JURNAL BIOLOGI 20 (2) : 47 - 52

ISSN : 1410-5292

KOMBINASI PENGGUNAAN TEPUNG FESES SAPI DALAM RANSUM DAN PEMBERIAN PROBIOTIK PADA AYAM BURAS PETELUR

COMBINATION OF USING COW FECES POWDER AND PROBIOTIC IN FEED FOR LAYER NATIVE CHICKEN

Suprio Guntoro, Anak Agung Ngurah Badung Sarmuda Dinata, I Wayan Sudarma Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali

Jalan By Pass Ngurah Rai Pesanggaran Denpasar PO BOX 3480

email : [email protected]

INTISARI

Pengembangan usaha peternakan ayam buras mengalami kendala harga pakan yang relatif mahal. Di sisi lain terdapat limbah (feses) sapi yang jumlahnya berlimpah dan berpotensi sebagai sumber pakan. Suatu penelitian dilakukan untuk mengetahui respon pemberian feses sapi dalam ransum dan kombinasi dengan pemberian probiotik pada ternak ayam buras petelur. Penelitian dilakukan selama 6 bulan dengan menggunakan 240 ekor ayam buras umur 8 bulan. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 8 perlakuan dan 5 ulangan. Adapun perlakuan yang diberikan adalah ransum sesuai dengan formula petani yang terdiri atas : konsentrat pabrikan : 25%, jagung 40% dan dedak padi 35% (P0) dan ransum seperti P0, dengan subtitusi dedak padi dengan feses sapi terfermentasi masing-masing dengan level 10 % (P1), 15 % (P2) dan 20 % (P3) serta ransum seperti pada P0, P1, P2 dan P3 yang mendapat tambahan probiotik (Bio L) masing-masing 1 cc/L air minum (P4, P5, P6 dan P7). Parameter yang diamati meliputi : produksi telur (Hen day), berat telur, konsumsi pakan, FCR( Feed Convertion Ratio) angka mortalitas dan komposisi fisik telur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ransum yang mengandung feses sapi terfermentasi hingga 20% tidak menyebabkan turunnya produksi telur maupun efisiensi pakan. Kombinasi pemberian feses sapi terfermentasi pada level 20% dengan probiotik (Bio L) sebanyak 1 cc/L air minum menyebabkan meningkatnya produksi telur, meski tidak nyata dan menurunkan angka FCR (Feed Convertion Ratio). Penggunaan feses sapi terfermentasi hingga level 20% dalam ransum baik dengan maupun tanpa pemberian probiotik, tidak berpengaruh terhadap komposisi fisik telur.

Kata kunci : feses sapi, ayam buras, telur

ABSTRACT

The development of free-range chicken farm is constrained by expensive food prices. On the other hand, feses of cattle had potential use as a source of feed. This study was conducted to determine the response of cow feses and probiotics administration in the diet of laying range chicken. The study was conducted over 6 months using 240 free-range chickens aged 8 months. Research was arranged in a completely randomized design with 8 treatments and 5 replications. The treatment given were ration in accordance with the farmers formula comprising: concentrate: 25%, corn 40% and rice bran 35% (P0) and ration as P0, with the substitution of rice bran with fermented cow feses each treatment with level 10 % (P1), 15% (P2) and 20% (P3) and ration as at P0, P1, P2 and P3 that received additional probiotic (Bio L) 1 cc / L of drinking water (P4, P5, P6 and P7). The parameters were observed are: egg production (hen day), egg weight, feed intake, FCR (Feed Conversion Ratio) mortality and physical composition of eggs. The results showed that the diet which containing fermented cow feses 20% did not decreased egg production and feed efficiency. The combination of fermented cow feses at the level of 20% with a probiotic (Bio L) 1 cc / L of drinking water showed that egg production increased although it is not significant and reduce the number of FCR (Feed Conversion Ratio). In conclusion the use of fermented cow feses up to the level of 20% in the diet both with and without the administration of probiotics, has no effect on physical composition of eggs.

Keywords: cow feces, free-range chicken, eggs

PENDAHULUAN

Populasi sapi di Provinsi Bali sebanyak 478.706 ekor (Arum, 2014). Ternak sapi menghasilkan feses segar rata-rata sekitar 5,5% dari berat hidup per hari (Yunus, 1987 dalam Guntoro et al., 2013). Dengan asumsi rata-rata per ekor beratnya 200 kg, maka akan diperoleh produksi limbah (feses) segar sekitar 5.266 ton per hari, atau 1.922.000 ton per tahun.

Selama ini pemanfaatan limbah sapi, baik feses maupun urin masih terbatas untuk penggunaan pupuk dan biogas (Sunanjaya et al., 2011). Untuk itu perlu dikaji pengolahan limbah ternak ini sebagai bahan pakan, sehingga nilai ekonomisnya akan lebih tinggi. Di Provinsi Bali populasi ayam buras mencapai 4.178.725 ekor (29,15% dari total populasi ayam di Bali) dengan menyumbang produksi daging 2.799 ton dan telur 3.018,71 ton per tahun (Disnakkeswan Prov. Bali, 2014). Hambatan utama untuk pengembangan ayam buras secara intensif adalah harga pakan yang relatif tinggi.

Guntoro et al. (2013) menemukan feses sapi Bali mentah (tanpa diolah) mengandung protein kasar (CP) 7,22% dan serat kasar (CF) 44,11%. Sementara menurut Lucas et al. (1985) feses sapi perah mengandung protein kasar 13,2%, serat kasar (crude fiber) 31,40% dan abu 5,4%. Penggunaan kotoran sapi untuk pakan sapi telah lama diteliti. Antony (1970) menyatakan bahwa substitusi 40 bagian dari konsentrat dengan feses sapi yang telah dipanasi tidak menyebabkan penurunan pertumbuhan, sedangkan bila feses sapi diberikan dalam keadaan mentah menyebabkan penurunan pertambahan bobot badan.

Pemanfaatan limbah sapi potong untuk pakan unggas, bila tanpa proses pengolahan, penggunaannya hanya bisa dengan level rendah sekitar 4-5% (Wisnu, 1992). Proses fermentasi dengan menggunakan bakteri dan atau fungi akan dapat meningkatkan kadar protein dan menurunkan serat kasar bahan. Hasil penelitian Fenita et al. (2010) menunjukkan bahwa penggunaan lumpur sawit terfermentasi untuk ransum ayam petelur hingga 10% dalam ransum tidak menyebabkan penurunan produksi telur dan meningkatkan konversi ransum.

Terkait dengan fermentasi, mikroba pada saluran pencernaan rayap memiliki potensi sebagai inokulan guna memecah bahan-bahan yang mengandung selulosa tinggi. Purwadaria et al. (2003), menemukan 8 jenis bakteri xilanolitik dan 3 kapang selulotik pada saluran pencernaan rayap yang memiliki kemampuan efektif dalam memproduksi selulase dan xilanase.

Hasil penelitian Guntoro et al. (2013) menyatakan bahwa limbah sapi yang difermentasi dengan inokulan yang mengandung mikroba dari saluran pencernaan rayap selama 5 hari dapat meningkatkan kandungan protein dari 7-8% menjadi 14,80% dan menurunkan kandungan serat kasar secara nyata. Penggunaan limbah sapi terfermentasi dalam ransum itik potong hingga 20% tidak menyebabkan penurunan pertumbuhan.

Penggunaan feses sapi terfermentasi dalam ransum ayam buras petelur hingga level 15% tidak menyebabkan penurunan jumlah dan berat telur. Tetapi penggunaan pada level 20%, menyebabkan penurunan produktivitas telur secara nyata (Guntoro et al., 2015).

Peningkatan efisiensi penggunaan pakan dapat dilakukan dengan penggunaan probiotik. Probiotik adalah feed additive berupa mikroorganisme hidup yang bermanfaat karena dapat memperbaiki keseimbangan mikroba dalam saluran pencernaan (Haddadin et al., 1996). Penggunaan probiotik sebagai feed additive untuk meningkatkan produktivitas lebih diminati dibandingkan dengan penggunaan antibiotik (Borton dan Hart, 2001 dalam Bintang et al., 2006). Karena penggunaan antibiotik pada level sub-therapeutic akan dapat menimbulkan resistensi mikroorganisme terhadap pengobatan manusia, karena itu sebagai pengganti growth promotor-antibiotik, digunakan kultur hidup mikroorganisme (Kompiang, 2000).

Haddadin et al. (1996) melaporkan bahwa penambahan probiotik Lactobacillus acidophillus pada pakan ayam petelur menyebabkan peningkatan produksi telur, memperbaiki konversi pakan serta mengurangi kandungan kolesterol kuning telur. Penelitian ini menggunakan probiotik (Bio L) yang mengandung Lactobacillus yang diisolasi dari saluran pencernaan ayam petelur. Kombinasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan level penggunaan limbah sapi olahan dalam ransum, sehingga dapat memperoleh formula ransum ayam buras yang lebih murah.

MATERI DAN METODE

Pengolahan Feses Sapi

Untuk meningkatkan kualitas nutrisi kotoran sapi, sebelum digunakan feses sapi segar difermentasi dengan inokulan khusus yang mengandung mikroba selulotik yang diisolasi dari saluran pencernaan rayap. Fermentasi dilakukan secara anaerob selama 5 hari, kemudian limbah dijemur hingga kering selanjutnya digiling sehingga berbentuk tepung. Tepung feses sapi hasil fermentasi ini siap digunakan sebagai komponen penyusun ransum ayam buras.

Uji Coba Ransum

Penelitian dilakukan di Desa Jehem, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, selama 6 bulan (180 hari), dari bulan April sampai dengan November 2014. Penelitian menggunakan ternak ayam buras betina hasil persilangan ayam bali dan ayam arab (Buras unggul) umur 8 bulan yang telah memasuki fase bertelur (layer).

Penelitian dirancang dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL), menggunakan 320 ekor ayam buras yang dibagi dalam 8 perlakuan dan masing-masing dengan 4 ulangan, dengan jumlah ayam per ulangan 10 ekor. Adapun perlakuan yang diberikan adalah seperti berikut,

P0 : Ayam diberi ransum sesuai dengan formula petani

yang terdiri dari : konsentrat pabrikan : 25%, jagung 40% dan dedak padi 35%

P1 : Ayam diberi ransum seperti pada P0 dengan penggunaan 10 % tepung kotoran sapi sebagai substitusi dedak padi

P2 : Ayam diberi ransum seperti pada P0 dengan menggunakan 15 % tepung kotoran sapi sebagai substitusi dedak padi

P3 : Ayam diberi ransum seperti pada P0 dengan menggunakan 20 % tepung kotoran sapi sebagai substitusi dedak padi.

P4 : Ayam diberi ransum seperti pada P0, dan diberikan probiotik (Bio-L) : 1 cc/L air minum

P5 : Ayam diberi ransum seperti pada ransum P1 dan diberikan probiotik : 1 cc/L air minum

P6 : Ayam diberi ransum seperti pada ransum P2 dan diberikan probiotik: 1 cc/L air minum

P7 : Ayam diberi ransum seperti pada ransum P3 dan diberikan probiotik : 1 cc/L air minum

Parameter yang Diamati dan Analisis Data

Parameter yang diamati meliputi : (1) kandungan nutrisi ransum, (2) produksi telur (Hen day), (3) berat telur, (4) konsumsi pakan, (5) FCR (Feed Convertion Ratio), (6) angka mortalitas dan (7) komposisi fisik telur. Untuk mengetahui kandungan nutrisi masing-masing ransum perlakuan diambil sampel untuk dilakukan analisis proksimat di laboratorium pakan - Balai Penelitian Ternak Bogor.

Pengukuran produksi telur dilakukan dengan menghitung jumlah telur yang dihasilkan ayam buras per ekor per hari. Untuk mengetahui berat telur dilakukan penimbangan pada produksi telur yang dihasilkan dan persentase telur diperoleh dengan membagi jumlah telur yang dihasilkan dengan jumlah ayam. Konsumsi pakan dihitung dengan mengurangi jumlah pakan yang diberikan dengan sisa pakan. FCR dihitung dengan rumus : jumlah berat pakan yang dikonsumsi dibagi dengan jumlah berat produksi telur yang dihasilkan. Untuk mengetahui angka mortalitas ayam dilakukan pengamatan dan pencatatan pada jumlah ayam yang mengalami kematian. Untuk mengetahui komposisi fisik telur dilakukan analisis di laboratorium Unggas Fakultas Peternakan Unversitas Udayana - Denpasar. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis varians (sidik ragam) dilanjutkan dengan Uji Duncan dengan tingkat kesalahan 5% (P < 0,05) menggunakan software SPSS for Windows 7.

HASIL

Kandungan Nutrisi Ransum

Hasil proximate analysis pada ransum menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kandungan protein kasar (CP), dimana pada P3 (penggunaan feses sapi olahan 20%) diperoleh kandungan CP paling tinggi (Tabel 1). Penggunaan tepung kotoran sapi mampu meningkatkan

kandungan CP pada perlakuan P1, P2 dan P3 masing-masing sebesar 4,6%, 2,82% dan 8,22% dibanding kontrol (P0). Hal ini menunjukkan adanya korelasi yang positif antara peningkatan level penggunaan tepung feses sapi dengan peningkatan kadar protein ransum.

Tabel 1. Kandungan Nutrisi Ransum Ayam yang Diberikan Perlakuan Pakan dari Limbah (Kotoran) Sapi Olahan.

No

Perlakuan

Komposisi (%)

Protein kasar

Serat kasar

Lemak

Ca

P

Energi (K.cal/ kg)

1

P0

16,30

7,73

6,39

1,60

0,65

3.760

2

P1

17,05

7,40

5,90

2,79

0,66

3.694

3

P2

16,76

8,25

6,53

2,67

0,62

3.667

4

P3

17,64

8,61

5,10

2,89

0,62

3.623

Di pihak lain, kandungan serat kasar (CF) juga semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya level penggunaan kotoran sapi. Tetapi sebaliknya kandungan energi ransum berkorelasi negatif dengan level penggunaan feses sapi.

Produksi dan Berat Telur

Selama penelitian berlangsung diperoleh rata-rata produktivitas telur pada masing-masing perlakuan seperti disajikan pada Tabel 2. Secara statistik penggunaan kotoran sapi hingga level 20% (P2) tidak menyebabkan penurunan produktivitas telur. Sedangkan kombinasi dengan penggunaan probiotik menyebabkan meningkatnya produktivitas telur, meskipun perbedaannya tidak nyata.

Tabel 2. Produktivitas dan Berat Telur Ayam Buras yang Diberikan Perlakuan Pakan yang Mengandung Feses Sapi Olahan dan Probiotik

No Parameter P0 P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7

  • 1    Produksi rata-

rata (butir/ 105,8a 109,1 a102,6 a105,1 a109,2 a106,3 a107,2 a 108 a ekor/)

  • 2    Hen day (%) 58,79 a60,60 a56,98 a58,41 a60,65 a59,05 a59,57 a60,00 a

  • 3    Bbeurtiart) telur (g/ 44,3 a 44,7 a 44,8 a 44,9 a 46,0 a 45,2 a 44,9 a 46,5 a

Keterangan :

Huruf yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda nyata (P<0,05)

Konsumsi Pakan dan FCR

Total konsumsi pakan selama 6 (enam) bulan atau 180 hari dapat dilihat pada Tabel 3. Konsumsi pakan pada P1, P2 dan P3 meningkat walupun tidak nyata, tetapi pada ayam yang memperoleh probiotik (P4, P5, P6 dan P7) konsumsi pakannya menurun secara nyata.

Berdasarkan data-data konsumsi ransum dan berat total telur yang dihasilkan diperoleh angka FCR (Feed Covertion Ratio) untuk masing- masing perlakuan seperti pada Tabel 4. FCR adalah perbandingan antara jumlah konsumsi pakan dengan jumlah produksi (telur) dalam satuan waktu tertentu (Wahyu, 2004 dalam Guntoro et al., 2013). Penggunaan limbah sapi dalam ransum hingga 20% tidak berpengaruh nyata terhadap FCR,

Tabel 3. Konsumsi Pakan Ayam pada Masing-masing Perlakuan Selama 180 hari

No

Perlakuan

Konsumsi Pakan (per ekor)

Selama 180 hari (g)

Rata-rata per hari (g)

1

P0

13.954

77,52 a

2

P1

14.328

79,60 a

3

P2

14.121

78,45 a

4

P3

14.231

79,06 a

5

P4

12.690

70,50 b

6

P5

13.275

73,75 b

7

P6

13.347

74,15 b

8

P7

13.211

73,45 b

sedangkan kombinasi dengan penggunaan probiotik menyebabkan turunnya FCR secara nyata (P<0,05).

Tabel 4. FCR Ayam Buras yang Diberikan Perlakuan Pakan dari Limbah (Kotoran) Sapi Olahan

No

Perlakuan

Konsumsi pakan (g/ekor)

Produksi telur (g/ekor)

FCR

1

P0

13.954

4.680

2,98a

2

P1

14.328

4.877

2,94a

3

P2

14.121

4.596

3,07a

4

P3

14.231

4.719

3,02a

5

P4

12.690

4.839

2,62b

6

P5

13.275

4.808

2,76b

7

P6

13.347

4.813

2,77b

8

P7

13.211

5.022

2,63b

Keterangan :

Huruf yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda nyata (P<0,05)

Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya pemberian probiotik dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pakan, sehingga akan dapat berpengaruh terhadap “input” pakan.

Mortalitas

Secara umum performan ayam tampak sehat, lincah dengan nafsu makan yang normal. Selama pemeliharaan berlangsung ditemukan kasus ayam yang sakit 4 (empat) ekor pada P0, P1, P5, dan P6 (Tabel 5). Dari 4 ekor yang sakit, yang mati hanya 1 (satu) ekor, yakni pada perlakuan P6. Dilihat dari sebaran ayam yang sakit menunjukkan kasus tersebut tidak ada keterkaitan dengan penggunaan feses sapi dalam ransum, mengingat pada P3 dan P7 yang ransumnya menggunakan feses sapi 20% tidak ditemukan ayam yang sakit, sementara pada P0 ditemukan ayam yang sakit.

Tabel 5. Kondisi Kesehatan Ayam Buras yang Diberikan Perlakuan Pakan dari Feses Sapi Olahan

No

Kasus

Perlakuan

P0

P1

P2

P3

P4

P5

P6

P7

1

Sakit

1

1

0

0

0

1

1

0

2

Mati

0

0

0

0

0

0

1

0

Jika dilihat gejala yang timbul mengindikasikan ayam terserang penyakit coryza, disebabkan oleh perubahan cuaca akibat transisi dari musim hujan ke musim kemarau.

Komposisi Fisik Telur

Hasil analisis komposisi fisik telur menunjukkan bahwa penggunaan feses pada pakan ayam hingga level 20% tidak menyebabkan perbedaan komposisi antara bagian putih telur, kuning telur dan cangkang telur. Kombinasi antara ransum yang mengandung feses sapi olahan dengan probiotik juga tidak menyebabkan perubahan yang nyata terhadap komposisi fisik telur (Tabel 6).

Tabel 6. Komposisi Fisik Telur Ayam Buras yang Mendapat Pakan dari Limbah (Feses) Sapi Olahan

No

Perlakuan

Komposisi (%)

Putih

Kuning

Cangkang

1

P0

51,78a

35,22a

13,00a

2

P1

50,28a

36,81a

12,91a

3

P2

52,68a

34,44a

12,88a

4

P3

51,85a

35,54a

12,61a

5

P4

52,81a

34,20a

12,99a

6

P5

51,84a

35,44a

12,72a

7

P6

50,25a

36,41a

13,34a

8

P7

50,46a

35,42a

13,12a

Keterangan :

Huruf yang sama pada kolom yang sama adalah tidak berbeda nyata (P<0,05)

PEMBAHASAN

Berdasarkan proximate analysis terhadap 4 jenis ransum ayam buras yang diuji menunjukkan bahwa kandungan protein kasar (CP) pada seluruh ransum perlakuan sesuai dengan standar ransum ayam buras petelur, dan tidak ada perbedaan yang nyata di antara ke-4 ransum. Untuk kandungan serat kasar (CF) sedikit meningkat pada ransum yang menggunakan 15% dan 20% kotoran sapi. Hal ini disebabkan karena kandungan serat kasar kotoran sapi lebih tinggi dibandingkan dengan pada dedak padi.

Sebaliknya kandungan energi cenderung semakin turun dengan makin meningkatnya level penggunaan kotoran sapi dalam ransum. Menurunnya kandungan energi ransum, dapat mempengaruhi keseimbangan protein-energi, dan pada kondisi tertentu dapat mempengaruhi produksi telur (Wahyu. 2004 dalam Guntoro et al., 2013) dan efisiensi penggunaan pakan (Rosenbrough and Steele 1985 dalam Kompo dan Pantjawidjaja, 2013).

Rata-rata produksi telur pada ayam perlakuan yang mendapat probiotik lebih tinggi daripada rata-rata perlakuan tanpa probiotik. Berdasarkan hasil penimbangan menunjukkan bahwa penggunaan feses sapi olahan hingga level 20% dalam ransum tidak menyebabkan turunnya berat telur, dan penggunaan probiotik dapat meningkatkan berat telur, meskipun tidak nyata. Meningkatnya produktivitas dan berat telur pada ayam yang mendapat probiotik disebabkan oleh pengaruh bakteri, terutama Lactobacillus acidophilus dalam probiotik yang dapat membantu dalam absorbsi zat-zat makanan (Jin et al., 1998).

Pada ayam-ayam yang tanpa mendapat probiotik

(P0, P1, P2 dan P3) berat telurnya sedikit lebih rendah dibandingkan berat rata-rata telur ayam arab yakni 45,20-50,71 g (Istiningsih et al., 2013 dalam Yusuf, 2014). Hal ini disebabkan karena ayam yang digunakan dalam penelitian adalah hasil persilangan antara ayam arab dengan ayam bali, dimana berat telur ayam bali jauh lebih kecil dibanding ayam Arab (Suyasa et al., 2009 dalam Guntoro et al., 2015). Tetapi pada ayam yang memperoleh probiotik (P4, P5, P6, P7) rata-rata berat telurnya sama dengan ukuran normal telur ayam arab. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Haddadin et al. (1996) yang menunjukkan bahwa pemberian probiotik dapat meningkatkan berat telur rata-rata.

Konsumsi pakan ayam yang memperoleh tambahan probiotik mengalami penurunan secara nyata. Hal ini disebabkan adanya peningkatan efisiensi penggunaan pakan pada ayam-ayam yang memperoleh probiotik akibat pencernaan zat-zat makanan yang lebih baik (Zaherotul et al., 2006). Hal ini juga berdampak pada semakin rendahnya FCR. Semakin kecil angka FCR menunjukkan semakin efisiennya penggunaan pakan dan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan temuan Jin et al. (1998) bahwa penggunaan probiotik dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pakan.

Makin tingginya penggunaan kotoran sapi menyebabkan FCR cenderung meningkat. Hal ini disebabkan karena dengan meningkatnya level penggunaan kotoran sapi dalam ransum menyebabkan meningkatnya kandungan serat kasar dan makin tingginya serat kasar menyebabkan meningkatnya FCR (Nompo dan Pantjawidjaja, 2013). Tetapi bila pemberian ransum tersebut dikombinasikan dengan pemberian probiotik ternyata dapat menurunkan FCR secara nyata. Hal ini disebabkan karena probiotik dapat membantu memecah karbohidrat kompleks seperti selulosa dan hemiselulosa menjadi karbohidrat yang lebih sederhana yang lebih mudah dicerna (Haddadin et al., 1996).

Penambahan tepung kotoran sapi dan probiotik tidak menyebabkan terjadinya perbedaan komposisi fisik telur, terutama pada kuning telur. Pada umumnya konsumen akan lebih tertarik pada telur yang memiliki komposisi kuning telur yang lebih besar. Dengan tidak adanya penurunan komposisi kuning telur, sehingga penggunaan feses sapi dalam ransum ayam buras hingga level 20% tidak akan mempengaruhi selera konsumen.

Komposisi cangkang umumnya berkorelasi positif dengan berat dan ketebalan cangkang, dan komposisi cangkang telur berkisar 9-12% (Stadelman dan Cotterial 1994 dalam Palupi et al., 2014). Makin tingginya level penggunaan limbah sapi cenderung menurunkan komposisi cangkang. Tetapi bila dikonversi ke berat cangkang, tidak terdapat perbedaan berat cangkang secara nyata. Jika komposisi (persentase) cangkang tersebut dikalikan dengan berat absolut telur maka diperoleh berat cangkang rata-rata keseluruhan berkisar 5,66-5,99 g, lebih berat dibanding cangkang ayam arab yakni 3,47-3,88 g (Wulandari et al., 2012).

Hal ini disebabkan karena jenis ayam yang digunakan bukan ayam arab asli. Adanya pemberian probiotik menyebabkan berat cangkang cenderung meningkat, hal ini disebabkan karena makin meningkatnya absorbsi kalsium dan fosfor (Jin et al., 1998).

SIMPULAN

Penggunaan kotoran sapi terfermentasi hingga 20% dalam ransum ayam buras tidak berpengaruh terhadap produktivitas telur, dan FCR (Feed Convertion Ratio). Kombinasi penggunaan probiotik dalam ransum yang mengandung feses sapi menyebabkan turunnya FCR secara nyata.

Penggunaan kotoran sapi dalam ransum hingga level 20%, baik tanpa maupun dengan kombinasi probiotik, tidak berpengaruh terhadap kesehatan maupun angka mortalitas ayam.

Penggunaan feses sapi olahan hingga level 20% dalam ransum baik tanpa maupun kombinasi dengan probiotik tidak berpengaruh terhadap komposisi fisik telur.

KEPUSTAKAAN

Antony, J. A. 1970. Feeding Value of Cattle Manure for Cattle.

J. Animal Sci. 30: 274-277.

Bintang, I. A. K., A.P. Sinurat dan T. Purwadaria. 2006. Pengaruh Tingkat Penambahan Bioaktif Lidah Buaya Terhadap Produksi Telur Ayam. J. Ilmu Ternak dan Veteriner (JITV) 10(2): 85-89.

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali. 2014. Informasi Data Peternakan di Provinsi Bali Tahun 2013.

Fenita, Y., U. Santoso dan H. Prakoso. 2010. Pengaruh Lumpur Sawit Dengan Neorospora sp terhadap Performans Produksi dan Kualitas Telur. J. Ilmu Ternak dan Veteriner (JITV). 15(2): 88-96.

Guntoro, S., A. A. N. B. S. Dinata dan I. W. Sudarma 2011. Pengaruh Pemberian Probiotik (Bio-L) Terhadap Produktivitas Ayam Petelur. Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Petani Melalui Innováis Teknologi Spesifik Lokasi, Yogyakarta 25 Oktober 2011. hal : 383-389.

Guntoro, S., M. R. Yasa, A.A.N.B.S. Dinata, I.W. Sudarma. 2013. Pemanfaatan Feses Sapi Untuk Pakan Itik Bali Jantan. JPPTP 16 (2): 77-84.

Guntoro, S., A.A.N.B.S. Dinata, I.W. Sudarma. 2015. Pemanfaatan Feses Sapi Untuk Bahan Ransum Ayam Buras. J. Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (JPPTP) 18 (3): 217-224.

Haddadin., M.S.Y., S.M. Abdul Rachim, E.A.R. Haslamoun and R.K. Robinson. 1996. The Effect of Lactobacillus acidophil-lus On The Production and Chemical Composition On Hen’s eggs. Pautry Sc. 75: 491-494.

Jin, I. Z., Y. W. Ho., N. Abdulah and Jalaludin. 1998. Probiotic in Poultry: Modes of Afaction. World Poultry Sc J. 53: 351-368.

Kompiang, I. P. 2000. Pengaruh Suplementasi Kultur Bacillus Spp Melalui Pakan atau Air Minum terhadap Kinerja Ayam Petelur. J. Ilmu Ternak dan Veteriner (JITV) 5(4): 205-209.

Lucas, D.M., J.P. Fontenal dan Webb Jr. 1975. Composition and Digestibility of Cattle Fecal Waste. J. Animal Sci.

41:1480-1486.

Nompo, S dan Pantjawidjaja. 2010. Pengaruh Energi Protein Ratio Ransum Lokal yang Berbeda Terhadap Performan dan Berat Karkas Broiler. [Online], Available : “http:// repository.unhas.ac.id”. [2 agustus 2015].

Palupi R., L. Abdullah, D.A.Astuti dan Sumiati. 2014. Potensi Dan Pemanfaatan Tepung Pucuk Indigofera Sebagai Bahan Pakan Substitusi Bungkil Kedelai Dalam Ransum Ayam Petelur. JITV 19(3): 210-219.

Purwadaria, T., P.A. Marbun, A.P. Sinurat dan P.P. Ketaren. 2003. The Comparation of Cellulose From Bacteria and Molds Isolated From Termites. JITV 8(4): 213-219.

Sunanjaya, I.W., A.A.N.B. Kamandalu dan M. Astika. 2011. Kajian Pengolahan Limbah Menjadi Pupuk Organik Bermutu Dengan Beberapa Dekomposer di Desa Katung, Kec. Kintamani – Kabupaten Bangli. Buletin Teknologi dan Informasi Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali. 9 : 13-19.

Wisnu, I.W. 1992. Pengaruh Penggunaan Kotoran Ayam Petelur (Layer) Pada ransum Terhadap Pertumbuhan Ayam Pedaging. Tesis Fakultas Peternakan Universitas Udayana - Denpasar.

Wulandari, E. C., W. Murniningsih dan H.I. Wahyuni. 2012. Deposit Kalsium dan Phospor Pada Cangkang Telur Ayam Arab Dengan Pemberian Berbagai Level Azolla micro-phylla. Animal Agric. J. 1(1): 507-520.

Yusuf, R. 2014. Karakteristik Morfologi dan Kualitas Telur Ayam Lokal Khas Dayak Dari Kabupaten Berau-kalimantan Timur. J.Teknologi Pertanian UNMUL 7(2):74-80.

Zaherotul., H., H. 2006. Isolasi Sactobacillus, Bakteri Asam Laktat dari Feses dan Organ Saluran Pencernaan Ayam. Presiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner “Cakrawala Baru IPTEK Menunjang Revitalisasi Peternakan”. Puslitbang Peternakan, Bogor 5 - 6 September 2006. hal : 735-742.

Diversitas Serangga yang Berinteraksi Dengan Sapi Bali (Bos Sondaicus) di Daerah Tegalan dan Pinggir Hutan [Kadek Wiwik Widaswari, dkk.]

Ristiyanto, M. Areif, A. Maria, Yuliadi dan Muhidin. 2004 .Indeks Keragaman Ektoparasit Pada Tikus Rumah Rat-tus tanezumi (Temminck, 1844) dan Tikus Polinesia R. Exulans (Peal, 1848) di Daerah Enzootik Pes Lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit.

Ross, H. H., A. R.Charles and R.P.June 1982. A Text Book of Entomology Fourth Edition .John Wiley and Son Publishing. Canada.

Salem, A., Franc M., Jacquiet P., Bouhsira E., and Lienard E. 2012. Feeding and Breeding Aspects of Stomoxys calci-trans (Diptera: Muscidae) Under Laboratory Conditions. Parasite 19 (309-317).

Steelman, C.D., E.E. Gbur and A.I. Brown Jr. 1993. Variation in Population Density of The Face Fly, Musca Autumnalir De Geer, Among Selected Breeds of Beef Cattle.J. Agrie. Entomol. 10(2); 97-106

Vaughn, S. E. 2010. Host Parasite Ecology and Descrption of the Louse Fly, Allobosca crassipes, From Madagaskar. San Jose State University. (Thesis).

Walker, B. 2007. Cattle Lice. NSW Departement Of Primary Industries. Arkansas.

Watschke, T. L., H. D. Peter and J.S. David. 1995. Managing Turfgrass Pests. United States of America: CRC press.

Widiyastuti, Y. dan S. Eva. 1999. Karakter Bakteri Asam Laktat (Enterococcus sp.) yang Diisolasi dari Saluran Pencernaan Ternak. J. Mikrobiologi Indonesia 4 (2):50-53.

UCAPAN TERIMA KASIH

INDEKS PENULIS VOL. XX

INDEKS SUBYEK VOL. XX

Antha Kasmawan, Gde 35, 37, 39

Badung, Anak Agung Ngurah 47

Dalem, A.A.Gde Raka    53

Deny Suhernawan Yusup 11

Desi Bintari, Ni Wayan    53

Devi Ulinuha   11

Dewi Elfidari    40

Dwi Ariani Yulihastuti    69

Eka Budi Mursafitri    59

Eniek Kriswiyanti 59

Fatihah Dinul Qoyyimah 40, 42

Fitriani Alfina 64

Ibnu Dwi Buwono 17, 19, 21, 23, 25, 27

Iriani Setyawati    69

Junitha, I Ketut    1

Listiatie Budi Utami 6, 7, 9

Madihah       64

Marina Silalahi    75

Melta Rini Fahmi 40

Pharmawati, Made 1

Putri Arnila, Gusti Ayu 1,2, 3, 5

Ratini, Ni Nyoman 35, 37, 39

Retno Kawuri 53

Ruth Ellisa Christiani    69

Sarmuda Dinata 47

Suaskara I.B. Made    83

Sudarma I Wayan 47

Suprio Guntoro 47

Surya Indrawan, Gede 11, 13, 15

Sutapa, Gusti Ngurah 35, 37, 39

Sutara Pande Ketut 59

Sutomo 29, 31, 33

Ujang Subhan 17

Ulfah Rahmawati 6, 7, 9

Undaharta, N.K.E. 29, 31, 33

Untung Kurnia Agung 17

Watiniasih 83

YettyYusri Gani 64

Wiwik Widaswari, Kadek 83

Analisis kekerabatan 59, 62,64

Asosiasi 11, 12, 13, 14, 15, 16

Asosiasi serangga 83, 87

Autekologi    29, 30, 31, 32, 33

Ayam buras   46, 47,48,49.50,51

Begonia 29, 30, 31, 32, 33

Calliandra calothyrsus 69,74

Cincau 59,62, 63

Distribusi 75,77,79,80,81

DNA Mikrosatelit 1, 2, 3, 4, 5

Elektroforasi 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28

Embedding 59, 60, 63,

Feses sapi 46 , 47,48,49.50,51

Gunung Merapi 29, 30, 31, 32, 33

Heterozigositas 1, 2, 3, 4, 5

Identifikasi 59, 60, 63

Ikan lele 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28

Ikan sapu-sapu, 40, 41, 42, 43

Kadar glukosa darah puasa 64,65,66,67,68

Kangkung darat 6, 7, 8, 9, 10

Karakter morfologi, 40, 41, 42, 43

Keanekaragaman 75,76,77,79,80,81,82

Makrozoobentos 11, 12, 13, 14, 15, 16

Macrobrachium rosenbergii 53, 54, 55, 57

Morfologi fetus 69,70,71,72,73

Padang lamun 11, 12, 13, 14, 15, 16

Pekarangan 75,76,77,78,79,80,81

Pertumbuhan 6, 7, 8, 9, 10

Pinggir hutan 83,84,85,86,87

Pola abdomen 40, 41, 42, 43

Power of Discrimination 1, 2, 3, 4, 5

Pupuk organik 6, 7, 8, 9, 10

Radioisotope 32P    35, 36, 37, 38, 39

Rimpang temu mangga 64,65,66,67,68

Sapi bali 83, 84,85,86

Sel β pankreas 64,65,66,67

Serangga 83,84,85,86,87

Skeleton 69

Soroh Pande 1, 2, 3, 4, 5

Sperma 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28

Sungai Ciliwung,    40, 41, 42, 43

Taman Nasional 29, 30, 31, 32, 33

Tegalan 83,84,85,86,87

Teknik perunut 35, 36, 37, 38, 39

Telur 46, 47,48,49.50,51

Timbal (Pb) 6, 7, 8, 9, 10

Transgenik 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28

Udang galah 53,54,55,57

Universitas Kristen Indonesia75,78,81

Vibriosis 53, 54,55,57

Vibrio anguillarum 53, 54,55,

Waktu pemupukan 35, 36, 37, 38, 39

Yogyakarta 29, 30, 31, 32, 33

PEDOMAN BAGI PENGIRIM NASKAH (Format/Gaya penulisan)

  • 1.    Naskah dapat berupa hasil penelitian atau kajian pustaka yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya pada jurnal lain maupun prosiding yang dinyatakan dalam surat pernyataan terlampir. Naskah yang telah dipresentasikan dalam seminar atau konferensi harus telah diperbaiki secara signifikan antara lain judul dan abstrak harus berbeda, dan paling sedikit 30% isi naskah mengandung ide baru dan kemajuan. Pada kasus ini, penulis harus menginformasikan seminar atau konferensi yang diikuti dan menyertakan naskah yang dipresentasikan. Pelanggaran terhadap hal ini, naskah akan tidak dipublikasikan dan apabila baru diketahui setelah naskah diterbitkan akan menjadi tanggung jawab penulis tentang pelanggaran penulis dalam masalah etika publikasi ganda.

  • 2.    Naskah dikirim sebanyak 3 eksemplar, 1 dengan identitas, dan 2 tanpa identitas penulis. Naskah diketik dua spasi kecuali intisari, abstract, tabel, keterangan gambar, histogram, dan kepustakaan satu spasi dengan batas 4 cm dari kiri, 3 cm dari kanan, 3 cm dari atas dan bawah tepi kertas. Naskah diketik dengan program Microsoft Word versi 6.0 for Windows dan huruf Times New Roman 12 point

  • 3.    Naskah maksimum 15 halaman kertas A4, dan dikirimkan beserta satu soft copy dalam bentuk CD kepada redaksi pelaksana dengan alamat:

Jurnal Biologi

Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran, Bali

atau melalui email Jurnal Biologi: [email protected]

  • 4.    Naskah yang ditulis dalam bahasa Indonesia dilengkapi dengan intisari dalam bahasa Indonesia dan abstrak dalam bahasa Inggris. Jika naskah dalam bahasa Inggris maka abstrak dalam bahasa Inggris dan intisari dalam bahasa Indonesia.

  • 5.    Pada pojok kiri bawah dari abstrak/intisari ditulis kata kunci atau keywords (maksimum 5 kata).

  • 6.    Judul singkat, jelas dan informatif serta ditulis dengan huruf besar kecuali nama ilmiah. Untuk kajian pustaka dibelakang judul agar ditulis: Suatu Kajian Pustaka.

  • 7.    Nama penulis tanpa gelar akademik dan alamat instansi penulis ditulis lengkap.

  • 8.    Naskah hasil penelitian terdiri atas

Judul,

Nama Penulis,

Alamat Penulis disertai email

Intisari,

Abstract,

Pendahuluan,

Materi dan Metode.

Hasil,

Pembahasan,

Simpulan,

Ucapan Terimakasih

Kepustakaan.

Judul setiap bab ditulis di tepi tanpa titik dengan huruf besar, sub judul ditulis dengan huruf kecil kecuali huruf permulaan tiap kata ditulis dengan huruf besar, sub-sub judul ditulis dengan huruf kecil kecuali huruf permulaan tiap kata ditulis dengan huruf besar dan digaris bawah.

  • 9.    Naskah kajian pustaka terdiri atas

Judul,

Nama penulis,

Alamat Penulis disertai email

Intisari,

Abstract,

Pendahuluan,

Pembahasan,

Simpulan,

Ucapan Terimakasih,

Kepustakaan.

  • 10.    Dalam mengutip pendapat orang lain, dipakai sistem nama penulis dan tahun.

Contoh: Kasa (1984); Oka et al. (1990) untuk di awal kalimat. Di akhir kalimat ditulis (Oka et al., 1990).

  • 11.    Kepustakaan disusun menurut abjad nama penulis tanpa nomer urut. Kepustakaan ditulis dalam urutan abjad secara ideal kronologis:

  • a)    Untuk buku: nama pokok dan insial pengarang, tahun terbit, judul, edisi, nama penerbit, tempat terbit. Contoh: Steves, T.A., I.M. Sussex. 1996. Pattern and Plant Development. Cambridge University Press: Cam-

bridge.

  • b)    Untuk karangan dalam buku; nama pokok dan inisial pengarang, tahun, judul karangan, inisial dan nama editor: judul buku, halaman permulaan dan akhir (karangan), nama penerbit, tempat terbit.

Contoh: Enooch, I.C. 1980. Morphology of Germination. H. F. Chin (Ed). Recalcitrant Crop Seed/6-15.

Tropical Press SON. BHD: Kuala Lumpur Malaysia.

  • c)    Untuk karangan dalam majalah atau jurnal: nama pokok dan inisial pengarang, tahun, judul karangan, singkatan nama majalah, jilid (nomor), halaman (tidak terpotong), permulaan dan akhir.

Contoh: Ramona, Y. 1997. Microbial Enzymes as Biosensor (a Literature Review). J. Biol. 1:50-59.

Premchandra G.S., H. Sameoka, S. Ogata. 1990. Cell Osmotic Membrane-Stability, An Indication of Drought Tolerance, as Affected by Applied Nitrogen in Soil. J. Agric. Res. 115:63-66.

  • d)    Untuk karangan dalam pertemuan: nama pokok dan inisial pengarang, tahun, judul karangan, singkatan nama pertemuan (penyelenggara, waktu, tempat pertemuan).

Contoh: Sumantera, I.W. 1995. Etnobotani Subak di Bali. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etno-

botani II. Puslitbang Biologi LIPI. Fak. Biologi UGM dan Ikatan Pustakawan Indonesia, Yogyakarta 24 - 25 Januari 1995. hal 227-237.

  • e)    Untuk artikel dari World Wide Web page

Contoh: Young, C. 2001. English Heritage position statement on the Valletta Convention, [Online], Avail-

able: “http://www.archeol.freeuk.com/EHpostionStatement.htm” [24 Aug 2005].

  • 12.    Setiap alinea baru diketik mundur 5 ketukan.

  • 13.    Setiap grafik, histogram, sketsa dan gambar (foto) agar diberi nomor urut, judul yang singkat tetapi jelas dan dibuat pada satu halaman (tidak terpotong).

  • 14. Daftar pustaka jurnal ilmiah minimum 70% dari jumlah pustaka.

  • 15.    Hasil yang sudah ditulis dalam tabel tidak perlu diulang dalam bentuk lain (grafik atau histogram).

  • 16. Dalam hal tata nama (nomenklatur) dan tata istilah, penulis harus mengikuti cara penulisan baku, untuk istilah asing dicetak miring kecuali abstract.

  • 17.    Bagi naskah yang diterbitkan dikenakan biaya Rp 500.000 per artikel. Biaya ditransfer ke Rek. 0017-01-009 88150-7 BRI Cabang Denpasar a.n. Putu Ariwati

SURAT PERNYATAAN

Kepada Yth.

Redaksi Jurnal Biologi

Di tempat

Bersama ini kami kirimkan naskah

Judul : ..........................................................................

Penulis : 1.......................................................................

2.......................................................................

dst.

Instansi : 1.......................................................................

2.......................................................................

dst.

Untuk dapat diterbikan pada Jurnal Biologi. Kami menyatakan bahwa naskah tersebut belum pernah diterbitkan, dan tidak dalam pertimbangan untuk diterbitkan pada jurnal lain termasuk prosiding.

Mohon agar korespodensi (corresponding author) ditujukan kepada :

Nama          : ......................................................................

Alamat           : ......................................................................

Telpon/HP/E-mail : ......................................................................

Demikian surat pernyataan ini, atas perhatian dan kerjasamanya disampaikan terima kasih.

Hormat kami,

(


)

92