemberdayaan. Dengan demikian, organisasi tersebut pun akhirnya bisa melaksanakan pesan kearifan lokal Jawa Timur bahwa hidup haruslah memberi manfaat (urip iku urup). Segala hal hendaknya diarahkan sebagai wujud bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa seturut petuah Sulawesi Selatan (asung bekti, bektine kawula marang Gusti).

Perlahan dan bertahap, hadirnya perempuan-perempuan berdaya yang terorganisasi diyakini akan mampu pula mengubah anggapan negatif yang selama ini dilekatkan pada perempuan, seperti lemah, kurang mandiri, terlalu sensitif, emosional, tak mampu memutuskan sesuatu secara rasional, dan banyak lagi lainnya. Memang, takkan mudah untuk mengubahnya, sebab sudah sangat mengakar (deep rooted) dalam pikiran, budaya dan kultur masyarakat kita yang masih kental dengan nuansa patriarkhi. Tapi, seperti diingatkan oleh kearifan lokal masyarakat Banten bahwa ’ari hidup mah jih palataran babalean bae’ (hidup memang penuh dengan cobaan juga rintangan). Itulah sebabnya, manusia haruslah berusaha terus-menerus hingga menghasilkan kebaikan, sesuai pesan kearifan lokal Jawa Barat berbunyi ‘cai karacak ninggang batu laun-laun jadi dekok’.

Pada akhirnya, kegiatan pemberdayaan pun seharusnya dievaluasi secara berkala. Hasil evaluasi dapat dikomunikasikan kepada guru relawan yang menjadi penanggung jawab kegiatan, selanjutnya didiskusikan dengan tokoh masyarakat setempat maupun partisipan pemberdayaan agar beroleh masukan bermanfaat demi penyempurnaan kegiatan dan penyesuaian dengan kebutuhan partisipan.

Dalam diskusi, hendaknya diajukan dan dijawab beberapa pertanyaan berikut :

  • a)    Apakah kegiatan pemberdayaan yang dilaksanakan telah dapat menjangkau individu atau pun komunitas sasaran ?

  • b)    Apakah kegiatan pemberdayaan memberikan pelayanan kepada individu atau pun komunitas sesuai kebutuhan dan minatnya ?

  • c)    Apakah kegiatan pemberdayaan dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi lokal ?

  • d)    Apakah individu atau pun komunitas sasaran telah merasakan manfaat yang diharapkan dari kegiatan pemberdayaan ?

Prinsip terpenting dalam diskusi tersebut, mengutip kearifan lokal Jawa Barat, adalah saling menyayangi, memberi nasihat, dan mengayomi (‘kudu silih asih, silih asah, jeung silih asuh’). Hal senada juga diungkapkan oleh kearifan lokal Bali (‘paras-paros sapa naya’, artinya saling memberi dan menerima sesuai dengan kata dan perbuatan) dan Sulawesi Selatan (‘rebba sipatokkong, mali siparappe, sirui menre tessirui nok, malilu sipakainge, maingeppi mupaja’, artinya setiap orang hendaknya saling tolong-menolong ketika menghadapi rintangan dan saling mengingatkan untuk menuju ke jalan yang benar).

  • 4. Penutup

Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Sekali mengupayakan pemberdayaan perempuan dan pelestarian DAS, timbul pula kepedulian pelajar (kaum muda) terhadap lingkungan sekitarnya dan terbentuk keterampilan untuk memberdayakan bersendikan kearifan lokal sesuai tuntutan Kurikulum 2013. Melalui kegiatan pemberdayaan, diharapkan pula para peserta didik semakin menghayati bahwa jika niat dan tujuan selalu baik, maka di mana pun Tuhan Yang Maha Esa jua yang akan selalu memelihara (kearifan lokal Aceh, ‘meunyo get niet ngon hasat, laot darat Tuhan peulara’) dan lebih baik punya banyak sahabat karib daripada kaya harta benda (kearifan lokal Bali, ’melahan sugih sawitra saihang teken sugih arta berana’). Semoga takkan menjadi gambaran ideal (das sollen, idealita) yang berjarak terlalu jauh dengan kenyataan (das sein, realita). Mari

berdayakan para peserta didik agar mampu mewujudkan keberdayaan perempuan di DAS sepenjuru negeri demi Indonesia sejahtera dan berdaya !

Daftar Pustaka

Anwas, Oos M. 2013, PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI ERA GLOBAL. Bandung : Penerbit Alfabeta.

Mardikanto,Totok.2012,PEMBERDAYAAN MASYARAKAT : Dalam Perspektif Kebijakan Publik. Bandung : Penerbit Alfabeta.

Marfai, Muh Aris. 2012, PENGANTAR ETIKA LINGKUNGAN DAN KEARIFAN LOKAL. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Nasruddin. 2011, KEARIFAN LOKAL DI TENGAH MODERNISASI. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.

Santosa, Iman Budhi. 2009, KUMPULAN PERIBAHASA INDONESIA : Dari Aceh Sampai Papua. Yogyakarta : IndonesiaTera.

Sibarani, Robert. 2012, KEARIFAN LOKAL : Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta : Asosiasi Tradisi Lisan.

Suharto, Edi. 2009, MEMBANGUN MASYARAKAT, MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT (Kajian   Strategis

Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial). Bandung : PT Refika Aditama.

Berbagai Bahan dari Pelatihan tentang Implementasi Kurikulum 2013.

168