JURNAL BIOLOGI 19 (I) : 21 - 24

ISSN : 1410-5292

KUALITAS DAN KUANTITAS DNA DARAH KERING

PADA BESI DAN KAYU YANG DISIMPAN DALAM KURUN WAKTU BERBEDA

QUALITY AND QUANTITY OF DNA FROM DRIED BLOOD ON IRON AND WOOD, STORED IN DIFFERENT PERIOD OF TIME

Ni Putu Puniari Eka Putri1, I Ketut Junitha1,2

1Jurusan Biologi FMIPA Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran, Bali 2Laboratorium UPT Forensik dan Biosains, Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran, Bali

Email: niputupuniariekaputri@gmail.com

INTISARI

DNA merupakan materi genetik yang berfungsi untuk mengatur aktivitas biologis seluruh bentuk kehidupan. Darah merupakan salah satu sumber DNA yang sering digunakan sebagai barang bukti dalam bidang forensik. Kondisi darah sebagai barang bukti di TKP (tempat kejadian perkara) yang ditemukan diantaranya pada besi, kayu, pakaian, tembok, lantai, kertas dan gunting dapat mempengaruhi hasil ekstraksi dan analisis DNA. Dalam ilmu forensik menerapkan prinsip Locard yaitu adanya pertukaran materi ketika terjadi kontak dari dua buah benda. Materi yang tertinggal akibat kontak dari dua buah benda tersebut akan menjadi barang bukti kuat yang sangat menentukan dalam penyelesaian suatu kasus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas dan kuantitas DNA dari darah kering pada besi dan kayu yang disimpan dalam kurun waktu berbeda (satu, dua, tiga, dan empat bulan), kemudian diekstraksi dengan menggunakan metode fenol kloroform termodifikasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa DNA dari darah kering pada besi dan kayu masih dapat diekstraksi menggunakan metode fenol kloroform yang dimodifikasi sampai empat bulan penyimpanan, tetapi terjadi penurunan kuantitas DNA sejalan dengan lama waktu penyimpanan.

Kata kunci: besi, darah, DNA, kayu, waktu penyimpanan

ABSTRACT

DNA is a genetic material that serves to regulate the biological activity of life. Blood is one of DNA sources, that are often used as evidence in forensic field. The condition of blood as evidence at the crime scene (scene point) found on iron, wood, clothes, walls, flooring, paper, or scissors could affect the results of DNA extraction and analysis. Locard’s principle in forensic science states that every time contact was made between person, place, or other things can results in an exchange of physical materials. Material left behind as the result of contact among two objects can be strong evidence in solving a case. This research aimed to determine the quality and quantity of DNA from dried blood collected from iron and wood which was kept in different period of times (one, two, three, and four months). The samples were extracted in modified phenol chloroform method. The results indicated that DNA from dried blood on iron and wood can still be extracted using a modified phenol chloroform method, however, the quantity of DNA decreased in line with the length of storage time.

Keywords: blood, DNA, iron, storage time, wood

PENDAHULUAN

Dalam forensik dikenal motto yang menyatakan bahwa tidak ada peristiwa kejahatan yang tidak meninggalkan jejak. Setiap tindak pidana pasti akan membawa dan meninggalkan sesuatu di TKP (Tempat Kejadian Perkara) sebagai jejak yang dijadikan barang bukti. Besi, kayu, kain (serat baju), rambut, air liur, darah, sperma, kulit, sidik jari merupakan saksi bisu yang harus ditemukan di TKP. Prinsip Locard menyatakan bahwa pertukaran materi terjadi akibat adanya kontak dari dua buah benda. Prinsip ini dikemukakan oleh Dr. Edmond Locard yang merupakan seorang pionir dalam ilmu forensik (Laupa, 2013). Dalam mendapatkan jejak yang dapat dijadikan

barang bukti di TKP diperlukan usaha dan alat-alat khusus untuk menemukan bukti fisik yang tidak dapat disangkal. Bukti fisik tersebut akan mengungkapkan pelaku kejahatan sekaligus menjelaskan bagaimana dan kapan pelaku melakukan tindak pidana (Departemen Forensik dan Medikolegal FKUI/RSCM, 2013).

Ekstraksi atau isolasi DNA adalah salah satu teknik dasar yang harus dikuasai dalam mempelajari teknik biologi molekuler. Tujuan dari ekstraksi atau isolasi DNA adalah memisahkan DNA (asam nukleat) dan membuangnya dari komponen sel lainnya seperti protein, karbohidrat dan lemak sehingga DNA yang diperoleh dapat dianalisis dan dimodifikasi lebih lanjut dengan teknik biologi molekuler (Davis et al., 1993). Ekstraksi

DNA dari darah kering dan segar dilakukan dengan menggunakan metode fenol kloroform (Sambrook and Russell, 2001).

Darah merupakan salah satu sumber DNA yang sering digunakan sebagai barang bukti dalam bidang forensik. Kondisi darah sebagai barang bukti di lapangan (TKP) dapat ditemukan di berbagai macam media diantaranya pada besi, kayu, kain, tembok, lantai, kertas dan gunting yang dapat mempengaruhi hasil ekstraksi dan analisis DNA. Dalam ilmu forensik, hasil analisis DNA merupakan alat bukti yang sangat menentukan dalam menyelesaikan beberapa kasus kriminal (Fessenden, 1986).

Darah segar mempunyai nilai yang lebih penting daripada darah kering, karena dari hasil uji kualitas darah segar dapat diperoleh hasil yang lebih baik. Dalam hubungannya dengan forensik maka kecepatan penanganan dari sebuah kasus yang melibatkan darah sebagai barang buktinya menjadi sangat penting. Menurut Eckert (1980), seorang polisi yang bertindak sebagai penyidik memiliki kemampuan dalam pengenalan dan pengumpulan barang bukti secara tepat dalam menangani kasus tindak pidana. Mereka bertanggung jawab terhadap pengujian (analisis) dari berbagai jenis barang bukti yang diperoleh di TKP, melakukan identifikasi, kuantifikasi serta dokumentasi barang bukti. Dari hasil analisis tersebut kemudian dievaluasi, diinterpretasi dan dibuatkan laporan berdasarkan keterangan ahli untuk kepentingan hukum atau peradilan.

Darah akan mengering setelah kontak dengan udara luar dalam waktu 3-5 menit. Begitu darah mengering maka darah akan berubah warna dari merah menjadi coklat kehitaman. Darah pada sebuah kasus kriminal dapat berbentuk genangan darah, tetesan, usapan atau bentuk kerak. Dari genangan darah akan diperoleh hasil DNA yang lebih baik karena itu merupakan darah segar (Darmono, 2001).

MATERI DAN METODE

Sampel darah kering pada kayu diambil dengan cotton buds steril yang telah dibasahi aquades steril dan darah kering pada besi dikerok dengan skalpel steril, sedangkan untuk darah segar langsung diteteskan pada tabung eppendorf sebanyak tiga tetes. Usapan atau kerokan darah kering baik pada besi dan kayu dimasukkan ke dalam tabung 1,5 mL yang telah diisi dengan 300 µL buffer lisis sebanyak 27 buah label sampel. Buffer lisis memiliki komposisi NaCl 5M, EDTA 0,2M, Tris-HCl 2M, Urea 4M dan air distilasi. Ekstraksi DNA menggunakan metode fenol kloroform yang dimodifikasi (Sambrook and Russell, 2001).

Uji kualitas DNA dilakukan dengan eloktroforesis pada gel agarosa 1,2%. Sampel sebanyak 5 µL dicampur dengan 1 µL loading dye di atas kertas parafilm, kemudian dimasukkan ke dalam sumuran gel. Selanjutnya proses elektroforesis dijalankan pada tegangan 100 volt selama 30 menit (Rianta, 2001). Uji kuantitas dilakukan dengan membandingkan pendaran DNA hasil ekstraksi terhadap Lambda DNA (Merk Biolab Made England) yang konsentrasinya telah diketahui sebagai berikut:

konsentrasi 0,01 µg/µL, konsentrasi 0,005 µg/µL, konsentrasi 0,00375 µg/µL, konsentrasi 0,0025 µg/µL, konsentrasi 0,0016 µg/µL, konsentrasi 0,00125 µg/µL, konsentrasi 0,000625 µg/µL dan konsentrasi 0,0003125 µg/µL.

HASIL

Uji kualitas hasil ekstraksi DNA dari darah kering pada kayu (Gambar 1) DNA dari semua sampel berhasil diekstraksi. Keseluruhan sampel terlihat memiliki perpendaran pita DNA yang berbeda, seperti sampel KW1 sampai KW4 serta SWW sampai SWP terlihat lebih tipis dibandingkan sampel KP1 sampai KR4. Kualitas DNA hasil ekstraksi dari darah kering pada besi dan kayu dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hasil ekstraksi dengan pita-pita DNA yang tipis dari sampel KW1, KW2, KW3, KW4, KP1, KP2, KP3, KP4, KR1, KR2, KR3, KR4, PW1, PW2, PW3, PW4, SWW, SWP dan SWR seperti yang ditunjukkan pada lajur sampel tersebut.

Gambar 1. Kualitas hasil ekstraksi DNA dari darah kering pada kayu yang disimpan selama 1, 2, 3 dan 4 bulan dan darah segar.

Keterangan gambar :

KW1, KW2, KW3 dan KW4 : Lajur sampel darah kering probandus satu.

KP1, KP2, KP3 dan KP4 : Lajur sampel darah kering probandus dua.

KR1, KR2, KR3 dan KR4 : Lajur sampel darah kering probandus tiga.

SWW : Lajur sampel darah segar probandus satu.

SWR : Lajur sampel darah segar probandus tiga.

SWP : Lajur sampel darah segar probandus dua.

Hasil uji kualitas DNA dari 27 sampel darah kering menunjukkan tidak semua sampel memiliki pendaran pita DNA yang sama. Hal ini ditunjukkan pada lajur sampel KW2, KR3, PW1, PW4, SWW, SWP dan SWR memiliki pendaran pita yang tebal, lajur sampel KW1, KW3, KW4, KP1, KP2, KP3, KP4, KR1, KR2, KR4, PW2 dan PW3 memiliki pendaran pita yang tipis (Gambar 1 dan 2), sedangkan pada lajur sampel PP1, PP2, PP3, PP4, PR1, PR2, PR3 dan PR4 pendaran pitanya tidak terlihat (Gambar 2). Pada Gambar 2 dapat dilihat dari 12 sumuran/ lajur pada gel menunjukkan adanya pendaran yang menandakan bahwa terdapat DNA hasil ekstraksi dari sampel darah kering pada besi dengan kuantitas yang berbeda. Sampel PP1 sampai PR4 terlihat lebih tipis dibandingkan sampel PW1, PW2, PW3 dan PW4 (Gambar 2).

Gambar 2. Kualitas hasil ekstraksi DNA dari darah kering pada besi yang disimpan selama 1, 2, 3 dan 4 bulan.

Keterangan gambar :

PW1, PW2, PW3 dan PW4 : Lajur sampel darah kering probandus satu.

PP1, PP2, PP3 dan PP4 : Lajur sampel darah kering probandus dua.

PR1, PR2, PR3 dan PR4 : Lajur sampel darah kering probandus tiga.

Uji Kuantitas DNA Hasil Ekstraksi

Dalam uji kuantitas DNA tidak semua sampel darah kering (sebanyak 27 sampel) digunakan, karena banyak sampel yang memiliki pendaran pita DNA yang rendah. Sehingga, pada uji kuantitas DNA hasil ekstraksi hanya beberapa sampel yang digunakan, seperti sampel SWP yang menampakkan pendaran paling terang dan tebal dan menunjukkan bahwa sampel ini memiliki kuantitas yang paling tinggi dibandingkan dengan Lambda DNA dengan konsentrasi 0,005 µg/µL daripada sampel lainnya. Sampel lainnya berturut-turut dari yang paling tebal hingga tipis adalah SWR, PW1, KW2, KP3, PW4, KP1, KW4 dan KR3 (Gambar 3).

Gambar 3. Elektrogram uji kuantitas DNA hasil ekstraksi.

Keterangan gambar :

  • 1    : Lajur lambda DNA dengan konsentrasi 0,005 µg/µL.

  • 2    : Lajur lambda DNA dengan konsentrasi 0,0025 µg/µL.

  • 3    : Lajur lambda DNA dengan konsentrasi 0,0016 µg/µL.

  • 4    : Lajur lambda DNA dengan konsentrasi 0,00125 µg/µL.

  • 5    : Lajur lambda DNA dengan konsentrasi 0,000625 µg/µL.

  • 6    : Lajur lambda DNA dengan konsentrasi 0,0003125 µg/µL.

PW1 dan PW4 : Lajur sampel darah kering probandus satu pada besi yang disimpan selama 1 dan 4 bulan.

KW2 dan KW4 : Lajur sampel darah kering probandus satu pada kayu yang disimpan selama 2 dan 4 bulan.

KP3 : Lajur sampel darah kering probandus dua pada kayu yang disimpan selama 3 bulan.

KR1 dan KR3 : Lajur sampel darah kering probandus tiga pada kayu yang disimpan selama 1 dan 3 bulan.

SWP : Lajur sampel darah segar probandus dua.

SWR : Lajur sampel darah segar probandus tiga

PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini DNA dari sampel darah segar maupun darah kering memberikan gambaran pita DNA yang bersih. Hal ini menunjukkan hasil ekstraksi DNA tersebut relatif baik (murni/ tanpa adanya kontaminan RNA maupun protein). Hasil estraksi DNA yang masih mengandung protein atau RNA memberikan gambaran smear pada elektrogramnya (Syafaruddin dan Santoso, 2011). Menurut Noer dan Gustiananda (1997), pita DNA yang smear dapat disebabkan oleh terdegradasinya sampel DNA. Konsentrasi DNA yang rendah akan menyebabkan terbentuknya pita DNA yang tipis untuk dapat dideteksi pada gel agarosa (Innis and Gelfand, 1990).

Tingkat kuantitas hasil ekstraksi DNA ditunjukkan oleh tebal tipisnya DNA yang berpendar dibandingkan dengan pendaran pengenceran Lambda DNA, sedangkan kualitas

ekstraksi DNA dilihat dari ketajaman dan kebersihan pita yang berpendar. Dalam penelitian ini ditemukan adanya perbedaan kuantitas DNA hasil ekstraksi antara darah kering pada besi dan kayu dalam kurun waktu yang sama. Sampel darah kering pada besi (Gambar 2) menunjukkan lajur PW1 sampai PR4 lebih tipis pendaran pita DNAnya daripada sampel darah kering pada kayu yaitu KW1 sampai KR4 (Gambar 1). Besi dan kayu yang mengalami korosi dan lapuk oleh karena beberapa faktor lingkungan seperti temperatur, kelembaban, udara dan sinar dapat menjadi media pertumbuhan yang baik bagi mikroorganisme (jamur dan bakteri) (Hanan et al., 1978).

Konsentrasi DNA hasil ekstraksi dapat dipengaruhi oleh kondisi sampel darah kering, seperti sedikitnya jumlah sel pada sampel dan terbawanya karat pada besi saat melakukan kerok dengan menggunakan skalpel steril hingga karat pada besi tersebut ikut tercampur dengan reagen reaksi yang dapat mengganggu proses ekstraksi (Junitha. Kom. Pri, 2014). Hal ini didukung oleh Peccia dan Hernandez (2006), bahwa pemurnian DNA merupakan proses untuk memisahkan DNA dari lisat sel (protein, karbohidrat, lipid) dan kontaminan lainnya seperti materi ikutan lain yang mengakibatkan smear.

Secara umum darah kering memberikan hasil ekstraksi DNA yang lebih sedikit dibandingkan darah segar pada volume darah yang sama. Hal ini dapat disebabkan karena pengaruh lama waktu penyimpanan yang menyebabkan kerusakan sel-sel darah termasuk DNA akibat terdegradasi secara alami atau oleh mikroorganisme (jamur dan bakteri) (Liu et al., 2007). Kerusakan sel darah yang menyebabkan kuantitas DNA menurun dapat disebabkan oleh adanya mikroorganisme seperti jamur yang memanfaatkan darah sebagai sumber nutrisinya (Reynolds, 2005). Mikroorganisme mempunyai pertumbuhan yang sangat baik pada kondisi lembab dan panas. Pulau Bali yang merupakan bagian dari Negara Indonesia yang beriklim tropis memiliki suhu udara yang lembab (Stamets and Chilton, 1983), sehingga mendukung pertumbuhan mikroorganisme seperti jamur dengan baik dan cepat (Chang, 1993) dan jamur tersebut berperan sebagai agen dekomposisi utama dibandingkan dengan kawasan yang beriklim subtropis.

Perbedaan konsentrasi hasil ekstraksi DNA dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti terjadinya degradasi sel oleh mikroba yang perlu dibuktikan dengan penelitian lebih lanjut. Berdasarkan data diatas menunjukkan bahwa ekstraksi DNA dari darah kering pada besi dan kayu yang disimpan dalam kurun waktu satu, dua, tiga dan empat bulan masih dapat memberikan hasil, namun terjadi penurunan kuantitas DNA sejalan dengan lama waktu penyimpanannya. Penurunan kuantitas DNA yang diperoleh juga terkait dengan kerusakan sel darah terutama sel darah putihnya. Sel eukariotik DNA terdapat di dalam inti yang membentuk suatu kesatuan untaian yang disebut kromosom, dimana sel darah putih merupakan sel darah yang berinti. Disamping pada inti sel, DNA juga terdapat di dalam mitokondria sel manusia, dimana mitokondria merupakan bagian sel yang menghasilkan energi (ATP) (Anderson et al., 1981).

SIMPULAN

DNA dari darah kering pada besi dan kayu yang disimpan dalam kurun waktu empat bulan masih dapat diekstraksi, namun terjadi penurunan kuantitas DNA sejalan dengan lama waktu penyimpanan darah.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terimakasih kami sampaikan kepada Kepala Laboratorium UPT Forensik dan Biosains Universitas Udayana dan seluruh probandus yang sudah dengan sukarela bersedia diambil sampel darahnya serta semua pihak yang telah membantu dalam penelitian ini.

KEPUSTAKAAN

Anderson, S., Bankier, A. T., Barrel, B. G., De Bruijin, M. M. L., Coulson, A. R., Drouin, J., Eperon, I. C., Nierlich, D. P., Roe, B. A., Sanger, F., Schreicer, P. H., Smith, A. J. H., Staden, R., and Young, I. G. 1981. Sequence and Organization of The Human Mitochondrial Genome. Nature. 290: 457-465.

Chang, S. T. 1993. Mushroom Biology: The Impact on Mushroom Production and Mushroom Products. p. 3-20. The Chinese University Press: Hongkong.

Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. Hubungannya dengan Toksikologi Senyawa Logam. Penerbit Universitas Indonesia (UI Press). hlm. 109-111.

Davis, Leonard G., W.M. Kuehl, J.F. Battey. 1993. Basic Methods in Molecular Biology. Second Edition. Appelton & Lange. Norwalk, Connecticut, USA.

Departemen Forensik dan Medikolegal FKUI/RSCM. 2013. Rancangan Modul Forensik Molekuler, Jakarta.

Eckert, W. G. 1980. Introduction to Forensic Sciences. St. Louis: The CV Mosby Co.

Fessenden. 1986. Forensik. Erlangga, Jakarta.

Innis, M. A., and D. H. Gelfand. 1990. PCR Protocol A Guide to Methods and Applications. Academic Press Inc, New York.

Laupa, J. 2013. Sains Forensik Pastikan Penjenasah Tidak Terlepas. Utusan Melayu, Jakarta.

Liu, Q. P., G. Sulzenbacher, H. Yuan, E. P. Bennett, G. Pietz, K. Saunders, J. Spence, E. Nudelman, S. B. Levery, T. White, J. M. Neveu, W. S. Lane, Y. Bourne, M. L. Olsson, B. Henrissat and H. Clausen. 2007. Bacterial Glycosidases for The Production of Universal Red Blood Cells. Nat. Biotech. 25: 454-464.

Noer, A. S., and M. Gustiananda. 1997. PCR Tanpa Isolasi DNA Dari Sel Epitel Rongga Mulut. JMS Journal. Vol. 2. No. 1. Hal. 35-45. ITB Press, Bandung.

Peccia, J., and M. Hernandez. 2006. Incorporating Polymerase Chain Reaction-Based Indentification Population Characterization and Quantification of Microorganisms Into Aerosol: A Review. Atmospheric Environment. 40: 3941-3961.

Reynolds, J. 2005. Identification of Fungi. New York.

Rianta, P. 2001. Mengenal Metode Elektroforesis. Oseana. vol. XXVI.

Sambrook, J. and D. W. Russell. 2001. Molecular Cloning a Laboratory Manual 3rd Edition. Cold Spring Harbor Laboratory Press, New York.

Stamets, P. and J. Chilton. 1983. The Mushroom Cultivator. Agrikon Press, Washington.

Syafaruddin dan T.J. Santoso. 2011. Optimasi Teknik Isolasi dan Purifikasi DNA yang Efisien dan Efektif Pada Kemiri Sunan (Reutalis Trisperma (Blanco). Jurnal Littri.

24