USAHA-USAHA PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP PADA MASYARAKAT BALI KUNO BERDASARKAN REKAMAN PRASASTI
on
USAHA-USAHA PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP
PADA MASYARAKAT BALI KUNO
BERDASARKAN REKAMAN PRASASTI
[ Ketut Setiawan
Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra, Universitas Uciayana kctutsctiawan28(⅜yahoo.co.id
Abstract
This study, which is entitled "the attempts done by the old Balinese people to preserve environment' describes the activities done by the old Balinese people on usual and particular days. As recorded in some epigraphs, presenting environment was one of the activities done. The data obtained from the epigraph, as far as this study is concerned, are classified as the primary data which are supported by the secondary data obtainedfrom relevant studies. Then the data were analyzed, interpreted and synthesized, using inductive and deductive methods. Historical, sociological and archaeological approaches were used to sharpen (he analysis and the interpretations made. The results of (he analysis show that the people living in (he old Bali era voluntarily attempted to preserve their environment to improve their welfare and comfort.
Keywords : preservation, environment. Old Bali community, epigraphs
-
1. Pendahuluan
Pulau Bali mempunyai bentang alam (landscape) dan lingkungan alam (natural environment) yang menghijau menggambarkan kesuburan, dengan hamparan tanah pertanian yang produktif, karena mempunyai Sumberdaya alam yang potensial. Di sini terdapat sejumlah sungai, merupakan Sumbcrdaya alam yang penting bagi kelangsungan hidup masyarakat di sekitarnya, yang menyangkut kepentingan ritual dan keperluan hidup sehari-hari. Sungai-sungai itu mendapat air dari sumbernya di kaki pegunungan yang membujur dari barat ke timur di tengah-tengah Pulau Bali. Dalam alam pikiran masyarakat Bali yang beragama Hindu, air sungai selain memberi kesuburan tanah, juga secara simbolis setiap hari membagi-bagikan kekuatan magis berasal dari arwah nenek moyang yang berada di puncak gunung. Kekuatan itu menjadi satu dengan kesucian dari dewa-dewa Hindu, yaitu Dewa-dewa Gunung (mountain God) (Stuttcrheim, 1935).
Akumulasi kekuatan magis ini setiap hari secara simbolis didistribusikan kepada penduduk melalui air sungai kc sawah-sawah pertanian, dengan harapan agar mendapat perlindungan dan hasil pertanian yang melimpah. Demikianlah sejak zaman
dahulu sampai sekarang masyarakat percaya bahwa gunung adalah tempat suci, pusat segala kekuatan, dihormati, dan dimintai perlindungan (Sutaba, 2007).
Sementara itu, hutan di bagian perbukitan atau di daerah dataran tinggi dengan berbagai pepohonan, telah Inenciptakan suasana yang memberikan kesan tersendiri. Di tengah-tengah hutan yang serba hijau, terdapat sejumlah fauna sebagai penghuninya. Dari bagian dataran tinggi di tengah-tengah Pulau Bali, nicnunin kc arah utara dan selatan terdapat dataran rendah yang dimanfaatkan sebagai pemukiman penduduk. Sebagian dari dataran ini merupakan tanah sawah pertanian yang subur, karena mengandung endapan material vulkanik dari gunung-gunung tersebut. Tanah sawah merupakan ekosistem kehidupan alami yang sangat menarik, serasi, dan menawarkan keharmonisan atau keseimbangan hidup kepada masyarakat sekitarnya.
Bentang alam dan lingkungan hidup seperti tersebut di atas, memperlihatkan wajah yang sarat dengan kandungan sejarah masa lalu, yang sudah Iama menarik perhatian para ahli antara lain, para ahli arkeologi, sejarah kuno, dan kebudayaan. Tiga di antara sungai-sungai tersebut di atas, yakni Sungai Pakerisan, Sungai Pctanu, dan Sungai Wos menjadi terkenal dalam sejarah Bali Kuno, karena telah
membangun kawasan budaya (cultural area) yang sampai sekarang masih menjadi kawasan yang sakral bagi masyarakat Bali.
Penelitian arkeologi yang dimulai pada awal abad XX telah mendapatkan bukti-bukti bahwa kawasan budaya ini memang menyimpan sejumlah tinggalan purbakala yang sampai sekarang masih berfungsi sakral (sacred living monuments). Padatnya populasi tinggalan budaya di kawasan ini dapat dipandang sebagai suatu indikasi mengenai permukiman masyarakat atau tingginya mobilitasi sosial yang terjadi di masa lalu. Konsentrasi tinggalan budaya di kawasan ini dapat pula dianggap sebagai suatu indikasi bahwa peradaban Bali Kuno yang sangat memperhatikan lingkungan sekitar lahir di kawasan budaya ini.
Sementara itu, sejak zaman purba, untuk mempertahankan hidupnya manusia berupaya memanfaatkan lingkungan dengan cara memelihara, mengelola, membudidayakan maupun merusaknya. Secara langsung dan tidak langsung manusia amat bergantung pada lingkungannya (Drajat, 1986). Manusia hidup di bumi tidak sendirian, melainkan bersama makhluk lain, yaitu tumbuh-tumbuhan dan hewan. Makhluk hidup yang lain itu bukanlah sekedar kawan hidup, melainkan hidup manusia terkait erat dengannya. Tanpa makhluk yang lain itu manusia tidak dapat hidup.
Manusia bersama tumbuh-tumbuhan, hewan, atau jazad renik menempati suatu ruang tertentu. Kecuali makhluk hidup, dalam ruang ini terdapat pula udara, air, tanah, api, batu, dan lain-lain. Ruang yang ditempati suatu makhluk hidup disebut lingkungan hidup (Socmarwoto, 1991). Pemanfaatan lingkungan oleh manusia akan menimbulkan dampak, baik positif maupun negatif. Dampak tersebut mungkin terasa pada masa kemudian. Pada saat manusia mulai memerlukan lahan untuk pertanian misalnya, pembabatan hutan mulai dilakukan. Peristiwa itu merupakan perusakan lingkungan oleh manusia.
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Dengan pengertian ini, maka semakin diyakini bahwa segala benda, zat organik, dan manusia yang hidup dalam suatu lingkungan mempunyai hubungan timbal-balik antara sesamanya dan dengan lingkungannya. Jaringan hubungan timbal-balik antara manusia dan segala benda, zat
organisme, serta kondisi yang ada di lingkungan membentuk suatu sistem ekologi yang disebut ekosistem (Emil Salim11979).
Dalam kaitan dengan tulisan ini. yang sesungguhnya dilestarikan bukanlah keserasian dan keseimbangan lingkungan, melainkan melestarikan daya dukung lingkungan yang dapat menopang secara berkelanjutan pertumbuhan dan perkembangan yang diupayakan melalui pembangunan, sehingga generasi mendatang terjamin hidupnya, bahkan menjadi semakin baik. Dengan demikian, pelestarian lingkungan hidup diartikan sebagai segala upaya yang dilakukan oleh manusia untuk mengendalikan secara positif daya dukung alam, sehingga mampu memberikan kehidupan yang aman dan sejahtera bagi penghuninya.
-
2. Metodologi
-
2.1 Sumber Data
-
Data yang digunakan dalam penelitian ini terutama didapat dari prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja yang memerintah pada masa Bali kuno, khususnya abad XI-XIIl. Ada dua belas prasasti yang digunakan sebagai sumber primer penelitian ini. Data prasasti belum cukup bagi penyusunan upaya pelestarian lingkungan masa Bali kuno. Data itu dilengkapi dengan bahan-bahan yang didapat dari pelbagai publikasi, baik berupa kitab, artikel, majalah, atau kitab yang berbentuk bunga rampai.
-
2.2 Metode Penelitian
Kcselunihan kegiatan ini meliputi tiga tahapan kerja, yakni (1) tahap pengumpulan data, (2) tahap pengolahan dan analisis data, (3) tahap penyajian hasil penelitian.
Pertama, tahap pengumpulan data. Telah diketahui bahwa sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah prasasti-prasasti. Prasasti-prasasti tersebut telah ditranskripsi ke dalam huruf latin. Teks-teks prasasti didapat dari beberapa peφustakaan yang ada di Bali. Gambaran di atas menjelaskan bahwa penelitian di perpustakaan merupakan kegiatan terbesar yang dilakukan dalam tahap pengumpulan data. Setelah sumber-sumber terkumpul, mulailah dilaksanakan pencatatan data. Sebagian besar data, terutama yang dari segi kualitas mempunyai nilai penting, dicatat dalam kartotek.
Kedua, tahap kerja berikutnya adalah pengolahan dan analisis data. Upaya pertama pada tahap ini adalah menerjemahkan data yang telah tercatat kc dalam bahasa Indonesia. Upaya ini dilakukan karena data tersebut pada mulanya menggunakan bahasa Bali Kuno dan bahasa Jawa Kuno. Data yang telah dikelompokkan itu kemudian dianalisis. Mengingat data itu merupakan data kualitatif, maka perlu dilakukan interpretasi atau penafsiran terhadapnya, sehingga langkah hermeneutik tidak dapat dihindarkan. Analisis ini menghasilkan fakta-fakta yang dapat disusun menjadi suatu konstruksi historis.
Ketiga, pada tahap ini konstruksi uraian historis yang dihasilkan, kemudian disajikan dengan memperhatikan aturan penulisan karya ilmiah yang telah digariskan.
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Upaya-upaya Masyarakat Bali Kuno untuk Melestarikan Lingkungan Hidup Pengelolaan sumberdaya alam merupakan aktivitas penting dalam upaya menjaga dan melestarikan lingkungan. Sumberdaya alam harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh manusia untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup. Dapat diyakini bahwa berbagai aktivitas atau kegiatan telah dilakukan oleh masyarakat Bali kuno. Di antara aktivitas atau kegiatan itu, banyak yang dapat digolongkan sebagai upaya pelestarian lingkungan hidup. Keterangan dari sumber-sumber prasasti menunjukkan bahwa masyarakat Bali Kuno telah melakukan kegiatan pelestarian lingkungan hidup melalui larangan memotong kayu tanpa izin. Pernyataan dalam prasasti berupa izin untuk memotong kayu-kayu tertentu yang digolongkan sebagai “kayu larangan" jika kayu-kayu atau pohon-pohon itu tumbuh pada tempat yang dipandang tidak layak.
-
Untuk Icbihjclasnya, di bawah ini dikutipkan bagian teks Prasasti Ujung A (Goris, 1954) yang dikeluarkan oleh raja Udayana Warmadcwa sebagai berikut:
lVa.3-5 ....” ntangkana dadya ya rugaken sakwehning kayu larangan, makadi kemiri, bodi, sekar kuning, yan hada ya hangebiumah, Iirisan, hama hayu, pohman, kunang kapwa tan witakna tan katampuhana dosa.... ”
Artinya:
IVa.3-5 ...." demikianlah (mereka) diizinkan menebang segala macam “kayu larangan” seperti pohon kemiri, pohon bodi, pohon sekar kuning jika ada di antara pohon-pohon tersebut menaungi rumah, pohon kelapa, balai pertemuan, dan semua perbuatan itu tidak akan disalahkan....’’
Keterangan yang hampir sama juga disebutkan dalam prasasti Bwahan D (1181) yang dikeluarkan oleh raja Jayapangus (Callenfels, 1926)
IVb.2-3 ...."dadyayang rugaken sakweh ning kayu larangan makading kamiri, boddhi, waringin. van Sadosangobi sawah kebwan pagagan, pager umah, pohoman amahayu hawan kunang kapwa tan witakna tan katampuhana dosa.... ”
Artinya:
IVb.2-3 .... mereka boleh memotong Segalajenis kayu larangan seperti kemiri, boddhi, beringin, apabila tumbuh pada tempat yang kurang layak, yakni menaungi sawah, kebun, padi ladang, pagar rumah, dan balai pertemuan, dengan tujuan memperbaiki keadaan jalan (lingkungan) tidak akan dipersalahkan....”
Berdasarkan kutipan bagian teks-teks prasasti di atas dapat diketahui bahwa penduduk desa diizinkan menebang pohon-pohon yang tergolong kayu larangan, kalau memang sudah didasari dengan pertimbangan serta tujuan yang jelas. Adalah logis bahwa izin seperti itu berlaku pula bagi tindakan pemangkasan, yaitu memotong dahan-dahannya yang ternyata mengganggu keadaan lingkungan.
Menarik pula untuk diperhatikan bahwa upaya pelestarian lingkungan hidup dilakukan oleh masyarakat Bali Kuno adalah berupa kegiatan-kegiatan sosial religius atau ritual keagamaan. Prasasti-prasasti yang berasal dari zaman Bali kuno mencatat sejumlah ritus yang dilakukan pada masa itu, mulai dari ritus keagamaan pada bangunan-bangunan suci sampai ritus yang berkaitan dengan adanya peristiwa kematian manusia secara wajar maupun tidak wajar, dan peristiwa kematian binatang-binatang tertentu secara tidak wajar.
Sementara itu, untuk menyebut ritus kematian telah diketahui dua istilah yaitu marhantuang dalam
prasasti-prasasti berbahasa Bali kuno, sedangkan dalam prasasti-prasasti berbahasa Jawa kuno digunakan istilahα∕⅛α-f∣Ha(Goris, 1954; Callcnfcls, 1926). Dalam prasasti Bwahan E (1181 Masehi) (Callcnfcls, 1926) disebutkan sebagai berikut.
lV/b.1-2 ...."kumang yan lembu, ajaran, makading wwang mati salah pati ri thaninya, Samangkana yan pasrawanaknanya mara wijayapura, i sira parama oh yasta makading para senapati salah siki juga ya, tan katampuhana dosa, yan Sinuksmanya tan kna panuksma mwang Sakwehning saji-saji.... "
Artinya:
IV/b.l-2 ....’’adapun jika sapi, kuda, lebih-lebih manusia mati salah pati di desanya, yang demikian itu supaya dilaporkan ke Wijayapura, kepada Paramadhyasta, atau kepada salah satu para senapati, tidak akan dipersalahkan, jika dilakukan upacara penyucian, mereka tidak dikenakan panuksma serta segala jenis sesajen....”
-
3.2 Peranan Penguasa dalam Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup
Penguasa dalam hal ini adalah raja, mempunyai kewenangan yang sangat sentral pada masa Bali Kuno. Prasasti-prasasti yang jumlahnya ratusan dikeluarkan oleh raja. Prasasti pada hakikatnya adalah dokumen resmi tertulis yang dihasilkan oleh kerajaan Bali Kuno. Kekuatan ketetapan-ketetapan yang tercantum di dalamnya Oiengaturhampirscluruh kehidupan masyarakat dan wajib dipatuhi oleh semua pihak.
Terkait dengan upaya-upaya pelestarian lingkungan hidup, dampak negatif akibat pengeksploitasian Sumberdaya alam berlebihan yang dilakukan oleh manusia dapat dikurangi jika manusia mau bersikap dan bertindak hati-hati serta bijaksana. Hal itu mencerminkan suatu kearifan terhadap lingkungan, dan rupanya sikap semacam itu pada zaman Bali kuno sudah ada. Hal ini sekaligus berarti bahwa masalah lingkungan sudah mendapat perhatian yang cukup memadai oleh pemerintah atau rakyat.
Pemikiran tentang pelestarian lingkungan hidup oleh pemerintah dan rakyat pada zaman Bali Kuno dijabarkan dalam berbagai bentuk usaha dan tindakan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada masanya. Tindakan konkrit dalam upaya membatasi ruang gerak perburuan binatang ditunjukkan dengan adanya hutan-hutan yang berstatus alas burwan haji (hutan perburuan raja). Dalam pengertian yang lebih luas, alas burwan haji mencakup hutang-hutan yang dikuasai oleh pemerintah atau hutan yang dalam pemanfaatannya oleh rakyat setidak-tidaknya harus sepengetahuan pemerintah.
Berburu binatang pada hutan negara tidak boleh dilakukan sewenang-wenang, tetapi diperlukan izin dari pemerintah melalui para pejabat yang bertugas dan berwenang dalam masalah berburu binatang. Pejabat-pejabat yang dimaksud adalah Samgat Nayakan Buru dan Caksu Nayakan Buru. Tidakjclas bagaimana mekanisme kerja kedua jabatan itu, tetapi dilihat dari nama jabatannya dan berdasarkan keterangan Goris (1948; 1954), tampaknya Samgat Nayakan Buru merupakan atasan dari Caksu Nayakan Buru. Caksu Nayakan Buru bertugas selaku pengawas bagi orang-orang yang melakukan perburuan binatang di daerah-daerah perburuan. Caksu Nayakan Buru senantiasa memberi laporan kepada atasannya Samgat Nayakan Buru yang berkedudukan di pusat pemerintahan.
Hutan-hutan negara atau daerah-daerah perburuan tampaknya mendapat perhatian yang cukup memadai. Di daerah-daerah seperti itu bermukim sejumlah penduduk atau mungkin ditempatkan oleh pemerintah untuk ikut menjaga hutan atau membantu petugas kerajaan dalam mengawasi orang-orang yang berburu maupun orang-orang yang menebang pohon secara liar di hutan.
Prasasti Buahan B 1018 Masehi (Goris, 1954) yang dikeluarkan oleh raja Marakata disebutkan sebagai berikut:
1-9-11 .... ” kunang kweh nikanang rggap i buru \ sanayaka hana ri tatkala paduka haji dumwal ikang alas irikanang karaman i wingkang ranu bwahan, bsar mangaran sutu, penghulukertya mangaran raksita, rggap parlepahan mangaran sriangga, mwang Iulisrangl dharma butun, tyaga kulup, sayu, puput, gunangga, jawong...."
Artinya:
adapun sejumlah orang yang telah tinggal di daerah perburuan ketika raja menjual hutan itu kepada penduduk Desa Bwahan di tepi danau (Batur)t antara lain pejabat Bsar bernama Sutut Penghulukertya, bernama Raksita, Rggap Parlepahan bernama Sriangga, Tutisrang, Dharma Butun. Tyaga Kulup. Sayu. Pupul, Gunangga, Jawong.... ”
Penebangan hutan untuk perluasan lahan pertanian atau untuk maksud-maksud lain yang serupa, tampaknya tidak luput dari perhatian pemerintah. Langkah-langkah untuk mengantisipasi perusakan lingkungan akibat adanya penebangan pohon di hutan mendapat perhatian yang serius dari pihak penguasa. Pemerintah dalam hal ini raja, mengangkat pejabat khusus yang berkaitan dengan hutan, yaitu hulu kayu. Menurut Goris (1954) bahwa jabatan hulu kayu adalah petugas menteri kehutanan yang mempunyai wewenang terkait dengan kelestarian hutan. Hutan hendaknya dijaga, dilindungi, karena dapat memberi manfaat bagi kehidupan manusia.
-
4. Simpulan dan Saran
-
4.1 Simpulan
-
Masyarakat pada zaman Bali Kuno telah melakukan upaya-upaya untuk melestarikan lingkungan hidup. Dalam mengeksploitasi Sumberdaya alam, masyarakat bersikap dan bertindak cukup hati-hati dan bijaksana. Hal yang demikian menunjukkan bahwa masyarakat mempunyai kesadaran terhadap bahaya kerusakan lingkungan akibat eksploitasi yang berlebihan. Pemerintah, dalam hal ini raja beserta Scgenapjajaran pemerintahannya, baik di tingkat pusat maupun daerah, bahkan di tingkat desa memiliki komitmen yang tinggi terhadap pelestarian lingkungan hidup. Raja mengangkat pejabat-pejabat khusus yang bertugas mengawasi eksploitasi Sumberdaya alam.
-
4.2 Saran
Prasasti-prasasti sebagai sumber sejarah masa lalu sesungguhnya banyak memberi informasi tentang aktivitas manusia masa lalu. Untuk itu perlu penelitian yang mendalam dengan memanfaatkan prasasti, sehingga diperoleh berbagai informasi yang menyangkut aktivitas kehidupan manusia dengan segala aspeknya.
Daftar Pustaka
CalIenfeIs, P.V. van Stein. 1926. oEpigraphia Balica I" VBG.LV13.G Kolf & Co
Chang, W. 2000. Moral Lingkungan Hidup. Kanisius, Yogyakarta.
Drajat, H.U. 1986. Manajemen Sumberdaya Budaya dan Pembangunan. Ul Press, Jakarta.
Goris1 R. 1948. Sedjarah Bali Kuna. Singaradja.
Gorist R. 1954. Prasasti BaliI. Masa Baru, Bandung.
Iskandar, J. 2001. Manusia, Budaya dan Lingkungan : Ekologi Manttsia. Humaniora Utama Press, Bandung.
Jacob, T. 1982. “Pengembangan Ilmu Tentang Lingkungan dalam Penelitian Arkeologi” Berkala Bioantropologi, 2. 139-144.
Moleong, J.L. 1999. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Salim, E. 1974. Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Mutiara, Jakarta.
Socdiman. 1982. “Arkeologi dan Lingkungan Hidup". Majalah Arkeologi, 5.39-60.
Soemarwoto, O. 1985. Ekologi Lingkungan Hidup dan pembangunan. Penerbit Jambatan1 Jakarta.
Stuttcrhcim1W-F. 1935. Indian Injluences in Old BalineseArt. Indian Society, 3 Victory Street. London.
Suhadi, M. 1986. “Data Prasasti Untuk Ekologi”. Dalam Prosiding Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA) IV.
Cipanas 3-9 Maret 1986. Pusat PcnelitianArkcoIogi Nasional1 Jakarta, pp. 230-245.
Sutaba11.M. 2007. Sejarah Gianyardari Zaman Prasejarah Sampai Masa Baru-Modern. Badan Penelitian dan Pembangunan Kabupaten Gianyar.
359
Discussion and feedback