DAMPAK PERTUMBUHAN PENDUDUK TERHADAP LINGKUNGAN DAN BUDAYA SUBAK : STUDI KASUS DI KABUPATEN TABANAN PROVINSI BALI
on
Jurnal Bumi Lestari, Volume 14 No. 2, Agustus 2014, hlm. 110-124
DAMPAK PERTUMBUHAN PENDUDUK TERHADAP LINGKUNGAN DAN BUDAYA SUBAK :
STUDI KASUS DI KABUPATEN TABANAN PROVINSI BALI
I Nyoman Wardi ; I.A. Alit Laksmiwati ;
I Gusti Alit Gunadi ; dan Abd. Rahman As-syakur
Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Udayana, Denpasar wardi_ecoculture@yahoo.co.id
Abstrak
Penelitian bertujuan untuk mengungkap trens pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu 10 tahun (2002 -2012) di Kabupaten Tabanan, serta dampaknya terhadap konversi lahan subak serta perubahan-perubahan lain pada aspek lingkungan dan budaya subak.
Penelitian dilakukan melalui tahapan pengumpulan data dan analisis data. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka/dokumen, observasi, dan wawancara terstruktur dengan kuesioner dan wawancara mendalam (depth interview).Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif-kualitatif dan analisis kuantitatif dengan bantuan tabel silang dan analisis citra satelit.
Hasil studi menunjukkan, jumlah penduduk Kabupaten Tabanan pada Tahun 2012 mencapai 441.900 orang yang terdiri atas 220. 002 orang berjenis kelamin laki-laki dan 221.898 orang perempuan. Mata pencaharian penduduk, sebagian besar bekerja di sektor pertanian (110.449 orang) dan perkebunan (45.326 orang). Berdasarkan analisis yang dilakukan, terungkap bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ( 2002 s.d. 2012) pertumbuhan penduduk mencapai = 26,10 % atau 2,61 % per tahun. Pertumbuhan tertinggi terjadi di Kecamatan Kediri 5,76 %, kemudian disusul oleh Kecamatan Baturiti 5,13 %, Kecamatan Marga 4,05 %, dan Kecamatan Tabanan 3,69 %. Pertumbuhan penduduk terendah terjadi di Kecamatan Penebel 0,34 %, kemudian disusul oleh Kecamatan Kerambitan 0,56 %, dan Kecamatan Selemadeg Timur 0,82 %. Pertumbuhan penduduk tersebut tampaknya lebih banyak disebabkan oleh faktor migrasi (penduduk datang) 62,24 % (1294 jiwa) (dari selisih penduduk datang 3293 jiwa – dengan yang keluar 1999 jiwa), jika dibadingkan dengan pertumbuhan penduduk secara alami yang hanya mencapai 37,76 % ( 785 jiwa).
Pertumbuhan penduduk tersebut secara tidak langsung mempengaruhi terjadinya perubahan pada lingkungan dan budaya subak. Dalam kurun waktu 10 tahun terjadi penyusutan lahan subak (sawah) 672,89 ha, atau 2,95 % dari luas total sawah tahun 2002 (22.842,00 ha). Dampak lingkungan lain, yaitu berkurangnya suplai air dan putusnya beberapa saluran irigasi petani, dampak pencemaran dan tersumbatnya saluran irigasi oleh sampah plastik dan terjadinya degradasi estetika lingkungan. Dampak sosial budaya subak, yaitu kecenderungan terjadinya konflik sosial, gangguan pada ritual penyepian carik (sawah) dan semakin ditinggalkannya warisan budaya (pura subak) karena terjadinya alih fungsi sawah menjadi perumahan dan fasilitas pariwisata.
Perlu dilakukan perlidungan terhadap lingkungan dan budaya subak melalui pengendalian pertumbuhan penduduk secara tegas dengan kebijakan pemerintah, perumusan awig-awig subak, dan meningkatkan kesejahteraan petani melalui pengembangan ekowisata yang berbasis ekosistem subak.
Kata kunci : penduduk, dampak, subak, ekowisata.
THE IMPACT OF POPULATION GROWTH ON THE ENVIRONMENT AND SUBAK CULTURE : A CASE STUDY IN TABANAN BALI
by
I Nyoman Wardi ; I.A. Alit Laksmiwati ;
I Gusti Alit Gunadi ; and Abd. Rahman As-syakur
Environmental Research Center (PPLH) Udayana University, Denpasar wardi_ecoculture@yahoo.co.id
Abstract
The research aims to reveal the trens population growth over the 10 years (2002-2012) in Tabanan Regency, as well as their impact on the land conversion of subak as well as other changes in environmental and cultural aspects of subak. Research conducted through the stages of data collection and data analysis. The technique of data collection was done by the library research, observation, and structured interviews with questionnaires and indepth interviews (depth interview).The data collected was analyzed by descriptive-qualitative and quantitative analysis with the help of cross-tables and analysis of satellite imagery.
Results of the study showed, the number of inhabitants of Tabanan Regency in 2012 reached 441.900 people, consisting of 220. 002-sex guy men and 221.898 women. The livelihoods of inhabitants, mostly working in the agricultural sector (110.449 people) and plantations (45,326 people). Based on analysis conducted, it was revealed that within the last 10 years (2002-2012) population growth reached 26,10% or = 2.61% per year. The highest growth occurred in the district of Kediri 5,76%, then followed by district of Baturiti 5.13%, Marga 4.05%, and district of Tabanan, 3,69%. The lowest population growth occurred in district Penebel 0.34%, then followed by the district of Kerambitan 0,56% and district of East Selemadeg 0.82%. The population growth seems to be more of a factor caused by migration (people coming) 62,24% (1294 inhabitants) (from the difference in population that comes 3293 with people out 1999 inhabitants), if compared with population growth naturally only achieve 37,76% (785 inhabitants).
The population growth indirectly affects the occurrence of changes in the environment and culture of subak. In the past 10 years occurred the shrinking land subak (fields) 672,89 ha, or 2.95% of the total area of paddy fields in 2002 (22.842 fare ha). Other environmental effects, i.e. reduced water supply and the breakdown in some irrigation farmers, pollution and the impact of irrigation channel blockage by garbage plastic and aesthetic degradation of the environment. Socio-cultural impact of subak, which tendency to the occurrence of social conflict, disruption in the silent ritual of rice fields (penyepian carik) and the abandonment of cultural heritage (pura subak) due to the occurrence of function fields into housing and tourism facilities.
The protection needs to be done to the environment and subak culture through the population growth control with government policy, the formulation of customary law of subak (awig-awig), and improve the welfare of farmers through the development of ecotourism that based on subak ecosystem.
Keywords: population, impact, subak, ecotourism.
Kabupaten Tabanan dikenal sebagai lumbung berasnya Daerah Bali. Kondisi tanah vulkanik yang subur, dengan kemelimpahan air dan iklim yang mendukung, memungkinkan penduduk mengolah lahan menjadi sawah dan berkembangnya organisasi dan budaya subak. Sejak beratus-ratus tahun subak menjadi tumpuan utama bagi para petani untuk pemenuhan kebutuhan pokok (pangan) dalam menjaga kelangsungan hidupnya (survival). Selain itu, kini dengan perkembangan pariwisata yang sangat pesat di Bali, kemudian subak juga menjadi primadona daya tarik wisata (ekowisata), seperti halnya Subak Jatiluwih di Kecamatan Penebel-Tabanan, dan subak lainnya. Penting dan uniknya ekositem subak dalam konteks pembangunan berkelanjutan, kini beberapa kawasan subak di Bali, seperti halnya Subak Catur Angga Batukaru Kecamatan Penebel-Tabanan ditetapkan oleh UNESCO sebagai salah satu warisan budaya dunia atau World Cultural Landscape of Bali Province (sejak Juli 2012).
Subak yang tergolong lingkungan binaan, sebagai hasil perpaduan antara warisan alam (natural heritage) dengan kreativitas budaya masyarakat/ petani (human/cultural heritage) yang kini tetap hidup, dipelihara, dirawat dan dikembangkan, bukan saja mejadi milik masyarakat Bali (Indonesia), tetapi juga mejadi pusat perhatian dan milik masyarakat dunia. Di dalam ekosistem Subak yang dalam budaya tradisional Bali dikenal dengan Tri Hita Karana terdiri atas palemahan (lingkungan sawah, flora dan faunanya), pawongan (petani) dan parhyangan (budaya subak) terkandung berbagai kearifan lingkungan.
Diakui, bahwa pengembangan pariwisata Bali yang telah dicanangkan sejak tahun 1970-an dengan mengusung konsep pembangunan Pariwisata Budaya, telah mampu meningkatnya pendapatan masyarakat dan pemerintah, serta pesatnya pembangunan sarana dan prasarana fisik : fasilitas jalan, perkantoran, pertokoan, fasilitas pariwisata (hotel, vila, ,bungalow, pondok wisata, restoran) dan perumahan mewah (real estate). Pesona, keunikan dan kekayaan budaya Bali dengan lingkungan dan budaya subaknya ibarat gula dengan semut (penduduk), yaitu secara tidak langsung telah menyedot gelombang manusia (penduduk) luar
untuk datang ke Bali dengan berbagai tujuan dan harapan. Jadi selain berdampak positif pada sektor ekonomi, pariwisata juga membawa kedatangan gelombang manusia yang tinggal di Bali yang berkonstribusi pada pertumbuhan jumlah penduduk secara drastis dengan segala konsekuensinya.
Menurut teori Thomas R. Malthus dalam bukunya yang berjudul : “An Essya on The Principle of Population” (1798) disadari, bahwa pertumbuhan penduduk yang cenderung terus meningkat (menurut perhitungan deret ukur) tidak bisa diimbangi dengan peningkatan produksi pangan (menurut deret hitung) secara terus menerus, karena kemampuan alam untuk memproduksinya memiliki ambang batas. Menurut Malthus, sebab utama timbulnya kemiskinan bukan semata-mata karena kesalahan organisasi masyarakat, tetapi karena kesalahan manusia itu sendiri yang tidak mau membatasi pertumbuhannya (Mantra, IB., 1986: 3435, dan Munir, ed., 2007). Khusus untuk Jawa, Madura dan Bali, sejak awal disadari bahwa jumlah penduduknya terus meningkat cukup padat. Pertumbuhan penduduk ini memberikan tekanan yang cukup berat terhadap pemanfaatan lahan/tanah dan air (Salim, Emil, 1993: 5). Berdasarkan data BPS , yaitu Kabupaten Tabanan Dalam Angka 2013, kini jumlah penduduk tahun 2012 mencapai 441.900 orang, yaitu terdiri atas 220. 002 orang penduduk berjenis laki-laki dan 221.898 orang perempuan.
Pertumbuhan penduduk yang cenderung terus meningkat, baik karena pertumbuhan penduduk secara alami maupun karena faktor migrasi, mulai mendesak lingkungan dan budaya subak di Bali, dan khususnya di Kabupaten Tabanan. Ada gejala, bahwa pertumbuhan penduduk yang cenderung meningkat menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan subak menjadi perumahan dan pembangunan fasilitas pariwisata dan fasilitas fisik lain. Disadari atau tidak, pertumbuhan penduduk yang cenderung meningkat, telah mengancam lingkungan dan budaya subak yang ada di Bali pada umumnya, dan Kabupaten Tabanan pada khususnya. Karena itu perlu dilakukan upaya perlidungan terhadap lingkungan dan budaya subak untuk mempertahankan ketahanan pangan, dan pengembangan ekowisata berbasis ekosistem subak untuk meningkatkan kesejahteraan petani dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, observasi dan wawancara . Studi pustaka dilakukan dengan menjelajahi dan menelusuri sumber data sekunder dalam bentuk buku, majalah, jurnal, laporan hasil penelitian, dokumen pemerintah, data internet ( website), dan bentuk sumber lainnya. Tujuannya untuk mendapatkan data sekunder terkait dengan potensi dan pertumbuhan penduduk dan dampaknya terhadap pemanfaatan lahan subak.
Observasi dilakukan melalui pengamatan secara langsung ke lapangan guna mendapatkan data primer, khususnya untuk lebih memahami objek, peristiwa, perilaku, situasi, dan nilai atau simbol-simbol yang digunakan terkait dengan pemanfaatan lahan subak oleh penduduk yang ada di zone hulu, zone tengah dan kawasan hilir. Observasi disertai dengan pencatatan data dan pengambilan gambar/foto
Wawancara. Pengumulan data dengan wawancara ditempuh dengan teknik wawancara tidak terstruktur ( wawancara bebas dan mendalam) dan wawancara secara terstruktur dengan pengedaran daftar kuesioner. Dalam wawancara tidak terstruktur dilakukan melalui wawancara bebas dan mendalam (dept interview) dan FGD (Focus Group Discussion) dengan informan yang dipilih secara purposif, yaitu pekaseh (kepala lembaga subak), kelian subak (kelihan tempek = kepala tempek subak), mantan pekaseh, pemangku, staf Kepala bidang Sedahan Agung Dispenda Kabupaten Tabanan, Ketua Sabhatara Pekaseh Tabanan dan informan lain yang dipandang memiliki pengetahuan yang memadai dalam pengelolaan subak di daerahnya. Tujuan wawancara mendalam yaitu untuk mendapatkan data yang lebih lengkap dan rinci yang tidak mungkin didapat melalui kuesioner, khususnya terkait dengan permasalahan subak dan dampak pertumbuhan penduduk terhadap lingkungan subak pada masing-masing desa atau kelompok subak.
Data yang diperoleh dari hasil studi pustaka, wawancara, catatan lapangan ( observasi), dan dokumen resmi lainnya, kemudian diolah dan dianalisis. Pengolahan data dilakukan dengan seleksi dan menyortir data yang terkumpul serta melakukan klasifikasi berdasarkan kesamaan karakteristiknya.
Data yang dipandang tidak bermanfaat, tidak disertakan dalam analisis.
Data yang telah diolah, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan pendekatan ekologi manusia (sistem sosiokultural Sanderson). Deskriptif artinya menguraikan paradigma atau fenomena yang ada di lapangan secara alamiah dengan kata-kata atau gambar. Analisis deskriptif kualitatif menekankan pentingnya kualitas atau makna data (objek, peristiwa, situasi, perilaku, dan nilai) yang diamati. Analisis data kualitatif juga didukung dengan analisis kuantitatif (khususnya untuk menganalisis data hasil kuesioner) dengan menggunakan tabel silang untuk mendapatkan rerata jumlah persentase suatu variabel.
Menurut Perda Provinsi Bali No.9 Tahun 2012 tentang Subak, yang dimaksud dengan subak adalah organisasi tradisional di bidang tata guna air dan atau tata tanaman di tingkat usaha tani pada masyarakat adat di Bali yang bersifat sosioagraris, religius, ekonomis yang secara historis terus tumbuh dan berkembang. Perlu ditambahkan, bahwa yang dimaksudkan dengan subak dalam penelitian ini adalah subak sawah (subak air), karena di Bali belakangan juga dikenal keberadaan subak abian (subak kebun).
Berdasarkan bukti-bukti sejarah (Prasasti Bali Kuno), secara historis organisasi subak sudah dikenal sejak abad XI (zaman Raja Marakata). Organisasi subak dipimpin oleh seorang Pekaseh atau Klian Subak, sedangkan anggota subak disebut krama subak.Berdasarkan keaktifannya dalam pengelolaan subak, krama subak dapat dibagi dua kelompok, yaitu krama aktif dan krama tidak aktif. Krama aktif berarti anggota subak (petani) aktif berpartisipasi dalam setiap kegiatan subak, terutama dalam kegiatan gotong royong bersih saluran air, memperbaiki bendungan atau tembuku aye, ritual dan pertemuan-pertemuan lain. Krama subak yang tidak aktif, karena kesibukan tertentu, dikompensasi dengan sejumlah iuran wajib (pengampel) dalam bentuk sejumlah uang dengan memperhitungkan luasan lahan sawah yang dimilikinya dan frekuensi bergotong royong. Setiap organisasi subak biasanya terbagi dalam beberapa subkelompok
subak yang disebut dengan istilah tempekan/ banjaran/arahan/lanyahan. Pengelompokan anggota tempekan biasanya didasarkan atas satu kesatuan cabang saluran irigasi atau kesamaan sumber air atau kedekatan jaringan irigasi satu dengan yang lain.
Subak mempunyai hubungan yang sangat erat dengan keberadaan desa pakraman (desa adat), terutama dalam hal ritual, dan kegiatan sosial tertentu lain. Struktur organisasi kepengurusan (prajuru) subak di tingkat bawah di Kabupaten Tabanan terdiri atas :
-
(1) Pekaseh (Klian Subak) selaku ketua Subak (2) Pangliman (Patajuh) sebagai wakil yang membantu Pekaseh;
-
(3) Penyarikan atau sekretaris
-
(4) Patengen atau Bendahara
-
(5) Kasinoman sebagai pembantu pekaseh untuk menyebarkan informasi (juru arah) ke krama (anggota subak); dan
-
(6) Klian tempek sebagai ketua subkelompok subak (tempekan).
Di tingkat Kabupaten Tabanan, organisasi subak (pekaseh) terhimpun dalam wadah Sabhan-tara Pekaseh Tabanan yang mempunyai hubungan kordinatif dan konsultatif dengan Sedahan Agung yang berada di Dispenda Tabanan. Sabhantara Pekaseh Tabanan terdiri atas Sabhantara Pekaseh di tingkat Kecamatan (10 unit Sabhantara Pekaseh Kecamatan) yang ada di Kabupaten Tabanan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Sedahan Agung Kabupaten Tabanan berangka tahun 2011, diketahui bahwa jumlah satuan organisasi subak yang ada di seluruh Kabupaten Tabanan yang terdiri atas 10 Kecamatan yaitu sekitar 228 unit subak dengan luasan lahan sawah keseluruhannya mencapai 22.736,43 ha (sumber: Kabid Sedahan Agung Dispenda Kabupaten Tabanan). Pola tanam atau budidaya padi di sawah yang diterapkan petani (subak) secara umum terdiri atas : dua kali budidaya padi (2 kali) dan kemudian diversifikasi dengan sekali tanaman palawija. Pola tanam ini secara tradisional juga disebut Kerta Masa-Tulak Sumur, yaitu dimaksudkan untuk memotong siklus pertumbuhan dan perkembangan hama dan penyakit tanaman (khususnya padi). Tetapi pada kenyataannya, beberapa kelompok subak terutama yang mempunyai suplai air irigasi yang memadai atau melimpah (seperti
di Subak Jatiluwih, Subak Jaka-Desa Kukuh, dan yang lain), ada kecenderungan untuk selalu membudidaya padi tanpa diversifikasi dengan palawija.
Jumlah satuan subak dalam beberapa periode ini cenderung bertambah karena adanya pemekaran subak-subak induk yang keanggotaanya cukup banyak dan lahannya cukup luas. Pemekaran terjadi karena adanya perhatian pemerintah terhadap subak dalam bentuk insentif (batuan finansial) dari pemerintah Daerah Kabupaten maupun Provinsi terhadap Lembaga Subak. Tetapi ironinya pada sisi lain cenderung terjadi penyusutan luasan lahan subak karena berbagai faktor.
Menurut data Kabupaten Tabanan dalam Angka 2013, jumlah penduduk Kabupaten Tabanan pada Tahun 2012 mencapai 441.900 orang yang terdiri atas 220. 002 orang penduduk laki-laki dan 221.898 orang perempuan. Kabupaten Tabanan mewilayahi 10 kecamatan. Jumlah penduduk terbanyak berada di Kecamatan Kediri yaitu sebesar 77.803 orang (17,61%), yang disusul Kecamatan Tabanan dengan jumlah penduduk 66.846 orang (15,13%), Kecamatan Baturiti dengan jumlah penduduk 51.908 orang (11,75%), dan Kecamatan Penebel dengan jumlah penduduk 50.494 orang (11,43%).
Selain sebagai wilayah dengan komposisi penduduk tertinggi, Kecamatan Kediri dan Kecamatan Tabanan merupakan dua kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi. Hal ini dapat dimaklumi karena dua kecamatan tersebut merupakan wilayah perkotaan di Kabupaten Tabanan. Persebaran penduduk dapat dilakukan dengan membandingkan luas wilayah, jumlah penduduk, kepadatan penduduk dari masing-masing kecamatan di Kabupaten Tabanan (dapat dilihat pada Tabel 1).
Sebagian besar wilayah Kabupaten Tabanan merupakan daerah dengan karakteris atau ciri perkotaan. Suatu wilayah dapat dikatakan berkarakteristik perkotaan lebih ditentukan oleh tingkat kepadatan penduduk dan okupasi atau mata pencaharian penduduknya. Ciri masyarakat
Tabel 1 : Luas Wilayah, Jumlah Penduduk Jumlah KK dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Tabanan , Tahun 2012.
Kecamatan |
Luas (km2) |
Jumlah Penduduk |
Jumlah KK |
Kepadatan jiwa/km2 |
Selemadeg |
52,05 |
21.905 |
6.525 |
420 |
Kerambitan |
42,39 |
39.947 |
12.139 |
942 |
Tabanan |
51,40 |
66.846 |
19.471 |
1.301 |
Kediri |
53,60 |
77.803 |
20.545 |
1.452 |
Marga |
44,79 |
43.833 |
12.262 |
979 |
Baturiti |
99,17 |
51.908 |
13.408 |
523 |
Penebel |
141,98 |
50.494 |
13.452 |
356 |
Pupuan |
179,02 |
42.750 |
11.413 |
239 |
Selemadeg Barat |
120,15 |
22.256 |
8.237 |
185 |
Selemadeg Timur |
54,78 |
24.158 |
7.095 |
441 |
Kabupaten Tabanan |
839,33 |
441.900 |
124.547 |
526 |
Sumber : Kabupaten Tabanan dalam Angka 2013
perkotaan adalah kepadatan penduduk tinggi dengan penduduk yang bekerja dominan di sektor non pertanian. Sebaliknya wilayah dikatakan sebagai pedesaan, bila kepadatan wilayah masih relatif rendah, dengan mayoritas penduduk bekerja di sektor pertanian.
Berdasarkan Tabel 2 (lihat lampiran tabel hlm 23) menunjukkan, sebagian besar penduduk Kabupaten Tabanan bekerja di sektor pertanian (110.449 orang) dan perkebunan (45.326 orang). Pada sisi lain dapat dicermati, bahwa Kecamatan Tabanan dan Kecamatan Kediri merupakan dua wilayah yang proporsi penduduknya sudah relatif besar bekerja di sektor non pertanian.
Kecenderungan pertumbuhan penduduk Kabupaten Tabanan dalam kurun waktu 10 tahun (2002 s.d. 2012) dapat diilustrasikan seperti tabel 3 (lihat lampiran tabel).
Berdasarkan perhitungan angka dalam Tabel tersebut, dapat diungkapkan sebagai berikut. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ( 2002 s.d. 2012) pertumbuhan penduduk tertinggi terjadi di Kecamatan Kediri 5,76 % . Kemudian disusul oleh Kecamatan Baturiti 5,13 %, Kecamatan Marga 4,05 %, dan Kecamatan Tabanan 3,69 %, dan disusul oleh Kecamatan Selemadeg 2,49 %. Pertumbuhan penduduk terendah terjadi di Kecamatan Penebel 0,34 %. Kemudian disusul oleh Kecamatan Kerambitan
0,56 %, dan Kecamatan Selemadeg Timur 0,82 %. Secara keseluruhan, pertumbuhan penduduk rata-rata per tahun di Kabupaten Tabanan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2002 s.d. 2012) mencapai = 26,10 % : 10 tahun = 2,61 %.
Pertumbuhan penduduk positif di suatu wilayah disebabkan oleh jumlah kelahiran lebih tinggi daripada kematian, dan jumlah penduduk datang (masuk/ in migration) lebih tinggi daripada yang pindah (keluar/out migration). Sebaliknya pertumbuhan penduduk negatif (menurun) di suatu wilayah, disebabkan oleh faktor angka kematian penduduk (mortalitas) lebih tinggi daripada angka kelahiran (natalitas), dan faktor berpindahnya (migrasi keluar/out migrasi) lebih besar daripada penduduk datang (in migration). Data Kabupaten Tabanan Dalam Angka sejak tahun 2002 sampai dengan tahun 2012 menunjukkan trens/ kecenderungan kelahiran menurun di semua kecamatan di Kabupaten Tabanan, kecuali di Kecamatan Kediri kecenderungannya meningkat. Trens kematian di semua kecamatan sangat fluktutif, seperti halnya trens perpindahan penduduk. Sedangkan jumlah penduduk pendatang di Kecamatan Tabanan dan Kecamatan Kediri menunjukkan kecenderungan meningkat.
Berdasarkan perhitungan analisis data mutasi peduduk dari BPS, yaitu Kabupaten Tabanan Dalam Angka (2002-2012) menunjukkan, pertumbuhan penduduk di Kabupaten Tabanan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2002 s.d. 2012) lebih banyak
disebabkan oleh faktor migrasi ( 62,24 % ) jika dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk secara alami yang mencapai 37,76 % dari seluruh total pertumbuhan peduduk.
-
3.3 Dampak Pertumbuhan Penduduk Terhadap Lingkungan dan Budaya Subak
Pertumbuhan penduduk yang tinggi pada masing-masing Kecamatan di Kabupaten Tabanan tampaknya mempunyai korelasi positif dengan penyusutan luasan lahan subak (sawah). Misalnya di Kecamatan Kediri pertumbuhan penduduk 10 tahun terakhir mencapai 5,76 % dengan luas penyusutan lahan mencapai 213,89 ha, kemudian disusul pertumbuhan penduduk di Kecamatan Baturiti 5,13 % dengan penyusutan lahan sawah mencapai 137 ha, pertumbuhan penduduk Kecamatan Marga 4,05 %, dan penyusutan lahan mencapai 28 ha, pertumbuhan penduduk Kecamatan Tabanan 3,69 %, dengan penyusutan lahan sawah mencapai 18 ha (lihat tabel 3 hlm 25 da tabel 4 hlm 27).
Sementara itu, alih fungsi lahan sawah di Kecamatan Penebel tampak tinggi. Melihat trens pertumbuhan penduduk yang tergolong rendah (0,34 % dalam waktu 10 tahun), maka alih fungsi lahan di kecamatan ini tampaknya tidak ada hubungannya dengan pertumbuhan penduduknya. Menurut informasi dari beberapa pekaseh Kecamatan Penebel (Pekaseh Subak Rejasa, Jatiluwih dan Senganan), menyatakan alih fungsi lahan sawah di daerahnya (zone hulu) sangat rendah. Jika ada alih fungsi sawah, kebanyakan menjadi kebun dan untuk kadang ternak ayam. Untuk Jati Luwih sawah-sawah di beberapa tempat ada dikonversi menjadi kebun dengan menanam pohon kayu, seperti : mahoni (untuk konstruksi bangunan), kajimas, jabon (untuk bahan kertas), albesia, kayu jati, pohon buah-buahan ( coklat, manggis, durian, kelapa, dan pohon lainnya). Alasanya petani mengkonversi sawah mejadi kebun, karena letaknya jauh dan kesulitan mendapatkan air, dan juga karena kekurangan buruh petani untuk mengarap lahannya. Hal ini diakui oleh Petani Subak Senganan, Jatiluwih, dan Subak Pesagi dan Rejase.
Beberapa lokasi memang terjadi alih fungsi lahan sawah menjadi hotel dan Villa, dan warung-warung makan dan pondok penginapan yang kecil (milik
petani setempat) terutama yang terletak di pinggir-pinggir jalan raya sekitar Jatiluwih, tetapi jumlahnya sangat terbatas. Alih fungsi ini telah dilakukan sebelum Jatiluwih diusulkan dan ditetapkan sebagai World Heritage atau Warisan Budaya Dunia/WBD) atau sebelum ditetapkan sebagai kawasan subak berkelanjutan (sawah abadi) melalui Peraturan Bupati Tabanan No.27/2011. Selain itu, ada kecenderungan petani di Daerah Tabanan, jika tanaman padi sering diserang hama yang dasyat (terutama tikus dan wereng) atau sulit mendapatkan air irigasi, mereka cenderung mengkonversikan sawahnya menjadi perkebunan.
Berdasarkan perhitungan dalam Tabel 4 (lihat lampiran tabel) menunjukkan, dalam kurun waktu 10 tahun, hampir di semua kecamatan (kecuali Kecamatan Kediri masih meragukan) mengalami penyusutan luasan lahan sawah. Penyusutan lahan sawah di Kecamatan Selemadeg jika dihitung sejak tahun 2002 hingga tahun 2012, luasnya tampak cukup banyak yaitu 3767 ha. Seperti disebutkan dalam keterangan, sejak tahun 2004 Kecamatan Selemadeg dimekarkan menjadi tiga ( Selemadeg, Selemadeg Barat dan Selemadeg Timur), sehingga sejak tahun 2004 lahan sawah subak terpencar dalam ketiga kecamatan tersebut. Untuk menghitung penyusutan lahan subak di 3 kecamatan tersebut, jumlah tahun terakhir (th 2012) lahan sawah pada ketiga kecamatan tersebut harus digabung (1907 ha+1161ha + 2320 ha) = 5388 ha. Jumlah penyusutan lahan sawah pada ketiga kecamatan tersebut dalam kurun 10 tahun (2002 s.d. 2012) menjadi 5674 ha – 5388 ha = 286 ha atau 26 ha/tahun.
Menurut informasi dari pengurus Sabhantara Pekaseh Kecamatan Selemadeg (informan : I Nengah Suparyana/13 Nov 2013) menyatakan, alih fungsi lahan subak (sawah) di daerahnya kebanyakan terjadi di sekitar jalan-jalan raya (margi agung) dan sekitar kota atau Pasar Bajra (Selemadeg, Brengbeng, Bajra, Bajra Utara) menjadi perumahan, pertokoan dan prasarana jalan. Selain itu, adanya serangan hama tikus terhadap padi yang dibudidayakan, menyebabkan masyarakat trauma untuk menanam padi, kemudian lahan sawah petani sebagian dikonversi menjadi lahan kering untuk diisi pohon kelapa dan jenis tanaman keras (tahunan) lain. Menurutnya, akhir-akhir ini (2012-2013) sudah mulai ada beberapa pengkaplingan sawah (25 are) untuk unit perumahan yang dilakukan oleh developer dari
Denpasar. Jenis perumahan yang dibangun yaitu rumah tipe 36 untuk masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah. Pakaseh berharap, agar pemerintah memberikan perlindungan terhadap lahan subak, dan Perda Peraturan Bupati Tabanan No.27/ 2011 yang terkait dengan perlindungan subak segera dikeluarkan.
Dengan demikian dalam kurun waktu 10 tahun dapat dikatakan, di Selemadeg ( Selemadeg, Selemadeg Barat, Selemadeg Timur) terjadi penyusutan lahan subak 5,04 % ( 286 ha), di Kecamatan Kerambitan 0,79 % (20 ha), Kecamatan Tabanan 0,90 (18 ha), Kecamatan Marga 1,19 % (28 ha), Kecamatan Baturiti 7,06 % (137 ha), Kecamatan Penebel 0,62 % (27 ha), dan Kecamatan Pupuan 4,41 % ( 46 ha). Jika pada kedelapan kecamatan itu ( Selemadeg, Selemadeg Timur dan Selemadeg Barat digabung) dijumlahkan penyusutan lahan subaknya dalam prosentase mencapai 20,01 % (562 ha) atau jika dirata-ratakan per kecamatan pada delapan kecamatan,maka menjadi 2,50 % pada masing-masing Kecamatan.
Berdasarkan data dari Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan tersebut, maka total penyusutan lahan subak (sawah) di Kabupaten Tabanan dalam kurun waktu 10 tahun terkahir ( 2002 s.d. 2012) (tanpa memperhitungkan Kecamatan Kediri) mencapai 459 ha atau 41,73 ha per tahun. Jika luasan sawah seluruh kecamatan di Kabupaten Tabanan pada tahun 2002 dijumlahkan (tanpa memperhitungan Kecamatan Kediri), maka luasnya mencapai 19.940 ha, sedangkan penyusutannya mencapai 459 ha atau terjadi penyusutan 2,30 % dari jumlah total sawah pada saat awal (th 2002). Secara umum, berdasarkan data dari Dinas Pertanian tersebut, luasan alih fungsi lahan subak (sawah) tidak terlalu mengkhawatirkan, tetapi jika diamati secara empiris dan langsung di lapangan di beberapa tempat (desa) tertentu pada akhir ini, hasilnya cukup memprihatinkan.
Misalnya, Subak Sanggulan yang terdiri atas 4 tempek (Tempek Muntig, Tempek Tiyis, Tempek Petagel, Tempek Rambut Siwi) luas awal 107 ha dengan jumlah petani 230 petani pemilik lahan, kini tersisa 80 ha. Kebanyakan lahan sawah berubah fungsi menjadi perumahan ( Informan : I Ketut Waki/ Pekaseh). Sementara itu, Subak Senapahan Desa Banjar Anyar-Kediri luas awal 105 ha sejak tahun 2006- hingga sekarang (2013) telah terjadi alih fungsi sawah menjadi perumahan sebanyak 19 ha, dan kini
luas salah subak tersisa 86 ha (860.000 m2). Menurut Pekaseh Subak Senapanhan (informan : I Gst Putu Sugita/Pekaseh/ 12 Okt 2013), kini di perumahan yang ada di sawah-sawah, jumlah KK pendatang sudah mencapai 200 KK. Demikian pula pada Subak Yeh Sungi II Desa Abiantuwung ( Informa : I Wayan Suwedra/Pekaseh), menyatakan, sejak dibukanya jalur hijau (th 2000-an), penduduk mulai menjamah lahan sawah subak menjadi perumahan untuk tempat tinggal. Luas lahan secara keseluruhan Subak Yeh Sungi II -Desa Abiantuwung pada awalnya : 300 ha, kini tinggal 160 ha yang masih produktif. Sementara itu, I Wayan Badera (informan : Ketua Sabantara Pekaseh Kec. Kediri) menyatakan, di subak yang ada di Desanya (Desa Pandak Bandung) sudah banyak beralih fungsi atau dijual, dan kini di Br. Pandak Bandung hanya 5 keluarga saja yang masih tersisa punya lahan sawah;
Kecederungan pertumbuhan penduduk dan penyusutan lahan subak terus akan terjadi dan semakin pesat, jika tidak ada pengendalian pertumbuhan penduduk dan perlindungan terhadap subak.
Kemudian, mencermati data lahan sawah dalam tabel di atas, hal yang cukup aneh, yaitu data lahan subak di Kecamatan Kediri sejak tahun 2002 s.d. 2012 setelah dihitung jumlah (luasan sawahnya) justru dinyatakan bertambah. Kebenaran data ini masih meragukan, mengingat pertumbuhan penduduk di wilayah Kecamatan Kediri dan hasil survei di lapangan (seperti diuraikan di atas) menunjukkan adanya pembangunan fisik (fasilitas pariwisata : hotel, villa, bungalow, restoran) dan perumahan penduduk berlangsung cukup laju dan mengambil alih lahan subak. Setelah dikonfirmasi dengan staf Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan, menyatakan, bertambah luasnya lahan sawah tersebut (Kecamatan Kediri), karena sebelumnya lahan itu dibeli oleh investor dan dibiarkan terbengkalai (lahan tidur). Dengan demikian, luasan lahan subak yang diolah petani tampak menyusut (berkurang). Kemudian petani setempat (bekas pemilik lahan) dizinkan untuk mengolah kembali tanah tersebut sebagai sawah. Dalam hal ini, petani tersebut berstatus bukan sebagai pemilik sawah, tetapi sebagai petani penggarap (karena lahanya sudah dimiliki oleh investor). Alih fungsi dan alih kepemilikan lahan di sepanjang pesisir Kabupaten Tabanan, khususnya di Kecamaan Kediri sudah
berlangsung cukup lama (zaman Orde Baru) sejak tahun 1990-an. Misalnya di subak Bengkel yang terletak di Desa Pangkung Tibah Kecamatan Kediri, menurut Pakaseh Subak Bengkel ( informan : I Gde Kt. Jananuraga/ 14 Juni 2013/Pekaseh), Subak Bengkel Kecamatan Kediri terdiri atas 18 tempek subak, dengan luas lahan sekitar 375 ha dengan jumlah anggota subak (kerama subak) sekitar 900-an orang. Pembebasan lahan subak untuk rencana fasilitas pariwisata (hotel) sudah terjadi sejak tahun 1991 sebanyak 90 ha. Sebelum dibangun sebagai hotel (2013), petani setempat (bekas pemilik lahan) diberikan izin untuk mengolah lahan itu sebagai sawah dan tempat mengembalakan ternak sapi. Harga lahan petani yang pada awalnya (th 1990-an) berkisar antara Rp 2 juta – Rp.4,5 juta/are, setelah dibangun jalan, kini (2013) harganya melonjak mencapai Rp.400 juta –Rp.500 juta/are. Nasib petani cukup menyedihkan, terutama bagi mereka (petani) yang semua lahannya terjual habis. Menurut informasi, hampir seluruh lahan petani yang ada di sepanjang pantai dari Barat Pura Pakendungan hingga ke Banjar Batu Tampih Desa Pangkung Tibah Kecamatan Kediri, sudah habis terjual dan dikuasai oleh para investor dari luar.
Demikian pula pembebasan lahan Subak Gadon II dan Gadon III Kecamaan Kediri seluas 25 ha untuk rencana pembangunan hotel BNR (Bali Nirwana Resort) yang berada dekat dengan Pura Tanah Lot, telah berlangsung sejak tahun 1992/1993 dengan harga yang diterima oleh para petani berkisar Rp.5 juta/are. Subak Gadon II yang terdiri atas 13 tempek (subsubak) kini masih memiliki lahan sawah 154,81 ha dengan jumlah krama (anggota) Subak sebanyak 537 orang petani. Sebelum dibangun hotel, lahan tersebut sempat diolah kembali oleh petani setempat dan dijadikan tempat untuk mengembalakan ternak sapi. (informan : I Kt Kibik/ Pekaseh/6 Okt 2013).
Kembali pada pembahasan data pada tabel, alih fungsi dan alih kepemilikan lahan yang terjadi sebelumnya, tidak muncul dalam tabel, sehingga sejak tahun 2002 s.d. 2012 tampaknya luasan lahan subak di Kecamatan Kediri seolah-olah bertambah luas.Perluasan lahan subak (sawah) ini bersifat semu, dalam arti suatu saat bisa diambil alih oleh pemiliknya dan dijadikan hotel atau villa atau bangunan/ prasarana fisik lain. Dalam hal ini, Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan tampaknya kurang tertarik
dengan masalah alih kepemilikan lahan, sehingga kurang diperhitungkan dalam menentukan luasan lahan sawah. Karena itu, yang diperhatikan hanya data empirik tentang pasang surut luasan sawah yang diolah oleh petani untuk memproduksi padi atau palawija.
Jika dikonfirmasi dengan data yang diperoleh dari Dispenda dan Sedahan Agung yang mengurusi bidang persubakan di Kabupaten Tabanan, yang menurut Kabid Sedahan Agung ( informan : I Wayan Sukadana/17 Okt 2013) yang datanya diperoleh secara langsung dari subak, diperoleh informasi bahwa pada tahun 2004 di Kecamatan Kediri ( dengan 23 unit organisasi subak) luasan sawah mencapai 2950 ha, sedangkan pada tahun 2011 sawah di Kecamatan Kediri tersisa 2736 ,11 ha. Berarti terjadi penyusutan lahan sawah 213,89 ha di Kecamatan Kediri dalam kurun waktu 7 tahun ( 2004 s.d. 2011) , atau terjadi penyusutan 30,56 ha/tahun (Sumber : Dispenda dan Sedahan Agung Tabanan/17 Okt 2013).
Jika diperhitungkan penyusutan kepemilikan lahan subak di Kabupaten Tabanan dengan menggunakan data Dispenda dan Sedahan Agung Kabupaten Tabanan selama kurun waktu 7 tahun ( 2004 s.d. 2011) terjadi penyusutan 7,25 % (213,89 ha). Dengan demikian, penyusutan lahan subak di Kabupaten Tabanan dalam kurun waktu 10 tahun (delapan kecamatan di atas ditambah dengan Kecamatan Kediri, dengan catatan Selemadeg, Selemadeg Barat dan Selemadeg Timur dijadikan satu ), maka hasilnya 459 ha + 213,89 ha = 672,89 ha, atau terjadi penyusutannya 2,95 % dari luas total sawah tahun 2002 (22.842,00 ha). Jumlah penyusutan tersebut bisa jadi lebih dari angka tersebut, mengingat di Kecamatan Kediri hanya diperhitungkan hingga tahun 2011. Pada subak tertentu dalam kurun waktu 2 tahun, dapat terjadi perubahan luasan subak yang cukup signifikan, mengingat pertumbuhan pentuduk dan semangat pembangunan perumahan dan pengaplingan lahan sawah oleh developer (pengembang perumahan) khususnya di Kecamatan Kediri dan Tabanan.berlangsung cukup agresip. Dicontohkan salah satu pengembang di Subak Senapahan (Selatan Hutan Kera Alas Kedaton Desa Kukuh) di Desa Banjar Anyar Kecamatan Kediri pada tahun 2012, telah membebaskan 3 ha sawah untuk perumahan, semuanya sudah habis terjual. Kasus yang serupa dengan Kecamatan Kediri bisa terjadi pada
Kecamatan-Kecamaan lainnya, khususnya di wilayah pesisir seperti di Kecamatan Tabanan dan Kerambitan.
Sementara itu, menurut Pekaseh Subak Sanggulan ( I Ketut Waki/28 Okt 2013 dan Subak Senapahan (informan : I Gst. Pt. Sugita/ 12 Okt 2013) di Desa Banjar Anyar Kecamatan Kediri (Zone Tengah), menyatakan, alihfungsi lahan subak menjadi perumahan meyebabkan pencemaran lingkungan. Di antaranya, yaitu :
-
- penghuni perumahan kerap membuang pecahan
gelas, kaca, botol, piring ke sawah (selokan/ saluran air);
-
- banyak sampah plastik menyumbat saluran air;
-
- limbah WC, kamar mandi dan dapur dibuang ke saluran irigasi (got/jlinjingan) sehingga air sawah menjadi tercemar olehnya;
Demikain antara lain, beberapa dampak yang terungkap dari adanya alih fungsi lahan subak menjadi perumahan dan fasilitas pariwisata di Kabupaten Tabanan.
Keberadaan subak sangat tergantung pada keberadaan ruang sawah (lahan sawah) sebagai modal utama untuk produksi hasil-hasil pertanian (khususnya padi) sebagai sumber makanan pokok bagi masyarakat perdesaan. Dalam konteks riligi agraris, yaitu subak di Bali, lahan sawah (bahasa Bali : uma) dipadang sebagai tempat yang sakral, karena berfungsi sebagai tempat memuliakan padi yang dipandang sangat menentukan hidup matinya para petani. Bagi masyarakat Bali atau subak, sawah dipadang sebagai tempat yang sakral, dan dipandang sebagai Taman Sari ( taman sakral) sebagai tempat bermain-mainnya para dewa/dewi dan makhluk suci lain. Hal ini dapat dimaklumi, karena padi (beras) merupakan sumber energi pokok untuk dapat melakukan berbagai aktivitas hidup sehari-hari. Karena itu, tidak mengherankan jika di tengah kehidupan masyarakat petani ada berbagai mitos terkait dengan lahan/tanah sawah dan pemuliaan padi sebagai sumber makanan pokok (Bhs Bali : manik galih) yang dipuja sebagai Dewi Sri/Dewi Padi.
Surutnya lahan dan kepemilikan lahan subak oleh peduduk lokal, secara langsung menyebabkan
berkurangnya jumlah krama subak (anggota subak). Sementara itu, seperti disebutkan, bahwa subak merupakan organisasi pertanian tradisional yang bersifat religius mempunyai tanggung jawab budaya dan ritual dalam menjaga keseimbangan ekosistem subak untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan para aggotanya dan masyarakat desa secara umum. Berkurangnya jumlah krama subak berarti retribusi yang diterima oleh lembaga subak untuk kegiatan ritual dan aktivitas pemeliharaan bangunan suci dan kegiatan sosial gotong royong pemeliharaan saluran-saluran irigasi niscaya juga berkurang. Hal ini menjadi permasalahan yang cukup berat bagi lembaga subak.
Seperti halnya Subak Senapahan, Subak Sanggulan dan Subak Abiantuwug Kecamatan Kediri dan subak lainya, muncul permasalahan terkait dengan budaya subak. Subak Senapahan Desa Banjar Anyar Kediri Tabanan, yang lahan sawahnya banyak beralih fungsi menjadi perumahan, kini muncul permasalahan terkait dengan tanggung jawab untuk melakukan ritual piodalan di Pura Ulun Suwi yang cukup besar.Pernik-pernik konflik secara laten (silent conflict) dalam bentuk pergunjingan antara Bendesa Adat, Pangempong Pura dan Subak Senapan merupakan gejala awal terjadinya hubungan yang tidak harmonis di tataran pawongan dan parhyangan akibat terjadiya alih fungsi lahan subak (palemahan subak) mejadi perumahan.
Menurut informasi Pekaseh Senapahan, luas wilayah Subak Senapahan sebelumnya 105 ha dan kini 19 ha telah alih fungsi untuk perumahan. Menurutnya, kini sudah ada 200 KK pendatang yang tinggal di perumahan yang sebelumnya berfungsi sebagai lahan sawah. Alih fungsi lahan sawah menjadi perumahan terjadi secara besar-besaran sejak tahun 2006- sekarang (2013).
Demikian pula, pura-pura subak yang ada di Subak Bengkel Kecamatan Kediri yang lahannya telah dikuasai oleh investor untuk akomodasi (perhotelan) mulai ditinggalkan oleh para krama subak, karena mereka tidak lagi memiliki sawah, sehingga ikatan dan tanggung jawab mereka untuk melakukan ritual dan ikut gotong royong subak sudah usai (bebas).Beberapa pura subak (Pura Bedugul) di Kecamatan Kediri, seperti misalnya Pura Bedugul Subak Gadon II, Pura Subak Batu Lesung yang terletak di Banjar Batutampih Kangin-Desa Pangkung Tibah, Tempekan Subak Pura Batan Andong terletak di Banjar Batu Tampih Kauh,
tampakya menyimpan Benda Cagar Budaya (khususnya patung lingga-yoni) yang cukup tua sebagai simbol Purusa (Ciwa)/Lingga (aspek maskuli) dan Pradana/Yoni (Dewi Uma) (aspek feminim )yang diyakini sebagai sumber kesuburan dan kemakmuran, mulai kurang mendapatkan perhatian, karena semakin berkurangya jumlah krama subak. Dengan dijualnya dan dikuasainya lahan subak oleh investor, menyebabkan pemeliharaan dan perawatan pura subak termasuk untuk mengadakan upacara piodalan secara rutin (6 bulan sekali) dan ritual subak lainnya yang banyak membutuhkan beaya dan tenaga menjadi permasalahan yang baru muncul.
Selain itu, keberadaan perumahan di tengah lahan subak, menyebabkan beberapa ritual subak terganggu, yaitu penyepian carik yag biasanya diadakan sehari setelah ritual neduh/nedeh atau ritual subak penting lainnya, juga terganggu. Biasanya setelah ritual subak yaitu neduh atau nedeh, atau ritual subak penting lainnya berlangsung, besoknya dilanjutkan dengan ritual panyepian carik (sawah) satu hari, yaitu ritual mahening-hening untuk ngrastitiang karya di carik (mendoakan keberhasilan aktivitas ritual untuk kesejahteraa bersama). Pada ritual panyepian sawah ini, semua warga petani (krama subak) dan warga desa sekitar dilarang berlalu-lalang atau melakukan aktivitas apapun di carik (sawah). Ritual panyepian carik (sawah) berlangsung mulai pagi subuh hingga pukul 5 sore. Bagi petani yang melanggar ketentuan atau tradisi tersebut, biasanya dikenakan sanksi denda. Keberadaan penduduk atau pemukiman/ perumahan penduduk yang terletak di tengah sawah tersebut, menyebabkan para Subak kesulitan menerapkan aturan tersebut, dan ritual panyepian terganggu, atau ritual panyepian carik tidak dapat berlangsung secara tertib dan efektif.
Dapat dibayangkan jika alih fungsi lahan subak (sawah) menjadi perumahan atau fasilitas pariwisata dan bangunan fisik lain dibiarkan berlangsung terus seperti yang terjadi dewasa ini, maka sawah (lahan subak) akan terus menyusut, krama subak jumlahnya terus berkurang, budaya subak (teknologi subak, ritual atau bangunan suci/pura subak) secara perlahan mengalami degradasi atau hilang (kehilangan penyungsung/pengempon) atau mungkin bertransformasi dalam fungsi dan makna baru, tetapi sudah kehilangan kontekstual dan nilai kearifan budaya. Ketika ada krisis politik atau krisis ekonomi, khususnya terkait dengan sumberdaya
pangan, niscaya di Tabanan atau tempat lain (di Bali) akan terjadi kekurangan pangan atau kelaparan, konflik dan bencana kehidupan sosial tidak dapat dibayangkan lagi.
-
1) Trens pertumbuhan penduduk Kabupaten Tabanan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2002 s.d. 2012) mencapai = 26,10 % atau 2,61 % per tahun. Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Tabanan lebih banyak disebabkan oleh faktor migrasi (62,24 %) daripada pertumbuhan penduduk secara alami (37,76 %) dari seluruh total pertumbuhan peduduk;
-
2) Pertumbuhan penduduk tertinggi terjadi di Kecamatan Kediri 5,76 % . Kemudian disusul oleh Kecamatan Baturiti 5,13 %, Kecamatan Marga 4,05 %, dan Kecamatan Tabanan 3,69 %. Pertumbuhan penduduk terendah terjadi di Kecamatan Penebel 0,34 %. Kemudian disusul oleh Kecamatan Kerambitan 0,56 %, dan Kecamatan Selemadeg Timur 0,82 %.
-
3) Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Tabanan, baik secara alami maupun karena pertumbuhan penduduk akibat migrasi, secara tidak langsung menimbulkan dampak penyusutan luasan lahan subak (sawah) untuk perumahan. Berdasarkan analisis data secara manual, dalam kurun waktu 10 tahun (2002 -2012) terjadi penyusutan luas sawah 672,89 ha atau 2,95 % dari luas total sawah tahun 2002 (22.842,00 ha). Namun jika dihitung berdasarkan data Dinas Pertanian Provinsi Bali, dalam kurun waktu yang lebih lama yaitu 17 tahun ( 1995 s.d. 2012), diperoleh angka penyusutan 1627 ha (6,84 %) atau 95,71 ha/tahun (lihat Tabel 4 hlm 27). Secara implisit hal ini berarti, bahwa penyusutan lahan sawah di Kabupaten Tabanan lebih banyak terjadi sebelum tahun 2000-an. Hal ini sangat sesuai dengan kenyataan di lapangan, karena sekitar tahun 1990-an, banyak lahan-lahan petani yang berlokasi di tempat strategis (sepanjang pesisir dan tempat lain) dalam koteks pariwisata, dikuasai oleh investor.
-
4) Peyusutan lahan sawah karena pembangunan perumahan penduduk dan pembangunan fasilitas pariwisata juga berdampak pada
pecemaran air sawah oleh limbah rumah tangga dan sampah padat (sampah plastik, barang pecah belah keluarga), rusak dan terputusnya saluran irigasi subak.
-
5) Dampak pada ekosistem subak lainnya yaitu pada aspek sosial budaya, muncul konflik sosial di tingkat keluarga atau lembaga adat, karena batas-batas teritori yang kurang jelas dan semakin mahalnya harga lahan, serta terjadinya gangguan estetika lingkungan yang dapat berdampak pada degradasi ekowisata subak.
-
6) Aspek budaya subak seperti ritual panyepian sawah terganggu oleh adanya penduduk yang bermukim di tengah sawah, serta berkurangnya krama subak (anggota subak) yang ikut berpartisipasi dalam gotong royong dan pengelolaan warisan budaya (pura subak) akibat berkurangnya jumlah petani karena lahannya terjual (alih kepemilikan dan alih fungsi sawah);
-
7) Alih fungsi lahan subak ke nonpertanian di Kabupaten Tabanan, tidak semata-mata disebabkan hanya oleh pertumbuhan jumlah perduduk yang cenderung meningkat, tetapi juga oleh adanya kaum kapitalis (investor) yang membeli dan menguasai lahan petani (subak) dan kemudian membangun hotel, villa, bungalow, restoran dan fasilitas pariwisata lainya, atau lahan sawah masih dibiarkan dalam kondisi kosong dan kering (lahan tidur). Pada sisi lain, alih fungsi lahan subak menjadi perkebunan juga terjadi akibat pengalaman traumatik petani yag sering mengalami gagal panen akibat serangan hama tikus dan juga karena terjadinya perubahan lingkungan, yaitu berkurangnya suplai air ke sawah sehingga lahan petani mengalami kekeringan.
-
(1) Pertumbuhan penduduk yang cenderung meningkat yang membutuhkan perumahan, dan adanya fasilitasi kemudahan kredit dari Bank, dan pengeluaran izin pengaplingan sawah dan izin pembangunan yang tidak selektif membuka peluang bagi .para pengembang (developer) perumahan dan para penjaja jasa percaloan atau makelar tanah untuk berspekulasi dan memetik keuntungan (profit) yang sangat menggiurkan di tengah penderitaan para petani (subak). Pertumbuhan penduduk yang cenderung
meningkat, percaloan tanah dan developer yang menjamur, ditambah dengan tidak adanya perlindungan terhadap sawah subak, baik dari kebijakan pemerintah, maupun dari lembaga desa adat dan desa dinas, termasuk dari lembaga subak sendiri, menyebabkan alih fungsi lahan subak ke nonpertanian cenderung meningkat dan akhirnya eksistensi lembaga subak semakin terdesak dan segera akan sirna. Karena itu, lingkungan dan budaya subak perlu mendapatkan perlindungan untuk mempertahankan ketahanan dan kedaulatan pangan dan pengembangan ekowisata berbasis ekosistem subak untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat umum, dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD);
-
(2) Petani sedapat mungkin agar menghidarkan diri dari godaan uang banyak dengan menjual tanah (warisan leluhur) demi untuk hal-hal yang kurang berguna atau untuk kepentingan jangka pendek. Menjual tanah berarti menjual Ibu yang melindungi, merawat dan memberi makan dan minum untuk kehidupan kita sejak para leluhur hingga ke anak cucu kelak. Menjual tanah (Ibu) untuk kepentingan diri sediri yang bersifat sesaat, niscaya akan menyebabkan penderitaan (termajinalkan) bagi para petani dan anak cucu kelak, serta akan berdampak pada surut dan sirnanya budaya Subak khususnya, dan budaya Bali umumnya.
-
(3) Pengendalian pertumbuhan penduduk secara nyata (dari atas ke bawah/top-down dan dari bawah ke atas/bottom-up) melalui kebijakan pemerintah sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya over carrying capacity yang dapat berdampak pada krisis ekologi dan krisis sosial dan budaya; Perlu terus disosialisasikan dampak overpopulated terhadap lingkungan dan budaya subak, dan penerbitan kebijakan pengendalian pertumbuhan penduduk yang aplicable.
-
(4) Penelitian dampak pertumbuhan penduduk terhadap ekosistem subak dalam skop yang lebih luas (Provinsi Bali) perlu dilakukan guna merancang kebijakan pembangunan berkelanjutan yang lebih efektif dan untuk menjaga dan melestarikan subak dan kepercayaan masyarakat dunia (UNESCO) yang telah menetapkan beberapa kawasan subak dan warisan budaya di Bali sebagai World
Heritages. Jika tidak ada kesadaran dan komitmen dari masyarakat dan pemerintah dalam menjaga dan memberikan perlindungan terhadap subak, status warisan dunia tersebut akan dinyatakan dalam kondisi “in danger” dan menunggu untuk dicabut sebagai World Heritage.
Ucapan Terima Kasih
Penelitian ini dapat terwujud berkat adanya bantuan dana penelitian dari Direktorat Analisa Dampak Kependudukan (DITDAMDUK) BKKBN Pusat, Jakarta. Karena itu, sudah selayaknya dalam kesempatan ini diucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para Pekaseh, Kabid Sedahan Agung Dispenda Kabupaten Tabanan dan instansi lain yang telah memberikan informasi (data ) utuk kelancaran penelitian ini.
Daftar Pustaka
Aldrian, E., R.D. Susanto. 2003. “Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature” dalam International Journal of Climatology 23, pp. 1435–1452.
As-syakur, A.R., I.W. Suarna, I.W. Rusna, dan I.W.
Dibia. 2011. “Pemetaan Kesesuaian Iklim Tanaman Pakan Ternak serta Kerentanannya Terhadap Perubahan Iklim dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) Di Provinsi Bali” dalam Jurnal Pastura, 1(1), pp. 15-25.
As-syakur, A.R.. T. Tanaka, T. Osawa, and M.S.
Mahendra. 2013. “Indonesian rainfall variability observation using TRMM multi-satellite data” dalam International Journal of Remote Sensing, 34(21), pp. 7723–7738.
Biro Hukum Provinsi Bali. 2012. “ Perda No.9 Th.2012 tentang Subak,” dalam Himpuan Peraturan Daerah Provinsi Bali Tahun 2012. Depasar.
BPS Kabupaten Tabanan, 2002-2012. Kecamatan Kediri, Tabanan, Marga, Kerambitan, Penebel, Selemadeg, Selemadeg Timur, Selemadeg Barat, Baturiti Dalam Angka. Tabanan
BPS Kabupaten Tabanan. 2002-2012. Kabupaten
Tabanan Dalam Angka. Tabanan.
Creighton, Phyllis .1999. “Dunia Dalam Transisi “ dalam Kepedulian Masa Depan : Laporan Komisi Mandiri Kependudukan dan Kualitas Hidup (alihbahasa :Mohamad Soerjani). Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan, Jakarta.
Dai, J. dan Rosman. 1970. Peta Tanah Tinjau P. Bali Skala 1:250.000. Balai Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Daryono, D.K. Suanda, dan I.G.A.M. Sri Agung. 2003. “Evaluasi Zona Agroklimat Oldeman Daerah Bali Berdasarkan Pemutakhiran Data Curah Hujan Hingga tahun 2000” dalam Jurnal Agritrop, 22(3).
JICA. 2005. The Comprehensive Study on Water Resources Development and Management for Bali Province in the Republic of Indonesia. Japan International Cooperation Agency – Directorate General of Water Resources Ministry of Public Works. Denpasar
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. 1997. Agenda 21 Indonesia: Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta.
Lindberg ,K.dan Hawkins, D.E. 1995. Ekoturisme : Petunjuk untuk Perencana dan Pengelola. (terjemahan) . The Ecotourism Society, Nort Bennington, Vermont.
Malthus,Thomas,Huxley, Julian dan Osborn, Frederick. 2004. Ledakan Penduduk Dunia: Prinsip-Prinsip Kependudukan dan Pengendaliannya (terjemahan dari Three Essays on Population , oleh Dindin Solahuddin). Penerbit Nuansa, Bandung.
Mantra, I.B.1986. Pengantar Studi Demografi. Penerbit Nur Cahaya, Yogyakarta.
Munir, ed.2007. Penduduk, Dileman & Solusi. Penerbit Nuansa, Bandung.
Pemda Tabanan. 2011. Peraturan Bupati Tabanan Nomor 27 Tahu 2011 tetang Penetapan Sawah Berkelajutan Sebagai Sawah Abadi Pada Subak di Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan. Tabanan.
Purbo-Hadiwidjojo, M.M., H. Samodra, dan T.C. Amin 1998. Peta Geologi Lembar Bali, Nusatenggara.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Bandung
Sanderson, Stephen K.2003. Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Sarwono,S.W.1992.Psikologi Lingkungan. Penerbit :Program Pascasarjana Program Studi Psikologi Universitas Indonesia bekerja sama dengan PT Gramediasarana Indonesia, Jakarta.
Soerjani, Muhamad . 1999. Kepedulian Masa Depan : Laporan Komisi Mandiri Kependudukan dan Kualitas Hidup. Institut Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan, Jakarta
United State Navy. 1976. U.S. Navy marine climatic atlas of the world. Volume III: Indian Ocean. Published by direction of the Chief of Naval Operations. U.S. Government Printing Office, Washington, DC.
Ward, Barbara dan Dubos, Rene .1974. Hanya Satu Bumi : Perawatan dan Pemeliharaan Sebuah Planet Kecil ; (terjemahan oleh S. Supomo).PT Gramedia, Jakarta.
Windia, I Wayan, Suamba, I Ketut, Sudarta, I Wayan. 2011. “Model Pegembangan Agrowisata Berbasis Sistem Subak di Bali” dalam SOCA : Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisis. Diterbitkan oleh Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Denpasar.
Tabel 2 : Mata Pencaharian Penduduk Kabupaten Tabanan Menurut Kecamatan pada Tahun 2011.
Mata |
Kecamatan |
Kabupaten | |||||||||
Pencaharian Hidup |
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
6 |
7 |
8 |
9 |
10 |
Tabanan |
Pertanian |
3.876 |
* |
12.676 |
13.621 |
14.610 |
29.889 |
26.351 |
879 |
1.985 |
6.562 |
110.449 |
Peternakan |
1.396 |
* |
221 |
- |
457 |
1.127 |
1.042 |
79 |
1.001 |
- |
5.323 |
Perikanan |
139 |
* |
80 |
- |
14 |
- |
- |
- |
71 |
- |
304 |
Perkebunan |
2.271 |
* |
151 |
- |
140 |
- |
1.795 |
36.419 |
4.550 |
- |
45.326 |
Perdagangan |
1.785 |
* |
11.735 |
4.498 |
1.127 |
3.323 |
1.837 |
846 |
746 |
77 |
25.974 |
Industri |
460 |
* |
2.698 |
1.920 |
1.705 |
738 |
262 |
355 |
137 |
274 |
8.549 |
Listrik/ Air Minum |
57 |
* |
50 |
- |
24 |
17 |
4 |
- |
114 |
65 |
331 |
Angkutan dan Komunikasi |
122 |
* |
342 |
- |
204 |
630 |
175 |
180 |
240 |
2.403 |
4.296 |
Bank, Lembaga Keuangan |
106 |
* |
231 |
- |
160 |
201 |
26 |
- |
724 |
- |
1.448 |
Pemerintahan, Jasa-jasa |
929 |
* |
8.167 |
3.797 |
1.319 |
1.019 |
6.996 |
748 |
850 |
77 |
23.902 |
Konstruksi |
1.110 |
* |
- |
- |
184 |
925 |
- |
- |
144 |
251 |
1.504 |
Penggalian/ Pertambangan |
3 |
* |
- |
- |
348 |
- |
- |
- |
- |
721 |
1.072 |
Sumber : Kecamatan Selemadeg, Kerambitan, Tabanan, Kediri, Marga, Baturiti, Penebel, Pupuan, Selemadeg Barat, Selemadeg Timur dalam angka 2012.
Keterangan : 1 : Kecamatan Selemadeg; 2 : Kecamatan Kerambitan; 3 : Kecamatan Tabanan; 4 : Kecamatan Kediri; 5 : Kecamatan Marga; 6 : Kecamatan Baturiti; 7 : Kecamatan Penebel; 8 : Kecamatan Pupuan; 9 : Kecamatan Selemadeg Barat; 10 : Kecamatan Selemadeg Timur.
Tabel 3 : Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Tabanan Menurut Kecamatan Tahun 2002-2012
LAJU PERTUMBUHAN PENDUDUK
Kecamatan |
Tahun |
Tahun |
Tahun |
Tahun |
Tahun |
Tahun |
Tahun |
Tahun |
Tahun |
Tahun |
Tahun |
JUMLAH |
2002 |
2003 |
2004 |
2005 |
2006 |
2007 |
2008 |
2009 |
2010 |
2011 |
2012 | ||
Selemadeg |
0,58 |
0,48 |
0,42 |
0,33 |
0,58 |
-0,15 |
-0,09 |
0,07 |
0,36 |
-0,20 |
0,11 |
2,49 |
Kerambitan |
0,20 |
0,37 |
0,14 |
0,13 |
0,02 |
0,06 |
0,06 |
-0,01 |
-0,18 |
-0,21 |
-0,02 |
0,56 |
Tabanan |
0,60 |
0,31 |
0,44 |
0,31 |
0,20 |
0,40 |
0,36 |
0,46 |
0,14 |
0,27 |
0,20 |
3,69 |
Kediri |
0,49 |
0,44 |
0,37 |
0,19 |
0,33 |
0,76 |
0,55 |
0,46 |
0,53 |
0,99 |
0,65 |
5,76 |
Marga |
0,75 |
0,43 |
0,40 |
0,62 |
0,43 |
0,37 |
0,32 |
0,27 |
0,26 |
0,17 |
0,03 |
4,05 |
Baturiti |
0,47 |
0,88 |
1,14 |
0,60 |
0,32 |
0,16 |
0,39 |
0,38 |
0,27 |
0,20 |
0,32 |
5,13 |
Penebel |
0,07 |
0,07 |
0,03 |
0,04 |
0,05 |
0,02 |
-0,16 |
-0,02 |
0,18 |
0,04 |
0,02 |
0,34 |
Pupuan |
0,22 |
0,27 |
0,22 |
0,15 |
0,14 |
0,12 |
0,17 |
0,15 |
0,03 |
-0,01 |
-0,04 |
1,42 |
Selemadeg Barat |
* |
0,45 |
0,03 |
0,32 |
0,37 |
0,15 |
0,22 |
1,15 |
0,11 |
0,02 |
0,02 |
1,84 |
Selemadeg Timur |
* |
0,40 |
0,15 |
0,12 |
0,37 |
0,03 |
0,04 |
-0,04 |
0,03 |
-0,28 |
0,00 |
0,82 |
Kabupaten Tabanan 0,44 |
0,40 |
0,36 |
0,27 |
0,26 |
0,25 |
0,23 |
0,29 |
0,20 |
0,21 |
0,19 |
26,10 |
Sumber : Tabanan dalam Angka 2002, 2003, 2004, 2006, 2007, 2008, 2009, 2010, 2011, 2012, 2013
Catatan : * Kecamatan Selemadeg Barat dan Kecamatan Selemadeg Timur masih bergabung dengan Kecamatan Selemadeg.
Tabel 4 : Dinamika Perkembangan Lahan Sawah Dalam Kurun Waktu 10 Tahun (2002 s.d. 2012) di Kabupaten Tabanan
Tahun |
Kecamatan |
Kabupaten Tabanan | |||||||||
Selema deg |
Selemadeg |
Selemadeg Keram- |
Tabanan bitan |
Kediri |
Marga |
Batu-riti |
Penebel |
Pupuan | |||
Barat |
Timur | ||||||||||
2002 |
5674 |
2536 |
2008 |
2902 |
2348 |
1941 |
4389 |
1044 |
22842 | ||
2003 |
5551 |
2536 |
1996 |
2960 |
2348 |
1894 |
4371 |
983 |
22639 | ||
2004 *) |
1901 |
1207 |
2402 |
2526 |
1996 |
2950 |
2348 |
1894 |
4371 |
1031 |
22626 |
2005 |
1901 |
1161 |
2355 |
2516 |
1990 |
2945 |
2326 |
1894 |
4371 |
1031 |
22490 |
2006 |
1901 |
1161 |
2355 |
2516 |
1990 |
2945 |
2326 |
1894 |
4371 |
1031 |
22490 |
2007 |
1895 |
1161 |
2342 |
2516 |
2006 |
2953 |
2326 |
1886 |
4363 |
1031 |
22479 |
2008 |
1895 |
1161 |
2342 |
2516 |
2006 |
3036 |
2326 |
1886 |
4363 |
1031 |
22562 |
2009 |
1895 |
1161 |
2342 |
2516 |
1993 |
3036 |
2320 |
1808 |
4363 |
1031 |
22465 |
2010 |
1895 |
1161 |
2342 |
2516 |
1990 |
3029 |
2320 |
1808 |
4363 |
1031 |
22455 |
2011 |
1895 |
1161 |
2342 |
2516 |
1990 |
3029 |
2320 |
1808 |
4363 |
1011 |
22435 |
2012 |
1907 |
1161 |
2320 |
2516 |
1990 |
3006 |
2320 |
1808 |
4362 |
998 |
22383 |
- 3767 |
- 46 |
- 82 |
- 20 |
-18 |
+104 |
- 28 |
- 137 |
-27 |
- 46 |
- 459 |
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Tabanan Th 2013
Keterangan :
124
Discussion and feedback