BURUNG SEBAGAI ATRAKSI EKOWISATA DI KAWASAN PARIWISATA UBUD, BALI
on
A.A.G. Raka Dalem, dkk. : Burung Sebagai Atraksi Ekowisata di Kawasan Pariwisata Ubud, Bali
BURUNG SEBAGAI ATRAKSI EKOWISATA DI KAWASAN PARIWISATA UBUD, BALI
A. A. G. Raka Dalem1, I N. Widana2, dan I. A. Trisna Eka Putri3
1Kelompok Studi Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan, Jurusan Biologi, Fmipa – Universitas Udayana, Bali; Email: sustainablebali@yahoo.com
2Dosen Fmipa Universitas Udayana, Bali 3Dosen Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana, Bali
Abstract
Research on “Birds as an Ecotour Attraction in Ubud Tourist Resort, Bali” (Burung sebagai Atraksi Ekowisata di Kawasan Pariwisata Ubud, Bali) was undertaken in 2013. Aims of these research were as follows: first, to find out birds observed in Ubud Tourist Resort, Bali and second, to find out their potentials as ecotour attractions.
Samples were collected by exploring the study sites and running interview between July and October, 2013. Observation was carried out by using binoculars and number of individuals of birds was counted by using a counter when necessary. Birds were identified such as through direct observation on the species, or through their calling. Results of observation were compared with hand boooks, such as Mackinnon (1990) and Mackinnon et al. (1992). Birds data were recorded either on their species and on numbers (relative)/freqency, and the result was typed in tables. The data provided such as the status (protected/not), migrant species or not, as well as their distribution. In addition, locations where birds have been used as a tour attraction (ecotour attraction - bird watching), and how to set up their products were reported.
From this research it can be concluded as follows. In Ubud tourist resort at least 67 bird species have been identified, in which 7 (seven) were birds that were restricted their distribution in Indonesia, namely: Halcyon cyanoventris, Alcedo caerulescens, Padda oryzivora, Prinia familiaris, Treron griseicauda, Dicaeum trochileum, and Gallus varius. In addition, from this reserach it was observed seven species of migrating birds: Hirundo rustica, Merops philippinus or M. superciliosus, Accipiter soloensis, Actitis hypoleucos, Tringa glareola, Gallinago stenura, and Apus pacificus.
From all birds observed, there were 14 species that were classified as protected species in Indonesia, namely: Sturnus melanopterus, Anhinga melanogaster, Bubulcus ibis, Egretta alba, Egretta garzatta, Egretta intermedia, Halcyon cyanoventris, Halcyon chloris, Alcedo caerulescens, Haliastur indus, Nectarinia jugularis, Anthreptes malacensis, Rhidipura javanica, and Accipiter soloensis.
Based on data from survey and interview, it was revealed that seven trekking routes were identified in which birds were utilised as ecotour attractions or the routes of which have a potential to be developed as ecotour attractions (where birds utilised as their tourist attractions in Ubud tourist resort and ajacent areas), such as: (1) Subak Sok Wayah Ubud and its surrounding areas; (2) Melinggih - Subak Kembang Kuning and their surrounding areas; (3) Laplapan, Banjar Sala and their surrounding areas; (4) Kliki (Bangkiang Sidem) and its surrounding areas; (5) Tirta Temple Mas Village and its surrounding areas; (6) Banjar Pande Peliatan Village - Alas Arum temple and their surrounding areas; (7) Petulu and its surrounding areas.
Community perceptions on bird conservation and bird based ecotoursim in Ubud tourist resort showed that: in general the community believed the need for conservation of birds,
and they said that the development of bird based ecotour activities have given benefit for the community, such as providing jobs and source of income for them, even though some constraints still need to be overcome, such as trekking trails that have not been perfect, the smell of feces of birds, and weekness in human resources capability.
From statements of stakeholders (community, govenment, industry, and visitors), it can be revealed that the commitment of all is needed in bird conservation, because they become important part of nature, in the sustainability of nature or ecosystem. The media for meeting and discussing for development of birds based tourism activities especially bird watching in Ubud tourist resort need to be improved.
Limitation in time may caused incompleteness of the bird data collected on this research. As a result, a longer time in research is recommended. In addition, other studies or research are also needed to get more data, the data of whcih their availability are still very limited. For example, research on bird habitats are also need to be undertaken.
Key words: birds, bird watching, Ubud tourist resort, Bali, trekking
ABSTRAK
Penelitian tentang “Burung sebagai Atraksi Ekowisata di Kawasan Pariwisata Ubud, Bali” dilaksanakan pada tahun 2013. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui jenis-jenis burung yang ditemukan di kawasan pariwisata Ubud, Bali. Di samping itu penelitian juga bertujuan untuk mengetahui potensinya sebagai daya tarik ekowisata.
Sampel diambil dengan melakukan penjelajahan wilayah penelitian dan wawancara pada bulan Juli - Oktober 2013. Pengamatan dibantu dengan menggunakan binokuler dan counter. Burung dikenali antara lain melalui pengamatan langsung, atau “calling”-nya. Hasil pengamatan dicocokkan dengan panduan pengamatan antara lain Mackinnon (1990) dan Mackinnon et al. (1992). Data burung dicatat berupa jenis dan jumlahnya (relatif)/frekwensi, kemudian hasilnya ditampilkan dalam tabel. Data disampaikan antara lain menyangkut status (dilindungi atau tidak), tipe burung migran atau tidak, serta sebarannya. Di samping itu juga dilaporkan lokasi-lokasi dimana burung sudah dikemas menjadi daya tarik wisata (ekowisata “bird watching”), serta bagaimana cara mengemas produknya.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut. Di kawasan pariwisata Ubud paling tidak sudah berhasil diidentifikasi 67 jenis burung, yang mana 7 (tujuh) jenis diantaranya merupakan burung yang terbatas sebarannya di Indonesia, yaitu: Cekakak Gunung (Halcyon cyanoventris), Burung Udang Biru (Alcedo caerulescens), Gelatik (Padda oryzivora), Perenjak Jawa (Prinia familiaris), Punai Manten (Treron griseicauda), Burung Cabe (Dicaeum trochileum), dan Ayam Hutan Hijau (Gallus varius).
Di samping itu, dari hasil penelitian juga terlihat bahwa burung migran juga ada ditemukan 7 (tujuh) jenis, yaitu: Layang-Layang Asia (Hirundo rustica), Kirik-Kirik Laut (Merops philippinus atau M. superciliosus), Elang Cina (Accipiter soloensis), Trinil Pantai (Actitis hypoleucos), Trinil Semak (Tringa glareola), Senip Ekor Lidi (Gallinago stenura), dan Kapinis Laut (Apus pacificus).
Dari seluruh burung yang diamati, ada 14 jenis merupakan burung-burung yang dilindungi, yaitu: Jalak Putih (Sturnus melanopterus), Pecuk Ular (Anhinga melanogaster), Kuntul Kerbau (Bubulcus ibis), Kuntul Putih Besar (Egretta alba), Kuntul Perak Kecil (Egretta garzatta), Kuntul Perak (Egretta intermedia), Cekakak Gunung (Halcyon cyanoventris), Cekakak (Halcyon chloris), Burung Udang Biru (Alcedo caerulescens), Elang Bondol (Haliastur indus), Burung Madu Kuning (Nectarinia jugularis), Burung Madu Kelapa (Anthreptes malacensis), Kipasan (Rhidipura javanica), dan Elang Cina (Accipiter soloensis).
Berdasarkan hasil survey (pengamatan lapangan) dan wawancara berhasil diketahui jalur-jalur trekking yang memanfaatkan burung sebagai daya tariknya atau mungkin potensial bisa dikembangkan dalam memanfaatkan burung sebagai daya tarik wisatanya di kawasan pariwisata Ubud (dan sekitarnya), antara lain: (1) Subak Sok Wayah Ubud dan sekitarnya; (2) Melinggih -Subak Kembang Kuning dan sekitarnya; (3) Laplapan, Banjar Sala dan sekitarnya; (4) Kliki (Bangkiang Sidem) dan sekitarnya; (5) Pura Tirta Desa Mas dan sekitarnya; (6) Banjar Pande Peliatan - Pura Alas Arum dan sekitarnya; (7) Petulu dan sekitarnya.
Persepsi masyarakat tentang pelestarian burung dan pengembangan ekowisata berbasis burung di kawasan pariwisata Ubud menunjukkan bahwa: masyarakat secara umum meyakini perlunya pelestarian burung, dan menyatakan pengembangan ekowisata berbasis burung memberikan manfaat bagi mereka, antara lain sebagai pencipta lapangan kerja dan sumber pendapatan, walaupun masih ada beberapa kendala yang perlu diatasi, antara lain masalah jalur treking yang belum maksimal kualitasnya, bau kotoran burung, kualitas sumber daya manusia yang kurang memadai, dan lain-lain.
Dari pernyataan berbagai pihak (masyarakat, pemerintah, idustri dan turis), nampak bahwa perlu adanya komitmen bersama dalam pelestarian burung, karena merupakan unsur alam yang penting dalam kelestarian lingkungan/ekosistem. Media untuk bertemu dan berdiskusi untuk pengembangan wisata berbasis burung khusunya bird watching di kawasan pariwisata Ubud perlu ditingkatkan.
Keterbatasan waktu penelitian mungkin belum berhasil mendapatkan data burung secara lengkap. Dengan demikian penelitian yang lebih panjang jangka waktunya diperlukan. Di samping itu kajian-kajian lain juga terus diperlukan untuk melengkapi data yang ada, yang masih minim. Misalnya kajian habitat burung juga perlu dilaksanakan.
Kata kunci: burung, bird watching, Kawasan Pariwisata Ubud, Bali, trekking
Pariwisata sering kali bertentangan dengan konsep konservasi. Salah satu usaha untuk menyelaraskan kepentingan ekonomi dan konservasi/pelestarian alam adalah melalui pengembangan ekowisata (Anon., 1997). Pengembangannya juga disesuaikan dengan nilai-nilai sosial budaya masyarakat lokal sehingga menekan kemungkinan terjadinya konflik.
Burung merupakan salah satu komponen ekosistem yang bisa dipergunakan sebagai sumber daya tarik ekowisata. Hal ini berkaitan dengan beberapa faktor, antara lain bisa karena wujudnya yang indah, suaranya/calling-nya atau tingkah lakunya yang menarik, dan lain-lain.
Melalui pengembangan ekowisata, burung dapat dilestarikan keberadaannya di alam, memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat serta dapat memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang peranannya dalam ekosistem. Kegiatan ini diharapkan mampu menggugah kesadaran masyarakat maupun turis untuk melestarikan burung di alam.
Salah satu destinasi wisata di Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, yaitu Desa Petulu, sudah memanfaatkan burung sebagai daya tarik wisatanya. Namun data lebih luas tentang burung sebagai atraksi ekowisata khususnya “bird watching” di kawasan pariwisata Ubud belum tersedia. Sesuai dengan Perda Provinsi Bali No. 16 tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali 2009-2029, kawasan pariwisata Ubud merupakan kawasan yang luasnya 7.712 ha, dengan sebaran pada desa/ kelurahan sebagi berikut: (1) Ubud 732 ha; (2) Melinggih Kaja 487 ha; (3) Melinggih Kelod 462 ha; (4) Kedewatan 435 ha; (5) Peliatan 493 ha; (6) Mas 465 ha; (7) Petulu 233 ha; (8) Lod Tunduh 627 ha; (9) Sayan 578 ha; (10) Singakerta 675 ha; (11) Kliki 452 ha; (12) Tegallalang 782 ha; dan (13) Puhu 1291 ha. Desa/Kelurahan Melinggih Kaja, Melinggih Kelod dan Puhu terletak di Kecamatan Payangan, Kliki dan Tegallalang terletak di wilayah Kecamatan Tegallalang, sedangkan yang lainnya terletak di Kecamatan Ubud.
Penelitian ini diharapkan menyediakan data dasar tentang jenis-jenis burung sehingga dapat
dipakai data dasar untuk pelestariannya serta dapat dikaji potensinya sebagai daya tarik ekowisata, khususnya ‘bird watching’. Dengan pengembangan ‘bird watching’ diharapkan memberikan pendapatan alternatif kepada masyarakat dan dapat berkontribusi positif tentang pelestarian alam, termasuk burung beserta ekosistemnya.
Penelitian ini akan dilaksanakan di kawasan pariwisata Ubud, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, antara bulan Juli dan Oktober 2013. Pengambilan sampel dilaksanakan dengan menggunakan metode jelajah dan ditunjang dengan data wawancara/ penyebaran questioner. Penjelajahan dilakukan melalui jalur-jalur yang potensial untuk pengamatan, untuk mengumpulkan data burung di berbagai kondisi lingkungan / habitat, antara lain di wilayah persawahan (lahan basah), tegalan (lahan kering), sekitar sungai/tepian sungai, kawasan hutan, dan wilayah permukiman. Pengamatan dibantu dengan menggunakan binokuler dan penghitungan jika diperukan dibantu dengan menggunakan “counter”. Jenis-jenis burung dan jumlahnya (relatif)/frekwensi yang ditemukan dicatat, dikenali berdasarkan acuan buku antara lain: Mackinnon (1990) dan Mackinnon et al. (1992). Statusnya ditentukan apakah dilindungi atau tidak (mengacu pada PP No. 7 tahun 1999), dan apakah termasuk burung migran atau tidak, juga dilaporkan (kriteria antara lain mengacu pada Mackinnon, 1990; lihat juga Dalem et al., 2003).
Data wawancara/penyebaran questioner dipakai untuk melengkapi data pengamatan lapangan. Misalnya, dengan wawancara/penyebaran questioner didapatkan apakah ada masyarakat atau pihak lain yang telah mengemas burung sebagai atraksi wisata. Lokasinya dicatat. Di samping itu dapat dikumpulkan data persepsi masyarakat tentang pelestarian burung dan pengembangan ekowisata berbasis burung di kawasan pariwisata Ubud. Dari hasil penelitian ini diharapkan akan dihasikan publikasi ilmiah berupa artikel jurnal.
Pada tahun kedua, penelitian akan difokuskan pada kajian habitat burung di wilayah kawasan pariwisata Ubud. Termasuk bagian dari rencana penelitian pada tahun kedua adalah kajian habitat untuk mencari makan, reproduksi dan lain sebagainya.
Penelitian tentang burung sebagai atraksi ekowisata di kawasan pariwisata Ubud, Bali
merupakan bagian dari penelitian pariwisata (ekowisata). Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor unggulan dalam MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) Koridor 5 (Perpres RI No. 32 tahun 2011) yang meliputi wilayah Bali dan Nusa Tenggara, di samping terkait dengan bidang penunjang ketahanan pangan (khususnya peternakan dan perikanan). Penelitian ekowisata ini merupakan salah satu penelitian unggulan yang sering kali digarap Kelompok Studi Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan, Fmipa Universitas Udayana, Bali.
Lokasi –Lokasi dimana burung ikemas menjadi bird watching di Ubud masih sangat terbatas. Dari segi destinasi, nampaknya baru dikembangkan di Desa Petulu, kususnya di wilayah Banjar Petulu Gunung. Dari segi paket trekking bird watching, secara khusus membahas hanya burung dalam paket trekkingnya memang hanya ada kalau ada permintaan. Berdasarkan wawancara dengan petugas tourist information yang ada di Ubud, terungkap bahwa biasanya burung dijual adalah paket tentang alam, atau sejenis nature walk atau nature trekking, atau bersama dg cycling berupa cycling tour. Jumlahnyapun (jika dilihat dari brosur yang beredar di tourist information Ubud) masih dibawah 10 paket/ produk.
Berdasarkan hasil survey (pengamatan lapangan) dan wawancara berhasil diketahui jalur-jalur trekking yang memanfaatkan burung sebagai daya tariknya atau mungkin potensial bisa dikembangkan dalam memanfaatkan burung sebagai daya tarik wisatanya di kawasan pariwisata Ubud (dan sekitarnya), antara lain: (1) Subak Sok Wayah Ubud dan sekitarnya; (2) Melinggih - Subak Kembang Kuning dan sekitarnya; (3) Laplapan, Banjar Sala dan sekitarnya; (4) Kliki (Bangkiang Sidem) dan sekitarnya; (5) Pura Tirta Desa Mas dan sekitarnya; (6) Banjar Pande Peliatan - Pura Alas Arum dan sekitarnya; (7) Petulu dan sekitarnya. Jalur-Jalur ini ditempuh dalam trekking sekitar 3-4 jam. Namun dalam survey ditempuh dalam sekitar 2 jam saja.
Jalur (1) Subak Sok Wayah Ubud dan sekitarnya; utamanya meliputi wilayah persawahan di Subak Sok Wayah. Di samping itu juga melintasi saluran irigasi subak, pemukiman di sekitar Ubud dan sungai serta jembatan di sekitar wilayah Campuhan. Jalur (2) Melinggih - Subak Kembang
Kuning dan sekitarnya; meliputi sekitar hotel Alila Ubud dan subak Kembang Kuning dengan ‘telabah’-saluran airnya, pemukiman di Banjar Bayad Payangan, tegalan dan sekitarnya. Jalur (3) Laplapan, Banjar Sala dan sekitarnya; meliputi wilayah Banjar Laplapan Petulu, Banjar Melayang Tampaksiring, ke persawahan di timur wilayah ini serta ke arah Banjar Sala - Pejeng Kawan. Jalur (4) Kliki (Bangkiang Sidem) dan sekitarnya; Meliputi perbukitan sekitar pura Gunung Lebah, Sungai / Tukad Os, persawahan, tegalan, dan pemukiman di Bangkiang Sidem (Kliki-Tegallalang) dan sekitarnya. Jalur (5) Pura Tirta Mas dan sekitarnya; meliputi sekitar pura Tirta Desa Mas, mata air/beji Mayun, subak Soca, pemukiman Banjar kalah dan sekitarnya. Jalur (6) Banjar Pande Peliatan - Pura Alas Arum dan sekitarnya; meliputi sekitar Banjar Pande Peliatan, subak Pangkung dan daerah Santian, Tukad Mas, serta sekitar Pura Gunung Sari dan Alas Arum. Jalur (7) Petulu dan sekitarnya; meliputi wilayah Banjar Petulu Gunung, daerah Junjungan dan wilayah persawahan sekitarnya.
Penelitian dilakukan dengan pengamatan minimal di lokasi-lokasi ini, dengan harapan merupakan lokasi yang potensial dikembangkan bird watching serta juga memiliki keterwakilan dari segi berbagai wilayah/habitat (pemukiman, persawahan, tegalan, sekitar badan air, dan lain-lain).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di kawasan pariwisata Ubud sudah berhasil diidentifikasi sebanyak 67 jenis burung.
Jumlah jenis burung yang ditemukan di kawasan pariwisata Ubud (67 jenis) cukup signifikan, karena kira-kira mencakup 22% dari jumlah jenis burung yang ditemukan di Bali. Serperti diketahui bahwa jumlah burung yang ditemukan di Bali baik residen maupun migran/pengunjung kira-kira sekitar 300-an jenis. Di samping itu, dari sejumlah tersebut, hanya kurang dari 100 jenis yang kemungkinan teramati oleh “casual observer” (Mason dan Jarvis, 1989).
Jumlah species burung yang ditemukan di kawasan pariwisata Ubud pada tahun 2013 ini sama dengan yang ditemukan di Nusa Dua Lagoon antara Januari 1999 - Januari 2002 namun lebih rendah daripada yang ditemukan di Kawasan Pariwisata Nusa Dua pada periode Januari 1999-Januari 2002 (seperti dilaporkan oleh Dalem et al., 2003) serta di Taman Nasional Bali Barat (160 species; Anon, 1997b).
Burung-burung yang ditemukan di Kawasan Pariwisata Ubud sebagian besar nampak di wilayah
persawahan, sekitar sungai, dan tegalan, walaupun ada juga di sekitar permukiman. Untuk wilayah permukiman, wilayah Desa Petulu, khususnya Banjar Petulu Gunung merupakan lokasi terbanyak ditemukannya burung ‘kokokan’ (kuntul dan Ardeola). Hal ini mengindikasikan bahwa wilayah Petulu Gunung merupakan wilayah yang mempunyai makna sangat penting dalam kaitan dengan pelestarian burung serta pengembangan wisata bird watching di kawasan pariwisata Ubud. Bahkan pemerintah Indonesia sudah pernah menganugerahkan penghargaan Kalpataru terkait dengan keberhasilan ini.
Dari pengamatan peneliti dan hasil wawancara dengan masyarakat secara umum nampaknya burung di kawasan pariwisata Ubud populasinya menurun jika dibandingkan beberapa dasawarsa sebelumnya walaupun data yang akurat tentang ini belum ada. Akhir-akhir ini sukurnya mulai ada peningkatan populasi beberapa jenis burung, terutama terkait dengan burung-burung yang dilepas liarkan kembali ke alam, misalnya tekukur (Streptopelia chinensis) dan burung hantu, Tyto alba. Dari hasil pengamatan di lapangan, burung tekukur ini memang relatif sering ditemukan. Burung hantu Tyto alba, walaupun ada informasi peningkatan populasi di alam, nampaknya dari hasil pengamatan masih jarang ditemukan. Mungkin jumlahnya belum banyak di alam, atau mungkin juga terkait dengan kesulitan menemukan keberadaan burung ini.
Dilihat dari sebarannya, ada 7 jenis burung yang terbatas distribusinya / sebarannya di Indonesia, yaitu: Cekakak Gunung (Halcyon cyanoventris), Burung Udang Biru (Alcedo caerulescens), Gelatik (Padda oryzivora), Perenjak Jawa (Prinia familiaris), Punai Manten (Treron griseicauda), Burung Cabe (Dicaeum trochileum), dan Ayam Hutan Hijau (Gallus varius). Cekakak Gunung (Halcyon cyanoventris) terbatas sebarannya di Jawa dan Bali, Burung Udang Biru (Alcedo caerulescens) terbatas sebarannya di Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, dan Sumbawa, Gelatik, Gelatik Jawa (Padda oryzivora) endemik untuk Jawa, Bali dan Bawean, namun sudah dimasukkan ke Asia Tenggara sampai Australia, Perenjak Jawa (Prinia familiaris) ditemukan di Jawa, Bali, dan Sumatera, Punai Manten (Treron griseicauda) ditemukan di Sulawesi, Jawa, dan Bali, Burung Cabe (Dicaeum trochileum) terbatas di Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Jawa, Bali, dan Lombok, serta Ayam Hutan Hijau, Cengekar (Gallus
varius) terbatas ada di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara (Mackinnon, 1990)
Burung-burung yang terbatas sebarannya di Indonesia mungkin dapat menarik turis mancanegara / luar negeri, karena keterbatasan sebarannya di alam sehingga mungkin asing, atau tidak terlalu dikenal oleh turis di negaranya. Hal ini perlu dikelola dengan sebaik-baiknya, sehingga menjadi menarik bagi turis. Di samping itu, pelestariannya juga perlu mendapatkan perhatian serius, karena beberapa jenis yang terbatas sebarannya di Indonesia jarang ditemukan di alam Ubud, antara lain: Ayam Hutan Hijau, Burung Udang Biru, dan Gelatik/ Gelatik Jawa.
Dari burung-burung yang teramati di kawasan pariwisata Ubud, ada paling tidak sebanyak 7 (tujuh) jenis yang merupakan burung migran, yaitu: Layang-Layang Asia (Hirundo rustica), Kirik-Kirik Laut (Merops philippinus atau M. superciliosus), Elang Cina (Accipiter soloensis), Trinil Pantai (Actitis hypoleucos), Trinil Semak (Tringa glareola), Senip Ekor Lidi (Gallinago stenura), dan Kapinis Laut (Apus pacificus). Misalnya, Trinil Pantai ditemukan di Afrika, Eurasia, bermigrasi ke selatan sampai Australia. Burung ini merupakan pengunjung umum untuk Jawa dan Bali. Senip Ekor Lidi, berbiak di Asia Timur Laut, bermigrasi sampai ke Maluku dan Nusa Tenggara. Di Jawa dan Bali burung ini merupakan pengunjung tidak teratur. Kapinis Laut berbiak di Siberia, dan timur laut Asia, bermigrasi ke Asia Tenggara, Indonesia, Jawa, Bali, Irian dan Australia (Mackinnon, 1990). Yamazaki et al. (2012) melaporkan bahwa Elang Cina berbiak di Semenanjung Korea dan di Tenggara Cina, Rusia Timur Jauh, Timur Laut Cina, dan Jepang. Kemudian binatang ini pada musim gugur juga pernah dilaporkan terlihat di Taiwan dan sebagian besar negara-negara Asia Selatan. Pada musim dingin mereka bermigrasi ke Asia Tenggara khususnya Indonesia, Filipina dan Selandia Baru, namun data yang lengkap tentang hal ini belum tersedia. Untuk di Indonesia, binatang ini antara lain pernah dilaporkan terlihat di Sumatera, Jawa, Sula, Sulawesi. Peneliti juga sempat mengamati burung ini melintas di Bali, khususnya sekitar pegunungan di Kabupaten Karangasem pada sekitar akhir tahun 2013, dan kemungkinan juga beberapa tahun sebelumnya, seperti dilaporkan pengamat burung lainnya dari Bali. Sementara itu Strange (2012) melaporkan bahwa untuk di Indonesia burung ini juga pernah teramati di Maluku, Kalimantan, Nusa
Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Burung-burung migran ini merupakan ‘satwa milik bersama’ dari wilayah yang dilalui burung selama hidupnya yang merupakan lintas negara. Oleh karena itu pelestariannya harus melibatkan komponen lintas negara juga. Dengan demikian ini juga merupakan daya tarik tersendiri bagi turis, terutama bagi pecinta alam, khususnya pecinta burung. Tinggal bagaimana mengemasnya dalam produk wisata bird watching, sehingga lebih banyak turis tertarik membeli produk ini. Dari segi pelestariannya, burung migran ini mesti ditangani di berbagai negara yang ditemukan keberadaannya.
Dari seluruh burung yang teramati dalam penelitian ini, ada 14 jenis yang merupakan burung yang dilindungi peraturan perundang-undangan di Indonesia (Peraturan Pemerintah RI No. 7 tahun 1999), yaitu: Jalak Putih (Sturnus melanopterus), Pecuk Ular (Anhinga melanogaster), Kuntul Kerbau (Bubulcus ibis), Kuntul Putih Besar (Egretta alba), Kuntul Perak Kecil (Egretta garzatta), Kuntul Perak (Egretta intermedia), Cekakak Gunung (Halcyon cyanoventris), Cekakak (Halcyon chloris), Burung Udang Biru (Alcedo caerulescens), Elang Bondol (Haliastur indus), Burung Madu Kuning (Nectarinia jugularis), Burung Madu Kelapa (Anthreptes malacensis), Kipasan (Rhidipura javanica), dan Elang Cina (Accipiter soloensis).
Burung-burung yang dilindungi ini tentu harus mendapatkan perhatian lebih dalam pelestariannya. Namun dari segi bisnis, mungkin burung yang langka kadang-kadang menarik bagi turis untuk tahu, karena jarang ditemukan. Namun masalahnya bagaimana mengemasnya dalam produk yang dijual apalagi jarang ditemukan di alam.
Di samping data di atas, juga dikumpulkan data persepsi masyarakat tentang pelestarian burung dan pengembangan ekowisata berbasis burung di kawasan pariwisata Ubud. Dari hasil wawancara terungkap bahwa: masyarakat secara umum meyakini perlunya pelestarian burung, dan menyatakan pengembangan ekowisata berbasis burung memberikan manfaat bagi mereka, antara lain untuk pekerjaan dan sumber pendapatan, walaupun masih ada beberapa kendala yang perlu diatasi.
Dari segi wisatawan, nampaknya turis tetap tertarik melihat burung walaupun ada pernah isyu flu burung. Hal ini merupakan informasi yang baik
untuk mendukung wisata berbasis burung. Turis ini nampaknya datang dari berbagai negara khusunya Eropa, USA dan Australia yang dominan (Sumadi pers. comm., 2013). Turis lokal hampir sangat minim jumlahnya (kurang dari 10%, Winana dan Sumadi pers.comm., 2013) tertarik dengan wisata ini di kawasan pariwisata Ubud, walaupun mungkin di lokasi lain ada turis lokal yang tertarik, misalnya melihat burung di Taman Burung di luar kawasan pariwisata Ubud. Hal ini terjadi mungkin karena jauh lebih mudah menemukan burung di taman burung dibandingkan dengan melihat yang lepas liar di alam. Di samping itu, hal ini mungkin berhubungan dengan relatif mahalnya melihat burung dalam paket trekking-bird watching dibandingkan melihat burung di taman burung.
Dari kalangan industri, nampaknya penggarapan wisata berbasis burung masih minim jumlahnya. Kebanyakan paket yang dijual mixed dengan daya tarik lain. Mungkin pasar yang tersedia di Bali yang demikian yang dominan atau pihak industri belum mampu mengembangkannya paket khusus bird watching secara maksimal. Ini belum bisa diketahui dengan pasti. Pihak industri ada yang mengeluhkan pemerintah yang bersifat menunggu saja, tanpa pro aktif mengambil langkah-langkah yang diperlukan.
Dari segi pengusaha dan masyarakat, diharapkan pemerintah memberikan perhatian yang lebih baik dari yang sudah berjalan selama ini. Misalnya diharapkan mereka membantu perbaikan infra struktur untuk treking seperti pengerasan/ pembetonan jalur-jalur trekking yang relevan. Di samping itu, nampaknya peningkatan SDM yang menguasai burung juga perlu digalakkan sehingga pemanduan yang diberikan kualitasnya lebih meningkat lagi.
Khusus untuk wilayah Petulu Gunung, permasalahan kotoran burung yang menimbulkan bau kadang-kadang ada yang menyatakan menggangu. Hal ini perlu dicarikan solusi, agar penanganannya lebih maksimal. Ide pemanfaatan kotoran burung untuk pupuk organik yang diusulkan salah seorang warga masyarakat perlu ditindaklanjuti untuk melihat hasilnya.
Dari pihak pemerintah yang berhasil diwawancara (Cok Bulan, pers. comm., 2013) mengemukakan bahwa mendukung pengembangan wisata bird watching. Dia juga menyatakan bahwa perlu dicegah perburuan liar terhadap burung,
misalnya yang pernah dilihatnya dilakukan dengan menembak dengan senapan. Beliau dan Cok Bagus Krisna Adi Putra (pers.comm., 2013), dari lembaga yang sama menyatakan bahwa turis Australia, Eropa, Jepang, Simgapura dan Thailand merupakan yang termasuk yang tertarik pada wisata bird watching. Untuk keberhasilan bird watching, menurutnya, masyarakat bersama-sama pemerintah harus ikut menjaga kelestarian burung ini, tidak cukup hanya mengandalkan peran pemerintah saja.
Dari pernyataan berbagai pihak, nampak bahwa perlu adanya komitmen bersama dalam pelestarian burung, karena merupakan unsur alam yang penting dalam kelestarian lingkungan/ekosistem. Media untuk bertemu dan berdiskusi untuk pengembangan wisata berbasis burung khusunya bird watching di kawasan pariwisata Ubud masih terbatas sehingga perlu ditingkatkan. Mereka antara lain sempat juga bertemu saat mengikuti kegiatan bird race, atau lomba pengamatan burung, walaupun pelaksanaannya masih jarang juga. Media publikasi antar penggemar kegiatan ini yang berjalan juga masih minim, utamanya memanfaatkan email dan internet. Komunikasi dengan surat melalui pos, khususnya dengan peminat pecinta burung di negara lain masih dianggap mahal. Menurut salah seorang pecinta burung, penerbitan sejenis majalah tentang burung yang pernah ada dalam kelompoknya malah tidak berjalan lagi.
Dari hasil penelitian yang dilaksanakan antara bulan Juli-Oktober 2013 dapat disimpulkan sebagai berikut. Di kawasan pariwisata Ubud paling tidak sudah berhasil diidentifikasi 67 jenis burung, yang mana 7 (tujuh) jenis diantaranya merupakan burung yang terbatas sebarannya di Indonesia, yaitu: Cekakak Gunung (Halcyon cyanoventris), Burung Udang Biru (Alcedo caerulescens), Gelatik (Padda oryzivora), Perenjak Jawa (Prinia familiaris), Punai Manten (Treron griseicauda), Burung Cabe (Dicaeum trochileum), dan Ayam Hutan Hijau (Gallus varius).
Dari hasil penelitian juga terlihat bahwa burung migran juga ada ditemukan 7 (tujuh) jenis, yaitu: Layang-Layang Asia (Hirundo rustica), Kirik-Kirik Laut (Merops philippinus atau M. superciliosus), Elang Cina (Accipiter soloensis), Trinil Pantai (Actitis
hypoleucos), Trinil Semak (Tringa glareola), Senip Ekor Lidi (Gallinago stenura), dan Kapinis Laut (Apus pacificus).
Dari seluruh burung yang diamati, ada 14 jenis merupakan burung-burung yang dilindungi, yaitu: Jalak Putih (Sturnus melanopterus), Pecuk Ular (Anhinga melanogaster), Kuntul Kerbau (Bubulcus ibis), Kuntul Putih Besar (Egretta alba), Kuntul Perak Kecil (Egretta garzatta), Kuntul Perak (Egretta intermedia), Cekakak Gunung (Halcyon cyanoventris), Cekakak (Halcyon chloris), Burung Udang Biru (Alcedo caerulescens), Elang Bondol (Haliastur indus), Burung Madu Kuning (Nectarinia jugularis), Burung Madu Kelapa (Anthreptes malacensis), Kipasan (Rhidipura javanica), dan Elang Cina (Accipiter soloensis).
Berdasarkan hasil survey (pengamatan lapangan) dan wawancara berhasil diketahui jalur-jalur trekking yang memanfaatkan burung sebagai daya tariknya atau mungkin potensial bisa dikembangkan dalam memanfaatkan burung sebagai daya tarik wisatanya di kawasan pariwisata Ubud (dan sekitarnya), antara lain: (1) Subak Sok Wayah Ubud dan sekitarnya; (2) Melinggih - Subak Kembang Kuning dan sekitarnya; (3) Laplapan, Banjar Sala dan sekitarnya; (4) Kliki (Bangkiang Sidem) dan sekitarnya; (5) Pura Tirta Desa Mas dan sekitarnya; (6) Banjar Pande Peliatan - Pura Alas Arum dan sekitarnya; (7) Petulu dan sekitarnya.
Persepsi masyarakat tentang pelestarian burung dan pengembangan ekowisata berbasis burung di kawasan pariwisata Ubud menunjukkan bahwa: masyarakat secara umum meyakini perlunya pelestarian burung, dan menyatakan pengembangan ekowisata berbasis burung memberikan manfaat bagi mereka, antara lain sebagai pencipta lapangan kerja dan sumber pendapatan, walaupun masih ada beberapa kendala yang perlu diatasi, antara lain masalah jalur trekking yang belum maksimal kualitasnya, bau kotoran burung, kualitas sumber daya manusia yang kurang memadai, dan lain-lain. Dari pernyataan berbagai pihak (masyarakat, pemerintah, idustri dan turis), nampak bahwa perlu adanya komitmen bersama dalam pelestarian burung, karena merupakan unsur alam yang penting dalam kelestarian lingkungan/ekosistem. Media untuk bertemu dan berdiskusi untuk pengembangan wisata berbasis burung khusunya bird watching di kawasan pariwisata Ubud perlu ditingkatkan.
Saran
Keterbatasan waktu penelitian mungkin belum berhasil mendapatkan data burung secara lengkap. Dengan demikian penelitian yang lebih panjang jangka waktunya diperlukan. Di samping itu kajian-kajian lain juga terus diperlukan untuk melengkapi data yang ada, yang masih minim. Misalnya kajian habitat burung juga perlu dilaksanakan.
Daftar Pustaka
Anonimus. 1997. Prinsip dan Kriteria Ekowisata.
Kalawarta Indecon: 5:1.
Anonimus. 1997b. Rencana Karya Dua Puluh Lima Tahun Taman Nasional Bali Barat. Buku II (Data, Proyeksi dan Analisis). Cekik-Bali: TNBB, Dirjen PHPA, Departemen Kehutanan.
Dalem, A. A. G. R. 2002. Ecotourism in Indonesia.
Pp. 98-103. in “Linking Green Productivity to Ecotourism: Experience in the Asia –Pacific Region” ed by T. Hundloe. Tokyo: Asian Productivity Organization.
Dalem, A. A. G. R., I K. Muksin, S. K. Sudirga dan I. B.
M. Suaskara. 2003. Burung Sebagai Atraksi Ekowisata di Kawasan Pariwisata Nusa Dua, Bali. Jurnal Lingkungan Hidup Bumi Lestari 3(2): 12-33.
Mackinnon, J. 1990. Panduan lapangan
Pengenalan Burung-Burung di Jawa dan Bali.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mackinnon, J., K. Phillipps, dan B. van Balen. 1992.
Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan (termasuk Sabah, Sarawak dan Brunei Darussalam). Birdlife International dan LIPI.
Mason, V. Dan F. Jarvis. 1989. Birds of Bali. HK:
Periplus Editions (HK) Ltd. 80 pp.
Perpres RI No. 32 tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025.
Primack, R. B. J., Supriatna, M., Indrawan, dan Kramadibrata, P. 1998. Biologi Konservasi. 345 pp. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Strange, M. 2012. A Photographic Guide to the Birds of Indonesia. 2nd ed. HK: Tuttle Publ., an imprint of Periplus Editions (HK) Ltd.
Yamazaki, T., Y. Nitani, T. Murate, K. C. Lim, C.
Kasonrdorkbua, Z. Rakhman, A. A. Supriyatna. 2012. Field Guide to Raptors of Asia. Ed by K. L. Bildstein, L. L. Severinghaus, and R. Yosef. 119 pp + x.
132
Discussion and feedback