JURNAL BIOLOGI UDAYANA

P-ISSN: 1410-5292 E-ISSN: 2599-2856

Volume 27 | Nomor 1 | Juni 2023

DOI: https://doi.org/10.24843/JBIOUNUD.2023.v27.i01.p01

Keanekaragaman dan distribusi lumut terestrial di lereng selatan Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah

Diversity and distribution of terrestrial bryophytes on the southern slope of Mount Lawu, Karanganyar, Central Java

Heri Sujadmiko, Adin Fikri Al Farabi*

Program Studi Biologi, Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada, Sleman, Yogyakarta-Indonesia, 55281

*Email: [email protected]

Diterima

4 Desember 2022


INTISARI

Disetujui

28 Februari 2023


Gunung Lawu merupakan gunung yang terletak di perbatasan antara Jawa Tengah yang memiliki iklim cenderung basah dan Jawa Timur yang cenderung kering. Kenyataan tersebut menjadikan Gunung Lawu memiliki kondisi lingkungan yang khas sebagai tempat tumbuhnya berbagai macam tumbuhan, khususnya tumbuhan lumut. Lumut memiliki peran penting dalam ekosistem hutan pegunungan. Penelitian mengenai keanekaragaman dan distribusi lumut terestrial di lereng timur Gunung Lawu telah ada publikasinya, sedangkan di lereng selatan belum ada publikasinya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keanekaragaman dan distribusi lumut terestrial di lereng selatan Gunung Lawu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penjelajahan untuk menentukan keanekaragaman lumut dan metode kuadrat dengan plot 15x15 cm untuk menentukan distribusi lumut. Analisis distribusi ditentukan berdasarkan Dominansi, Densitas, Frekuensi, dan Nilai Penting. Hasil identifikasi lumut yang dikoleksi yaitu Marchantia palmata Reinw., Nees & Blume, Marchantia polymorpha L., Asterella limbata D.G. Long & Grolle, Reboulia hemisphaerica (L.) Raddi, Scapania javanica Gottsche, Heteroscyphus coalitus (Hook.) Schiffn., Bazzania tridens (Reinw., Blume & Nees) Trevis., Anthoceros fusiformis Aust., Fissidens zollingeri Mont., Polytrichum formosum Hedw., Thuidium plumulosum Dozy & Molk., Ectropothecium buitenzorgii Mitt., Acroporium lamprophyllum Mitt., Leucobryum javense Mitt., Campylopus umbellatus Par., Dicranoloma assimile Par., Dicranella setifera Jaeg., Plagiomnium rhynchophorum (Hook.) T.J. Kop., Philonotis mollis Mitt., Bryum billardieri Schwagr., dan Pyrrhobryum spiniforme Mitt. Dari 21 spesies tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelas, yaitu Hepaticopsida, Anthocerotopsida, dan Bryopsida. Spesies lumut dengan distribusi yang luas dan merata yaitu Acroporium lamprophyllum dengan indeks nilai penting sebesar 60,14%.

Kata kunci: Bryophyta, Distribusi, Gunung Lawu, Keanekaragaman, Lumut terestrial

ABSTRACT

Mount Lawu is a mountain located on the border between Central Java, which has a wet climate and East Java, which tends to be dry. This fact makes Mount Lawu has a unique environmental condition as a place for the growth of various kinds of plants, especially Bryophyte. Bryophyte has an important role in the mountain forest ecosystem. Research on the diversity and distribution of terrestrial Bryophyte on the eastern slopes of Mount Lawu has been published, while on the southern slopes there has been no publication. Therefore, this study aims to study the diversity and distribution of terrestrial Bryophyte on the southern slopes of Mount Lawu. The method used in this research is the exploration method to determine the diversity of Bryophyte and the quadratic method with a plot of 15x15 cm to determine the distribution of Bryophyte. Distribution analysis is determined based on Dominance, Density, Frequency, and Importance Value Index. The results of the identification of Bryophytes collected were Marchantia palmata,

Marchantia polymorpha, Asterella limbata, Reboulia hemisphaerica, Scapania javanica, Heteroscyphus coalitus, Bazzania tridens, Anthoceros fusiformis, Fissidens zollingeri, Polytrichum formosum, Thuidium plumulosum, Ectropothecium buitenzorgii, Acroporium lamprophyllum, Leucobryum javense, Campylopus umbellatus, Dicranoloma assimile, Dicranella setifera, Plagiomnium rhynchophorum, Philonotis mollis, Bryum billardieri, and Pyrrhobryum spiniforme. Of the 21 species can be classified into three classes, namely Hepaticopsida, Anthocerotopsida, and Bryopsida. The species of Bryophyte with a wide and even distribution is Acroporium lamprophyllum with an important value index of 60.14%.

Keywords: Bryophyta, Distribution, Mount Lawu, Diversity, Terrestrial Bryophytes

PENDAHULUAN

Gunung Lawu merupakan gunung tertinggi ketiga di Jawa Tengah yang memiliki ketinggian 3265 mdpl. Secara geografis, Gunung Lawu terletak di perbatasan antara lingkungan Jawa Tengah yang cenderung basah dan lingkungan Jawa Timur yang cenderung kering. Sebagai kawasan peralihan, Gunung Lawu ditumbuhi vegetasi yang khas seperti Cemara gunung (Casuarina junghuhniana) (Steenis, 2010). Kompleks Gunung Lawu memiliki hutan seluas 24.187,5 ha. Kawasan hutan tersebut memiliki variasi tingkat kelebatan vegetasi (Rahayu & Seyo, 2006) dan variasi dominansi vegetasi pada ketinggian yang berbeda-beda sehingga dimanfaatkan untuk berbagai macam tujuan (Sari et al., 2015). Gunung Lawu memiliki bentangan topografi yang khas dan mampu mengkondensasi angin tenggara yang basah menjadi hujan sehingga menyebabkan lereng selatan menjadi relatif subur dengan vegetasi yang rapat, sekalipun musim kemarau (Setyawan & Sugiyarto, 2001). Kondisi iklim yang spesifik ini menyebabkan keunikan tersendiri pada kondisi habitat dan tumbuhan penyusun vegetasi di lereng selatan Gunung Lawu. Kenyataan ini membuat lereng selatan Gunung Lawu merupakan area yang sangat menarik untuk diteliti.

Penelitian mengenai vegetasi di Gunung Lawu masih sedikit dilakukan, khususnya pada tumbuhan lumut. Penelitian mengenai keanekaragaman jenis lumut terestrial di lereng timur Gunung Lawu telah ada publikasinya, sedangkan di lereng selatan masih belum dilakukan. Data penelitian Lusiani & Yuningsih (2018) melaporkan bahwa ditemukan 25 spesies lumut terestrial yang ditemukan di lereng timur Gunung Lawu.

Lumut merupakan tumbuhan tingkat rendah nonvascular karena tidak memiliki berkas pengangkut sehingga termasuk ke dalam divisi Bryophyta. Ciri habitus lumut yaitu memiliki talus yang berbentuk lembaran yang dimiliki oleh jenis lumut primitif, sedangkan lumut yang lebih maju memiliki talus yang dapat dibedakan menjadi cauloid, filoid, dan rhizoid. (Sujadmiko & Vitara, 2021). Lumut memiliki tahapan seksual yaitu fase gametofit yang menghasilkan gamet pada siklus hidupnya dan fase sporofit dengan organ penghasil spora yang disebut sporangium (Glime, 2013). Lumut bersifat kosmopolit, yang dapat ditemukan di berbagai macam habitat. Jumlah lumut diperkirakan memiliki 16.000 spesies yang dikelompokkan menjadi tiga kelas yaitu lumut hati (Hepaticopsida), lumut tanduk (Anthocerotopsida), dan lumut daun (Bryopsida). Jenis lumut dari kelas Bryopsida diperkirakan sebanyak 8000 spesies, Hepaticopsida memiliki diperkirakan sebanyak 5000 jenis, dan Anthocerotopsida diperkirakan sebanyak 3000 spesies (Fanani et al., 2019).

Lumut terestrial merupakan lumut yang tumbuh pada substrat tanah, bebatuan, maupun kayu yang lapuk. Lumut terestrial dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di hutan hujan tropis terutama pada hutan pegunungan di atas 2000 mdpl yang memiliki karakteristik tanah yang mengandung banyak humus dan lembab (Mandl et al., 2009). Di hutan pegunungan, kerapatan pohon dan penutupan tajuk relatif tinggi, lantai hutan sangat teduh, sehingga lumut

terestrial mengalami periode lembab yang panjang. Lumut terestrial memiliki toleransi fisiologis yang relatif sempit terhadap kekeringan, isolasi, dan suhu ekstrem (Proctor, 2000). Kehidupan lumut terestrial tidak tergantung pada kondisi iklim makro lokal karena mampu mengeksploitasi iklim mikro. Oleh karenanya, lumut terestrial dapat mencerminkan keragaman habitat mikro yang tersedia di hutan lereng pegunungan (Mandl et al., 2009). Lumut terestrial yang tumbuh di hutan pegunungan memiliki peran penting dalam fungsi ekosistem, seperti retensi air, kolonisasi tumbuhan, dan keberlanjutan hutan. Lumut terestrial memiliki distribusi yang lebih luas dan gradien ketinggian yang lebih panjang dibandingkan tumbuhan vaskular (Sun et al., 2013).

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penelitian keanekaragaman lumut terestrial di lereng selatan Gunung Lawu sangat penting dilakukan untuk mempelajari keanekaragaman dan distribusi lumut terestrial yang ada di dalamnya. Lereng selatan (Jalur Cemoro Kandang) Gunung Lawu dipilih sebagai lokasi kajian karena memiliki lingkungan yang khas dan belum ada publikasi penelitian lumut terestrial di lokasi kajian, sehingga hasil penelitian ini dapat melengkapi data keanekaragaman lumut di Gunung Lawu dan dapat mendukung penelitian selanjutnya.

MATERI DAN METODE

Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2021 hingga Mei 2022 di Jalur Pendakian Cemoro Kandang, Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah (Gambar 1) dan Laboratorium Sistematika Tumbuhan Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada.

Gambar 1. Lokasi penelitian lumut terestrial di lereng selatan Gunung Lawu

Bahan dan alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel lumut terestrial yang diambil di jalur pendakian Cemoro Kandang, Gunung Lawu. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah koleksi kit untuk pengambilan sampel lumut, grid plot 15x15 cm untuk penentuan distribusi lumut; thermohigrometer untuk mengukur suhu udara dan kelembaban udara; luxmeter untuk mengukur intensitas cahaya; altimeter untuk mengukur ketinggian lokasi; amplop kertas sebagai penyimpanan spesimen dan oven atau lemari pengering untuk pembuatan herbarium kering; mikroskop cahaya untuk pengamatan anatomi lumut; gelas benda, gelas penutup, pipet tetes untuk pembuatan preparat; kamera digital untuk dokumentasi; dan buku identifikasi lumut sebagai referensi untuk identifikasi jenis lumut.

Metode

Penelitian dilakukan dengan pengambilan sampel di lapangan, pembuatan spesimen herbarium kering, pengamatan morfologi dan anatomi, identifikasi spesies lumut, serta penghitungan distribusi setiap jenis lumut terestrial. Lokasi pengambilan sampel di Jalur Pendakian Cemoro Kandang Gunung Lawu dibagi menjadi 5 zona, yaitu: Zona I (1846 mdpl), Zona II (2237 mdpl), Zona III (2420 mdpl), Zona IV (2819 mdpl), dan Zona V (3153 mdpl).

Pengambilan sampel lumut dilakukan di 5 titik sampling pada masing-masing zona penelitian dengan metode penjelajahan, serta menggunakan metode kuadrat dengan plot ukuran 15 × 15 cm untuk menentukan distribusi lumut. Penentuan titik sampling dapat di tanah, batu, dan kayu yang lapuk/tumbang. Lumut yang diambil merupakan lumut yang sudah dewasa serta diusahakan lengkap gametofit dan sporofitnya. Sampel lumut yang ditemukan kemudian dimasukkan ke dalam amplop koleksi dan diberi label yang berisi kode spesies, tanggal, tempat koleksi, dan nama kolektor.

Pembuatan spesimen herbarium kering telah dilakukan dengan tujuan mengawetkan sifat dan ciri morfologi lumut yang digunakan untuk deskripsi dan identifikasi. Sampel lumut yang dibersihkan dari substrat dengan air mengalir dan dikering-anginkan. Sampel yang telah kering kemudian dimasukkan ke dalam amplop kertas kemudian dimasukkan ke dalam oven atau lemari pengering selama 3-7 hari. Herbarium kering yang telah dibuat diamati sifat dan ciri morfologinya. Pengamatan sifat dan ciri anatomi dilakukan dengan pembuatan preparat anatomi gametofit dan sporofit kemudian diamati dengan mikroskop.

Identifikasi dilakukan dengan pencocokan deskripsi, gambar, dan spesimen herbarium dengan kunci identifikasi lumut hingga mendapatkan nama jenis lumut yang benar. Buku identifikasi lumut yang digunakan yaitu Guide to the Liverworts and Hornworts of Java oleh Gradstein (2011), Mosses and Liverworts of Hong Kong oleh So (1995), A Handbook of Malesian Mosses oleh Eddy (1988), Mosses of the Philippines oleh E. B. Bartram (1972). Hasil identifikasi berupa nama-nama jenis lumut.

Analisis data

Analisis data kuantitatif dilakukan untuk mengetahui distribusi setiap spesies lumut terestrial yang ditemukan, yaitu meliputi Densitas, Densitas Relatif, Dominansi, Dominansi Relatif, Frekuensi, Frekuensi Relatif dan Nilai Penting. Selain itu, parameter lingkungan yang telah diukur juga dihitung menggunakan program Microsoft Excel.

Dominansi = D1+D2 π, dimana: D1 = pengukuran diameter panjang, D2 = 4

pengukuran diameter lebar

„    .                    Dominansi suatu jenis

Dominansi Relatif =---——:---:—■--——— x100

Total dominansi seluruh jenis

. Jumlah individu suatu jenis Densitas =

Luas area cuplikan

„        n i           Densitas suatu jenis

Densitas Relatif = ---■----:-----l-—r x100

Total Densitas seluruh jenis

.      . Jumlah plot terdapatnya jenis

Frekuensi =

Total seluruh plot

,     ∙n,.∙e Frekuensisuatujenis

Frekuensi Relatif = ----:-----------------x100

Total frekuensi seluruh jenis

Nilai Penting = Dominansi Relatif + Densitas Relatif + Frekuensi Relatif

(Ajayi & Obi, 2015).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini diperoleh 21 spesies lumut yang terdiri atas 8 ordo dan 16 familia. Lumut kelas Hepaticopsida terdiri atas 5 familia dengan 7 spesies, Anthocerotopsida terdiri atas 1 familia dengan 1 spesies, dan Bryopsida terdiri atas 10 familia dengan 13 spesies. Data keanekaragaman dan distribusi lumut terestrial dapat dilihat pada Tabel 1.

Lumut yang ditemukan di lereng selatan Gunung Lawu didominasi oleh anggota Kelas Bryopsida. Hal ini disebabkan karena Bryopsida memiliki talus yang lebih maju dibandingkan dengan kelas lainnya (Gradstein, 2011) sehingga lebih mampu untuk beradaptasi pada habitat yang beragam di lereng selatan Gunung Lawu. Bryopsida memiliki struktur gametofit tegak dan tubuhnya dapat dibedakan menjadi rhizoid, cauloid, dan filoid (Sujadmiko & Vitara, 2021). Selain itu, Bryopsida memiliki struktur filoid yang terdiri atas satu hingga beberapa lapis sel. Diferensiasi struktur filoid yang lebih maju tersebut memungkinkan Bryopsida untuk dapat beradaptasi terhadap kondisi lingkungan yang beragam (Lukitasari, 2018).

Distribusi suatu spesies dapat diketahui melalui perbandingan parameter vegetasi Dominansi Relatif (DomR), Densitas Relatif (DR), dan Frekuensi Relatif (FR) yang ditentukan sebagai Nilai Penting (NP) pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1. maka dapat diketahui bahwa Acroporium lamprophyllum merupakan spesies yang memiliki distribusi yang luas dan merata di lokasi penelitian dengan Nilai Penting 60,14%. Nilai penting yang tinggi ini ditentukan dari nilai DomR, DR, FR yang tinggi pada spesies ini. Tingginya distribusi Acroporium lamprophyllum yang mendominasi di lokasi penelitian disebabkan oleh beberapa faktor internal maupun faktor eksternal.

Faktor internal yang berpengaruh yaitu keberadaan sel alar yang khas yang dimiliki oleh Acroporium lamprophyllum maupun Familia Sematophyllaceae. Acroporium lamprophyllum memiliki sel alar dengan jumlah tiga atau empat sel hialin (Bartram, 1972). Sel alar merupakan sel–sel yang terletak di bagian pangkal daun dan bervariasi menurut ukuran, bentuk, dan warnanya (Crandall-Stotlerr & Bartholomew-Began, 2007). Sel alar berfungsi untuk menyerap air ke dalam daun, yang dilakukan secara eksternal di sepanjang batang oleh rhizoid

atau daun cekung (Frahm, 2003). Menurut Pollawatn (2008), spesies ini memiliki bentuk daun cekung yang berperan penting dalam fungsi kapilaritas untuk proses pengambilan air secara eksternal. Selain itu, Acroporium lamprophyllum memiliki arah pertumbuhan horizontal (pleurocarpous) dan lifeform mats. Kondisi tersebut menyebabkan spesies ini mempunyai luas permukaan yang besar sehingga mampu menyimpan lebih banyak air (Glime, 2017).

Tabel 1. Keragaman dan distribusi lumut terestrial di lereng selatan Gunung Lawu

Classis

Ordo

Familia

Spesies

DomR (%)

DR (%)

FR (%)

NP (%)

Anthocerotopsida

Anthocerotales

Anthocerotaceae

Anthoceros fusiformis

3.44

0.47

4.40

8.31

Hepaticopsida

Marchantiales

Marchantiaceae

Marchantia palmata

2.04

0.57

3.30

5.91

Marchantia polymorpha

3.38

0.84

3.30

7.51

Aytoniaceae

Asterella limbata

5.14

0.48

5.49

11.12

Reboulia hemisphaerica

3.65

0.40

3.30

7.35

Jungermanniales

Scapaniaceae

Scapania javanica

1.83

0.83

2.20

4.85

Geocalycaceae

Heteroschypus coalitus

3.93

5.19

5.49

14.61

Lepidoziaceae

Bazzania tridens

4.91

6.23

5.49

16.64

Bryopsida

Fissidentales

Fissidentaceae

Fissidens zollingeri

4.35

2.84

5.49

12.68

Polytrichales

Polytrichaceae

Polytrichum formosum

3.72

4.16

5.49

13.37

Hypnales

Thuidiaceae

Thuidium plumulosum

3.82

6.58

4.40

14.80

Hypnaceae

Ectropothecium buitenzorgii

4.32

14.12

3.30

21.74

Sematophyllaceae

Acroporium lamprophyllum

26.05

22.00

12.09

60.14

Dicranales

Dicranaceae

Leucobryum javense

4.16

3.61

5.49

13.26

Campylopus umbellatus

3.57

2.90

4.40

10.87

Dicranoloma assimile

3.76

6.92

4.40

15.07

Dicranella setifera

2.29

2.63

3.30

8.22

Bryales

Mniaceae

Plagiomnium rhynchophorum

3.86

1.54

3.30

8.69

Bartramiaceae

Philonotis mollis

2.94

2.84

5.49

11.28

Bryaceae

Bryum billardieri

4.07

3.93

3.30

11.30

Rhizogoniaceae

Pyrrhobryum spiniforme

4.79

10.90

6.59

22.28

Sementara itu, faktor eksternal yang dapat berpengaruh antara lain substrat untuk pertumbuhan Acroporium lamprophyllum seperti tanah dan kelembaban udara. Pada penelitian ini, Acroporium lamprophyllum ditemukan di empat zona penelitian yaitu Zona I hingga Zona IV. Spesies ini ditemukan pada substrat tanah, bebatuan, dan lahan humus baik pada lingkungan yang basah maupun kering. Habitat spesies ini berada di bawah kanopi yang rapat di sepanjang jalan dengan tanah di dalam hutan pegunungan bawah dan atas (Pollawatn, 2008). Dengan kondisi lingkungan di 4 zona penelitian yang didominasi oleh tanah dan bebatuan yang lembab maka sangat mendukung sebagai habitat untuk pertumbuhan Acroporium lamprophyllum, sehingga pada zona penelitian spesies ini sering ditemukan mendominasi substratnya.

Kanopi berperan dalam kehidupan lumut terestrial karena kerapatan kanopi akan membantu dalam pemenuhan unsur hara dan ketersediaan air bagi pertumbuhan lumut terestrial (Craine et al., 2012). Namun demikian, pada penelitian ini terdapat spesies lumut terestrial yang hanya ditemukan di Zona V

dengan kondisi kanopi yang terbuka dan intensitas cahaya tinggi, yaitu Dicranella setifera dengan Nilai Penting 8,22%. Spesies ini memiliki sistem penghantar air yang efisien dan dapat mempertahankan tekanan turgor hampir sepanjang tahun di habitatnya, sehingga toleran terhadap lingkungan dengan cahaya tinggi dan kering (Proctor, 2000). Menurut Suleiman et al., (2017), spesies ini umumnya ditemukan pada tempat yang terbuka, pada kondisi tanah dan bebatuan yang kering.

Berdasarkan data nilai DR dan FR, maka dapat ditentukan pola distribusi lumut. Pola distribusi acak (random) adalah apabila DR < FR, pola distribusi mengelompok (clumped) apabila DR > FR, dan pola distribusi homogen apabila DR = FR. Secara umum, lumut terestrial di lereng selatan Gunung Lawu umumnya memiliki pola distribusi acak. Pola distribusi acak adalah keberadaan individu pada suatu titik tidak mempengaruhi peluang adanya suatu individu yang sama pada suatu titik yang lain disekitarnya (Amalia, 2022). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1. Yang menunjukkan bahwa 14 dari 21 spesies lumut memiliki nilai FR lebih besar dibandingkan dengan nilai DR. Keempatbelas spesies tersebut adalah Anthoceros fusiformis, Marchantia palmata, Marchantia polymorpha, Asterella limbata, Reboulia hemisphaerica, Scapania javanica, Heteroscyphus coalitus, Fissidens zollingeri, Polytrichum formosum, Leucobryum javense, Campylopus umbellatus, Dicranella setifera, Plagiomnium rhynchophorum, dan Philonotis mollis. Sementara itu, terdapat tujuh spesies yang memiliki pola distribusi mengelompok. Ketujuh spesies tersebut adalah Bazzania tridens, Thuidium plumulosum, Ectropothecium buitenzorgii, Acroporium lamprophyllum, Dicranoloma assimile, Bryum billardieri, dan Pyrrhobryum spiniforme. Pola distribusi mengelompok adalah keberadaan individu pada suatu titik dapat meningkatkan peluang adanya suatu individu yang sama pada suatu titik yang lain disekitarnya (Amalia, 2022).

Adapun data parameter lingkungan yang ada di lereng selatan Gunung Lawu dapat dilihat pada Tabel 2. Penelitian ini dilakukan di lereng selatan Gunung Lawu melalui dengan melewati ketinggian yang berbeda-beda pada setiap zona penelitian. Menurut Enroth (1990) seiring dengan naiknya ketinggian 100 meter maka suhu akan menurun sebesar 0.4-0.7oC. Penurunan suhu yang terjadi akan berpengaruh terhadap kelembaban udara. Hal ini sangat berpengaruh terhadap keragaman lumut karena lumut sangat sensitif terhadap perubahan iklim mikro.

Tabel 2. Parameter lingkungan di lereng selatan Gunung Lawu

No

Parameter lingkungan

Rata-rata

1

Suhu udara (oC)

20,8

2

Kelembaban udara (%)

69,2

3

Intensitas cahaya (lux)

1.847,6

Pada penelitian ini rata-rata kelembaban udara cukup tinggi karena lokasi penelitian Zona I hingga Zona IV berada di dalam zona pegunungan bawah atas dengan vegetasi yang sangat rapat. Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata kelembaban udara di lereng selatan Gunung Lawu yaitu 69,2%. Vegetasi yang rapat ini dapat mencegah penetrasi cahaya yang masuk ke dalam lantai hutan. Kondisi ini kemungkinan memberikan lingkungan yang baik untuk pertumbuhan lumut terestrial. Selain itu, di lereng selatan Gunung Lawu ditemukan adanya mata air dan air terjun. Hal ini dapat menyebabkan kelembaban di lereng selatan Gunung Lawu tetap terjaga sehingga lumut dapat bertahan hidup dengan baik.

Tabel 3. Perbandingan spesies lumut terestrial di lereng timur dan selatan Gunung Lawu

Jenis Lumut Terestrial

Lereng Gunung Lawu

Timur         Selatan

Marchantia chenopoda Marchantia emarginata Marchantia palmate Marchantia polymorpha Marchantia streamannii Marchantia streimannii Marchantia treubii Asterella limbata

Reboulia hemisphaerica Dumortiera hirsute

Bazzania tridens Heteroscyphus coalitus Jungermania tetragona Pallavicinia lyellii Scapania javanica Anthoceros fusiformis Phaeroceros laevis Fissidens zollingeri Pogonatum contortum Polytrichum commune Polytrichum formosum Thuidium furforosum Thuidium furfurosum Thuidium plumulosum Thuidium recognitum Thuidium tamariscinum Ectropothecium buitenzorgii Acroporium lamprophyllum Dicranum scoparium Campylopus intraflexus Campylopus umbellatus Dicranoloma assimile Dicanella setifera Leucobryum glaucum Leucobryum javense Octoblepharum albidum Rhytidiadelphus squarrosus Plagiomnium rhynchophorum Philonotis mollis

Antitrichia curtipendula Papillaria flavolimbata Bryum billardieri Pyrrhobryum spiniforme

√ -√ -- √ √ √ √ ---- √ - √ √ -- √ - √ √ -√ -- √ - √ √ -

- √ √ -√ -- √ √ -√ -- √ √ -√ -- √ - √ √ -√ -- √ - √ - √ √ -√ √ √ -√ -

- √ - √ √ -√ -√ √ - √

Sementara itu, rata-rata intensitas cahaya di lereng selatan Gunung Lawu sebesar 1.847,6 lux. Zona V memiliki intensitas cahaya yang tinggi karena berada di zona sub alpin dengan vegetasi yang sangat renggang sehingga memudahkan sinar matahari sampai hingga lantai hutan. Cahaya menjadi faktor yang penting bagi fotosintesis tumbuhan terutama pada tumbuhan lumut. Akan tetapi, intensitas cahaya yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada klorofil sehingga beberapa spesies lumut tidak mampu beradaptasi (Glime, 2017), serta intensitas cahaya yang berlebihan dapat mempercepat penguapan air pada daun lumut. Selain itu, intensitas cahaya yang tinggi kemungkinan dapat menyebabkan kelembaban udara lebih mudah hilang.

Penelitian mengenai keanekaragaman lumut di lereng timur Gunung Lawu telah dilakukan oleh Lusiani & Yuningsih (2018), sehingga dapat dilakukan perbandingan spesies yang ditemukan di lereng selatan dan lereng timur Gunung Lawu yang dapat dilihat pada Tabel 3. Penelitian keanekaragaman lumut terestrial di lereng timur Gunung Lawu tercatat ditemukan sebanyak 25 spesies (Lusiani & Yuningsih, 2018), sehingga dapat diketahui bahwa jumlah spesies lumut terestrial yang ditemukan di lereng selatan lebih rendah dibandingkan dengan lereng timur Gunung Lawu. Terdapat tiga spesies lumut terestrial yang ditemukan di kedua lereng tersebut. Ketiga spesies tersebut adalah Marchantia polymorpha, Leucobryum javense, dan Bryum billardieri. Lereng selatan dan lereng timur Gunung Lawu memiliki habitat yang hampir sama untuk pertumbuhan lumut terestrial. Namun demikian, menurut Setyawan & Sugiarto (2001) vegetasi yang ada di lereng selatan lebih rapat dibandingkan dengan lereng lainnya yang ada di Gunung Lawu.

Vegetasi yang lebih rapat di lereng selatan Gunung Lawu kemungkinan menciptakan kondisi iklim mikro dengan kelembaban udara yang lebih tinggi dan intensitas cahaya yang lebih rendah. Perbedaan iklim mikro yang terdapat di kedua lereng tersebut dapat menyebabkan komposisi spesies lumut terestrial yang ditemukan di kedua lereng tersebut berbeda pula. Hal ini karena kehidupan lumut terestrial tidak tergantung pada kondisi iklim makro lokal karena mampu mengeksploitasi iklim mikro. Oleh karenanya, lumut terestrial dapat mencerminkan keragaman habitat mikro yang tersedia di hutan lereng pegunungan (Mandl et al., 2009). Perbedaan komposisi tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Berdasarkan Tabel 3. maka dapat diketahui bahwa terdapat 18 spesies lumut terestrial di lereng selatan Gunung Lawu yang berbeda dibandingkan dengan spesies lumut terestrial yang ditemukan di lereng timur Gunung Lawu, sehingga penelitian ini dapat melengkapi data dari penelitian sebelumnya. Kedelapanbelas spesies tersebut adalah Marchantia palmata, Asterella limbata, Reboulia hemisphaerica, Bazzania tridens, Heteroscyphus coalitus, Scapania javanica, Anthoceros fusiformis, Fissidens zollingeri, Polytrichum formosum, Thuidium plumulosum, Ectropothecium buitenzorgii, Acroporium lamprophyllum, Campylopus umbellatus, Dicranoloma assimile, Dicranella setifera, Plagiomnium rhynchophorum, Philonotis mollis, dan Pyrrhobryum spiniforme.

Kunci Identifikasi

  • 1.    Tumbuhan berbentuk talus berupa lembaran, tumbuh merayap, bersifat dorsiventral jika berdaun tersusun dalam baris di kanan-kiri dan bawah batang, tebal daun satu lapis sel, dinding sel daun dijumpai trigome, kapsul sporofit tidak dijumpai operkulum (tutup kapsul) ….……….…….……...... 2 1. Tumbuhan berupa talus seperti pohon, tumbuh tegak, tidak bersifat dorsiventral, daun tersusun spiral, tebal daun satu sampai beberapa lapis sel,

dinding sel daun tidak dijumpai trigome, kapsul sporofit mempunyai operkulum ………………………………………………………………….. 9

  • 2.    Gametofit bersifat frondose …….…….……………………………………. 3

  • 2.    Gametofit bersifat foliose …………………………………………………... 7

  • 3.    Talus berbentuk lembaran dan bercabang dikotomis. Sel mengandung banyak kloroplas kecil. Kapsul membulat hingga ellipsoidal dan berwarna hitam. Kapsul membuka pada satu waktu ………………………………………… 4

  • 3.    Talus berbentuk lembaran pita dan tidak bercabang. Sel mengandung 1-2 kloroplas besar. Kapsul silindris vertikal seperti tanduk rusa. Kapsul membuka secara bertahap dari ujung ke bawah. Pada dinding kapsul dijumpai stomata. Pseudoelatera terdiri dari empat sel. ………. Anthoceros fusiformis

  • 4.    Reseptakel betina dan jantan memiliki tangkai …………….………………. 5

  • 4.    Reseptakel betina memiliki tangkai, reseptakel jantan sessile …….……….. 6

  • 5.    Gemmae cup dengan tepi bergelombang. Permukaan dorsal talus dengan midrib. Tepi talus rata. Sisik segi empat di bagian ventral talus ………………………………………………………… Marchantia palmata

  • 5.    Gemmae cup dengan tepi bergerigi. Permukaan dorsal talus tanpa midrib. Tepi talus crenulate. Sisik oval, tersusun dalam 3 baris di bagian ventral talus……………………………………………….. Marchantia polymorpha

  • 6.    Arkegoniofor terdiri atas tangkai dan reseptakel dengan adanya pseudoperianth yang berbentuk kerucut. Anteridiofor sessile pada tepi permukaan dorsal talus …………………………………… Asterella limbata

  • 6.    Arkegoniofor terdiri atas tangkai dan reseptakel tanpa pseudoperianth. Anteridiofor sessile pada tepi permukaan dorsal talus …………………………………………………….. Reboulia hemisphaerica

  • 7.    Daun tersusun atas dua baris daun lateral dan satu baris daun ventral ……... 8

  • 7.    Daun tersusun atas lobus antical dan lobus postical. Lobus daun berbentuk ovate. Lobus antical dengan bentuk sel segi empat hingga oblong. Lobus postical dengan bentuk sel subrectangular. Tepi daun bergigi pendek. ……….………………………………………………….. Scapania javanica

  • 8.    Daun lateral berbentuk rectangular dengan ujung daun bergigi dua panjang. Daun ventral berupa amfigastrium yang berbentuk seperti bintang. Bentuk sel daun polygonal dengan trigome …......…………….. Heteroscyphus coalitus

  • 8.    Daun lateral berbentuk triangular dengan ujung daun bergigi 3 tajam. Daun ventral berupa amfigastrium yang berbentuk bulat bergelombang. Bentuk sel daun ovate dengan trigome ……….………………………. Bazzania tridens

  • 9.    Daun memiliki lamina tambahan/anak daun. Bentuk daun ligulate-lanceolate

(tepi daun serrulate, bentuk sel daun heksagonal, warna daun hijau kekuningan, lifeform short-turfs) …….….…........….…. Fissidens zollingeri

  • 9.    Daun tidak memiliki lamina tambahan/anak daun ………………………… 10

  • 10.    Daun memiliki lamela yang memanjang. Bentuk daun linear-lanceolate (tepi daun bergigi serrate uniseluler, bentuk sel daun hexagonal-orbicular, warna daun hijau, lifeform tall-turfs) …………………….. Polytrichum formosum

  • 10.    Daun tidak memiliki lamela ......……….…………………………………. 11

  • 11.    Tidak memiliki daun batang …...………………………………………… 12

  • 11.    Memiliki daun batang. Kloroplas dalam sel berjumlah satu. (Bentuk daun triangular-ovate, ujung daun batang short-acuminate, ujung daun cabang tumpul, tepi daun crenulate, bentuk sel daun pluripapillate) ……………....…………………………………….. Thuidium plumulosum

  • 12.    Daun memiliki costa …….………………………………………………. 13

  • 12.    Daun tidak memiliki costa/ecostate …………………………………….... 14

  • 13.    Daun memiliki costa tunggal/unicostate ………………………………… 15

  • 13.    Daun memiliki costa ganda/bicostate. Bentuk sel daun linier rhomboidal. (Bentuk daun ovate-lanceolate. Tepi daun bagian atas serrate, tepi daun bagian bawah serrulate. Ujung daun acuminate. Costa double dan pendek) ………………………………………………. Ectropothecium buitenzorgii

  • 14.    Bentuk daun lanceolate, tepi daun rata, bentuk sel daun linier. Sel alar terdiri dari 3-5 sel hialin, bentuk kapsul ovate, lifeform mats ……………………………………………….. Acroporium lamprophyllum

  • 14.    Bentuk daun ovate-lanceolate, tepi daun serrate, bentuk sel daun rectangular, ujung daun acuminate, bentuk kapsul oblong, lifeform cushion ….……………………………………………………. Leucobryum javense

  • 15.    Costa sangat tebal ….……….…………………………………………… 16

  • 15.    Costa tipis ……….……….……………………………………………… 18

  • 16.    Bentuk sel daun linear-rectangular ……………………………………… 17

  • 16.    Bentuk sel daun ovate-rhomboidal. Sel alar berbentuk rectangular dan tidak berwarna. Costa excurrent. Bentuk daun oblong-lanceolate, tepi daun rata. Seta abu-abu ..........……………………………… Campylopus umbellatus

  • 17.    Bentuk daun ovate. Costa percurrent. Tepi daun serrulate. Bentuk sel daun rhomboidal. Seta berwarna kemerahan. Sel alar berbentuk auriculate dan berwarna kemerahan ………………………………. Dicranoloma assimile

  • 17.    Bentuk daun oblong-ovate. Costa excurrent. Tepi daun rata. Bentuk sel daun rectangular-linear. Seta kuning ….……………………. Dicranella setifera

  • 18.    Acrocarpous ………….…………………………………………………. 19

  • 18.    Pleurocarpous (Bentuk daun rectangular-ligulate, costa kokoh di pangkal dan sangat tipis di daerah apikal, tepi daun bergigi uniseluler, bentuk sel daun oval-rhomboidal) …………………………. Plagiomnium rhynchophorum

  • 19.    Costa percurrent, terdapat sel mamillae pada daun bagian anterior (Bentuk daun lanceolate, bentuk sel daun rectangular, seta kemerahan, kapsul menggantung, lifeform short-turfs) ……………………… Philonotis mollis

  • 19.    Costa Excurrent, sel mamillae tidak terdapat pada daun bagian anterior …………………………………………………………………………… 20

  • 20.    Daun membentuk roset. Border cell tebal. Bentuk daun spathulate, ujung daun acute, tepi daun rata, tepi daun bagian atas bergerigi, bentuk sel daun heksagonal, kapsul pyriform, lifeform short-turfs) ….…… Bryum billardieri

20. Daun tidak membentuk roset. Border cell tipis. Bentuk daun linear-lanceolate. Ujung daun acuminate. Tepi daun serrate. Bentuk sel daun oval atau rounded. Seta kecoklatan. Kapsul silindris ovoid, lifeform short-turfs) ……….…….…………………………………… Pyrrhobryum spiniforme

SIMPULAN

Lumut terestrial yang ditemukan di lereng selatan Gunung Lawu terdiri atas 21 spesies yaitu Marchantia palmata, Marchantia polymorpha, Asterella limbata, Reboulia hemisphaerica, Scapania javanica, Heteroscyphus coalitus, Bazzania tridens, Anthoceros fusiformis, Fissidens zollingeri, Polytrichum formosum, Thuidium plumulosum, Ectropothecium buitenzorgii, Acroporium lamprophyllum, Leucobryum javense, Campylopus umbellatus, Dicranoloma assimile, Dicranella setifera, Plagiomnium rhynchophorum, Philonotis mollis, Bryum billardieri, dan Pyrrhobryum spiniforme. Lumut terestrial yang ditemukan di lereng selatan Gunung Lawu dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelas, yaitu Hepaticopsida, Anthocerotopsida, dan Bryopsida. Spesies lumut terestrial yang memiliki distribusi yang luas dan merata yaitu Acroporium lamprophyllum dengan nilai penting sebesar 60,14%.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada pihak Perhutani KPH Surakarta, DISPARPORA Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah, dan Basecamp Pendakian Jalur Cemoro Kandang Gunung Lawu yang telah memberikan izin penelitian ini; Hibah Kolaborasi Dosen Mahasiswa (KDM) Fakultas Biologi UGM 2021 yang telah memberikan dukungan dana untuk penelitian ini; serta segenap pihak Fakultas Biologi UGM yang telah memberikan dukungan untuk penelitian ini.

KEPUSTAKAAN

Ajayi S, Obi RL. 2015. Tree Species Composition, Structure and Importance Value Index (IVI) of Okwangwo Division, Cross River National Park, Nigeria. International Journal of Science and Research, 5(12): 85-87.

Amalia NA. 2022. Keanekaragaman Lumut di Candi Plaosan Jawa Tengah. Skripsi. Universitas Gadjah Mada.

Bartram EB. 1972. Mosses of the Philippines. Lubracht & Cramer Ltd: New York.

Crandall-Stotler BJ, Bartholomew-Began, SE. 2007. Morphology of mosses (Phylum

Bryophyta). Flora of North America North of Mexico 27: 3-13.

Craine JM, Engelbrecht BM, Lusk CH, McDowell NG, Poorter H. 2012. Resource limitation, tolerance, and the future ecological plant classification. Frontiers in plant science, 3(246): 1-10.

Enroth J. 1990. Altitudinal zonation of bryophytes on the Huon Peninsula, Papua New Guinea.

A floristic approach, with phytogeographic considerations. Tropical Bryology, 2(2-6): 6190.

Fanani MB, Afriyansyah, Haerida, I. 2019. Keanekaragaman Jenis Lumut (Bryophyta) Pada Berbagai Substrat di Bukit Muntai Kabupaten Bangka Selatan. EKOTONIA: Jurnal Penelitian Biologi, Botani, Zoologi dan Mikrobiologi, 4(2): 43-47.

Frahm JP. 2003. Manual of Tropikal Bryology. An International Journal on The Biology of Tropical Bryophytes, 23: 39-57.

Glime JM. 2013. Bryophyte Ecology. Vol 1. Michigan Technological University and International Association of Bryologist. Ch 2, 4, 5 & 7: 1-10.

Glime JM. 2017. Bryophyte Ecology. Vol 1. Michigan Technological University and International Association of Bryologist. Ch 4-5: 2-18.

Gradstein SR. 2011. Guide to the Liverworts and Hornworts of Java. Southeast Asian Regional Center for Tropical Biology: Bogor.

Lukitasari M. 2018. Mengenal Tumbuhan Lumut (Bryophyta) Deskripsi, Klasifikasi, Potensi, dan Cara Mempelajarinya. AE Media Grafika: Magetan.

Lusiani MS, Yuningsih A. 2018. Inventarisasi keanekaragaman lumut di kawasan lereng timur Gunung Lawu Magetan Jawa Timur. Prosiding Seminar Nasional Sabuk Gunung Lawu, 1(1):19-23.

Mandl NA, Kessler M, Gradstein SR. 2009. Effects of environmental heterogeneity on species diversity and composition of terrestrial bryophyte assemblages in tropical montane forests of southern Ecuador. Plant Ecology & Diversity, 2(3): 313-321.

Pollawatn R. 2008. Systematic treatment of Sematophyllaceae (Musci) in Thailand. Doctoral dissertation, Bonn, Univ., Diss.

Proctor MCF. 2000. The bryophyte paradox: tolerance of desiccation, evasion and drought. Plant Ecology, 151: 41-49.

Rahayu KP, Seyo R. 2006. Laporan Penelitian Profil Keanekaragaman Flora Fauna, Peta Penutupan Vegetasi, Kerusakan Lingkungan, dan Konsep Pengembangan Ekowisata di Gunung Lawu. LPPM UNS. Surakarta.

Sari DP, Karyanto P, Muzayyinah. 2015. Studi Avifauna Gunung Lawu berdasarkan Distribusi Altitudinal. Biogenesis 3(2): 81-86.

Setyawan AD, Sugiyarto. 2001. Keanekaragaman Flora Hutan Jobolarangan Gunung Lawu: 1.

Cryptogamae. Biodiversitas 2(1): 115-122.

Steenis CGGJ. 2010. Flora Pegunugan Jawa. LIPI Press: Bogor.

Sujadmiko H, Vitara PE. 2021. Tumbuhan Lumut di Kampus UGM. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Suleiman M, Masundang DP, Akiyama H. 2017. The mosses of crocker range park, Malaysian Borneo. PhytoKeys, (88): 71-107.

Sun SQ, Wu YH, Wang GX, Zhou J, Yu D, Bing HJ, Luo J. 2013. Bryophytes species richness and composition along an altitudinal gradient in Gongga Mountain, China. PloS one, 8(3): 1-10.

13