Susceptibility of Aedes aegypti larvae in East Java towards commercial Temephos at different doses
on
JURNAL BIOLOGI UDAYANA 25(2): 165-171
P ISSN: 1410-5292 E ISSN: 2599-2856
Kerentanan larva Aedes aegypti di Jawa Timur terhadap Temephos komersial dengan dosis berbeda
Susceptibility of Aedes aegypti larvae in East Java towards commercial Temephos at different doses
Firas Khaleyla1*, Etik Ainun Rohmah2, Kris Cahyo Mulyatno2
-
1) Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya, Indonesia 2) Laboratorium Entomologi, Lembaga Penyakit Tropis, Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia
*Email: [email protected]
Diterima 24 Desember 2020 Disetujui 3 September 2021
INTISARI
Pengendalian populasi nyamuk Ae. Aegypti di Indonesia dilakukan sebagai upaya untuk menekan penularan virus dengue, salah satunya dengan penaburan larvasida temephos. Dosis operasional penggunaan temephos di Indonesia (1 mg/L) lebih tinggi dibandingkan dosis yang disarankan World Health Organization (WHO) (0,012 mg/L). Di Jawa Timur, terdapat temephos yang beredar komersial dengan perbedaan pada dosis penggunaan, yaitu10 gram/100 L air (10 G) dan 8 gram/100 L air (8G). Penelitian ini dilakukan untuk memeriksa kerentanan populasi larva Ae. aegypti yang berasal dari Jember (JEM), Surabaya (SBY), dan koleksi Laboratorium Entomologi Universitas Airlangga (LAB) terhadap temephos10G dan 8G pada dosis pemakaian tinggi (1 mg/L) hingga rendah (0,015625 mg/L). Uji mortalitas pada larva dilakukan sesuai dengan ketentuan WHO dengan replikasi 4 kali. Data dianalisis secara statistik. Hasil menunjukkan bahwa ketiga kelompoklarva Ae. aegypti mengalami >90% mortalitas dengan penambahan temephos pada dosis rendah (0,015625 mg/L) pada ambang waktu 240 menit, baik untuk temephos10 G maupun 8 G. Perbedaan respon mortalitas yang signifikan antara dosis tertinggi (1 mg/L) dan dosisterendah (0,015625 mg/L) ditemukan pada kelompok JEM pada dosis 8 G dan 10 G serta LAB pada dosis 8 G. Kelompok JEM dan SBY memiliki rasio resistensi 95 (RR95) temephos dengan kategori rendah (<5) dibandingkan dengan kelompok LAB. Semua kelompok masih memiliki kerentanan pada temephoskomersial pada dosis rendah (0,015625 mg/L). Dari hasil penelitian ini, kami menyarankan untuk menurunkan dosis operasional larvasida temephos yang digunakan untuk pengendalian populasi larva Ae. aegypti di Jawa Timur.
Kata kunci: Aedes aegypti, larvasida, temephos, Surabaya, Jember
ABSTRACT
Control of Ae. Aegypti population is performed as an effort to suppress the transmission of dengue virus, one of the methods is sprinkling of temephos larvicide. Operational dose of temephos used in Indonesia (1 mg/L) is higher from recommended dose of WHO (0.012 mg/L). In East Java, commercial temephos are found to have different application doses of 8 g/L (8G) and 10 g/L (10 G). This study was designed to know the susceptibility of Ae. aegypti population from Jember (JEM), Surabaya (SBY), and Entomology Laboratory of Universitas Airlangga collection (LAB) towards temephos 8G and 10G starting at high (1 mg/L) to low concentrations(0.015625 mg/L). Larvae mortality test was performed based on WHO standard method with 4 times replication. Data was analyzed statistically. Results showed that the three groups of
Ae. aegypti larvae had mortality level at >90% in the lowest concentration applied (0.015625 mg/L) at time threshold of 240 minutes, for both temephos8 G and 10 G. Significant difference of larvae mortality towards highest (1 mg/L) and lowest dose (0.015625 mg/L) was found in JEM, at both 8 G and 10 G doses, and LAB at 8 G dose. JEM and SBY groups were found to have resistance ratio 95 (RR95) to temephosat low category (<5) compared to LAB. All groupstill retained susceptibility towards commercial temephos larvicide at low dose (0.015625 mg/L). Based on results, we recommendedlowering the operational dose of larvicide temephos used for population control of Ae. aegypti vector population in East Java.
Keywords: Aedes aegypti, larvicide, temephos, Surabaya, Jember
PENDAHULUAN
Nyamuk Aedes aegypti telah lama dikenal sebagai vektor yang berperan menyebarkan berbagai macam virus yang menyebabkan penyakit pada manusia, misalnya virus dengue, chikungunya, yellow fever, serta Zika (Ding et al., 2018). Persebaran Ae. aegypti ditemukan paling tinggi adalah di daerah tropis (Ding et al., 2018; Kraemer et al., 2015), tidak terkecuali di Indonesia. Di Indonesia, Ae. aegypti terutama berperan dalam menularkan penyakit demam berdarah dengue (DBD). Hingga saat ini, penyakit DBD masih menjadi masalah untuk kesehatan masyarakat Indonesia karena jumlah penderitanya yang cukup tinggi dari tahun ke tahun. Pada tahun 2018, kasus DBD yang terjadi di Indonesia berjumlah 65.602 dengan tingkat kejadian per 100.000 penduduk sebanyak 24,75 dan jumlah kasus meninggal sebanyak 467 (Kemenkes RI, 2019). Di Jawa Timur sendiri, jumlah kasus DBD selama tahun 2018 adalah 8.449 dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 84dancase fatality rate (CFR) sebesar 0,99% yang mendekati kategori tinggi (CFR > 1%)(Kemenkes RI, 2019). Surabaya adalah salah satu kota di Indonesia yang merupakan endemikDBD dan memiliki CFR yang berfluktuasi antara tahun 2009-2017(Tang et al., 2020).
Salah satu upaya untuk menekan penularan virus dengue adalah dengan mengendalikan populasi vektor pembawa virus. Berbagai usaha untuk mengendalikan populasi Ae. aegypti yang telah dilakukan di Indonesia, misalnya 3 M plus (draining, covering, burying or recycling), penggunaan penolak nyamuk berbasis bahan kimia aromatik, memelihara ikan predator larva
nyamuk, dan yang paling populer adalah dengan penambahan larvasida pada lokasi-lokasi yang menjadi preferensi Ae. aegypti untuk meletakkan telurnya (Haryanto, 2018).Hingga pada tahun 2018, Angka Bebas Jentik (ABJ) yang digunakan sebagai indikator pengendalian larva nyamuk di Indonesia masih belum mencapai target (≥95%), akan tetapi justru mengalami penurunan pada jangka waktu tahun 2016 (68,6%) hingga 2018 (31,5%) (Kemenkes RI, 2019).
Larvasida yang selama ini banyak digunakan untuk pengendalian populasi jentik nyamuk di Indonesia adalah larvasida sintetik komersil dari jenis organophosphatetemephos. World Health Organization (WHO) menyarankan dosis penggunaan temephospada 0,012 mg/L,akan tetapidosis operasional temephos yang digunakan di Indonesia jauh lebih tinggi, yaitu 1 mg/L(Haryanto, 2018; Mulyatno et al., 2012). Di Jawa Timur, temephos komersialditemukan beredar dengan perbedaan pada saran konsentrasi penggunaan, yaitu 10 gram/10 liter air (10G) dan 8 gram/100liter air (8G).
Akibat penggunaannya yang terus menerus dan ekstensif di Indonesia, kerentanan larva Ae. aegypti terhadap temephos komersial sebaiknya diperiksa secara rutin sebagai bentuk pengawasan untuk memastikan dosis yang digunakan tetap efektif. Penelitian ini dilakukan untuk memeriksa kerentanan populasi larva Ae. aegypti yang berasal dari daerah berbeda (endemik dan non-endemik DBD) di Jawa Timur terhadap temephos yang beredar secara komersial dengan perbedaan pada dosis yang disarankan.
MATERI DAN METODE
Koleksi Sampel Larva
Sampel Aedes aegypti yang digunakan berasal dari tiga populasi berbeda. Sampel dari daerah tidak rentan DBD diambil dari kelurahan Patrang, Kecamatan Patrang, Kota Jember (JEM), sedangkan sampel dari daerah rentan DBD diambil dari Kelurahan Sawahan, Surabaya (SBY). Sampel ketiga adalah koleksi Laboratorium Entomologi, Lembaga Penyakit Tropis, Universitas Airlangga (LAB) sebagai populasi pembanding. Larva Ae. aegypti dikoleksi dari daerah sampling dibawa ke laboratorium Entomologi, Lembaga Penyakit Tropis Universitas Airlangga untuk dipelihara sampai dewasa sebagai generasi pertama (F1). Ae. aegypti dewasa dibiakkan hingga menghasilkan
generasi keturunan. Waktu yang dibutuhkan larva menjadi dewasa hingga generasi pertama selama seminggu, dalam kondisi terkontrol (kelembaban ruangan 75%, temperatur air 28°C-30°C, temperatur ruangan 28°C).
Larvasida Organophosphat Temephos
Larvasida yang digunakan adalah organophosphatetemephos yang beredar secara komersil di Indonesia dengan merk Abate 1G® (Baden Aniline and Soda Manufacturing, Ludwigshafen, Germany) mengandung 1% temephos. Dua jenis temephos komersial didapatkan dengan perbedaan pada saran dosis penggunaan, yaitu 10 gram/100 liter air (10G) dan 8 gram/100 liter air (8G) (Gambar 1).


-
(a) (b)
Gambar 1. Perbedaan petunjuk penggunaan pada kemasan (a) temephos 10g/100 Lair (10G) dan
-
(b) temephos8 gram/100 L air (10G).
Uji Mortalitas Larva
Larva instar III Ae. aegypti dari masing-masing strain dilakukan rearing dalam kondisi laboratorium yang terkontrol (kelembaban ruangan 75%, temperatur air 28°C-30°C, temperatur ruangan 28°C)dalam wadah plastik berisi air PDAM yang telah diendapkan sebelumnya selama semalam. Larva Ae. Aegypti JEM yang digunakan dalam penelitian adalah F3, larva SBY dari generasi F2, dan larva LAB merupakan generasi F313. Larva kemudian dibagi menjadi 15 kelompok berdasarkan perlakuan (kontrol, temephos 10 G dosis 1 mg/L; 0,5 mg/L; 0,25 mg/L; 0,125 mg/L; 0,0625 mg/L, 0,03125 mg/L; 0,015625 mg/L, dan temephos 8G dosis 1 mg/L; 0,5 mg/L; 0,25 mg/L; 0,125 mg/L; 0,0625 mg/L, 0,03125 mg/L; 0,015625 mg/L). Sebanyak
20 ekor larva diletakkan dalam setiap wadah plastik berisi air dan ditambahkan konsentrasi temephos sesuai perlakuan. Replikasi sebanyak 4 kali dilakukan untuk setiap perlakuan. Larva dipapar temephosselama 24 jam sesuai dengan ketentuan uji dari WHO(World Health Organization, 2016). Mortalitas larva pada masing-masing perlakuan dicatat dan dihitung presentasenya berdasarkan rumus berikut:
M = -χ100% b
Keterangan:
M = presentase mortalitas larva Ae. aegypti
a = jumlah larva Ae. aegypti yang mati
b = jumlah larva Ae. aegypti yang digunakan dalam perlakuan
Analisis data
Data mortalitas larva Ae. aegypti dianalisis secara statistik menggunakan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov, kemudian uji ANOVA satu arah yang dilanjutkan dengan uji post-hoc Duncan (p=0,05). Data LC95 ditentukan menggunakan regresi linear dari data mortalitas. Rasio resistensi (RR95) dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
KR LC95 populasi sampel
95 LC95 populasi pembanding
Keterangan:
RR95 = rasio resistensi Ae. aegypti pada konsentrasi letal 95
LC95 = konsentrasi letal 95
Tingkat resistensi ditentukan berdasarkan kategori dari penelitian sebelumnya (Mazzarri & Georghiou, 1995). Larva Ae. aegypti diindikasikan memiliki resistensi rendah jika nilai
RR95< 5, resistensi sedang jika RR95 antara 5-10, dan resistensi tinggi jika RR95> 10.
HASIL
Berdasarkan uji mortalitas dua jenis dosis temephos yang beredar secara komersil, larva Ae. aegyptiyang dikoleksi dari berbagai lokasi di Jawa Timur ditemukan masih rentan terhadap temephoskomersial. Sebagian besar dari
mortalitas pada semua kelompok perlakuan Ae. aegypti terjadi pada ambang batas menit ke-240 dan pada waktu 24 jam semua larva pada kelompok perlakuan temephos telah mengalami mortalitas. Data mortalitas pada titik waktu 240 menit kemudian dianalisis untuk menentukan LC90 pada ambang batas waktu ini (Tabel 1). Pada dosis terendah yang digunakan dalam penelitian ini (0,015625 mg/L), rata-rata>90% larva dari semua populasi mengalami kematian, baik pada temephos10 G maupun 8 G.
Tabel 1. Presentase mortalitas larva Ae. aegypti dari berbagai daerah di Jawa Timur dengan ambang waktu 240 menit.pada berbagai dosis temephos komersial
Jenis temephos |
Dosis (mg/L) |
Rata-rata mortalitas populasi larva (%) pada 240 menit* | ||
JEM |
SBY |
LAB | ||
10 G |
0 |
0,00±0,00a |
0,00±0,00a |
0,00±0,00a |
1 |
100,00±0,00b |
100,00±0,00b |
100,00±0,00b | |
0,5 |
100,00±0,0b |
100,00±0,00b |
100,00±0,00b | |
0,25 |
100,00±0,00b |
100,00±0,00b |
100,00±0,00b | |
0,125 |
97,50±5,00bc |
97,50±4,33b |
100,00±0,00b | |
0,0625 |
96,25±2,50bc |
96,25±6,50b |
95,00±7,07b | |
0,03125 |
95,00±4,08c |
96,25±6,50b |
96,25±4,79b | |
0,015625 |
95,00±4,08c |
95,00±8,66b |
96,25±4,79b | |
8 G |
0 |
0,00±0,00a |
0,00±0,00a |
0,00±0,00a |
1 |
100,00±0,00b |
100,00±0,00b |
100,00±0,00b | |
0,5 |
100,00±0,00b |
100,00±0,00b |
100,00±0,00b | |
0,25 |
100,00±0,00b |
100,00±0,00b |
100,00±0,00b | |
0,125 |
97,50±4,33b |
100,00±0,00b |
100,00±0,00b | |
0,0625 |
97,50±2,50b |
98,75±2,50b |
97,50±2,89bc | |
0,03125 |
95,00±6,12bc |
93,75±9,46b |
96,25±4,79bc | |
0,015625 |
91,25±5,45c |
93,75±12,50b |
95,00±4,08c |
Keterangan: *) notasi berbeda menandakan hasil signifikan dari uji Duncan (p=0,05)
Berdasarkan uji statistik, terdapat perbedaan signifikan antara kontrol yang tidak diberikan temephos dengan semua kelompok perlakuan yang diberikan temephos, baik 10 G maupun 8 G. Perbedaan mortalitas larva yang signifikan antara dosis tertinggi (1 mg/L) dengan dosis terendah (0,015625 mg/L) ditemukan pada kelompok JEM, baik pada temephos 10 G maupun 8 G, serta pada kelompok LAB pada dosis 8 G. Sedangkan kelompok SBY tidak menunjukkan perbedaan respon mortalitas yang signifikan antara dosis tertinggi (1 mg/L) hingga dosis terendah (0,015625 mg/L), baik pada penggunaan temephos 10 G maupun 8 G. Data mortalitas kemudian digunakan untuk menentukan LC95 (Tabel 2).
Tabel 2. Lethal concentration95 (LC95) temephos komersial pada larva Ae. aegypti dari berbagai daerah di Jawa Timur dengan ambang waktu 240 menit, | ||
Populasi |
LC95(mg/L) | |
Temephos 10 G |
Temephos 8 G | |
JEM |
2,05 x 10-2 |
3,92 x 10-2 |
SBY |
1,50 x 10-2 |
2,05 x 10-2 |
LAB |
1,97 x 10-2 |
9,04 x 10-3 |
Berdasarkan nilai LC95 untuk masing-masing dosis temephos. RR95 ditentukan untuk populasi SBY dan JEM dengan populasi LAB sebagai populasi pembanding (Tabel 3). Rasio resistensi temephosuntuk kedua populasi masih berada di bawah batas resistensi rendah (RR95< 5).
Tabel 3. Rasio resistensi 95 (RR95) temephos komersial pada populasi larva Ae. aegypti dari Jawa Timur
Populasi |
RR95 | |
Temephos 10 G |
Temephos 8 G | |
JEM |
1,04 |
4,34 |
SBY |
0,76 |
2,26 |
PEMBAHASAN
Indonesia sebagai negara tropis yang merupakan endemik penyakit dengue telah lama menghadapi penyakit ini sebagai beban kesehatan masyarakat. Selama ini,cara utama yang dilakukan untuk menekan penularan penyakit ini
adalah dengan mengendalikan populasi vektor dengue di Indonesia, terutama Ae. aegypti. Salah satu metode yang dilakukan adalah dengan menambahkan larvasida pada genangan air yang menjadi lokasi preferensi bertelur Ae. aegypti.
Temephos telah lama digunakan sebagai larvasida untuk mengendalikan populasi Ae. aegypti di Indonesia. WHO menyarankan penggunaan temephospada dosis 0,012 mg/L, tetapi dosis operasional temephos yang digunakan di Indonesia adalah 1 mg/L(Haryanto, 2018; Mulyatno et al., 2012).Penaburan temephos mempunyai efek residu 3 bulan dengan pola pemakaian air secara normal. Temephos mempunyai tingkat toksisitas moderat akut apabila paparan melalui jalur dermal atau oral, dan toksisitas rendah apabila paparan melalui jalur inhalasi(USA - EPA, 2009).
Pada penelitian ini, larva dari ketiga populasi ditemukan masih rentanterhadap temephos pada dosis yang rendah (0,015625 mg/L),sebesar 1/64dari dosis operasional temephosyang disarankan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia pada ambang waktu 240 menit. Perbedaan respons mortalitas signifikan antara dosis tertinggi (1 mg/L) dengan dosis terendah (0,015625 mg/L) ditemukan pada kelompok JEM, baik pada temephos 10 G maupun 8 G, serta pada kelompok LAB pada dosis 8 G. Sedangkan kelompok SBY tidak menunjukkan perbedaan respon mortalitas pada dosis atau jenis temephos yang berbeda. Konsentrasi letal 95 (LC95) untuk ketiga kelompok larva ditemukan pada di dosis yang rendah. Sementara itu, rasio resistensi (RR95) dari populasi SBY dan JEM juga masih berada di tingkatan yang rendah (<5) dibandingkan dengan populasi LAB sebagai pembanding, baik pada temephos10 G maupun 8 G.
Adanya perbedaan respon mortalitas antara satu kelompok dengan kelompok lain menunjukkan perubahan resistensi temephos dalam populasi larva. Meskipun demikian, semua kelompok yang diuji dalam penelitian ini masih mengalami mortalitas di atas 90% pada dosis 0,015625 mg/L dan memiliki rasio resistensi yang
rendah, menunjukkan kerentanan pada temephos. Hal ini berbeda dengan populasi larva Ae. aegyptidariTegal yang menunjukkan respons mortalitas sebesar 90% pada dosis yang lebih tinggi (0,025 ppm), mengindikasikan potensi resistensi pada larva dari Tegal (Kresnadi et al., 2021).
Penggunaan temephospada dosis yang terlalu tinggi dan secara terus menerus kemungkinan dapat menginduksi resistensi organophosphatetemephos, sebagaimana yang mulai diindikasikan pada beberapa populasi Ae. aegyptidari beberapa daerah di Indonesia, antara lain Demak, Klaten, Banjarnegara(Ikawati et al., 2017), Padang(Hasmiwati et al., 2018), dan Surabaya(Mulyatno et al., 2012).Larva Ae. aegypti mampu melakukan detoksifikasi larvasida yang masuk ke tubuhnya oleh karena peranan enzim detoksifikasi glutathione S transferase (GST), esterase, dan monooxygenase. Pada strain larva Ae. aegypti yang mengalami resistensi organophosphatetemephos, ekspresi GST dan esterase ditemukan meningkat dibandingkan strain yang masih rentan (Melo-Santos et al., 2010; Paeporn et al., 2003). LarvaAe. aegypti yang memiliki resistensi terhadap insektisida pyrethroid di beberapa daerah di Indonesia memiliki level enzim oksidase dan esterase yang lebih tinggi secara signifikan dibadingkan dengan strain yang rentan(Ahmad et al., 2007). Peningkatan enzim esterase juga ditemukan pada sampel Ae. aegypti resisten moderat terhadap larvasida organophosphatemalathiondan cypermethrin dari daerah Yogyakarta(Mulyaningsih et al., 2018). Peningkatan ekspresi enzim-enzim detoksifikasi menyebabkan larva Ae. aegypti menjadi lebih toleran terhadap keberadaan larvasida.
Untuk mencegah kemunculan strain Ae. aegypti resisten lebih lanjut, dosis larvasida temephos yang digunakan secara luas sebaiknya ditinjau ulang. Sebagaimana diindikasikan pada penelitian ini, populasi Ae, aegypti dari Jawa Timur masih rentan mengalami mortalitas akibat larvasida temephos pada dosis yang rendah.
Pengujian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan konsentasi temephos yang lebih rendah dari dosis operasional tetapi masih efektif untuk mengendalikan vektor Ae. aegypti.
SIMPULAN
Larva Aedes aegypti yang berasal dari berbagai daerah di Jawa Timur, masih memiliki kerentanan pada dosis rendah temephos komersial yang beredar, baik dosis 8 G maupun 10 G. Larva Ae. aegypti mengalami >90% mortalitas pada dosis temephos yang rendah (0,015625 mg/L). Kerentanan larva pada dosis rendah temephos komersial dapat digunakan sebagai dasar untuk menurunkan dosis operasional penggunaan temephoskomersial untuk larvasida Ae. aegypti di Jawa Timur. Penelitian lebih lanjut dapat difokuskan untuk melihat apakah larva Ae. aegypti di daerah lain juga memilikikerentanan serupa terhadap temephos komersial dan menentukan dosis operasional temephos yang lebih tepat untuk menekan munculnya strain Ae.aegypti yang resisten terhadap temephos.
KEPUSTAKAAN
Ahmad I, Astari S, Tan M. 2007. Resistance of Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) in 2006 to pyrethroid insecticides in Indonesia and its association with oxidase and esterase levels. Pakistan Journal of Biological Sciences 10(20): 3688–3692. DOI:
10.3923/pjbs.2007.3688.3692
Ding F, Fu J, Jiang D, Hao M, Lin G. 2018. Mapping the spatial distribution of Aedes aegypti and Aedes albopictus. Acta Tropica 178(1): 155–162. DOI:
10.1016/j.actatropica.2017.11.020
Haryanto B. 2018. Indonesia Dengue Fever: Status, Vulnerability, and Challenges. Current Topics in Tropical Emerging Diseases and Travel Medicine. IntechOpen, 12. DOI: 10.5772/intechopen.82290
Hasmiwati, Rusjdi SR, Nofita E. 2018. Detection of ace-1 gene with insecticides resistance in aedes aegypti populations from DHF-endemic areas in Padang, Indonesia.
Biodiversitas19(1): 31–36. DOI:
10.13057/biodiv/d190105
Ikawati B, Sunaryo, Wahyudi BF. 2017. Aedes aegypti resistance to temephos in Central Java, Indonesia. Advanced Science Letters 23(4): 3544–3546. DOI:
10.1166/asl.2017.9163
Kemenkes RI. 2019. Profil Kesehatan Indonesia 2018 [Indonesia Health Profile 2018].
Kraemer MUG, Sinka ME, Duda KA, Mylne AQN, Shearer FM, Barker CM, Moore CG, Carvalho RG, Coelho GE, Van Bortel W, Hendrickx G, Schaffner F, Elyazar IR, Teng HJ, Brady OJ, Messina JP, Pigott DM, Scott TW, Smith DL, William Wint GR, Golding N, Hay SI. 2015. The global distribution of the arbovirus vectors Aedes aegypti and Ae. Albopictus. eLife 4: e08347. DOI:
10.7554/eLife.08347
Kresnadi I, Amin BF, Ariq H, Akbar VA, Winita R, Ridhawati S, Lisawati S, Firmansyah NE, Wibowo H. 2021. The Susceptibility of Aedes aegypti in Dengue Endemic Areas, Tegal, Central Java Indonesia. Balaba: Jurnal Litbang Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Banjarnegara 17(1): 11–18
Mazzarri MB, Georghiou GP. 1995. Characterization of resistance to organophosphate, carbamate, and pyrethroid insecticides in field populations of Aedes aegypti from Venezuela. Journal of the American Mosquito Control Association 11(3): 315–322
Melo-Santos MAV, Varjal-Melo JJM, Araújo AP, Gomes TCS, Paiva MHS, Regis LN, Furtado AF, Magalhaes T, Macoris MLG, Andrighetti MTM, Ayres CFJ. 2010.
Resistance to the organophosphate temephos: Mechanisms, evolution and
reversion in an Aedes aegypti laboratory strain from Brazil. Acta Tropica 113(2): 180– 189. DOI: 10.1016/j.actatropica.2009.10.015
Mulyaningsih B, Umniyati SR, Satoto TBT, Diptyanusa A, Nugrahaningsih DAA, Selian Y. 2018. Insecticide resistance and mechanisms of Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) in Yogyakarta. Journal of thee Medical Sciences (Berkala Ilmu Kedokteran)50(01): 24–32. DOI:
10.19106/jmedsci005001201803
Mulyatno KC, Yamanaka A, Ngadino, Konishi E. 2012. Resistance of Aedes aegypti (L.) larvae to temephos in Surabaya, Indonesia.
Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health 43(1): 29–33
Paeporn P, Komalamisra N, Deesin V, Rongsriyam Y, Eshita Y, Thongrungkiat S.
2003. Temephos resistance in two forms of Aedes aegypti and its significance for the resistance mechanism. Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health 34(4): 786–792
Tang SCN, Rusli M, Lestari P. 2020. Climate Variability and Dengue Hemorrhagic Fever in Surabaya, East Java, Indonesia. Indian Journal of Public Health Research & Development11(2): 131. DOI:
10.37506/v11/i2/2020/ijphrd/194770
USA - EPA. 2000. Temephos: Revised HED Chapter for the Registration Eligibility Decision (RED) Document.
World Health Organization (WHO). 2016. Monitoring and Managing Insecticide Resistance in Aedes mosquito Populations.
171
Discussion and feedback