JURNAL BIOLOGI 20 (2) : 83 - 87

ISSN : 1410-5292

DIVERSITAS SERANGGA YANG BERINTERAKSI DENGAN SAPI BALI (Bos sondaicus) DI DAERAH TEGALAN DAN PINGGIR HUTAN

DIVERSITY OF INSECT THAT INTERACT WITH BALI CATTLE (Bos sondaicus) IN THE MOOR AREA AND OUTSKIRT OF FOREST

Kadek Wiwik Widaswari, Ni Luh Watiniasih, I.B. Made Suaskara Prodi Biologi, FMIPA, Universitas Udayana, Bukit Jimbaran – Bali

Email: [email protected]

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis serangga yang berinteraksi dengan sapi bali di daerah tegalan di Desa Kepuh, Kecamatan Mendoyo, Jembrana dan di daerah pinggir hutan di Desa Keladian, Kecamatan Rendang, Karangasem. Identifikasi serangga dilaksanakan di Laboratorium Ekologi, Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Udayana. Pengambilan sampel serangga terbang menggunakan jaring serangga yang dimodifikasi, sedangkan serangga yang menempel pada tubuh sapi dikoleksi secara manual. Analisis data dilakukan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis serangga yang berasosiasi dengan sapi bali lebih banyak (8 spesies) ditemukan di daerah pinggiran hutan dengan rata-rata suhu lebih rendah (27,6° di siang hari) dan dengan rata-rata kelembaban udara yang lebih tinggi (86,0%), dibandingkan dengan daerah tegalan (3 spesies serangga) dengan rata-rata suhu udara lebih tinggi (36.0°) di siang hari dan dengan rata-rata kelembaban lebih rendah (65,3%).

Kata kunci : sapi bali, serangga, tegalan, pinggir hutan , asosiasi serangga

ABSTRACT

This study aimed to determine the types of insects that interact with bali cattle in the moor area in Kepuh village, District of Mendoyo, Jembrana and in the outskirts of the forest at Keladian village, Rendang, Karangasem. Samples of flying insects was taken using modified insect nets, whereas insects that patch on the surface of body cattle were collected manualy. Collected insects were identified at the Laboratory of Ecology, Department of Biology, Udayana University. The data collected were analyzed descriptively. The results showed that the more species of insects (7 species) were associated with bali cattle in the outskirt of forest compared to in moor area (3 species). The temperature at the outskirt of forest was lower (average 27.6° during the day) with the average of 86.0%, compared to the average temperature of 36.0° and 65.3% of humidity during the day.

Keywords : bali cattle, insect, moor, forest, insect association

PENDAHULUAN

Sapi bali merupakan sapi asli Indonesia, hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) dan sapi ini menjadi sapi asli Pulau Bali (Rakhmawati, 2012). Sapi bali memiliki beberapa keuntungan bagi para peternak diantaranya mudah dijinakkan, mampu beradaptasi terhadap lingkungan ekstrim seperti daerah dengan curah hujan yang rendah, dengan sumber pakan berkualitas rendah (Litbang Pertanian, 2008). Salah satu cara sapi bali beradaptasi dengan kualitas pakan yang rendah adalah dengan memanfaatkan mikroba dalam rumennya yang berupa bakteri asam laktat yang dapat mencegah pertumbuhan bakteri merugikan yang teradapat pada pakannya, disamping itu campuran bakteri selulotik dan bakteri asam laktat bermanfaat dalam meningkatkan kecernaan serat kasar pada anak sapi (Widyastuti dan Eva, 1999).

Kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang berbeda-beda dapat menyebabkan bervariasinya interaksi yang terjadi antara sapi bali dengan berbagai spesies serangga yang terdapat disekitarnya. Interaksi yang terjadi dapat berupa interaksi mutualistik, komensalis, maupun parasitik. Telah diketahui bahwa kebanyakan interaksi antara sapi dengan serangga merupakan interaksi parasitisme terutama sebagai ektoparasit (Ristiyanto et al., 2004). Ektoparasit ini sangat mengganggu kehidupan sapi, termasuk sapi bali. Kelimpahan jumlah serangga ektoparasit pada tubuh sapi bali seperti lalat, nyamuk, dan kutu yang menghisap cairan dari tubuh sapi akan mengakibatkan luka dibagian tertentu tubuh sapi bali dan rusaknya jaringan. Selain sebagai ektoparasit, serangga-serangga tersebut juga menjadi vektor beberapa penyakit berbahaya bagi sapi bali (Mawardi, 1986; Ristiyanto et al., 2004)

Penelitian mengenai spesies serangga yang berinteraksi dengan sapi potong seperti sapi hereford, chianina, charolais telah dilakukan (Steelman et al., 1993), namun khusus mengenai serangga yang berinteraksi dengan sapi bali (Bos sondaicus) belum pernah dilakukan terutama sapi bali yang dipelihara/diternakkan di daerah tegalan dan pinggiran hutan. Keragaman jenis atau diversitas serangga yang berinteraksi dengan sapi bali dapat menggambarkan keragaman serangga, baik non parasit dan parasit terutama ektoparasit, yang berinteraksi dengan sapi bali sebagai inangnya, sehingga akan berguna dalam usaha pengendalian parasit yang mungkin bertindak sebagai penular penyakit maupun sebagai hama pada sapi bali.

MATERI DAN METODE

Pengambilan sampel serangga dilakukan di dua daerah dengan dua tipe habitat berbeda yaitu di daerah tegalan dan pinggir hutan. Lokasi daerah tegalan dilakukan di SIMANTRI Desa Kepuh, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana. Penelitian daerah pinggir hutan dilakukan pada kelompok-kelompok ternak sapi di Desa Keladian, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari 2014 hingga April 2014. Sampel diambil pada pagi hari pukul 07.00 dan sore hari pukul 17.00 sebanyak 3 kali dengan selang waktu 1 minggu. Selama pengambilan sampel, kelembaban dan temperatur diukur menggunakan Thermo-Hygrometer-Clock. Serangga yang dapat terbang dikoleksi dengan menggunakan jaring serangga dengan diameter permukaan 10 cm, dengan cara mengayunkan jaring di sekitar badan sapi selama 30 detik. Serangga yang masuk ke jaring segera diawetkan di dalam botol koleksi dengan alkohol 70%. Serangga yang menempel pada tubuh sapi diambil secara manual dengan menyikat tubuh sapi dan serangga yang jatuh ditampung, kemudian diawetkan di dalam alkohol 70%.

Sampel diidentifikasi di Laboratorium Ekologi, Prodi Biologi, FMIPA Universitas Udayana mengacu pada pustaka The Insects Of Australia Volume I&II (Csiro, 1991), How To Know The Insects (Bland and Jaques, 1978) dan Pengenalan Pelajaran Serangga edisi keenam (Borror et al, 1997). Sampel diidentifikasi menggunakan disecting mikroskop hingga tingkat spesies dengan mengamati karakter morfologinya antara lain: thoraks (dada), abdomen (perut), tungkai, venasi sayap, dan tipe mulut dari serangga. Data dianalisis secara deskriptif komparatif yaitu mendeskripsikan serangga yang didapat dan membandingkan jumlah dan jenisnya antara dua habitat yang berbeda (tegalan dan pinggir hutan).

HASIL

Lokasi penelitian

Desa Kepuh, berada pada ketinggian tempat 250 m di atas permukaan laut. Vegetasi ditumbuhi jati (Tectona

grandis), pisang (Musa paradisiaca), coklat (Theobroma cacao L.), gamal (Gliricidia sepium), dan kelapa (Cocos nucifera). Vegetasi yang tumbuh pada pinggir hutan dilakukan di Desa Keladian, dengan ketinggian tempat 500 m di atas permukaan laut, vegetasi berupa kopi (Coffea arabica), lamtoro (Leucaena leucocephala), kelapa (Cocos nucifera), rumput gajah (Pennisetum purpureum), nangka (Artocarpus heterophyllus), serta labu siam (Sechium edule) serta rerumputan dan tumbuhan semak liar lainnya.

Suhu udara di tempat sapi bali diternakkan relatif stabil, dengan suhu rata-rata harian selama penelitian ± 27ºC di pinggiran hutan dan 32ºC di tegalan. Kelembaban udara di pagi hari pada saat penelitian berkisar antara 80-85% di pinggir hutan dan 80-89% di tegalan, sedangkan di sore hari berkisar antara 8390% di pinggir hutan dan 60-71% di tegalan (Tabel 1).

Tabel 1. Suhu dan Kelembaban di Lokasi Pengambilan Sampel

Lokasi

Minggu ke-

Pagi Hari

Sore Hari

Suhu (ºC)

Kelembaban (%)

Suhu (ºC)

Kelembaban (%)

I

26

80

25

90

Pinggir

II

28

82

29

85

hutan

III

28

85

29

83

I

30

89

37

71

Tegalan

II

29

80

35

65

III

29

85

36

60

Serangga yang berinteraksi dengan sapi bali

Hasil dari penelitian ini mendapatkan tujuh spesies serangga yang berinteraksi dengan sapi bali yang hidup di pinggiran hutan termasuk ke dalam dua Ordo yaitu Ordo Diptera dan Ordo Phthiraptera pada sapi, sedangkan hanya Ordo Diptera ditemukan pada sapi yang hidup di tegalan. Kedua ordo tersebut terdiri dari tujuh famili, dimana seluruhnya ditemukan pada sapi yang hidup di pinggiran hutan, namun dari hanya satu famili saja (Muscidae) ditemukan pada sapi yang hidup di tegalan. Ketujuh famili tersebut adalah Famili Bibionidae, Anthomyiidae, Agromyzidae, Lauxiniidae, Hippoboscidae, dan Haematopinidae. Serangga yang ditemukan berinteraksi dengan sapi Bali, baik yang hidup di daerah pinggir hutan maupun di tegalan, beberapa merupakan serangga ektoparasit, sedangkan yang lainnya hanya berkunjung atau menggunakan lingkungan di sekitar kandang untuk hidupnya (Tabel 2).

PEMBAHASAN

Suhu merupakan faktor penting dalam penyebaran dan berpengaruh terhadap populasi serangga pada suatu habitat (Ross et al.,1982). Suhu udara rata-rata di daerah tegalan berkisar antara 29ºC-37ºC, sedangkan suhu di daerah pinggiran hutan yang berkisar 25ºC-29ºC. Pada daerah pinggir hutan, suhu udara sempat terukur 25ºC di sore hari, dimana pengukuran dilakukan sesaat

Tabel 2 . Spesies Serangga yang Berinteraksi dengan Sapi Bali di Daerah Pinggir Hutan dan Tegalan

Lokasi

Ordo

Family

Spesies

Interaksi

Parasit

Bukan parasit

Pinggir hutan

Diptera

Muscidae

Musca domestica

Stomoxys calcitrans

Hippoboscidae

Hippobosca equina

Anthomyiidae

Spesies 1

Agromyzidae

Ophiomyia simplex

Bibionidae

Bibio lanigerus

Lauxaniidae

Spesies 2

Phthiraptera

Haematopinidae Haematopinus eurysternus

Tegalan

Diptera

Muscidae

Musca domestica

Stomoxys calcitrans Musca sp.

setelah hujan, sedangkan di daerah tegalan suhu udara cukup tinggi, mencapai 37ºC. Pada daerah pinggir hutan yang bersuhu rendah ditemukan lebih banyak spesies serangga, demikian juga jumlah individu setiap spesies. Sebagai contoh Phthiraptera yang ditemukan pada sapi di pinggiran hutan jumlah lebih banyak dibandingkan dengan yang ditemukan pada sapi tegalan. Hasil ini sesuai dengan penelitian Walker (2007) yang menemukan bahwa populasi spesies Haematopinus eurysternus lebih banyak ditemukan pada daerah yang bersuhu rendah dibandingkan daerah dengan suhu tinggi. Sejalan dengan itu, kelembaban udara juga dapat berpengruh pada jumlah serangga yang ditemukan pada kedua daerah tersebut.

Serangga memiliki rentang terhadap kelembaban yang berbeda-beda khususnya pada masing-masing siklus hidupnya larva akan berkembang cepat pada kelembaban tinggi tetapi, telur dan pupa berkembang cepat pada kelembaban rendah (Ross et al., 1982).

Spesies-spesies serangga yang berinteraksi dengan sapi bali dapat dikelompokkan ke dalam serangga parasit dan non-parasit. Serangga parasit merupakan serangga yang bergantung pada organisme lain yang dijadikan inangnya, sedangkan serangga non-parasit merupakan serangga yang hidupnya tidak bergantung dan tidak merugikan organisme lain (Putra, 2012). Tiga spesies serangga yang ditemukan merupakan serangga parasit pada sapi Bali baik di daerah pinggir hutan maupun daerah tegalan yaitu Stomoxys calcitrans, Hippobosca equina, dan Haematopinus eurysternus.

Spesies S. calcitrans ini merupakan serangga parasit yang umum ditemukan pada hewan peternakan (Jeanbourquin, 2005). Serangga jantan maupun betina hidupnya sangat bergantung pada inangnya untuk mendapatkan cairan tubuh inangnya dengan cara menghisap inangnya. Stomoxys calcitrans biasanya menyerang bagian kaki pada sapi (Salem et al., 2012). Stomoxys calcitrans ditemukan di kedua tempat penelitian yaitu tegalan dan pinggir hutan, karena

serangga ini berkembangbiak pada sisa makanan, serta campuran kotoran dan urin dari sapi. Jumlah spesies ini lebih banyak ditemukan pada daerah tegalan baik pagi maupun sore hari. Tingginya jumlah serangga ini di daerah tegalan disebabkan serangga ini aktif dan berkembang cepat pada suhu hangat ± 30ºC (Jeanbourquin, 2005).

Hippobosca equina merupakan serangga parasit dengan jarak terbang tidak lebih dari satu meter (Vaughn, 2010). Serangga ini banyak ditemukan di pinggir hutan dengan kelembaban 80-90%. Serangga ini menyerang bagian kaki belakang dan leher dari sapi, sedangkan di daerah tegalan yang memiliki rentang kelembaban 60-89% tidak ditemukan. Hal tersebut diduga karena rentang suhu pada daerah hutan lebih mendukung untuk perkembangbiakkan serangga ini. Menurut Putra (2012) Hippobosca equina berkembang cepat pada kelembaban ±81,67%. Serangga ini ditemukan hanya di daerah pinggir hutan dikarenakan kondisi kandang yang beralaskan tanah dan cara pemeliharaan sapi secara tradisional dibandingkan dengan daerah tegalan yang mana sapi dipelihara dengan cara yang lebih modern sehingga kandang lebih bersih. Urin dan kotoran yang dibiarkan di kandang pemeliharaan tradisional membentuk kubangan lumpur. Kubangan lumpur tersebut dapat digunakan sebagai tempat meletakkan pupa bagi serangga tersebut. Putra (2012) menyebutkan bahwa Hippobosca equina meletakkan pupanya pada batang pohon yang terlindungi atau pada tanah berlumpur. Selain itu penyemprotan dengan insektisida secara berkala seperti pada daerah tegalan juga mempengaruhi keberadaan serangga ini, penyemprotan tersebut menyebabkan serangga yang berinteraksi mati sehingga tidak ditemukan di daerah tegalan.

Haematopinus eurysternus atau kutu hidung pendek hanya ditemukan berinteraksi dengan sapi yang berada di daerah pinggir hutan, serangga ini banyak ditemukan pada bagian leher. Berdasarkan Hadi (2010) dan Mock (2011), selain di bagian leher, kutu ini dapat ditemukan pada bagian tubuh sapi yang terdapat rambut panjang seperti bagian sekitar mata dan ekor. Serangga ini tidak ditemukan di daerah tegalan, hal ini disebabkan karena perbedaan cara pemeliharaan sapi dan pengendalian serangga parasit pada masing-masing daerah peternakan. Pada daerah tegalan pemeliharaan sapi dan pengendalian serangga parasit lebih rutin dilakukan dengan cara memandikan ternak sapi dan dengan menyemprotkan butox yaitu salah satu jenis insektisida pembasmi serangga pada sapi setiap 2 hingga 3 hari sekali. Pemeliharaan dan pengendalian serangga pada daerah pinggir hutan sangat kurang, penyemprotan butox dilakukan sebulan sekali, sedangkan sapi jarang dimandikan sehingga banyak ditemukan kutu pada sapi di daerah pinggir hutan.

Serangga non-parasit yang ditemukan berinteraksi di daerah tegalan dan pinggir hutan antara lain : Musca domestica, Musca sp., Bibio lanigerus, Ophiomyia

simplex, Famili Lauxaniidae, dan Anthomyiidae. Musca domestica atau lalat rumah merupakan serangga kosmopolitan yang dapat ditemukan dimana terdapat aktivitas manusia. Lalat rumah ditemukan berkembang biak pada kotoran sapi dan pada fase imagonya sering ditemukan berada atau hinggap pada sapi, dimana lalat memakan cairan sekresi dari sapi, namun tidak merupakan serangga parasit pada sapi bali (Hadi, 2010; Halstead, 2012). Satu spesies yaitu Musca sp. dengan ciri-ciri hampir sama dengan Musca domestica juga ditemukan berinteraksi di daerah tegalan, namun jenis interaksi yang terjadi belum diketahui.

Ophiomyia simplex hanya ditemukan di daerah pinggir hutan, dimana jenis tumbuhan yang terdapat di pinggir hutan lebih beragam dibandingkan daerah tegalan. Jenis tumbuhan yang terdapat pada daerah pinggir hutan diantaranya rumput gajah (Pennisetum purpureum; Famili Graminae), tanaman labu siam (Sechium edule; Famili Cucurbitaceae), dan pohon lamtoro (Leucaena leucocephala; Famili Leguminose), tumbuhan tersebut merupakan tempat berkembang biak bagi serangga O. simplex yang merupakan serangga hama pada bidang pertanian. Malipatil and John (2005) menemukan bahwa O. simplex banyak menyerang tanaman dari Famili Cucurbitaceae, Graminae, Euphorbiaceae, Leguminosae, Malvaceae, Rosaceae, Liliceae, Solanaceae, dan Labiatae di Amerika. Ophiomyia simplex akan berkembang biak pada jaringan tumbuhan, dimana telur akan diletakkan pada jaringan daun dan ketika menetas larva akan memakan jaringan tumbuhan tersebut (Mujica and Kroschel, 2011).

Bibio lanigerus atau march flies hanya ditemukan pada daerah pinggir hutan, hal ini dikarenakan serangga ini merupakan serangga phytophagus yang banyak terdapat di daerah hutan dengan iklim sedang, lembab dan banyak sampah dari material organik. March flies banyak ditemukan pada pagi hari, karena pada pagi hari serangga dewasa aktif untuk berkembang biak (Watschke et al,. 1995).

Famili Lauxaniidae hanya ditemukan berinteraksi dengan sapi di daerah pinggir hutan. Berdasarkan Dvořáková (2008), Lauxaniidae juga merupakan serangga phytophagus dan dapat ditemukan pada daerah hutan yang lembab.

Famili Anthomyiidae hanya ditemukan di daerah pinggir hutan, umumnya serangga ini aktif pada pagi hari pada saat suhu sangat rendah dan terdapat di habitat hutan yang lembab. Anggota famili ini merupakan parasit pada beberapa tanaman pertanian, seperti tanaman labu siam (Sechium edule; Cucurbitaceae) (Hill, 2008).

SIMPULAN

Serangga yang ditemukan berinteraksi dengan sapi bali (Bos sondaicus) di daerah tegalan termasuk ke dalam satu ordo yaitu Ordo Diptera dengan tiga spesies: Musca domestica, Stomoxys calcitrans, dan Musca sp., sedangkan di daerah pinggir hutan sapi bali ditemukan

berinteraksi dengan dua Ordo serangga yaitu Diptera dan Ordo Phthiraptera. Anggota Ordo Diptera yang ditemukan di pinggir hutan terdiri dari lima spesies teridentifikasi yaitu Musca domestica, Stomoxys calcitrans, Bibio lanigerus, Ophiomyia simplex, Hippobosca equina, dan dua spesies teridentifikasi hingga tingkat famili yaitu satu spesies termasuk ke dalam Famili Anthomyiidae, dan satu spesies lainnya termasuk ke dalam Famili Lauxaniidae. Ordo Phthiraptera yang ditemukan termasuk ke dalam satu famili yaitu Haematopinidae, dengan satu spesies yaitu Haematopinus eurysternus.

KEPUSTAKAAN

Bland, R. E., and H.E. Jaques. 1978. How to Know the Insects Third Edition. Brown Company Publishers. United States of America

Borror, D.J., C.A.Triplehorn, and N.F. Johnson 1997. Pengenalan Pelajaran Serangga Edisi keenam. Soetiono Porto Soejono. Gajah Mada University Press. Yogyakarta

Csiro. 1991. The Insect Of Australia, Second Edition. Melbourne University press. Australia

Dvořáková, K. 2008. Heleomyzidae and Lauxaniidae (Diptera, Brachycera, Acalyptrata) trapped in the Czech Republic With Syrup and Fermented Fruit. Biologizentrum Linz. Australia.

Hadi, U. K. 2010. Bioekologi Berbagai Jenis Serangga Pengganggu Pada Hewan Ternak Di Indonesia dan Pengendaliannya. Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Bogor.

Halstead, J. 2012. Common Flies On Cattle. Vetereiner. United State of America

Hill, D.S. 2008. Pests of Crops in Warm Climate and Their Control. Springer. United Kingdom.

Jeanbourquin, P. 2005. The Role of Odour Perception in the Sensory Ecology of The Stable Fly, Stomoxys calcitrans L. Faculte des Sciences Institut de Zoologie Universite de Neuchátel. (Skripsi).

Litbang (Badan Penelitian dan Pengembangan) Pertanian. 2008. Teknologi Budidaya Sapi Potong. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian

Mawardi. 1986. Culicoides spp. (Diptera : Ceratopogonidae) Sebagai Vektor Beberapa Penyakit Pada Hewan. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Skripsi). .

Malipatil, M., and W. John. 2005. Diagnostic Protocol for the Detection of the American Serpentine Leafminer, Liriomyza trifolii (Diptera: Agromyzidae). Departement of Primary Industries. Victoria

Mock, D. E. 2011. Lice on Beef Cattle. Departement of Entomology. Kansas State University

Mujica, N., and J. Kroschel. 2011. Leafminer Fly (Diptera: Ag-romyzidae) Occurrence, Distribution, and Parasitoid Associations in Field and Vegetable Crops Along the Peruvian Coast. Community and Ecosystem Ecology. Peru.

Putra, J. 2012. Identifikasi Lalat Sumba (Hippobosca sp.) Pada Sapi Perah di Kawasan Peternakan Sapi Perah Cibung-bulang Kabupaten Bogor. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Skripsi).

Rakhmawati, I. 2012. Kejadian Kuku Aladin Pada Sapi Bali di Pasar Hewan Beringkit. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. (Skripsi).

Ristiyanto, M. Areif, A. Maria, Yuliadi dan Muhidin. 2004 .Indeks Keragaman Ektoparasit Pada Tikus Rumah Rat-tus tanezumi (Temminck, 1844) dan Tikus Polinesia R. Exulans (Peal, 1848) di Daerah Enzootik Pes Lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit.

Ross, H. H., A. R.Charles and R.P.June 1982. A Text Book of Entomology Fourth Edition .John Wiley and Son Publishing. Canada.

Salem, A., Franc M., Jacquiet P., Bouhsira E., and Lienard E. 2012. Feeding and Breeding Aspects of Stomoxys calci-trans (Diptera: Muscidae) Under Laboratory Conditions. Parasite 19 (309-317).

Steelman, C.D., E.E. Gbur and A.I. Brown Jr. 1993. Variation in Population Density of The Face Fly, Musca Autumnalir De Geer, Among Selected Breeds of Beef Cattle.J. Agrie. Entomol. 10(2); 97-106

Vaughn, S. E. 2010. Host Parasite Ecology and Descrption of the Louse Fly, Allobosca crassipes, From Madagaskar. San Jose State University. (Thesis).

Walker, B. 2007. Cattle Lice. NSW Departement Of Primary Industries. Arkansas.

Watschke, T. L., H. D. Peter and J.S. David. 1995. Managing Turfgrass Pests. United States of America: CRC press.

Widiyastuti, Y. dan S. Eva. 1999. Karakter Bakteri Asam Laktat (Enterococcus sp.) yang Diisolasi dari Saluran Pencernaan Ternak. J. Mikrobiologi Indonesia 4 (2):50-53.

87