ASPEK SOSIO-NATURAL HALAMAN SEKOLAH: MODEL evaluasi Terintegrasi Bioekologi dan preferensi LINGKUNGAN DALAM EKOSISTEM URBAN

Sang Putu KaIcrSuratan*, 1 KetutSudan,dan 1 MadeSudianan

nFakuItas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)Universitas Mahasaraswati. Denpasar-Bali 2> Fakultas Ilmu Pendidikan Sosial (FIPS) Universitas Hindu Indonesia. Denpasar-Bali

5lFakultas Pertanian, Matematika, dan Ilmu PengetahuanAIama (FP MIPA) IKIP Saraswati Tabanan •Email: suratak@yahoo.com

Abstract

School yards are a part of a few green open areas in urban environment. Therefore, school yard has important role for urban ecosy stem. The goal of this research is to compare bioecologica! condition among elementary, middle and high schools and analyse the level of relationship among Inoecological aspects, students and teachers preferencies toward (heir school yards. We have conducted research in 2008 which involved 20 elementary. 8 middle and 8 high schools at Denpasar Bali. Those schools were devided to be two groups: A (we observed their shool yards and have taken survey for students and teachers) and B (only taken survey to students and teachers). Results showed that percentage ofoppened yard toward total areas of elementary' school (46.5±I7.1%) higher than middle school (38.8 ±15.5%) and high school (37,5±9,6%). Also the proportion of school garden in elementary school (30,2±20,3%) nearly twice higher than middle school (18.8± 6.3%) and high school (20,0±8.2%). Environmental preferencies of majority sample (>80%) were higher than point 4 of 7 Likert scales. Its mean, they tend to give positive image both artistic (beautiful, green, fresh, healty, happy and wide) and the ecological roles of school yard (rain water catchment, pollution absorbtion. anima! habitat, oxygen supply, opennes toward sunlight and plant biodiversity). While plot of factor analysis showed that bioecological scores located in (he same field with environmental preferencies of samples from group B. Thus (he model of integration between environmental preferencies and bioecological evaluation able to give a new perspective of school yard as a socio-na(ural unit. Rs not only important for ecosystem but also for human wellbeing. Thus we suggested to apply socio-natural approaches, mainly through enggagιng non-owner communities in rating certain of the urban ecosistem.

Key words: bioecology, environmental preferencies. school ya id. sosio-natural unit

  • 1.    Pendahuluan

Pertumbuhan penduduk dan alih fungsi kawasan bervegetasi untuk kepentingan lain mengakibatkan keanekaragaman hayati (KH) di Sekitarekosistem urban semakin menurun (Anderson 2006; Oka, 2009). Padahal KH merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi eksistensi manusia, karena selain dapat menimbulkan implikasi terhadap etika, estetika, spiritual dan integritas budaya juga berpotensi mengakibatkan kerugian ekonomi, sosial dan ekologi yang serius (Ardone et al., 2001; Oka, 2009). Terlebih-Iebih dalam lingkungan yang cenderung didominansi oleh manusia, KH yang berperan sebagai "mata rantai" dalam sistem

penunjang kehidupan, memberikan kontribusi bagi kelangsungan berbagai proses ekologi dan sosial dalam ekosistem urban.

Beberapa upaya telah dilakukan untuk meningkatkan KH dalam ekosistem urban. Satu diantaranya adalah melalui jenjang pendidikan formal dengan menyelenggarakan program sekolah asri, wyata mandala dan lomba perindangan halaman sekolah. Berbagai kriteria dibuat untuk menilai tingkat pencapaian sekolah terhadap tolok ukur ideal yang telah ditetapkan. Sementara itu, penelitian ekologi pada ekosistem urban mulai berkembang sejak sepuluh tahun lalu, terutama di negara-negara Eropah dan Amerika Utara. Banyak dari penelitian

tersebut mengkaji aspek ekologi (Bowman and MarzIufT, 2001; Mellcs, 2005; Parlupi, 2005) maupun sosial (Kuo, et. al.. 1998; Marzluff and Ewing, 2001; Collins et al., 2000; Surata, 2004a; 2004b; Sudiana dan Maduriana1 2006) dari KH yang terdapat dalam areal terbuka di kawasan urban.

Akan tetapi, belum terdapat metode penilaian integratif yang mampu mengukur kualitas KH dalam areal terbuka (dalam konteks ini halaman sekolah) berdasar atas kontribusi ekologi dan sosialnya. Padahal metode seperti itu memiliki peranan yang sangat strategis dalam mengevaluasi secara utuh kualitas KH dari halaman sekolah dan kawasan terbuka bervegetasi lainnya. Keberhasilan dalam penemuan metode integratif akan mampu memberikan pendekatan yang lebih holistik (natural dan sosial) dalam memberikan penilaian terhadap kualitas fungsi sebuah kawasan hijau di perkotaan. Tujuan penelitian adalah menganalisis tingkat keeratan hubungan antara aspek bioekolgi dan preferensi lingkungan siswa serta guru terhadap halaman sekolah mereka sendiri, dan halaman sekolah lain. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan metode integratif dalam mengevaluasi kawasan bervegetasi di lingkungan urban, khususnya halaman sekolah.

  • 2.    Metode Penelitian

Penelitian ini berlangsung selama 10 bulan, mulai April sampai November 2008 pada 20 SD1 8 SMP dan 8 SMU di Kota Madya Denpasar. Sampel dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama (Selanjutnyadisebut kelompok A), terdiri atas 10 SD, 4 SMP dan 4 SMU. Pada semua sekolah tersebut dilakukan koleksi data tentang keanekaragaman hayati dan survei mengenai preferensi terhadap lingkungan sekolah oleh guru dan siswa sekolah tersebut. Kelompok kedua (selanjutnya disebut kelompok B) juga terdiri atas 10 SD, 4 SMP dan 4 SMA. Pada kelompok B hanya dilakukan survei pada guru dan siswa tentang preferensi terhadap lingkungan sekolah dari kelompok A.

Kualitas KH halaman sekolah dalam penelitian ini ditentukan oleh faktor bioekologi dan persepsi sosial. Data tentang keanekaragaman hayati dikumpulkan dengan cara melakukan pengamatan dan wawancara. Data yang dikumpulkan mencakup faktor fisik, biologi dan ekologi. Faktor fisik antara lain %tase halaman terhadap luas total sekolah, kolam, air, patung, lampu taman, jalan setapak, lapisan beton.

parving, dan bangunan penunjang. Faktor biologi antara lain kekayaan dan kelimpahan spesies tanaman dan binatang, sebaran tanaman, %tase penutupan kanopi tanaman, pemeliharaan tanaman. Faktor ekologi dinilai dari peran KH terhadap fungsi ekologi esensial seperti sirkulasi udara, habitat binatang, konservasi air, dan penyerapan polusi. Kombinasi antara faktor biologi, dan ekologi selanjutnya disebut bioekologi.

Survei dilakukan terhadap kelompok A dan B. Survei memakai kuesioner yang diantar langsung (face to face) kepada responden. Survei terhadap kelompok A berisi pertanyaan tentang Sosiodemografi, kesan terhadap halaman sekolah, dan persepsi mengenai peranan ekologi halaman sekolah. Aspek Sosiodemografi mencakup usia, jenis kelamin, hobi, pekerjaan orang tua dan jenjang sekolah. Untuk kesan terhadap halaman sekolah, siswa dan guru diminta memberikan pendapat mereka dalam tujuh skala Likert (7,6.5,4,3,2,1), yang mencakup aspek keindahan, kesegaran, kehijauan, kesenangan, keluasan, dan kesegaran halaman sekolah. Sedangkan untuk persepsi tentang peranan ekologi halaman sekolah, siswa dan guru diminta menyatakan pendapat mereka dalam tujuh skala Likert, yaitu sangat baik (7), baik (6). agak baik (5), biasa (4), kurang baik (3), buruk (2), sangat buruk (1). Aspek kemampuan ekologi yang ditanyakan adalah keterbukaan terhadap sinar matahari, kemampuan menyerap pencemaran udara, penyerapan air, suplai oksigen dan sebagai habitat binatang. Survei preferensi lingkungan untuk kelompok B pada prinsipnya sama dengan kelompok A. Perbedaannya, kuesioner untuk siswa dan guru dalam kelompok B ditempeli dengan 18 lembar foto yang dipilih secara acak dari halaman sekolah yang termasuk kelompok A. Setiap foto merupakan cerminan dari kondisi Iansekap halaman sekolah yang terbaik.

Keanekaragaman hayati dikelompokkan menjadi sembilan katagori, yaitu (1) pohon: tanaman dengan cabang terendah berada minimal tiga meter dari atas tanah; (2) semak: tanaman dengan cabang dan ranting tepat berada di atas permukaan tanah; (3) herba: tanaman dengan batang hijau dan berair; (4) rumput: tanaman dengan batang berada di dalam tanah dan bentuk daun roset; (5) Iilia: tanaman dengan batang melilit tanaman lain; (6) epifit: tanaman yang menumpang pada tanaman lain tanpa merugikan tanaman inang; (7) tanaman hias: tanaman terutama dimaksudkan sebagai omamen/hiasan; (8)

tanaman peneduh: terutama dimaksudkan memberikan kerindangan untuk sekelilingnya; (9) tanaman obat: terutama dimaksudkan memberikan manfaat pengobatan.

Data bioekologi dianalisis secara kuantitatif dengan mengkatagorikan data tersebut menjadi 22 item penilaian, yaitu Iuas halaman terbuka (>30%=1; <30%=0); proporsi kebun terhadap halaman (>30%=l; <30%=0); proporsi halaman dengan parving (<30%=l; >30%=0); proporsi halaman sekolah yang dilapisi dengan aspal (<3O%=Γ.>3O%=O); keberadaan kolam (ada=l; tidak=O); keindahan kolam (baik=l ∙,buruk=0); perawatan kolam (I =baik; 0=buruk); tanaman kolam (ada= 1 ;tidak=O); binatang (ada= I ;tidak=O); tanaman dalam pot (ada=l ;tidak=O); unsur fisik kolam (ada= Ijtidak=O); tanaman Iebih dari 5 m (ada=l; tidak"O); keberadaan sarang burung atau binatang lain (ada=l; tidak=O); tanaman pohon (ada=l;tidak=O); semak (ada=l ;tidak=O); herba (ada=l; tidak=O); rumput (ada=l;tidak=O); Iilia (ada= I ;tidak=O); epifit (ada= 1 Jtidak=O); tanaman hias (ada= Ijtidak=O); tanaman peneduh (ada= 1 ;tidak—0); dan tanaman obat (ada=l; tidak=O). Analisis faktor digunakan untuk menguji tingkat keeratan hubungan antara aspek bioekologi dan preferensi lingkungan.

  • 3.    Flasil dan Pembahasan

    • 3.1    Hasil

Bioekologi. Ada kecenderungan proporsi kebun sekolah terhadap luas total di SD (3O,2±2O,3%) sekitar tiga kali lebih tinggi dibanding SMP (18,8±6,3%) dan SMA (2O,O±8,2%). Demikian pula, dengan prosentase halaman yang dipasangi parving

  • d: SD (41±29,7%) sekitar empat kali lebih luas dibanding SMP (7,5±6,5%), dan SMA (8,25 ±7,9%).

Tanaman dengan ketinggian di atas lima meter ditemukan pada semua halaman sekolah. Tanaman tersebut antara lain alpokat (Persea americana), belimbing (Daniasonium alisma), cempaka (Hichaela campaka), jambu air (Syzygium jambos), kelapa (Cocos nucifera), kctaρang (Terminalia caiappa), kamboja (Plumuria indica), Icci (Litchi ciiinensis), mangga (Mangifera indica), mahoni (Swietenia mahagoni), nangka (Ariocarpus Iieterophyllus), pinang (Areca catechu), dan sawo kecik (Manilkara cauci). Hanya pada sekitar separuh sekolah (50%) ditemukan adanya sarang burung pada tanaman pohon tersebut, sedangkan sarang binatang lainnya seperti sarang semut dan tupai tidak ditemukan.

Kecuali tanaman obat, ada kecenderungan kcancragaman hayati tanaman di SMA dan SMP Icbih thggi dibanding SD, terutama tanaman kelompok pohon, semak dan tanaman peneduh (Tabel 1). Akan tetapi keanekaragaman hayati tanaman sangat bervariasi pada sekolah, tanpa memperhatikan jenjang sekolah. Misalnya untuk tanaman katagori semak, di SDN 2 Panjer ditemukan Iima spesies, sebaliknya di SDN 2 Peguyangan tidak ditemukan spesies tanaman yang termasuk katagori tersebut. Demikian pula di SMPN 8 ditemukan 10 spesies herba, sebaliknya di SMPN I dan 3 hanya ditemukan tiga spesies. ScmcntaraitulSMAN 1 memiliki enam spesies herba, sebaliknya SMAN 3 hanya mempunyai dua spesies herba.

Hasil penilaian (scoring) menunjukkan keadaan bioekologi di SMA (20±0,8) lebih baik dibanding SMP (I8,3±2.8) dan SD (17,9±3,3). Hal itu nampaknya

Tabel 1. Keanekaragaman Hayati Tanaman di Halaman SD, SMP dan SMA Kodya Denpasar

Kciompok Tanaman

Rataan spesies tanaman (±simpangan baku)

SD (n-12)           SMP (n=6)           SMA (n=6)

Pohon

Semak

Hcrba

Rumput

Liiia

Epifit

Tanaman hias

Tanaman peneduh

Tanaman obat

6,9±2,9             l 8,8±5,3                 8,8±2,4

5,4±1,7 .             7,O±2,2                9,O±2,O

3,3±1,6                5,5±3,3                 4,3±2,1

l,3±O,8                l,3±O,5                 2,0±l,8

l,2±l,0                1,7±1,8                 2,5±0,6

2,4±2,4                3,0±l,6                 3,3*3,0

2,3±i,5                2,5±2,l                 2,3±2,2

3,0±0,9                7,8±4,9                 5,8±1,5

2,7±3,6                4,5±3,9                4,0±4,3


disebabkan keanekaragaman hayati dan faktor fisik Penunjangartistik kebun sekolah (adanya kolam ikan, lampu hias dan tempat duduk) di SMA dan SMP cenderung lebih baik dibanding di SD.

Hasil wawancara terhadap kepala sekolah menunjukkan perawatan kebun sekolah terutama dilakukan oleh tukang kebun atau pesuruh sekolah. Akan tetapi guru dan siswa terlibat pula dalam pengelolaan kebun sekolah. Bentuk keterlibatan siswa dalam bentuk menyiram, menyiangi, memupuk, memotong rumput dan mengganti tanaman yang mati. Sedangkan guru lebih banyak berfungsi dalam mengawasi perawatan kebun sekolah oleh siswa. Tanaman berasal dari berbagai sumber, yakni dari siswa, sumbangan dari orang tua, guru, masyarakat, komite sekolah dan pemerintah daerah. Hal yang menarik, di SDN 4 Peguyangan, sebagian tanaman buah-buahan lokal seperti buni (Antidesma bttnius). belimbing, dan seηtul (Sandoricum koetjape).

Desain kebun sekolah sebagian besar ditentukan oleh kepala sekolah (77,8%), sisanya mencari perancang taman (11,1%) dan tukang kebun (11,1%). Pada umumnya tanaman dipupuk secara teratur dengan menggunakan pupuk buatan (urea, asemat, dan gran tonik ) dan pupuk kandang (terutama kotoran ayam. sapi, dan kompos).

Mayontas sekolah (83,3%) pernah mengikuti lomba perindangan halaman sekolah. Bahkan beberapa sekolah Seringkali mengikuti serta memperoleh juara lomba tersebut. Misalnya (a) SDN 1 Ubung Juara 2 lomba perindangan halaman sekolah pada tahun 1998 untuk tingkat kota; juara 1 tingkat kota pada tahun 2003, dan pada tahun 2005 meraih nominasi tingkat nasional untuk sekolah berbudaya lingkungan; (b) SDN I Sumerta: juara 1 untuk tingkat kota tahun 2004, juara harapan tiga tingkat propinsi pada tahun 2006; (c) SMPN2 Denpasar: juara 1 telajakan untuk tingkat kota pada tahun 2003; (d) SMAN 3 Denpasar: juara 1 lomba taman yang diselenggarakan oleh Fakultas Pertanian Universitas Udayana1 pada tahun 2005.

Menurut kepala sekolah, persyaratan perlombaan terutama ditekankan pada tanaman langka, perawatan, kerindangan, tanaman maskot Kodya Denpasar, kebersihan, kerapian, keindahan, komposisi tanaman, keanekaragaman, dan tanaman obat. Mereka pada umumnya mendukung diselenggarakannya berbagai lomba terkait dengan kebun sekolah. Hal itu tercermin dari pernyataan seorang kepala sekolah yang menyatakan:

“Sangat mendukung dengan adanya lomba membuat kepedulian/kecintaan warga sekolah terhadap lingkungan; ... mengenalkan anak-anak terhadap tanaman langka...; Secara tidak langsung anak-anak mengenal manfaat dan fungsi tanaman tersebut karena dari setiap pohon diisi label mengenai nama tumbuhan, kasiat dan manfaatnya bagi kehidupan manusia”.

Sementara itu. informan lain menyatakan bahwa lomba dapat mendorong siswa disiplin untuk menjaga kebun sekolahnya, memotivasi siswa hidup sehatdan bersih, meningkatkan pelestarian tanaman langka, menciptakan lingkungan yang asri sehingga guru dan siswa betah tinggal, menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya keanekaragaman hayati dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, serta dapat menantang sekolah untuk membenahi sarana prasarana termasuk lingkungan di sekolah sehingga kegiatan belajar dapat berlangsung secara kondusif.

Pada lain pihak, mereka menyarankan agar lomba hendaknya disertai dengan bantuan fisik berupa tempat sampah dan tanaman. Sedangkan yang lain menyatakan hendaknya lomba bersifat lebih objektif, tidak terlalu administratif dan harus disertai sosialisasi ke sekolah tentang fungsi taman sekolah.

Preterensi siswa Uan guru terhadap halaman sekolah mereka. Mayorititas siswa cenderung memberikan preferensi lingkungan yang positif terhadap halaman sekolahnya sendiri. Hal ini disebabkan lebih dari 70% siswa memberikan preferensi lingkungan mereka di atas nilai empat (kesan siswa terhadap halaman sekolah tempat mereka belajar biasa/sedang). Demikian pula kebanyakan siswa memiliki persepsi yang positif tentang peranan ekologi dari halaman sekolah tempat mereka belajar. Terbukti sekitar 80% siswa menyatakan halaman sekolah mereka berperan baik dalam penyerapan pencemaran udara, penyediaan oksigen, keterbukaan terhadap sinar matahari dan konservasi keanekaragaman hayati. Hanya dalam penyerapan air hujan dan sebagai habitat hidup binatang, sekitar 25% siswa menyatakan halaman sekolah mereka kurang atau tidak berperan untuk kedua fungsi ekologi tersebut.

Mengenai preferensi lingkungan dari guru, fenomenanya hampir sama dengan pada siswa. Hal ini disebabkan mayoritas dari mereka (>80%) cenderung memberikan nilai yang tergolong positif pada enam aspek yang ditanyakan. Bahkan jika

dibandingkan dengan penilaian siswa, kesan guru terhadap halaman sekolah tempat mereka mengampu jauh lebih positif. Terbukti hanya pada aspek Iuas halaman, sekitar 10% guru memberikan nilai yang negatif, sebaliknya pada Iima aspek kesan lainnya, guru yang memberikan penilaian negatif (kurang dari nilai empat) kurang dari 5%. Alasan guru dalam memberikan kesan positif antara lain, seperti banyak terdapat tanaman, banyak kebun, terdapat beraneka warna bunga, bersih, indah, tertata rapi, asri, enak dipandang dan dirawat setiap hari. Sebaliknya beberapa guru memberikan kesan negatif beralasan halaman sekolah kurang indah dan sempit serta pohon-pohonnya mati.

Penilaian para guru terhadap peranan ekologi halaman sekolah tempat mereka mengampu juga sangat positif. Terbukti pada aspek Iialantan sekolah berperan dalam penyerapan air hujan, penyerapan pencemaran udara, penyediaan oksigen udara, keterbukaan terhadap sinar matahari dan pelestarian keanekaragaman hayati, lebih dari 75% guru menyatakan halaman sekolah tempat mereka mengampu, berfungsi dengan baik untuk kelima aspek ekologi tersebut. Hanya pada aspek sebagai habitat hidup binatang, sekitar satu dari Iima guru (20%) guru menyatakan halaman sekolah tempat mereka mengampu kurang dapat berfungsi untuk hal itu. Para guru yang memberikan nilai positif terhadap peranan ekologi halaman sekolah memberikan berbagai alasan, seperti ada saluran pembuangan

air, ada tanah penyerap air hujan, drainase cukup baik, banyak taman dan halaman ditanami rumput. Sebaliknya mereka yang memberikan nilai negatif memberikan alasan, misalnya air menggenang bila hujan, halaman dipasangi parving blok dan beton serta saluran air kurang lancar.

Preferensi siswa dan guru terhadap gambar Iansekap halaman sekolah. Nilai preferensi lingkungan oleh siswa kelompok B terhadap gambar dari sembilan halaman sekolah dari kelompok A hampir tidak terdapat yang tegas antara jenjang sekolah. Kemungkinan penyebabnya, tingkat keragaman di dalam setiap jenjang cukup tinggi. Hanya pada jenjang SMP terdapat satu sekolah yang memperoleh nilai preferensi lingkungan paling rendah (47,8 poin). Akan tetapi kalau dicermati simpangan baku sampel itu paling besar dibanding sampel yang lain (±27,5 poin). Dengan begitu titik tertinggi dari sampel itu (73,0 poin) hampir melewati sampel yang memperoleh rataan nilai tertinggi (68,2 poin). Hal ini mempertegas kembali bahwa hampir tidak ada perbedaan nilai preferensi lingkungan siswa terhadap gambar halaman sekolah dari jenjang sekolah yang berbeda.

Nilai preferensi lingkungan oleh guru dalam kelompok B terhadap sembilan gambar halaman sekolah relatif lebih tinggi dibanding nilai serupa yang diberikan oleh siswa. Walaupun rataan nilai preferensi lingkungan guru untuk gambar halaman sekolah SMA dan SMP cenderung sedikit lebih tinggi

Tabel 2. Nilai Bioekologi dan Preferensi Lingkungan Guru Serta SiswaTerhadap

Nama Sekolah

Bioekologi *

Preferensi lingkungan

Siswa A’

Siswa B”

Guni A'

Guru B"

SDA

15,0

68,3

65,0

71,2

67,0

SDB

22,0

75,7

60,3

80,6

62,3

SDC

17,0

67,5

62,9

78,6

66,6

SMPA

19,0

62,6

62,0

68,4

69,3

SMPB

20,0

66,6

61,1

72,7

75,7

SMPC

14,0

67,6

49,5

67,7

70,7

SMAA

21,0

59,8

61.7

75,4

74,5

SMAB

19,0

64,4

61,5

64,9

65,1

SMAC

20,0

65,9

68,2

73,7

70,3

Rataan

18,6

66,5

61,4

72,6

69,1

Simngan baku

2,7

4,4

5,1

5.1

4,3

•A= nilai yang diberikan oleh siswa dan guru terhadap halaman sekolah tempat mereka belajar/mengampu;

**B=nilai yang diberikan oleh siswa dan guru terhadap gambar sembilan Iansekap halaman sekolah

dibanding SD1 namun rentangan penilaian untuk SD cenderung lebih tinggi dibanding SMP dan SMA. Sebagai contoh sebuah gambar tentang halaman SD memperoleh rataan nilai preferensi lingkungan 62,3 poin dengan simpangan baku 12,0 poin. Dengan begitu rentangan tertinggi untuk SD tersebut (74,3 poin) mendekati nilai gambar yang memperoleh preferensi lingkungan tertinggi (75,7 poin).

Hubungan antara Bioekologi dengan Preferensi Guru serta Siswa. Nilai preferensi lingkungan yang diberikan oleh guru baik dari kelompok A maupun B cenderung lebih tinggi dibandingkan siswa baik dari kelompok A maupun B (Tabel 2).

Sementara itu, siswa maupun guru yang memberikan preferensi lingkungan langsung terhadap halaman sekolah mereka sendiri (kelompok A) memberikan nilai yang lebih tinggi dibanding siswa dan guru yang memberikan nilai preferensi lingkungan terhadap gambar dari Iansekap halaman sekolah (kelompok B).

Plot analisis faktor menunjukkan nilai bioekologi terletak dalam bidang yang sama dengan preferensi lingkungan oleh siswa dan guni kelompok B. Hal ini

disebabkan pada matriks komponen rotasi, yang diekstraksi dengan analisis komponen utama dan ragam maksimum dengan metode normalisasi Kaiscr1 menunjukkan nilai bioekologi berada dalam posisi komponen 1 dan2(KlxK,= -0,037x0.845) sebidang dengan preferensi siswa kelompok B (KlxK=-0,098x0.760) dan preferensi guru kelompok B (KlxK = -O,822xO,O3O). Akar ciri dari plot komponen 1,2 dan 3 berjumlah 86,5%. Ini berarti hanya sebagian kecil ragam data (13,5%) yang tidak dapat dijelaskan oleh plot ketiga komponen tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa preferensi lingkungan yang diberikan oleh siswa maupun guru yang bukan pemilik halaman sekolah (kelompok B) lebih mendekati nilai bioekologi dibanding nilai preferensi lingkungan yang diberikan oleh siswa dan guru pemilik halaman sekolah (kelompok A).

  • 3.2    Pembahasan

Kecenderungan guru memberikan preferensi lingkungan lebih tinggi dibanding siswa nampaknya mendukung temuan penelitian sebelumnya. Surata (2006) melakukan survei mengenai preferensi lingkungan terhadap 271 orang guru yang

O

O Prc

Piefer e∩sιguι u8

O

IOclokxj

_          PrefeiensrguruA

CfensisiSA-SS        o

PiefeiensisiswaA

•1 0

•0 5

0 5

t 0

Komponen 1

Gambar I. Plot komponen 1 dan 2 analisis faktor bioekologi dengan preferensi lingkungan siswa dan guru terhadap halaman sekolah

mengampu di SMA dan SMP pada empat kabupaten di Bali: Bangli5Gianyar1 Karangasem dan Klungkung. Hasilnya ditemukan hampir semua responden memiliki preferensi lingkungan yang positif terhadap sekolah tempat mereka mengampu. I Ial ini disebabkan mayoritas guru memberikan penilaian yang terkait erat dengan kesan hijau, indah, luas, sehat, segar menyenangkan, cocok untuk habitat hidup bagi binatang, keanekaragaman tanaman tinggi, terbuka pada sinar matahari, menyediakan oksigen, dapat menyerap pencemaran udara dan air hujan.

Di samping itu, hasil penelitian ini menemukan hubungan antara bioekologi dengan preferensi lingkungan siswa maupun guru terhadap halaman sekolah. Model hubungan yang ditemukan dalam penelitian ini tidak selalu linier. Hal ini disebabkan bahwa hubungan antara gambaran alam dengan lingkungan urban dicirikan oleh faktor fisiologi sosial yang kompleks dan multidimensional, sehingga terdapat kemungkinan orang mengembangkan harapan dan makna yang berbeda terhadap gambaran alam dari lingkungan urban mereka (Ardonc & Bonnes. 1991).

Hasil penelitian ini memberikan implikasi tentang pentingnya pendekatan sosio-natural dalam mengkaji ekosistem urban, termasuk di dalamnya halaman sekolah. Hasil ini sekaligus memberikan koreksi terhadap berbagai kajian ekosistem urban yang tidak mengintegrasikan antara pendekatan perspektif sosial dan bioekologi. Sejak puluhan tahun Ialu penelitian sosial dalam ekosistem urban berkonsentrasi mengenai masalah kemiskinan (Grimm etal., 2001, Blair, 2004; Marzluffand Ewing, 2001; Collins et al., 2000). Penelitian sosial lain menggunakan perspektif sosial dari masyarakat urbanjuga telah banyak dilakukan, misalnya manfaat estetika lingkungan terhadap bidang kesehatan (Ulrich. 1984; Kaplan and Kaplan1 1989; Hccrwagcn and Grains, 1993); fungsi vegetasi terhadap keamanan penduduk (Kuo, et. al., 1998); persepsi guru terhadap satwa liar (Surata. 2004a; 2004b), tingkat pengetahuan dan sikap guru terhadap subak sebagai model dalam pendidikan lingkungan (Sudiana dan Maduriana, 2006).

Demikian pula dengan kajian bioekologi masih terbatas pada spesies tertentu, dan nampaknya KH burung paling banyak diteliti dibanding spesies yang lain (misalnya Ontario, dkk., 1994; Surata, 1994,2000, 2006a, 2007; van Balen11997; BowmanandMarzIuff1 2001; Melles12005; Parlupi12005). Hal ini disebabkan

selain mudah diamati, burung juga merupakan indikator yang baik terhadap mutu lingkungan (Ferguson, 2000). Meskipun pengkajian terhadap bioekologi dapat digunakan sebagai indikator kualitas kawasan, tetapi telaah yang terbatas seperti itu memiliki kelemahan karena hasilnya tidak secara nyata dapat memaparkan kondisi nyata bioekologi dari kawasan yang dikaji. Kelemahan lainnya, telaah bio-ekologi semata tidak akan dapat mencerminkan perspektif sosial dari masyarakat. Padahal keberadaan manusia dalam ekosistem urban sangat dominan sehingga sangat berpengaruh terhadap kondisi bioekologi ekosistem tersebut.

Salah satu manfaat dari pendekatan sosio-natural secara terintegrasi adalah memberikan kesempatan kepada masyarakat urban untuk berpartisipasi dalam pengelolaan ekosistem sekitarnya, termasuk pula dalam memberikan evaluasi. Kcllert (1998) menemukan empat dari Iima responden yang dia teliti meyakini kesadaran lingkungan, pengetahuan tentang dampak manusia terhadap alam, dan ketertarikan serta pemahaman Ientang konservasi sangat dipengaruhi oleh program yang mampu melibatkan partisipasi masyarakat. Hasil penelitian ini mendukung temuan dari penelitian sebelumnya mengenai manajemen konservasi aurung berbasis masyarakat (Surata dan Maduriana, 2006; Surata, 2005; 2007). Temuan model partisipatif dalam manajemen konservasi burung dimulai dari penyaringan visi dan tujuan konservasi oleh pemrakarsa melalui kegiatan seperti seminar atau lokakarya dengan melibatkan berbagai pihak. Setelah itu pemrakarsa melakukan kolaborasi dengan pemangku kepentingan (stake holder) dalam upaya mengintegrasikan kegiatan kelompok dengan tujuan masyarakat. Untuk itu kelompok perlu menilai kekuatan yang telah tersedia dan kebutuhan yang diperlukan dengan mengumpulkan berbagai informasi yang selanjutnya digunakan untuk menyusun rencana aksi berdasarkan perspektif masyarakat. Pada akhirnya, aksi sosio-natural yang dilakukan merupakan perpaduan antara fisik-biologi (seperti pembinaan habitat dan monitoring burung) dengan upaya peningkatan pengetahuan, pemahaman dan prilaku masyarakat serta integrasi nilai keagamaan, adat-istiadat dan kearifan lokal dalam manajemen konservasi burung (Surata dan Maduriana, 2006; Surata, 2006b).

Model evaluasi bioekologi-preferensi lingkungan, memberikan perspektif baru bahwa

halaman sekolah (dan areal hijau lainnya dalam ekosistem urban) hendaknya dipandang sebagai unit sosio-natural, sebagai cerminan bahwa ruang hijau di kawasan urban bukan hanya untuk kepentingan fisik natural tetapi juga kepentingan untuk berinteraksi antara sesama manusia. Dengan demikian, pemahaman yang lebih baik tentang aset psikologi sosial (seperti persepsi, sikap, perasaan, harapan dan perilaku) masyarakat urban dalam menggunakan hubungan dengan alam penting untuk setiap program mengenai konservasi keanekaragaman hayati (Adams etal., 2005; Bonnes et al, 2001; Surata dan Seniwati, 2006). Lebih lanjut model tersebut dapat dijadikan dasar dalam pengembangan model Ierintegrasi dan spesifik dengan tempat tertentu, yang terfokus pada penciptaan umpan balik antara sistem sosial dan ekologi (Barthel, 2006). Tentu saja dalam pendekatan tersebut perlu mencakup temuan dengan menggunakan berbagai metode ekologi, seperti hubungan antara KH dan fungsi ekosistem, peranan manusia, keterhubungan antarlansekap, dan daya Ienturekosistem (Anderson, 2006).

  • 4.    Simpulan

Hasil survei tentang aspek biologi dan ekologi (bioekologi) halaman sekolah menunjukkan ada kecenderungan proporsi kebun sekolah di SD, sekitar tiga kali lebih luas dibanding SMP, dan SMA. Sebaliknya keanekaragaman hayati tanaman pada kebun SMA dan SMP lebih tinggi dibanding SD. Rataan skore terhadap kesan artistik dan ekologi dari mayoritas guru dan siswa (>70%) di atas poin 4 dari

7 Skala Likert. Hal tersebut mencerminkan bahwa preferensi lingkungan guru dan siswa cenderung positif terhadap fungsi ekologi halaman sekolah. Hasil plot analisis faktor menunjukkan nilai bioekologi terletak dalam bidang yang sama dengan preferensi lingkungan siswa dan guru kelompok B. Dcngandcmikianbcrarti preferensi Iingkungansiswa maupun guru yang bukan pemilik halaman sekolah (kelompok B) lebih mendekati nilai bioekologi dibanding nilai preferensi lingkungan yang diberikan oleh siswa dan guru pemilik halaman sekolah (kelompok A). Hasil penelitian ini memberikan implikasi tentang pentingnya pendekatan sosio-natural, terutama melalui keterlibatan komunitas bukan pemilik dalam menilai kualitas fungsi lingkungan dari halaman sekolah.

Ucapan Terima Kasih

Penelitian ini dibiayai oleh Dirjen Dikti Depdiknas untuk Hibah Penelitian Fundamental. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Madya Denpasar dan para Kepala Sekolah pada 20 SD, 8 SMP dan 8 SMA di Denpasar atas izin dan bantuan yang telah diberikannya sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada I Made Maduriana dan Ni Wayan Kari atas bantuannya dalam koleksi data. Penelitian ini tidak akan dapat diselesaikan jika tidak memperoleh bantuan dari puluhan guru dan ratusan siswa dari 36 sekolah di atas. Hanya ucapan terima kasih yang dapat disampaikan atas segala bantuannya yang tidak terhingga itu.

Daftar Pustaka

Adams, A., H. Andcrsin, E. Augenstein, 1. Bell, L. Cooper, J. Hcllier dan M. Wrede. 2005. Discoveringour own backyards: the ecological and social contribution of backyard wildlife sanctuaries to the urban environment. Urban Ecology Program, Univerisity of Washinton. http://www.psat.wa.gov/ Publications/03. (Online'), diakses 28 November 2005.

Anderson, E. 2006. “Urban landscapes and sustainable cities”. Ecology and Society, II. 34.

Ardone, R.G, and M. Bonnes. 1991. "The urban green spaces in the psychological construction of the residential place”. In M. Bonnes (Ed.). Urban ecblogy applied to the city of Rome (pp. 149-173). UNESCOM.A.B. ItaliaProjcct 11, Progress Report N. 4. M.A.B. Italia, Roma. pp. 149-173.

Barthel, S. 2006. “Sustaining urban ecosystem services with local stewards participation in Stockholm (Sweden)”. In B. Tress, G. Tress, G. Fry, and P. Opdam (Eds). From Landscape Research to Landscape Planning, Aspects of Integration, Education and Application (pp. 305-320). Springer, Dordrccht-Ncthcrlands.

Blair, R. 2004. “The effects of urban sprawl on birds at multiple levels of biological organization”. Ecology and Society. 9. 2.

Bonnes, M., G Carrus, E Fomara1 Λ. Aiello, and M. Boaaiuto. 2001. “Inhabitants' perception of urban green areas in the city of Rome. In view of a MAB-Romc Biosphere Reserve”. Poster at the International Conference on Biodiversity and Society. Columbia University - UNESCO. 22-25 May 2001, New York-USA.

Bowman, R. and J.M. Marzluff. 2001. "Integrating avian ecology into emerging paradigms in urban ecology". In Marzluff1 J.M., R. Bowman, and R.E. Donrclly (Eds.). Avian Ecology and Conservation in an Urbanizing World (pp. 569-578). KluwerAcade nic Publ., NcwYork-USA.

Collins, J.P.1 A. Kinzig, N. Grimm1 W.E Fagan. 2000. Anew urban ecology. American Scientist. 88.416-426.

Ferguson1 H.L. 2000. “Urban birds: a millennium review and future directions”. Abstracts of Paper Presentations, Urban WndlifeSvmposium TWS Annual ConferenceJNashvillelTenn 12-16 September 2000

Grimm1 N.B., J.M. Grove1 S.T.A Pickett dan C.L. Redman. 2001. "Integrated approach to long term studies of urban ecological systems". BioScience. 50. 571-584.

Hcerwagcn1 J.H..andGH.Orians. 1993. “Humans,habitat.aesthetic”. InS.R. Kellertand E.O. Wilson(Ed.). The biophilia hypothesis. Island Press, Washinton. DC.

Kapian1 R.1 and S. Kaplan. 1989. Theexperienceof nature. Cambridge Press, Cambridge.

Kellert1 S.R. 1998. A national study of outdoor wilderness experience. School of Forestry and Environmental Studies, UniversityofYale.

Kuo, F.E.. M. Bacaicoa1 and W.C. Sullivan. 1998. Transforming inner-city landscapes. Environmental and Behavior, 30. 28-59.

Marzluff, J., and K. Ewing. 2001. “Restoration of fragmented landscapes for the conservation of birds: a framework and specific recommendations Ibrurbanizing landscapes”. Restoration Ecology. 9. 280-292.

Melies, S.J. 2005. “Urban Bird Diversity as an IndicatorofHuman Social Diversity and Economic Inequality in Vancouver, British Columbia". Urban Habitats, 3. 25-48.

Oka, P.O. 2009. “Managing the impact of urbanization an biodiversity in emerging urban fringe settlements: the case of satellite town. Calabar. Nigeria”. Global Journal of Social Sciences, 8. 13-20.

Ontario, J., Hernawa, J.B. Haryanto, dan Ekarclawan. 1994. Pola pembinaan habitat burung pada kawasan pemukiman, terutama di perkotaan. Media Konservasi, 3. 15-28.

Parlupi, B. 2005. Jakarta water birds in peril. TheJakarta Post, hal 18:1 -3.

Sudiana, I. M., dan I. M. Maduriana. 2006. Tingkat pengetahuan dan sikap guru SMTA di Kabupaten Tabanan Bali terhadap subak sebagai model dalam pendidikan lingkungan. Laporan Penelitian Dosen Muda yang didanai oleh DP2M Dikti Depdiknas tahun 2006.

Surataw S.PK dan N.P. Seniwati. 2006. “Kegiatan menggambar berbasis subak sebagai model pendidikan lingkungan bagi siswa sekolah dasar". Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, 13. 166-175

Surata, S.P.K. 2007. “Profil Avifauna dalam Ekosistem Urban Kota Denpasar". Biosferal 24. 38-48.

Surata, S.P.K. 2006a. "Preferensi lingkungan para guru di Bali terhadap halaman sekolah tempat mereka mengampu". Suluh Pendidikan. 3. 34-41.

Surata1 S.P.K. 2006b. "Subak sebagai model dalam pendidikan lingkungan: Analisis karangan siswa sekolah dasar". Jurnal Bumi Lestari, 6. 73-80.

Surata1 S.P.K. 2005. “Keragaman avifauna di Kawasan Agrowisata Salak Sibetan Karangasem". Jurnal Lingkungan Hidup Bumi Lestari, 5. 28-35.      1

Surata1 S.P.K. 2004a. “Persepsi, Sikap dan perilaku guru terhadap satwa liar". Jurnal Lingkungan Hidup Bumi Lestari, 4.78-85.

Surata1 S.P.K. 2004b. “Tingkat pengetahuan guru di Bali tentang satwa liar”. Suluh Pendidikan, L 1-6. Ulrich, R.S. 1984. View through window may influence recover}' from surgery. Science. 224.420-421. van Balen1 S. 1997. Java Sparrow Padda oryzivora. PHPAZBirdLife International Indonesia Programme, Bogor.

314