JURNAL BIOLOGI 19 (I) : 15 - 20

ISSN : 1410-5292

TOKSISITAS DETERGEN DAN PEWARNA KAIN SINTETIS TERHADAP ANGGANG-ANGGANG (Gerris marginatus)

TOKSISITY OF DETERGENT AND ARTIFICIAL TEXTIL COLOR TO WATER STRIDER (Gerris marginatus)

I K. Putra Juliantara1, Ni Luh Watiniasih2, I Wayan Kasa2 1Prodi Magister Biologi, Program Pascasarjana, Universitas Udayana, Bali. 2Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Udayana, Bali.

Email: ikpj_biology@yahoo.com

INTISARI

Kualitas perairan tawar dapat dipengaruhi oleh masuknya polutan, misalnya detergen dan pewarna kain sintetis, sehingga berpengaruh terhadap kelangsungan hidup organisme air seperti serangga akuatik (anggang-anggang). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui toksisitas detergen dan pewarna kain sintetis terhadap anggang-anggang. Penelitian ini terdiri dari dua faktor, yaitu detergen dan pewarna kain sintetis. Faktor detergen terdiri dari empat konsentrasi yaitu konsentrasi 0, 3, 6 dan 9 ppm, demikian juga dengan pewarna kain sintetis terdiri dari empat konsentrasi yaitu konsentrasi 0, 15, 30 dan 45 ppm. Penelitian ini menggunakan rancangan perlakuan faktorial 4x4 dan rancangan percobaan RAK (Rancangan Acak Kelompok). Hasil penelitian menunjukkan bahwa detergen berpengaruh negatif terhadap daya tahan hidup anggang-anggang dalam waktu 24 jam (P<0,05), demikian juga pengaruh pewarna kain sistesis (P<0,05). Akan tetapi, tidak ada pengaruh interaksi dari detergen dan pewarna kain sintetis terhadap kematian anggang-anggang (P>0,05). Selain itu, ukuran tubuh memberikan pengaruh yang nyata terhadap waktu kematian anggang-anggang (P<0,05). Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa detergen dan pewarna kain sintetis meningkatkan jumlah kematian anggang-anggang dalam 24 jam, namun tidak ada efek interaksi antar kedua perlakuan.

Kata kunci: anggang-anggang, detergen, pewarna kain sintetis, bioindikator

ABSTRACT

The quality of freshwater can be affected by detergent and artificial textile color, therefore the detergent and artificial textile color contributes to the survival of aquatic organisms such as aquatic insects (water strider). The purpose of this study was to determine the toxicity effect of detergent and artificial textile color to water strider. This study was designed in two factors, detergent and artificial textile color. There were four levels of detergent concentrations: 0, 3, 6 and 9 ppm, as well as four levels artificial textile color concentrations: 0, 15, 30 and 45 ppm. This study designed in 4x4 factorial and randomized block design (RBD). The results showed that the detergent had negatively affected the water strider survivalship within 24 hours (P<0.05), as well as the influence of artificial textile color (P<0.05). However, there was no interaction effects of detergent and artificial textile color to water strider (P>0.05). In addition, the body size had significantly affected on the death time of water strider (P<0.05). It can be concluded that the detergent and artificial textile color increased the number of water strider’s death within 24 hours, but no interaction effects between the two treatments.

Keywords: water strider, detergents, artificial textile color, bioindicator

PENDAHULUAN

Kualitas air dari suatu perairan dapat dipengaruhi oleh detergen dan pewarna kain sintetis. Detergen dapat mempengaruhi pH dan oksigen terlarut pada perairan sedangkan pewarna kain sintetis dapat menyebabkan perubahan kekeruhan, warna, dan pH air pada suatu perairan (Wardhana, 2004; Susana dan Rositasari, 2009; Suharjono, 2010; Agustina et al., 2011). Jika dilihat dari daya urai (biodegradable), dibutuhkan waktu beberapa hari agar LAS pada detergen dapat terurai 100 % dan

pewarna kain sintetis juga sulit terurai di alam (Tai, 2000; Rejeki et al, 2006; Budiawan et al., 2009; Agustina et al., 2011).

Pemantuan kehidupan akuatik dan kondisi ekologi suatu perairan dengan menggunakan hasil pengukuran kualitas air secara kimia dan fisika, masih memiliki keterbatasan. Biota akuatik dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator kualitas air untuk mengatasi ketidakpraktisan pengukuran kualitas air secara kimia dan fisika (Wardhana, 1999; Gullan and Cranston, 2005).

Efek toksisitas beberapa polutan kimia dan pemantauan

perubahan di dalam lingkungan perairan dapat diuji dan dideteksi dengan menggunakan bioindikator, mahluk hidup yang berperan sebagai indikator biologis terhadap kualitas suatu lingkungan. Penampakannya dapat digunakan sebagai petunjuk sumber daya pada habitatnya yang dapat menggambarkan situasi ekologi masa lampau, sekarang, dan akan datang lingkungan tersebut (Swasta, 2003; Kopciuch et al., 2004; Sudarso, 2009; Bellinger and Sigee, 2010; Samways et al., 2010).

Terdapat beberapa keuntungan dalam pemanfaatan serangga dalam memantau perubahan lingkungan perairan, antara lain: kemelimpahannya tinggi, berperan penting dalam ekosistem perairan, tidak terkendala kode etik dalam pengambilan sampel, cocok untuk pemantauan habitat, lebih ekonomis dibandingkan bioindikator lainnya karena dapat dimonitor dengan metode sampling perangkap pasif, identifikasi serangga air cukup mudah, serta mudah dideteksi dan diprediksi responnya terhadap perubahan lingkungan (Shahabuddin, 2004; Gullan and Cranston, 2005).

Serangga akuatik sering dimanfaatkan sebagai bioindikator dalam pengukuran kualitas air pada suatu daerah. Misalnya, tingginya kemelimpahan dari serangga Ephemeroptera dan Trichoptera pada Sungai Halimun digunakan sebagai petunjuk bahwa sungai tersebut belum mengalami pencemaran (Rizali dkk., 2002).

Salah satu jenis dari Ordo Hemiptera adalah anggang-anggang/water strider (Gerris marginatus) yang hidup dan sering ditemukan di perairan tawar, dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bioindikator pencemaran lingkungan perairan. Hal ini disebabkan karena serangga akuatik tersebut memenuhi kriteria sebagai bioindikator uji hayati. Kriteria organisme sebagai bioindikator uji hayati tergantung dari beberapa faktor yaitu: sensitif terhadap material beracun dan perubahan lingkungan, distribusi geografis luas, kemelimpahan di alam tinggi, memiliki relevansi dengan tujuan penelitian, bebas dari parasit dan penyakit, serta mudah dipelihara di laboratorium (American Public Health Association, 1999).

Parameter yang sering digunakan mendeteksi pengaruh produk kimia untuk dapat dikategorikan ramah terhadap lingkungan adalah daya racun (toksisitas) dan daya urai (biodegradable) (Fardiaz, 1992). Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari toksisitas detergen dan pewarna kain sintetis terhadap anggang-anggang.

MATERI DAN METODE

Faktor detergen terdiri dari empat konsentrasi yaitu konsentrasi 0 ppm, 3 ppm, 6 ppm, dan 9 ppm, demikian juga dengan pewarna kain sintetis terdiri dari empat konsentrasi yaitu konsentrasi 0 ppm, 15 ppm, 30 ppm, dan 45 ppm. Penelitian ini menggunakan rancangan perlakuan faktorial 4x4 dan rancangan percobaan RAK (Rancangan Acak Kelompok).

Tempat dilakukannya penelitian adalah pada ruangan terbuka dengan faktor lingkungan yang diukur, sedangkan waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2013 sampai Februari 2014. Populasi dalam penelitian

ini adalah anggang-anggang (Gerris marginatus) yang berasal dari Sunga Janga, Kabupaten Karangasem, Propinsi Bali. Sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah anggang-anggang dewasa dengan ukuran panjang berkisar antara 0,8 – 1,8 cm.

Anggang-anggang diaklimasi pada bejana plastik selama dua hari (selama proses aklimasi anggang-anggang diberikan makanan berupa lalat buah). Setelah diaklimasi selama dua hari, anggang-anggang diberikan perlakuan dengan tanpa pemberian makanan.

Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data kuantitatif berupa jumlah kematian anggang-anggang dalam 24 jam serta ukuran tubuhnya. Data kuantitatif berupa jumlah kematian anggang-anggang dianalisis dengan menggunakan Two-Way ANOVA. Sedangkan, ukuran tubuh (cm) dan waktu kematian (jam) dianalisis dengan analisis regresi.

HASIL

Gambar 1. Pengaruh detergen dan pewarna kain sintetis terhadap rata-rata kematian anggang-anggang dalam 24 jam.

Data mengenai kombinasi perlakuan detergen dan pewarna kain sintetis ditunjukkan pada Gambar 1. Pada konsentrasi detergen 0 dan 3 ppm terjadi peningkatan rata-rata kematian anggang-anggang, dimana anggang-anggang paling banyak mati terdapat pada konsentrasi pewarna kain sintetis 30 ppm yaitu 5,7 ekor pada konsentrasi detergen 0 ppm dan 9,0 ekor pada konsentrasi detergen 3 ppm. Namun pada kedua konsentrasi detergen tersebut, rata-rata kematian anggang-anggang menurun yang berturut-turut 5,0 ekor dan 8,0 ekor pada konsentrasi pewarna kain sintetis 45 ppm.

Rata-rata kematian anggang-anggang meningkat pada konsentrasi detergen 6 ppm dan kematian tertinggi terjadi pada detergen dengan konsentrasi 6 ppm dikombinasikan dengan pewarna kain sintetis 45 ppm yaitu sebanyak 9,7 ekor (Gambar 1). Pada konsentrasi detergen 9 ppm dengan pewarna kain sintetis 0 ppm, rata-rata kematian anggang-anggang lebih tinggi yaitu 9,3 ekor dibandingkan konsentrasi detergen lainnya (0, 3 dan 6 ppm) yang dikombinasikan dengan pewarna kain sintetis 0 ppm. Pada konsentrasi detergen yang

sama (9 ppm) yang dikombinasikan dengan pewarna kain sintetis 15, 30, dan 45 ppm, rata-rata kematian anggang-anggang sama (10,0 ekor).

Rata-rata kematian anggang-anggang berbeda tetapi tidak nyata terjadi pada kombinasi konsentrasi antara detergen 6 ppm dengan pewarna kain sintetis 0 ppm (4,7 ekor) dan dengan pewarna kain sintetis 30 ppm (9,3 ekor) dibandingkan dengan konsentrasi pewarna kain sintetis yang sama dengan detergen 3 ppm yaitu berturut-turut 4,3 ekor dan 9 ekor. Rata-rata kematian anggang-anggang pada perlakuan detergen 0, 3, 6, dan 9 ppm yang dikombinasikan dengan perlakuan pewarna kain sintetis 0 ppm berturut-turut sebesar 2; 4,3; 4,7; dan 9,3 ekor. Rata-rata kematian anggang-anggang pada perlakuan pewarna kain sintetis 0, 15, 30, dan 45 ppm yang dikombinasikan dengan detergen 0 ppm berturut-turut sebesar 2; 4,3; 5,7; dan 5 ekor (Gambar 1).

Tabel 1. Hasil Analisis Regresi Pengaruh Ukuran Tubuh (cm) terhadap Waktu Kematian Anggang-anggang (jam).

Predictor

Coef

SE Coef

T

P

Constant

-21,440

7,333

-2,92

0,004

Ukuran Tubuh (cm)

31,218

5,455

5,72

0,001

S = 28,5260 R-Sq = 6,4% R-Sq (adj) = 6,2 %

The regression equation is

Waktu Kematian (jam) = -21,44 + 31,22 Ukuran Tubuh (cm)

Ukuran tubuh (cm) memberikan pengaruh yang nyata terhadap waktu kematian anggang-anggang (jam) (P<0,05) (Tabel 1). Rata-rata waktu kematian anggang-anggang per kategori ukuran tubuh dapat dilihat pada Tabel 2. Pada Tabel 2 terlihat bahwa rata-rata waktu kematian anggang-anggang pada ukuran tubuh 0,81,05 cm, 1,06-1,31 cm, 1,32-1,57 cm, dan 1,58-1,83 cm berturut-turut adalah 8,58; 12,40; 26,00; dan 28,10 jam.

Tabel 2. Rata-rata Waktu Kematian Anggang-anggang (Jam) per Kategori Ukuran Tubuh (cm)

Kategori Ukuran Tubuh (cm)

Jumlah (n)

Rata-Rata Waktu Kematian (Jam)

Standar Deviasi (SD)

0,8-1,05

97

8,58

14,03

1,06-1,31

105

12,40

16,73

1,32-1,57

197

26,00

33,74

1,58-1,83

81

28,10

37,65

480

PEMBAHASAN

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa detergen berpengaruh nyata terhadap kematian anggang-anggang (P<0,05). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh detergen bersifat toksik bagi anggang-anggang, detergen dapat menurunkan kualitas perairan, dan masuknya detergen pada konsentrasi tertentu ke lingkungan perairan tidak dapat ditolerir oleh anggang-anggang. Fenomena ini didukung oleh pendapat Evans dan Garrison (2004) yang menyatakan bahwa keberadaan surfaktan di badan air walaupun dalam jumlah yang sedikit, dapat

menyebabkan kematian pada anggang-anggang. Rejeki et al. (2006), Budiawan et al. (2009), dan Suharjono (2010) berpendapat bahwa walaupun bersifat biodegradable, LAS (Linear Alkilbenzena Sulfonat) bersifat toksik terhadap organisme akuatik dan dibutuhkan waktu beberapa hari untuk terbiodegradasi secara keseluruhan. Detergen dapat meningkatkan permeabilitas kutikula pada femur serangga dengan cara mengemulsikan lapisan lilinnya (Beament, 1944). Abnormalitas (deformasi) pada cangkang hewan Foraminifera dapat disebabkan oleh kandungan detergen pada perairan laut. Selain itu, senyawa fosfat yang terdapat di dalam detergen dapat menyebabkan penurunan pH dan oksigen terlarut (DO) di perairan (Susana dan Rositasari, 2009).

Pewarna kain sintetis berpengaruh nyata terhadap kematian anggang-anggang (P<0,05). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pewarna kain sintetis yang mampu menurunkan kualitas air dan masuknya pewarna kain sintetis pada konsentrasi tertentu ke lingkungan perairan tidak dapat ditolerir oleh anggang-anggang. Wardhana (2004) dan Agustina et al. (2011) menyatakan bahwa pewarna kain sintetis dapat menyebabkan perubahan kualitas air karena dapat mempengaruhi pH dan kandungan oksigen terlarut (DO) di dalam air.

Berdasarkan hasil analisis laboratorium terhadap 1000 ppm pewarna kain sintetis yang digunakan dalam penelitian ini, terkandung 31,8 ppm Pb, 5,5 ppm Cd, dan 201,4 ppm Mg. Atau dengan kata lain, dalam 1000 ppm pewarna kain sintetis mengandung 3,18% Pb, 0,55% Cd, dan 20,14% Mg.

Kandungan magnesium yang cukup tinggi (20,14 %) pada pewarna kain sintetis nampaknya ikut berperan terhadap kematian anggang-anggang. Kandungan Mg di dalam air dapat menyebabkan air bersifat sadah (Wardhana, 2004; Patnaik, 2010). Pada katak, konsentrasi magnesium yang tinggi dapat mempengaruhi sensitivitas membran post-sinapsis terhadap substansi transmitter. Sistem transport aktif pada serangga Carausius berkaitan erat dengan mempertahankan gradien konsentrasi ion magnesium pada membra selnya (Aidley, 1967). Kandungan magnesium yang cukup tinggi akan mempengaruhi daya osmoregulasi anggang-anggang. Pada kondisi lingkungan tertentu, kemampuan osmoregulasi sangat bermanfaat untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan yang semakin hipertonis akibat masuknya faktor kimia tertentu. Jika kondisi lingkungan yang hipertonis melebihi daya toleransi anggang-anggang, maka menyebabkan kematian pada anggang-anggang.

Kandungan timbal (Pb) sebesar 3,18% dari pewarna kain sintetis nampaknya kurang berperan dalam kematian anggang-anggang karena konsentrasinya masih tergolong rendah. Pada tikus putih, pemberian timbal pada dosis tinggi (>65 mg/ kg bb/ hari) dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada selubung mielin (demielinisasi) (Elfiah, 2007). Walaupun begitu, logam berat terlarut dapat dengan mudah teradsorbsi pada jaringan eksoskeleton pada serangga (Mokoagouw, 2008; Sudarso et al., 2008).

Toksisitas detergen dan pewarna kain sintetis

kemungkinan menyerang sistem saraf pada anggang-anggang. Pada penelitian ini, anggang-anggang mengalami disorientasi lingkungan, gerakan kaki yang tak beraturan dan kaki menjadi gemetar (tremor). Gerakan yang tidak terkendali pada kaki dapat menyebabkan anggang-anggang kehilangan oksigen dan akhirnya mengalami kematian. Respon serupa juga terjadi pada serangga ketika terpapar oleh beberapa jenis insektisida seperti organofosfat, karbamat, piretroid sintetik dan kloronikotinil (imidakloprid) yang telah terbukti menyerang sistem saraf pada serangga (Fitri et al., 2012).

Pengaruh interaksi tidak terlihat terjadi antara detergen dengan pewarna kain sintetis (P>0,05). Hal ini bukan berarti pengaruh detergen dan pewarna kain sintetis bersifat saling menetralkan. Namun, interaksi kedua polutan ini tidak berpengaruh nyata menyebabkan terjadinya peningkatan kematian pada anggang-anggang. Perbedaan jumlah kematian secara nyata terjadi jika hanya diperlakukan dengan perbedaan konsentrasi detergen (P<0,05) atau pewarna kain sintetis (P<0,05).

Rata-rata kematian anggang-anggang yang disebabkan oleh perlakuan detergen 9 ppm adalah 9,3 ekor (Gambar 1). Pada gambar tersebut dapat diprediksi bahwa rata-rata kematian anggang-anggang pada perlakuan pewarna kain sintetis 9 ppm berkisar antara 3-4 ekor. Hal ini menunjukkan bahwa detergen bersifat lebih toksik dibandingkan dengan pewarna kain sintetis.

Berdasarkan hasil uji LSD, perbedaan yang tidak nyata hanya terjadi pada perlakuan pewarna kain sintetis 15 ppm dengan pewarna kain sintetis 45 ppm dan perlakuan pewarna kain sintetis 30 ppm dengan pewarna kain sintetis 45 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa pewarna kain sintetis 15 ppm sudah bersifat sangat akut pengaruhnya terhadap kematian anggang-anggang sehingga penambahan konsentrasi pewarna kain sintetis menjadi 30 ppm dan 45 ppm tidak berpengaruh banyak terhadap kematian anggang-anggang (P>0,05).

Kandungan LAS pada detergen berkisar kurang lebih 20 % (Tai, 2000; Sopiah dan Chaerunisah, 2006). Pada penelitian ini, kandungan LAS dari detergen 3 ppm berkisar kurang lebih 0,6 ppm. Organisme akuatik memiliki toleransi yang tidak sama terhadap senyawa LAS. Pada hewan invertebrata, senyawa LAS dengan konsentrasi 0,2-0,4 ppm memberikan pengaruh pertama kali pada Crustacea Gammarus pseudolimnaeus, Bekicot Campeloma decisum pada konsentrasi LAS 0,4-1 ppm, Bekicot Physa integra pada konsentrasi LAS di atas 4,4 ppm (Lewis, 1991).

Pada penelitian ini, faktor lingkungan seperti suhu udara, intensitas cahaya, dan kelembaban udara relatif homogen pada setiap perlakuan dan ulangan. Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa air sungai yang digunakan dalam penelitian ini mengandung detergen sebesar 0,012 ppm, Pb (timbal) sebesar 0,046 ppm, Cd (cadmium) tidak terdeteksi, dan Mg (magnesium) sebesar 1,663 ppm. Berdasarkan kriteria mutu air, pada air kelas empat memiliki batas maksimum kandungan Pb sebesar 1 ppm dan Cd sebesar 0,01 ppm, sedangkan batas maksimum detergen dan Mg belum dipersyaratkan (PP RI Nomor 82 tahun 2001). Oleh

sebab itu, air sungai yang digunakan termasuk perairan yang belum tercemar karena perairan tersebut memenuhi baku mutu air.

Derajat keasaman (pH) dapat mempengaruhi struktur dan fungsi dalam suatu ekosistem baik secara langsung maupun tidak langsung, serta pH memiliki dampak yang besar terhadap toksisitas polutan (Enujiugha dan Nwanna, 2004; Boyd, 2005). Pada penelitian ini tidak ada pengaruh pemberian detergen dan pewarna kain sintetis terhadap perubahan derajat keasaman (pH) air karena pH sebelum dan setelah perlakuan adalah sama (7). Nilai pH ideal bagi kelangsungan hidup organisme air berkisar antara 6,5-7,5, namun jika kondisi perairan sangat asam atau basa dapat menyebabkan terganggunya kehidupan organisme di dalam air (Wardhana, 2004).

Rata-rata kematian anggang-anggang mengalami penurunan pada perlakuan detergen 0 ppm dengan pewarna kain sintetis 45 ppm dibandingkan perlakuan detergen 0 ppm dengan pewarna kain sintetis 30 ppm yaitu dari 5,7 ekor menjadi 5 ekor. Penurunan rata-rata kematian juga terjadi pada perlakuan detergen 3 ppm dengan pewarna kain sintetis 45 ppm dibandingkan perlakuan detergen 3 ppm dengan pewarna kain sintetis 30 ppm yaitu dari 9,0 ekor menjadi 8,0 ekor. Penyebab terjadinya penurunan rata-rata kematian pada perlakuan tersebut belum diketahui secara pasti karena faktor lingkungan pada kedua perlakuan tersebut relatif homogen dan interaksi antara detergen dan pewarna kain sintetis tidak berpengaruh nyata (P>0,05).

Rata-rata kematian anggang-anggang pada perlakuan dengan konsentrasi detergen 0 ppm dan pewarna kain sintetis 0 ppm adalah 2 ekor. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor makanan karena selama pelaksanaan penelitian anggang-anggang tidak diberikan makanan dan faktor lingkungan relatif homogen. Fenomena ini didukung oleh Samways et al. (2010) dan Schowalter (2006) yang menyatakan bahwa faktor yang dapat menyebabkan serangga mati adalah suhu yang ekstrim dan ketidaktersediaan makanan.

Berdasarkan hasil analisis statistik, terlihat bahwa ukuran tubuh (cm) memberikan pengaruh yang nyata terhadap waktu kematian anggang-anggang (jam) (P<0,05) sehingga diperoleh rumus sebagai berikut (Tabel 1).

y= 31,22x – 21,44

Keterangan:

y= waktu kematian (jam) x= ukuran tubuh (cm)

Rumus di atas dapat digunakan untuk memprediksi seberapa jauh perubahan waktu kematian anggang-anggang, jika ukuran tubuh dimanipulasi atau diubah-ubah. Pada rumus di atas terlihat bahwa semakin besar ukuran tubuh anggang-anggang, semakin lama waktu kematian anggang-anggang tersebut.

Rata-rata waktu kematian anggang-anggang yang berukuran 1,58-1,83 cm paling lama (28,10 jam) dibandingkan anggang-anggang dengan ukuran tubuh lainnya (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa anggang-

anggang yang berukuran 1,58-1,83 cm bersifat paling adaptif dibandingkan dengan anggang-anggang lainnya. Jika polutan detergen dan pewarna kain sintetis berada di badan air tawar, dapat diprediksi bahwa anggang-anggang yang berukuran kecil lebih rentan mati dibandingkan dengan anggang-anggang yang berukuran lebih besar.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa detergen dan pewarna kain sintetis bersifat toksik terhadap anggang-anggang sehingga kemelimpahan anggang-anggang di lingkungan perairan tawar dapat digunakan sebagai indikasi awal adanya pencemaran air, khususnya oleh polutan detergen dan pewarna kain sintetis. Kematian anggang-anggang secara nyata dipengaruhi oleh detergen dan pewarna kain sintetis dalam 24 jam perlakuan. Akan tetapi, tidak ada efek interaksi yang terjadi antara detergen dan pewarna kain sintetis terhadap jumlah kematian anggang-anggang dalam jangka waktu 24 jam.

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang nilai ambang batas maksimum detergen dan pewarna kain sintetis bagi anggang-anggang sehingga dapat digunakan sebagai indikator kualitas air. Penelitian terhadap toksisitas detergen dan pewarna kain sintetis dengan objek anggang-anggang ditinjau dari aspek biologi perkembangan dalam perannya sebagai bioindikator perlu dilakukan sehingga pengaruh toksisitas detergen dan pewarna kain sintetis terhadap bioindikator anggang-anggang dapat dipahami secara komprehensif. Selain itu, penelitian serupa dapat dilakukan pada spesies Gerridae lainnya pada habitat sawah, mengingat luasnya dampak pencemaran yang dapat terjadi akibat detergen dan pewarna kain sintetis yang masuk ke areal persawahan akibat dari sistem irigasi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Prof. Dr. Drs. I Ketut Junitha, MS, Bapak Drs. Deny Suhernawan Yusup, MSc.St, dan Bapak Drs. Joko Wiryatno, M.Si atas sumbangsih kritik dan sarannya.

KEPUSTAKAAN

Agustina, T. E., E. Nurisman, Prasetyowati, N. Haryani, L. Cundari, A. Novisa, O. Khristina. 2011. Pengolahan Air Limbah Pewarna Sintetis dengan Menggunakan Reagen Fenton. Naskah Prosiding Seminar Nasional AVoER ke-3. Palembang 26-27 Oktober.

American Public Health Association. 1999. Standard Methods for the Examination of Water and Wastewater. Joint Editorial Board: America.

Aidley, D. J. 1967. The Excitation of Insect Skeletal Muscles. In: Beament, J.W.L, J.E. Treherne, V.B Wigglesworth, editors, Advances in Insect Physiology. Academic Press: New York.

Beament, J. W. L. 1944. The Citicular Lipoids of Insects. Agricultural

Research Council Unit of Insect Physiology: London.

Bellinger, E. G., and D. C. Sigee. 2010. Fresh Water Algae: Identification and Use as Bioindicators. John Willey & Sons, Ltd: UK.

Boyd, C. E. 2005. LC50 Calculations Help Predict Toxicity. Auburn University: USA.

Budiawan, Y. Fatisa., dan N. Khairani. 2009. Optimasi Biodegrd-abilitas dan Uji Toksisitas Hasil Degradasi Surfaktan Linear Alkilbenzena Sulfonat (LAS) sebagai Bahan Deterjen Pembersih. Jurnal Makara Sains, 13(2): 125-133.

Elfiah, U. 2007. Pengaruh Pemberian PbB Asetat Dosis Tinggi terhadap Ketebalan Mielin N. Ischiadicus Tikus Putih (Rat-tus norvegicus). Jurnal Kedokteran Brawijaya, 23(1): 1-5.

Enujiugha, V. N., and L. C. Nwanna. 2004. Aquatic Oil Pollution Impact Indicators. Journal of Applied Sciences and Environmental Management, 8(2):71-75.

Evans, A. V., and R. W. Garrison. 2004. Grzimeks’s Animal Life Encyclopedia: Volume 3 Insects. Gale Group, Inc: USA.

Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kansius: Bogor.

Fitri, A., K. Widyaningrum, S. Marhamah, Nurhasanah, N. Fitri. 2012. Sistem Saraf Invertebrata, Toksisitas Racun Laba-laba Nephila sp. pada Larva Aedes aegypti dan Kerusakan Saraf Insekta Akibat Insektisida. Universitas Jambi: Jambi.

Gullan, P. J., and P. S. Cranston. 2005. The Insect: An Outline of Entomology. Blackwell Publishing Ltd: UK.

Kopciuch, G., B. Berecka, J. Bartoszewicz, B. Buszewski. 2004. Some Considerations About Bioindicators in Environmental Monitoring. Polish Journal of Environmental Studies (PJES), 13(5): 453-462.

Lewis, M. A. 1991. Chronic and Sublethal Toxicities of Surfactans to Aquatic Animals: A Review and Risk Assessment. Journal Wat.Res., 25(1): 101-113.

Mokoagouw, D. 2008. Indeks Kenakeragaman Biota Perairan Sebagai Indikator Biologis Pencemaran Logam Berat di Perairan Pantai Bitung, Sulawesi Utara. Jurnal Ekoton, 8(2): 31-40.

Patnaik, P. 2010. Handbook of Environmental Analysis; Chemical Pollutants in Air, Water, Soil, and Solid Wastes. Taylor and Francis Group: USA.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001.

Rejeki, S., Desriana., A. R. Mulyana. 2006. Chronic Affects of Detergent Surfactant (Linear Alkylbenzene Sulfonate / LAS) on The Growth and Survival Rate of Sea Bass (Lates Calcalifer Bloch). (serial online), [cited 20104 Oktober 15]. Available from: http://eprints.undip.ac.id/491/.

Rizali, A., D. Buchori, H. Triwidodo. 2002. Keanekaragaman Serangga pada Lahan Persawahan-Tepian Hutan: Indikator untuk Kesehatan Lingkungan. Jurnal Hayati, 9(2): 41-48.

Samways, M. J., M. A. McGeoch, T. R. New. 2010. Insect Conservation; A Handbook of Approaches and Methods. Oxford University Press Inc: New York.

Schowalter, T. D. 2006. Insect Ecology: An Ecosystem Approach. Elsevier: USA.

Shahabuddin. 2004. Potensi dan Metode Penggunaan Serangga Sebagai Bioindikator Kesehatan Hutan (Potential and Methods of Using Insects as Bioindicator of Forest Health). Program Doktoral Entomologi Pertanian: IPB.

Sopiah, R. N., Chaerunisah. 2006. Laju Degradasi Surfaktan Linear Alkil Benzena Sulfonat (LAS) pada Limbah Deterjen secara Anaerob pada Reaktor Lekat Diam Bermedia Sarang Tawon. Jurnal Teknologi Lingkungan, 7 (3): 243-250.

Sudarso, Y., Y. Wardiatno, I. Sualia. 2008. Pengaruh Kontaminasi Logam Berat di Sedimen terhadap Komunitas Bentik Mak-roavertebrata: Studi Kasus di Waduk Saguling-Jawa Barat. Jurnal Ilmu –ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, 15(1): 49-59.

Sudarso, Y. 2009. Potensi Larva Trichoptera sebagai Bioindikator Akuatik. Jurnal Oseanologi dan Limnologi, 35(2): 201-215.

Suharjono. 2010. Pemberdayaan Komunitas Pseudomonas untuk

Bioremidiasi Ekosistem Air Sungai Tercemar Limbah Deterjen. Jurusan Biologi Universitas Brawijawa: Malang.

Susana, T., dan R. Rositasari. 2009. Dampak Detergen terhadap Foraminifera di Kepulauan Seribu Bagian Selatan Teluk Jakarta. Jurnal Oseanologi dan Limnologi, 35(3): 335-352.

Swasta, I. B.J. 2003. Diktat Ekologi Hewan. Jurdik Biologi Un-diksha: Singaraja.

Tai, L. H. T. 2000. Formulating Detergents and Personal Care Products: A Guide to Product Development. AOCS Press: France.

Wardhana, W. 1999. Perubahan Lingkungan Perairan dan Pengaruhnya terhadap Biota Akuatik. Jurusan Biologi Universitas Indonesia: Depok.

Wardhana, W. A. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi Offset: Yogyakarta.

20