KETERAMPILAN MENGOLAH TANAMAN OBAT TRADISIONAL UNTUK PENYAKIT ANAK PADA KOMUNITAS REMAJA BALI : SEBUAH KAJIAN EKOLINGUISTIK
on
KETERAMPILAN MENGOLAH TANAMAN OBAT TRADISIONAL UNTUK PENYAKIT ANAK PADA KOMUNITAS REMAJA BALI : SEBUAH KAJIAN EKOLINGUISTIK
Oleh
I Wayan Rasna 1), W.S. Binawati 2)
-
1) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia.
-
2) MPK Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia e-mail : [email protected]
Abstract
This study aims at knowing: 1) the skill of the young generation in cultivating traditional medical plantation for children’s disease, 2) the implication of the first goal towards ecolinguistics. The setting of the study was in Bali province, consisting of 8 regencies and one city government, with the total of samples of young generation 360 and the sample of healers 45 individuals. The samples were determined by using purposive quota sampling technique. The data about the skill were collected observation, and the data about the implication the first goal were collected through interview.
The result of the study shows that: 1) the skill of the young generation in cultivating traditional medical plantation was totally 58.5%, and partially there were young generations who could cultivate traditional medical plantation, such as Karangasem 73.12 (good), Klungkung 70.50 (good), and Bangli 71.36 (good), 2) the implication of the first goal to eco-linguistics is that the young generations having better ability in cultivating medical plantation are more familiar with the medical plantation terms, though the physical representation of the plant is not definitely known. In this case, the skill in cultivating traditional plantation and the synergy among the related components are needed to increase for the maintenance of the medical plantation terms and environmental preservation.
Key words: skill, medical plantation, eco-linguistics
Tanaman obat tradisional merupakan unsur penting dalam pengobatan tradisional. Dalam 30 tahun terakhir WHO menyebut pengobatan tradisional dengan istilah “tradisional medicine”. Para ilmuan lebih menyukai “traditional healing”. Ada pula yang menyebut “folk medicine” alternative medicine, “etnomedicine dan “indigeneous medicine” yang dalam kehidupan sehari-hari menggunakan tanaman obat sebagai ramuan. Ramuan ini memerlukan bukan saja pengetahuan,tetapi juga keterampilan mencampur tanaman obat sebagai bahannya.Keterampilan dukun mencampur beberapa bahan alamiah,yang biasanya berasal dari tumbuhan atau tubuh hewan menjadi jamu yang lebih manjur efeknya merupakan keterampilan khusus (Ratna 2010 : 141)
Pernyataan Ratna yang menyebutkan bahwa dukun yang mencampur beberapa bahan alamiah menunjukkan kecilnya peran orang lain dalam mengolah tanaman obat menjadi jamu. Bahkan mungkin tidak ada. Jika hal ini benar, maka tentu tidak terlalu sulit dipahami bahwa keterlibatan orang lain dalam meramu tanaman obat menjadi jamu menjadi kecil. Dampaknya tidak ada orang lain, kecuali dukun yang memiliki keterampilan mengolah tanaman obat. Adanya ketidakterlibatan orang lain, termasuk remaja dalam pengolahan tanaman obat akan semakin menjauhkan mereka dari keterampilan mengolah tanaman obat. Sebab itu wajar jika mereka semakin tidak tahu. Hal ini bukan hanya berakibat pada menurunnya pengetahuan dan keterampilan tanaman obat, juga menurunnya pemahaman istilah (bahasa).
Bahasa dipandang sebagai sistem sosial, sistem komunikasi dan kebudayaan masyarakat tertentu (Suwito, 1983 :2). Sebagai sistem sosial masyarakat tertentu, bahasa yang dipakai manusia tidak dapat dipandang sebagai individu yang lepas dari individu yang lain dalam kehidupan bermasyarakat (Rasna, 2011 : 51). Sebab, interaksi sosial akan memakai bahasa sebagai alatnya. Jika bahasa itu dipakai, apalagi oleh banyak pemakai, dalam banyak ranah, maka bahasa itu akan berkembang. Sebaliknya, jika bahasa itu tidak banyak dipakai, pemakainya sedikit, ranahnya sempit, maka kosakatanya akan terdesak oleh pemakaian bahasa yang lebih dominan (Pateda, 1987 : 12).
Keberlangsungan situasi ini secara berkepanjangan akan mengakibatkan kepunahan leksikal karena kebertahanannya yang melemah. Kemampuan leksikal yang berkepanjangan akan memunculkan kepunahan bahasa. Hal ini selaras dengan penelitian Rasna (2010 :331) yang menyebutkan bahwa pengetahuan leksikal para remaja tentang tumbuhan dan tanaman obat : 1) remaja desa 28 orang (37,33%) tergolong cukup, 47 orang (82,66) tergolong kurang, 2) remaja kota : 9 orang (18%) tergolong cukup, 38 orang (76%) tergolong kurang, dan 3 orang (6%) tergolong rendah.
Secara ekolonguistik, hal ini dibuktikan dengan adanya penyusutan pengetahuan bentuk leksikal tanaman obat para remaja sehingga para remaja tidak mengenal bentuk leksikal tertentu seperti : buu-buu, sekapa ‘gadung’ kusambi, nagasari, kundal, antasari, bahkan tidak semua remaja tahu beluntas. Hal ini terjadi karena (1) adanya perubahan sosiokultural, (2) perubahan sosiologis secara fisik, dan (3) faktor sosiologis. Perubahan ini membawa dampak penyusutan leksikal yang digolongkan ke dalam ekolinguistik (Rasna, 2010 : 331). Periksa juga Haugen (1972), Makkai, (1993), Halliday (2001)
Pernyataan di atas menggambarkan bahwa di alam ini terdapat organisme hidup (makhluk hidup) dengan lingkungannya yang tidak hidup tanpa saling berinteraksi, tak terpisahkan, dan saling mempengaruhi satu sama lain (Irwan, 1992 : 27), Husein, 1993 : 14). Masing-masing organisme hidup itu mempunyai fungsi. Selama masing-masing komponen itu melakukan fungsinya dan bekerja sama dengan baik, keteraturan ekosistem pun akan terjaga (Sumarwato, 1989 : 20 – 21). Apabila hal ini terjadi, maka ekosistem tersebut mempunyai kecenderungan
melawan perubahan dan memelihara keseimbangan (Prawiro, 1988 :3).
Pemeliharaan keseimbangan ini menunjukkan bahwa tidak satu benda pun berdiri sendiri tanpa adanya yang lain (Swimme & Berry, 1992 : 77). Sejalan dengan hal ini ahli biology Lynn Margulis, bersama Dorion Sagan menyebutkan bahwa segala sesuatu di bumi adalah bagian dari sebuah jejaring hubungan. Hewan-hewan terkait satu sama lain dengan lingkungan hidupnya (Margulis dan Dorion, 1995 : 137). Tumbuh-tumbuhan menyediakan makanan dan tempat berlindung bagi hewan dan manusia. Jamur, pendaur ulang bumi yang tak kenal lelah membantu mempertahankan kehidupan di permukaan bumi. Salahnya, manusia menganggap diri mereka sebagai bagian yang terpisah dari kesatuan ini. Pada kenyataannya, mereka – seperti halnya semua bentuk kehidupan dan komunitas mikroba – terus-menerus berinteraksi dengan lingkungannya. Tidak ada kemandirian di alam. Alam adalah kesalingtergantungan. Alam terbentuk dari banyak sekali pola hubungan (Johnson, 2011 : 34).
Tidak adanya kemandirian di alam menunjukkan terjadinya pola hubungan saling mempengaruhi. Perubahan ragawi lingkungan dapat mengakibatkan perubahan/pergeseran nilai, norma dan kultur masyarakat. Betapa tidak, perubahan iklim (Climate Change) akibat efek rumah kaca, berimplikasi pada naiknya permukaan air laut, secara massive mempengaruhi kehidupan sosial di kawasan kepantaian dan pegunungan. Lebih rinci, terjadi pelbagai perubahan pada bahasa. Bahasa berada di ambang kritis, yang semakin sulit untuk hidup, bertahan, dan terwaris pada pemakai yang lebih muda. Belum lagi, dengan adanya hegemoni dan dominasi beberapa bahasa Internasional, regional, dan nasional yang semakin mengkhawatirkan keberadaan bahasa-bahasa minoritas di sebuah kawasan (http: // yusradiusmanalgayoni. blogspot. com/ 2010/ 05/ mengenalekolinguistik).
Tanaman obat tradisional perlu mendapatkan penanganan yang serius, karena bukan saja berdampak pada lingkungan, kesehatan, ekonomi, bencana, tetapi juga berdampak kepunahan leksikal. Kecilnya perhatian terhadap tanaman obat terbukti dari pernyataan TRUBUS Infokit Herbal Indonesia Berkhasiat dalam Vol. 8 dikatakan bahwa tanaman unggulan nasional yang telah diuji klinis baru 9, yaitu salam, sambiloto, kunyit, jahe merah, jati Belanda, temulawak, jambu biji, cabe jawa dan mengkudu
(Trubus, 2010 : 17). Menurut Hariana, di Indonesia dikenal lebih dari 20.000 jenis tumbuhan obat. Namun baru 1.000 jenis saja yang sudah di data, dan baru sekitar 300 jenis yang sudah dimanfaatkan untuk pengobatan tradisional (Hariana, 2009 : V). Hal ini menunjukkan betapa kecilnya perhatian maupun penggunaan tanaman obat.
Kecilnya perhatian terhadap tanaman obat, hanyalah salah satu penyebab ekosistem itu bertambah kritis. Lebih dari itu, ekosistem bertambah kritis sebagai buah keserakahan pembangunan. Akibatnya, keanekaragaman hayati banyak yang hilang, pelbagai kerusakan terjadi baik fisik, biologis, maupun sosiologis terhadap kelangsungan hidup manusia dan kebertahanan lingkungan (Algayoni, 2010 : 1 ; Marimbi, 2009 : 31 ; Ratna, 2009: 128 ; Salim, 2007: XX). Hal ini menuntut kajian multidisiplin, seperti sosiologi, antropologi, ekologi. Dalam tautan ini ekolinguistik mencoba menyertakan diri dalam pengkajian lingkungan dalam perspektif linguistik. Sebab, perubahan sosio-ekologis sangat memengaruhi penggunaan bahasa, serta perubahan nilai budaya dalam sebuah masyarakat (Al Gayoni, 2010: 1). Tidak dikuasainya lagi sejumlah kosakata oleh penutur remaja karena hilangnya unsur sosial budaya dan sosioekologi pada komunitas ini. Perubahan budaya dari budaya tradisional seperti pengobatan tradisional (berobat ke dukun) ke budaya modern seperti pengobatan modern (berobat ke dokter) telah berdampak pada perubahan sikap dan perilaku masyarakat dalam bidang pengobatan yang berimplikasi ke pergeseran pemakaian kosakata. Pergeseran ini lambat laun mengakibatkan melemahnya kosakata tanaman obat tradisional dan menguatnya pemilikan kosakata pengobatan modern.
Seiring dengan hal ini, perubahan kawasan (dari kawasan perdesaan ke kawasan perkotaan) atau dari kawasan permukiman menjadi kawasan kosong seperti daerah kawasan Lumpur Lapindo di Jatim menyebabkan hilangnya unsur-unsur budaya yang ada di daerah itu yang sekaligus menyebabkan terkuburnya bentuk leksikal. Demikian juga danau Buyan yang airnya sempat mengering dan menjadi tempat lapangan sepak bola. Apabila hal ini berlanjut, tentu akan mengakibatkan ikan yang dulunya hidup menjadi mati, berbagai rumput yang dulunya hidup hijau dan subur akan mengering, bahkan mungkin mati (Rasna, 2010 : 322). Hal ini akan menyebabkan
hilangnya/ punahnya beberapa ikon leksikal (Adi Saputra, 2010 : 11). Pemunahan unsur alam maupun unsur budaya akan berdampak pada hilangnya konsepsi penutur terhadap entitas. Sebab punahnya sebuah bahasa daerah berarti turut terkuburnya semua nilai budaya yang tersimpan dalam bahasa itu, termasuk di dalamnya berbagai kearifan lingkungan (Lauder, 2006: 6).
Pernyataan ini diperkuat oleh hasil penelitian Rasna yang menyebutkan bahwa: 1)kelompok masyarakat (remaja) yang memiliki keyakinan kuat terhadap pengobatan tradisional, ia akan memiliki pemertahanan leksikal tanaman obat yang lebih kuat, seperti remaja Klungkung sebanyak 247 pemakai (49,40%) peringkat I, remaja Karangasem sebanyak 226 (45,20%), peringkat II, dan remaja Kabupaten Bangli sebanyak 210 (42%) sebagai peringkat III, 2)kelompok masyarakat (remaja) yang memiliki keyakinan kuat terhadap pengobatan modern, memiliki pemertahanan kosakata/leksikal tanaman obat tradisional yang lebih lemah/lebih sedikit, seperti remaja Denpasar sebanyak 60 orang (12%), remaja Badung sebanyak 65 orang (73%) dan remaja Buleleng sebanyak 83 orang (16,60%). Hal ini berarti ketebalan keyakinan masyarakat secara sosioreligius-magis terhadap pengobatan tradisional akan membawanya pada keakraban lingkungan/ekologi yang lebih baik. Implikasinya, semakin akrab pula remaja dengan bentuk leksikal tanaman obat itu (ekolinguistik). Jadi keakraban remaja terhadap tanaman obat tradisional dipengaruhi oleh keyakinannya (Rasna, 2012 : 184).
Sehubungan dengan uraian di atas, masalah yang dikaji ialah bagaimanakah keterampilan para remaja dalam pengolahan tanaman obat tradisional untuk penyakit anak dan implikasinya terhadap ekolinguistik. Pemecahan masalah dilakukan dengan langkah 1) mengumpulkan data keterampilan para remaja dalam pengolahan tanaman obat, 2) menggali dan mengkaji faktor-faktor penyebab baik- buruknya keterampilan para remaja dalam pengolahan tanaman obat, 3) analisis masalah, dan 4) penentuan langkah pemecahan masalah berupa sinergi kolaboratif antarkomponen terkait, seperti Dinas Kesehatan, Dishutbun, Majelis Desa Pakraman, Disbudpar, Balai Bahasa, Guru Bahasa maupun dosen bahasa. Tujuan penelitian ini ialah untuk mengkaji keterampilan para remaja dalam pengolahan tanaman obat dan implikasinya terhadap ekolinguistik.
Objek penelitian ini ialah keterampilan para remaja dalam mengolah tanaman obat dan implikasinya terhadap ekolinguistik dengan subjek penelitian para remaja dan dukun sebanyak 405 orang (purposive random sampling). Variabel penelitian ini ialah keterampilan mengolah tanaman obat dan implikasinya terhadap ekolinguistik. Data dikumpulkan melalui observasi dengan kriteria seperti berikut :
Keterampilan mengolah tanaman obat yang diobservasi ialah cacingan, diare, batuk, dan demam. Berdasarkan hal ini, dapat diketahui bahwa kalau keterampilan mengolah tanaman obat seseorang salah semua maka ia akan memperoleh skor terendah, yaitu 4 x 2,5 = 10. jadi rentangan nilai akan berkisar antara 10 – 100. Untuk menentukan kualitas keterampilan remaja mengolah tanaman obat digunakan kriteria sebagai berikut.
Tabel 01 : Kriteria Kualitas Keterampilan Pengolahan Tanaman Obat Para Remaja
No |
Skor |
Predikat |
1. |
85 – 100 |
Sangat baik |
2. |
70 – 84 |
Baik |
3. |
55 – 69 |
Cukup |
4. |
45 – 54 |
Kurang |
5. |
10 – 44 |
Rendah |
Data implikasi keterampilan mengolah tanaman obat terhadap ekolinguistik dikumpulkan melalui
metode pencatatan dokumen. Data yang terkumpul diolah secara kualitatif dengan langkah berikut ini.
-
1) Pengecekan data yang telah diskor
Data yang telah diskor perlu di cek kebenarannya untuk menjaga kevalidan data. Pengecekan dilakukan secara kolaborasi bersama tim. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan kesepakatan penyekoran.
-
2) Tabulasi
Penabulasian dilakukan agar memudahkan pembaca melakukan analisis data. Data yang telah ditabulasi dianalisis memakai prinsip analisis deskriptif.
-
3) Analisis Data
Data yang telah ditabulasi, lalu dibuatkan pedoman konversi berupa kriteria yang digunakan untuk menentukan kualitas kompetensi para remaja dalam bidang pengolahan kegunaan tanaman obat sepeti tabel 02 berikut ini.
-
4) Penyimpulan
Pada tahap ini ditarik simpulan sesuai dengan kecenderungan yang ada pada data. Penyimpulan dalam bentuk deskriptif yang diterapkan dapat memberikan jawaban masalah penelitian.
Untuk mengetahui keterampilan para remaja Bali dalam pengolahan tanaman obat tradisional untuk penyakit anak dapat dilihat pada tabel 02 berikut ini.
Tabel 02: Keterampilan Remaja Bali dalam Pengolahan Tanaman Obat Tradisional untuk Penyakit Anak.
No |
Pengolahan Obat |
Kabupaten | |||
Buleleng |
Jembrana |
Karangasem |
Klungkung | ||
1 |
Perawatan ibu hamil |
5 |
5 |
7,5 |
7,5 |
2 |
Perawatan Kandungan |
5 |
5 |
7,5 |
7,5 |
3 |
Pencegahan Bayi me- | ||||
ninggal dalam kandungan. |
5 |
7,5 |
7,5 |
7,5 | |
4 |
Bayi Sariawan |
5 |
5 |
7,5 |
7,5 |
5 |
Bayi Ketakutan |
5 |
5 |
7,5 |
7,5 |
6 |
Bayi mengerang kesa-kitan |
7,5 |
7,5 |
7,5 |
7,5 |
7 |
Bayi Kejang |
7,5 |
7,5 |
7,5 |
7,5 |
8 |
Cacingan |
7,5 |
7,5 |
7,5 |
7,5 |
9 |
Batuk |
5 |
7,5 |
7,5 |
7,5 |
10 |
Diare |
5 |
7,5 |
7,5 |
7,5 |
Total |
57,5 /C |
65 / C |
75 / B |
75 / B |
Bangli |
Gianyar |
Kabupaten | ||||
Badung |
Denpasar |
Tabanan |
Rerata |
Ket | ||
7,5 |
7,5 |
5 |
5 |
5 |
61,1/C |
Total Kabu- |
7,5 |
7,5 |
7,5 |
5 |
5 |
63,8/C |
paten = 58.Rerata |
7,5 |
7,5 |
5 |
5 |
7,5 |
63,8/C |
total Kabupaten |
5 |
5 |
5 |
5 |
5 |
55,5/C |
585 : 10 = 58,5 = C |
7,5 |
5 |
5 |
5 |
7,5 |
61,1/C | |
7,5 |
5 |
5 |
5 |
5 |
62,8/C | |
7,5 |
7,5 |
7,5 |
7,5 |
7,5 |
75/B | |
7,5 |
7,5 |
7,5 |
7,5 |
7,5 |
75/B | |
7,5 |
7,5 |
5 |
5 |
7,5 |
66,6/C | |
7,5 |
5 |
5 |
5 |
5 |
67/C | |
72,5 / B |
65/C |
57,5/C |
55/C |
62,5 / C |
58,5/C |
Tabel 02 di depan menunjukkan bahwa keterampilan para remaja di Kabupaten Buleleng, Jembrana, Gianyar, Badung, Kodya Denpasar, dan Tabanan tergolong cukup masing-masing dengan nilai 57,5, 65, 65 57, 5, 55, dan 62,5. Kabupaten yang para remajanya memiliki nilai baik adalah Karangasem 75, Klungkung 75 dan Bangli 72,5. Hal ini memberikan gambaran bahwa remaja yang mempunyai keterampilan baik dalam mengolah obat tradisional ialah Klungkung, Karangasem, dan Bangli. Setelah ditelusuri, ternyata hal ini disebabkan oleh adanya
keyakinan yang kuat terhadap obat tradisional. Akibatnya yang bersangkutan sering berurusan dengan obat tradisional. Hal ini mengakibatkan mereka terbiasa berurusan dengan tanaman obat tradisional (TOT).
Berbeda dengan hal di atas, remaja Buleleng dengan kemampuan pengobatan obat tradisional yang cukup, yaitu 57,5%, Badung 57,5%. Denpasar 55%, Gianyar 65% dan Tabanan 62%. Setelah ditelusuri ternyata keadaan ini disebabkan oleh faktor sosiokultural, yaitu remaja Buleleng adalah remaja
yang fleksibel, mudah beradaftasi sehingga dengan cepat bisa menyesuaikan diri dengan perubahan. Konsekuensinya adalah remaja lebih banyak berinteraksi dengan pengobatan modern dibandingkan pengobatan tradisional. Dampaknya, tentu yang namanya pengobatan tradisonal tergeser dan terpinggirkan, walaupun tidak berarti ditinggalkan. Hal inilah penyebab keterampilan para remaja dalam pengobatan tradisional berada pada posisi cukup. Demikian juga bila kita lihat keterampilan para remaja Bali dalam pengolahan tanaman obat secara umum.
-
3.2 Implikasi Keterampilan para Remaja Bali dalam Pengolahan Tanaman Obat Tradisional untuk Penyakit Anak terhadap Ekolinguistik Ekolinguistik (linguistik lingkungan) menelaah hubungan antara lingkungan dalam kaitannya dengan linguistik. Pengetahuan para remaja atas kegunaan tanaman obat secara keseluruhan tergolong kurang, yaitu 48,11%. Meskipun, jika dilihat secara parsial perkabupaten, tidak semua kabupaten reratanya tergolong kurang. Bahkan ada juga yang baik seperti remaja kabupaten Karangasem sebesar 73, 12%, Klungkung 70,56%, dan Bangli
71,36%. Implikasi keadaan ini terhadap ekolinguistik adalah remaja di sini (Karangasem, Klungkung, dan Bangli) lebih tahu akan tanaman obat tradisional dibandingkan dengan kabupaten / kota lainnya di Bali seperti Buleleng, Badung, Denpasar, Tabanan, Jembrana maupun Gianyar.
Hal ini menunjukkan bahwa secara ekolinguistik remaja Karangasem, Klungkung dan Bangli lebih tahu tanaman obat seperti adas, ‘adas’, pipis,’ nama tumbuhan merayap yang daunnya serupa uang kepeng’, temu rose ‘ temu rose’, urang – aring ‘urang aring’, maswi,’ masoyi,’ ingkakara ‘ kulit ke kara’, ing waduri janar ‘ kulit baduri merah’, wading jaum-jaum ‘kulit pohon jaum-jaum’ ; ing tui putih,’ kulit pohon turiputih’, selegui ‘seleguri ‘sembung gantung ‘sembung gantung ‘dan wong papah ‘jamur yang tumbuh pada pelepah kelapa’.
Untuk mengetahui model pemertahanan leksikal tanaman obat tradisional untuk penyakit anak dapat dilihat tabel 03.
Kajian empiris menunjukkan bahwa untuk melakukan satu tujuan, yaitu Pemertahanan Leksikal
Tebel. 03. Model Pemertahanan Leksikal Tanaman Obat Tradisional untuk Penyakit Anak
Tanaman Obat Tradisional harus melibatkan lima komponen penting, yaitu Dinas Kesehatan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Majelis Desa Pakraman, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Balai Bahasa,Guru dan Dosen bahasa.
Pelibatan Dinas Kesehatan menurut 210 (77,77%) informan (remaja + dukun) karena dinas ini mempunyai peranan strategis dan kewenangan dalam menyosialisasikan manfaat tanaman obat tradisional. Pelibatan Dinas Kehutanan dan Perkebunan menurut 220 (81,48%) responden karena dinas ini mempunyai peran penting dalam upaya memberikan bantuan bibit, penanaman, dan perawatan tanaman obat.
Pelibatan Majelis Desa Pakraman menurut 225 (83,33%) kerena kegiatan ini berurusan dengan masyarakat. Masyarakat itu berada di bawah majelis desa pakraman. Pelibatan Disbudbar menurut 215 (79,62%) informan disebabkan oleh karena kegiatan ini merupakan bagian dari pelestarian budaya, yaitu pelestarian pengobatan tradisional yang bersumber dari lontar. Pelibatan Balai Bahasa menurut 235 (87,03%) karena tujuan utama kegiatan ini adalah pemertahanan leksikal. Pemertahanan leksikal merupakan bagian dari pemertahanan bahasa. Pelibatan Bapedal menurut 190 (70,37%) informan karena lembaga ini berwenang menangani masalah lingkungan. Sebagian kegiatan ini merupakan bagian pelestarian lingkungan.
Pengetahuan para remaja atas kegunaan tanaman obat tradisional untuk penyakit anak dapat dijelaskan sebagai berikut :
-
1. Apabila pengetahuan para remaja ini dilihat secara parsial (perkomponen dan perkabupaten, maka dapat dikatakan bahwa pengetahuan para remaja tentang tanaman obat yang bersifat umum pada daerah yang masih kuat mempertahankan tradisi, seperti manfaat bawang untuk remaja Karangasem. Klungkung, dan Bangli tergolong baik, yaitu sebesar 76%. Hal ini karena daerah ini mempunyai keyakinan yang lebih kuat terhadap pengobatan tradisional dibandingkan dengan daerah lainnya.
Pengetahuan para remaja tentang manfaat tanaman obat tradisional pada tanaman yang bersifat khusus (tidak banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, hanya digunakan dalam pengobatan), seperti padang gulung pengetahuan para remaja pada daerah yang kuat mempertahankan tradisi tergolong cukup, yaitu Karangasem 56% (cukup),
Klungkung 56% (cukup) dan Bangli 56% (cukup). Hal ini menunjukkan bahwa jika daerah yang kuat dengan keyakinan pengobatan tradisional saja kemampuannya cukup, apalagi daerah yang kemampuan adaptasinya tinggi terhadap perkembangan jaman, tentu tidak terlalu sulit dipahami, jika daerah ini kemampuannya akan berada di bawah cukup, seperti remaja Buleleng 36% (rendah), Jembrana 44% (rendah), Gianyar 52% (kurang), badung 28% (rendah), Denpasar 28% (rendah).
Jika dilihat secara kolektif kabupaten (Bali) untuk komponen padang gulung dapat dikatakan kemampuan remaja akan manfaat tanaman obat mencapai 43,11 % (rendah). Hal ini terjadi karena padang gulung merupakan bagian tanaman obat yang bersifat khusus.
Dipandang dari sudut rerata kabupaten untuk keseluruhan tanaman obat dapat dikatakan bahwa pengetahuan manfaat tanaman obat untuk remaja Karangasem 73,12% (baik), remaja Klungkung 70,56% (baik), remaja Bangli 71,36% (baik). Di luar ini, seperti remaja Buleleng pengetahuan manfaat tanaman obat tradisional sebesar 35,68% (rendah),Jembrana 55,04% ( cukup), Tabanan 55,40% (cukup), Gianyar 49,12 (kurang), Badung 35,68% (rendah), dan Denpasar 31,36% (rendah). Secara keseluruhan untuk remaja Bali reratanya 48,11% (kurang). Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya pengetahuan manfaat tanaman obat oleh para remaja menjadi salah satu penyebab, kurangnya perhatian, kepedulian para remaja terhadap tanaman obat.
Berdasar uraian ini, maka sosialisasi manfaat tanaman obat oleh pihak berwenang sangat diperlukan, bukan hanya untuk kepentingan meringankan beban para medis dalam hal kesehatan, tetapi juga manfaatnya untuk kesehatan masyarakat, kesehatan lingkungan, pelestarian budaya, termasuk di dalamnya pelestarian bahasa.
Keterampilan remaja dalam pengolahan tanaman obat dapat dikatakan bahwa remaja yang memiliki keterampilan baik dalam mengolah tanaman obat adalah Karangasem, Klungkung dan Bangli. Hal ini di sebabkan oleh adanya keyakinan mereka terhadap pengobatan tradisional. Karenanya mereka sering berurusan dengan obat tradisional. Hal ini menimbulkan kebiasaan.Kebiasaan menggunakan tanaman obat berakibat akrabnya mereka terhadap tanaman tersebut. Berbeda halnya dengan hal di atas, remaja seperti Buleleng mempunyai keterampilan
yang cukup, yaitu 57,5%, Badung 57,5%, Denpasar 55%, Gianyar 65% dan Tabanan 62%. Penelusuran lebih dalam menunjukkan bahwa keadaan ini disebabkan oleh faktor sosiokultural, yaitu remaja Buleleng adalah remaja yang fleksibel, mudah beradaptasi sehingga dengan cepat bisa menyesuaikan diri dengan perubahan. Konsekuensinya remaja lebih banyak berinteraksi dengan pengobatan modern dibandingkan pengobatan alternatif. Implikasinya, pengobatan alternatif tergeser, walaupun tidak ditinggalkan. Hal ini merupakan faktor penting penyebab, keterampilan remaja pada posisi cukup.
Keadaan ini berdampak pada ekolinguistik, yaitu secara ekolinguistik remaja Karangasem, Klungkung, dan Bangli sedikit lebih tahu tanaman obat adas ‘adas’, pipis ‘ nama tumbuhan merayap yang daunnya serupa uang kepeng’, temu rose ‘temu rose’, urang-aring’ urang aring’ : maswi’ masoy’i, ingkakara’ kulit kekara’.
Uraian di atas memberikan gambaran bahwa pemertahanan leksikal tanaman obat tradisional untuk penyakit anak tidak akan dapat dilakukan hanya oleh pihak yang berkecimpung dalam bahasa saja seperti guru, dosen bahasa, maupun balai bahasa, tetapi harus melibatkan instansi lain di luar bahasa, seperti Dinas Kesehatan, Dishutbun, Majelis Desa Pakraman, Disbudbar, dan Bappedal.
Berdasarkan kepada uraian rumusan masalah di depan, simpulan penelitian ini ialah :
-
1. Keterampilan para remaja Bali dalam pengolahan tanaman obat tergolong cukup, yaitu sebesar 58,5%. Kemampuan mengolah tanaman obat yang tergolong cukup ini disebabkan oleh faktor unsur tanaman obat itu telah disiapkan oleh para orang tua dan para remaja hanya melakukan pengolahan.
-
2. Implikasi keterampilan mengolah tanaman obat terhadap ekolinguistik adalah remaja yang memiliki keterampilan mengolah tanaman obat lebih baik akan lebih akrab dengan istilah tanaman obat tersebut, seperti Karangasem, Klungkung, dan Bangli. Mereka ini lebih tahu
istilah tanaman obat seperti adas ‘adas’ pipis ‘nama tumbuhan merayap yang daunnya serupa uang kepeng, temu rose temu rose, urang-aring ‘urang-aring’, maswi ‘masoyi’ ing kekara, seleguri ‘seleguri’
Saran – Saran
Sehubungan dengan kesimpulan di depan, maka disarankan hal sebagai berikut :
-
1. Perlu adanya sosialisasi manfaat tanaman obat tradisional oleh Dinas Kesehatan dalam upaya peningkatan pengetahuan masyarakat akan manfaat tanaman obat tradisional. Hal ini penting untuk menumbuhkembangkan budaya menaman dan memelihara tanaman obat tradisional di pekarangan masing-masing.
-
2. Keterampilan mengolah obat tradisional oleh para remaja perlu ditingkatkan lagi. Mungkin perlu dilakukan kerjasama dengan para penekun obat tradisional secara lebih ilmiah seperti Pak Oles.
-
3. Peningkatan keterampilan mengolah berperan untuk meningkatkan kualitas obat dari segi khasiat higienitas, penurunan beban ekonomi masyarakat, juga mengakrabkan para remaja terhadap tanaman obat itu sendiri. Pada gilirannya, remaja tidak kehilangan budayanya sendiri, baik bertalian dengan lontar pengobatan maupun bahasanya.
-
4. Perlu adanya sinergi pihak terkait, seperti Dinas
Kesehatan, Dishutbun, Majelis Desa Pakraman, Disbudbar, Balai Bahasa, Bapedal dalam upaya baik kesehatan lingkungan, maupun budaya,dalam upaya pemertahanan leksikal. Dan hal ini dapat menjadi salah satu etnopedagogi masyarakat Bali.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terimakasih ini disampaikan kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Dirjen Dikti atas bantuan dana yang diberikan sehingga penelitian ini terlaksana. Ucapan yang sama juga diberikan kepada lembaga penelitian Undiksha yang telah mengurus semua keperluan terkaiat penelitian.
Daftar Pustaka
Adikusumo, Soepardjo. 1992. Pengaruh dan Transformasi Antisipasif Perubahan Sosial di Indonesia PPS IKIP Bandung.
Adisaputra, Abdurahman. 2010. Ancaman Terhadap Kebertahanan Bahasa Melayu Langkat, (disertasi). PPS Universitas Udayana. Denpasar.
Al. Gayoni, Yusradi Usman. 2010. Mengenal Ekolinguistik. http:www.Theglobejournal. com.Diakses 20 Mei 2010.
Fasold, Ralph W. 1984. The Sociolinguistic of Society. Oxford. Black Well.
Gal, S. 1979. Language Shift : Social Determinants of Linguistic Change in Bilingual Austria. New York : Academic Press.
Halliday, M.A.K. (2001) New ways of meaning : The Challengeler (Eds) The Ecolinguistics reader (PP 175-202). London : Continum.
Haugen, E (1972). The Ecology of Language : Essay by Einar Haugen (Edited by Anwar S.Di). Stanford, AC : Stanford University Press.
Hymes, Dell. 1974. Foundation in Sociolinguistic. Phila delphia : University of Pennsylvania.
Indra, IBK Maba. 2002. Kepunahan Bahasa Jawa pada Masyarakat Jawa – Singaraja (Tesis). Denpasar : UNUD.
Irwan, Zoer’aini Djamal. 1992. Prinsip-Prinsip Ekologi dan Organisasi : Ekosistem Komunitas dan Lingkungan. Jakarta : Bumi Aksara.
Lama dkk. 1993. Keterkaitan Situasi Lingkungan dalam Hubungannya dengan Pemilikan Bahasa Bali. Denpasar : UNUD.
Lauder, Multania RTM. 2004. Pelacakan Bahasa Minoritas dan Dinamika Multikultural dalam Simposium Internasional Kajian Bahasa, Sastra dan Budaya. Austronesia III. Denpasar.
Makkai, A. (1993). Ecolinguistics Toward a New Paradigma for the Science of Language ? London : Pinter Publishers.
Mbete, Aron Meko. 2010. Problematika Keetnikan dan Kebahasaan dalam Perspektif
Ekolinguistik. http. //www. The globe journal. Com. Diunduh 20 Agustus 2010.
Minsarwati, Wisnu. Ir. 2002. Mitos Merapi & Kearifan Lokal. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Prawiro, Ruslan. 1989. Ekologi Lingkungan Pencemaran. Semarang : Satya Wacana.
Rasna, I Wayan. 2010. Pengetahuan dan Sikap Remaja Terhadap Tanaman Obat Tradisional di Kabupaten Buleleng dalam Rangka Pelestarian Lingkungan. Sebuah Kajian Ekolinguistik. Jurnal Lingkungan Hidup Bumi Lestari Vol. 10 Nomor 2 Agustus 2010 : 321. – 332. Denpasar : Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian Universitas Udayana.
Rasna, I Wayan 2010. Transitivitas Pangiwa Teks Aji Blegodawa. Jurnal Linguistika Vol. 17 No. 33 September 2010. 150 – 158. Denpasar : Program Studi Magister dan Doktor Linguistik Universitas Udayana.
Rasna, I Wayan 2009. Model Buku Ajar yang Relevan dengan Perkembangan Kemampuan Berpikir Anak Usia SD. Jurnal Sekolah Dasar Kajian Teori dan Praktek Pendidikan Tahun 18 No. 22, November 2009 : 30 – 37. Malang : Program D2 PGSD PPI, Jurusan KSDP, FIP Universitas Negeri Malang.
Rasna, I Wayan 2010. Aji Blegodawa Text in the Perspective of Functional Systemic Linguistics. E. Journal of Linguistics Vol. 4. Edisi 1 Januari 2010. Denpasar : PPS UNUD.
Ratna, Wahyu. 2010. Sosiologi dan Antropologi Kesehatan. Yogyakarta: Pustaka Rihama.
Sukara, Endang. 2007. Man and the Biosphere. Jakarta Yayasan Obor Indonesia.
Salim, Emil. 2007. Peran Budaya dalam Konservasi Keanekaragaman Hayati. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Siregar, Bahren, Umar. 1998. Pemertahanan Bahasa dan Sikap Bahasa Indonesia. Jakarta : Depdikbud.
Suastra, Made. 2009. Bahasa Bali Sebagai Simbol Identitas Manusia Bali. Jurnal Linguistika Vol. 16 No. 30 Maret 2009 : 12 – 22. Denpasar
: Program Studi Magister dan Doktor Linguistik Universitas Udayana.
Sumarsono, 1993. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Soemarwoto, otto. 1989. Analisis Dampak Lingkungan Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Van Lier, L. 2004. The Ecology and Semiotics of Language Learning A Sociocultural Perspective New York : Kluwer Academic Publisher.
Wilan, Sudirman. 1993. Pemertahanan Bahasa dan Kestabilan Kedwibahasaan pada Penutur Bahasa Sasak di Lombok. Jurnal Linguistik Indonesia Tahun ke 28, No. 1 Februari 2010 : 23 – 39. Jakarta : MLI Pusat Kajian Bahasa dan Budaya, Unika Ama Jaya.
100
Discussion and feedback