VIABILITAS SPERMATOZOA PETAURUS BREVICEPS PAPUANUS T.
on
JURNAL BIOLOGI XIII (2) : 57 - 59
VIABILITAS SPERMATOZOA Petaurus breviceps papuanus T.
SPERMATOZOA VIABILITY OF Petaurus breviceps papuanus T
NI MADE RAI SUARNI, I GUSTI AYU MANIK ERMAYANTI Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Udayana Kampus Bukit Jimbaran
INTISARI
Telah dilakukan penelitian untuk menentukan viabilitas spermatozoa Petaurus berviceps papuanus T. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop dengan pewarna trypan blue. Jumlah spermatozoa yang hidup dihitung dari 100 spermatozoa. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, secara in vitro sebanyak 4,75 % spermatozoa dapat hidup dalam medium DMEM (Dulbecco’s modified Eagle’s medium) dengan suhu 35oC selama 7.5 jam.
Kata kunci : Petaurus berviceps papuanus T., spermatozoa, viabilitas.
ABSTRAK
Experiment to determine the spermatozoa viability of Petaurus berviceps papuanus T. has been performed. Observation was done under microscope and trypan blue was used as stain. Viable spermatozoa were counted from a total of 100 spermatozoa. It was found that 4,75 % of the spermazoa could be maintained for 7.5 hours in the DMEM (Dulbecco’s modified Eagle’s medium) at 35oC.
Keyword : Petaurus berviceps papuanus T., spermazoa, viability.
PENDAHULUAN
Petaurus berviceps W. adalah marsupialia yang termasuk dalam familia Petauridae. Species ini merupakan species marsupialia kecil yang memiliki dimorfisme seksual, dengan hewan jantan lebih besar dari hewan betina (Tyndale–biscoe & Renfree, 1987). Hewan ini dikenal sebagai sugar glider karena menyukai makanan yang manis dan dapat meluncur di udara karena mempunyai patagium, yaitu suatu membran yang membentang di setiap sisi tubuh dari kaki depan sampai kaki belakang (Klettenheimer, 1998).
Saat ini sudah diketahui tujuh subspecies Petaurus berviceps W dengan penyebaran yang cukup luas. Salah satu subspeciesnya adalah Petaurus berviceps papuanus T. yang hidup di Papua New Guniea Utara dan Irian Jaya (Klettenheimer, 1998).
Sugar glider jantan mempunyai penis yang berada dekat pangkal ekor dan bercabang, testis berada dalam sebuah kantung yang menggantung di daerah perut. Di samping itu, hewan jantan juga mempunyai dua kelenjar dermal yang berukuran besar yaitu kelenjar frontal yang terletak di atas tulang frontal diantara mata dan kelenjar gular yang terletak pada pangkal leher bagian ventral (Klehenheimer, 1997 dan 1998).
Mate dan Rodger (1996) menyatakan bahwa spermatozoa brushtail possum dan tammar wallaby yang termasuk ke dalam marsupialia dapat hidup secara in
vitro selama lebih dari 20 jam dalam medium Eagle yang mengandung 0.4% Bovine Serum Albumin (BSA) pada suhu 37oC. Spermatozoa epididimis kauda kaola (Phascolartos cinerus), brustail possum (Trichosurus vulvecula, long footed potoroo (Potorous longipes) northern brown bandicoot (Issodon macrous), common ring tailed possum (Pseudocheirus peregrimus) berhasil dikriopreservasi dengan hasil yang terbaik pada campuran Tris-asam sitrat-fruktosa-kuning telur yang mengandung gliserol (Taggart et al., 1996).
Pengetahuan viabilitas spermatozoa Petaurus berviceps papuanus T. sampai saat ini belum dilaporkan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari viabilitas spermatozoa Petaurus berviceps papuanus T.
MATERI DAN METODE
Subyek penelitian yang digunakan adalah Petaurus berviceps papuanus T. jantan dewasa (Gambar 1A) dengan berat badan antara 90.5 sampai dengan 91.5 gram.
Epididimis kauda kanan dan kiri diletakkan dalam cawan yang berisi 2 ml DMEM 35oC, kemudian dipotong kecil-kecil agar semua sperma keluar, kemudian jaringan dipisahkan dari suspensi. Suspensi sperma dibagi menjadi 20 bagian (masing-masing 100 µl), diletakkan dalam cawan petri (diameter 35 mm). Cawan petri kemudian diletakkan dalam cawan petri besar yang sudah berisi tisu basah, selanjutnya diinkubasi dalam
Naskah ini diterima tanggal 30 Oktober 2009 disetujui tanggal 4 Desember 2009

Gambar 1. Petaurus berviceps papuanus T. jantan dewasa (A) dan epididimis Petaurus berviceps papuanus T. yang dilepas dari testis (B).
Kd, epididimis kauda; ko, epididimis korpus; kp, epididimis kaput; sk, skrotum; t, testis; vd, vasa diferensia; ve, vasa eferensia.
inkubator Blue M pada suhu 35oC.
Sebelum menentukan viabilitas sperma, sperma dalam cawan petri diamati di bawah mikroskop untuk memastikan, bahwa sperma masih bergerak sehingga dapat dinyatakan sperma yang bening adalah sperma yang hidup dan masih bergerak. Pengamatan terhadap viabilitas sperma dilakukan dengan selang waktu 30 menit. Untuk menentukan sperma yang hidup dan mati, digunakan trypan blue. Ciri-ciri sperma yang hidup adalah bening dan sperma yang mati berwarna hijau. Ke dalam 100 µl suspensi sperma, ditambahkan 100 µl trypan blue 0.1 %, dibiarkan 1 – 2 menit selanjutnya suspensi diteteskan pada hemositometer. Viabilitas sperma ditentukan dengan cara menghitung jumlah sperma yang hidup dari 100 sperma yang dihitung dan hasilnya dinyatakan dalam persen. Digunakan 2 hewan untuk penentuan viabilitas sperma ini.
HASIL
Hasil rata-rata viabilitas sperma epididimis kauda Petaurus berviceps papuanus T. secara in vitro dalam medium DMEM dan diinkubasi pada suhu 35oC yang diamati setiap 30 menit, dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 2. Pada awal pengamatan (0 jam), viabilitas sperma tidak 100%. Viabilitas sperma pada awal pengamatan adalah 89 ± 4.5%. Tiga puluh menit kemudian viabilitas menurun rata-rata 13.5%, sehingga viabilitas sperma pada menit ke-30 adalah 75.5 ± 2.4%. Pada pengamatan berikutnya, dari menit ke-30 sampai menit ke-420, penurunan viabilitas sperma tidak terlalu berbeda pada tiap pengamatan, tetapi tiga puluh menit berikutnya terjadi penurunan sebanyak rata-rata 15.5%, sehingga pada menit ke-450 viabilitas sperma 4.75 ± 0.96% dan pada menit ke-465 viabilitas sperma mencapai 0%.
PEMBAHASAN
Pada awal pengamatan (0 jam pengamatan), viabilitas sperma Petaurus berviceps papuanus T., adalah 89%. Dari 0 jam pengamatan sampai 30 menit berikutnya viabilitas
Tabel 1. Rata-rata viabilitas sperma epididimis kauda Petaurus ber-viceps papuanus T. (n = 2) dalam DMEM pada suhu 35oC, diamati pada 100 sperma.
|
Waktu pengamatan (menit) |
Viabilitas sperma (%) |
|
0 |
89.00 ± 4.50 |
|
30 |
75.50 ± 2.40 |
|
60 |
72.00 ± 7.70 |
|
90 |
67.50 ± 5.40 |
|
120 |
57.25 ± 4.80 |
|
150 |
52.25 ± 4.90 |
|
180 |
51.75 ± 1.50 |
|
210 |
48.50 ± 7.10 |
|
240 |
43.50 ± 0.60 |
|
270 |
37.00 ± 2.20 |
|
300 |
30.25 ± 6.70 |
|
330 |
27.00 ± 1.20 |
|
360 |
21.50 ± 1.30 |
|
390 |
21.25 ± 1.30 |
|
420 |
20.25 ± 0.90 |
|
450 |
4.75 ± 0.96 |
|
465 |
0 |

Gambar 2. Pola perubahan viabilitas sperma epididimis kauda Petaurus berviceps papuanus T. dalam DMEM pada suhu 35 C selama 465 menit
sperma menurun cepat yaitu rata-rata 13.5%. Keadaan ini diduga merupakan periode adaptasi sperma dengan lingkungannya yang baru, sehingga sperma banyak yang mati. Pada menit ke-420 sampai menit ke-450, penurunan viabilitas sperma sangat tinggi yaitu rata-rata 15.5%, hal ini karena semua sperma sudah lemah dan akhirnya pada menit ke-465 viabilitas sperma mencapai 0%.
Mate dan Rodger (1996) menyatakan, bahwa sperma brushtail possum dan tammar wallaby dapat dipelihara secara in vitro dalam waktu yang sangat lama yaitu lebih dari 20 jam dalam medium Eagle yang mengandung 0.4% Bovine Serum Albumin (BSA) pada suhu 37oC. Pada penelitian ini, sperma Petaurus berviceps papuanus T., dapat bertahan hidup dalam DMEM pada suhu 35oC selama 7.5 jam. Bila hal di atas dibandingkan, berarti
viabilitas sperma Petaurus berviceps papuanus T. sangat singkat.
Bovine Serum Albumin (BSA) adalah protein yang menstabilkan makromolekul di dalam suatu larutan dalam air. BSA secara luas digunakan dalam medium kultur sel. BSA juga mengikat substansi yang beracun dan menstabilkan pH medium. Sifat-sifat BSA ini menyebabkan BSA sesuai sebagai substansi yang bersifat melindungi dalam menjaga viabilitas sperma (Harrison et al., 1995; Hung et al., 2007). BSA juga melindungi integritas membrane sel sperma dari kondisi lingkungan seperti keadaan panas dan dapat menghilangkan radikal bebas yang diakibatkan stress oksidatif (Uysal et al., 2005; Matsuoka et al. 2006; Uysal dan Bucak, 2007).
Bovine Serum Albumin di samping memiliki keunggulan, memiliki pula kekurangan. Kekurangan pertama, BSA berasal dari serum darah bovine, sehingga dapat membahayakan. Hal ini disebabkan produk-produk bovine khususnya produk darah berhubungan dengan kejadian Bovine Spongiphorm Encephalopathy (BSE). Hal kedua, isolasi dan pemurnian BSA memerlukan biaya yang mahal dan tidak selamanya menghasilkan produk dengan kualitas yang baik (Harrison et al., 1995).
Singkatnya periode viabilitas Petaurus berviceps papuanus yang diamati pada penelitian ini dibandingkan viabilitas sperma brushtail possum dan tammar wallaby (Mate dan Rodger, 1996) dapat disebabkan karena medium maupun suhu yang digunakan dalam penelitian ini belum tepat. Masih perlu dicari medium dan serum serta suhu yang tepat untuk penelitian viabilitas sperma Petaurus berviceps papuanus T.
SIMPULAN
Sperma epididimis kauda Petaurus berviceps papuanus T. mampu bertahan hidup selama 7.5 jam (450 menit ) dalam DMEM pada suhu 35oC. Viabilitas sperma dalam medium DMEM menurun dari 89 ± 4.5% pada 0 jam pengamatan ke 4.75 ± 0.96% pada menit 450. Tidak ada sperma yang viable pada pengamatan menit 465.
KEPUSTAKAAN
Harrison, R.A.P., H. M. Dott, G. C. Foster. 1995. Bovine serum albumin, sperm motility, and the dilution effect. Journal of Experimental Zoology 222 : 81-88
Hung, P. H., J. Baumber, S. A. Meyers, C. A. VandeVoort. 2007. Effects of environmental tobacco smoke in vitro on rhesus monkey sperm function. Reproductive Toxicology 23: 499-506
Klettenheimer, B.S., 1997. Father and Son Sugar Glider: More than a genetic coalition. J. Zool. Lond. 242 : 741-750
Klettenheimer, B.S., 1998. Sugar glider (Petaurus breviceps) Fauna of Tasmania. An. Profile 5 : 1-3
Matsuoka, T., H. Imai, H. Kohno, Y. Fukui. 2006. Effects of bovine serum albumine and trehalose in semen diluents for improvement of frozen-thawed ram spermatozoa. J Reprod Develop 52: 675-83
Mate, K. E & J. C. Rodger. 1996. Capacitation and Acrosome reaction in marsupial spermatozoa. Repro. Fertil. Dev.8 : 595-603
Uysal, O., M.N. Bucak. 2007. Effects of Oxidized Glutathione, Bovine Serum Albumin, Cysteine and Lycopene on the Quality of Frozen-Thawed Ram Semen. Acta Vet. BRNO 76: 383-390
Uysal O, T. Korkmaz, H. Tosun. 2005. Effect of bovine serum albumine on freezing of canine semen. Indian Vet J 82: 97-98
Taggart, D.A., V.R. Steels, W.G. Breed, P.D. Temple-smith & J. Phelan. 1996. Effecct of cooling and Cryopreservation on sperm motility and morphology of several species of marsupial. Reprod. Fertil. Dev. 8.; 673-679
Tyndale-Biscoe, H. & M. Renfree. 1987. Reproductive physiology of marsupials. Cambridge Univ. Press. Sydney. P. 59, 151-171.
59
Discussion and feedback