JURNAL BIOLOGI XVIII (1) : 24 - 27

ISSN : 1410-5292

PENGARUH STEROID ANABOLIK METHANDIENONE

TERHADAP KUANTITAS SPERMATOZOA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

THE EFFECT OF ANABOLIC STEROID OF METHANDIENONE TO PRODUCTION OF SPERMATOZOA IN ALBINO RATS (Rattus norvegicus)

Nurul Marfu’ah1, I Wayan Kasa1, Sagung Chandra Yowani2 1Program Studi Magister Ilmu Biologi, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Bali 2Jurusan Farmasi, Fakultas MIPA, Universitas Udayana, Bali

Email: nurul_marfuah@ymail.com

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh steroid anabolik methandienone terhadap kuantitas spermatozoa tikus putih (Rattus norvegicus). Pemeriksaan kuantitas spermatozoa dilakukan pada testis dan epididimis kauda. Testis dibuat sebagai sediaan preparat dengan metode parafin dan pewarnaan Hematoxylin-Eosin kemudian dilakukan penghitungan jumlah spermatogonia, spermatosit, dan spermatid. Penghitungan jumlah spermatozoa epididimis kauda dilakukan berdasarkan prosedur WHO dalam Syamrizal (1995). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata kuantitas spermatozoa antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Meskipun demikian, rerata kuantitas spermatozoa menunjukkan kecenderungan menurun. Hal ini ditunjukkan oleh rerata jumlah spermatogonia yang mengalami kecenderungan menurun pada dosis 6 dan 12 mg/kg bb. Rerata jumlah spermatosit antar kelompok perlakuan juga menunjukkan kecenderungan menurun. Begitu pula rerata jumlah spermatid dan spermatozoa juga menunjukkan kecenderungan menurun.

Kata kunci: steroid anabolik, methandienone, kuantitas spermatozoa, tikus putih.

ABSTRACT

This study aimed to determine the effect of anabolic steroid methandienone to production of spermatozoa in albino rats (Rattus norvegicus). Examination of the quantity of spermatozoa was performed on testis and cauda epididymal. Testis preparations were made in paraffin and stainned in Hematoxylin-Eosine, then the spermatogonia, spermatocytes, and spermatids were counted. The cauda epididymal spermatozoa were conducted following the WHO procedure in Syamrizal (1995). The results showed that the average quantity of spermatozoa between the control group and the treatment group was not significantly different (P>0.05). However, the average quantity of spermatozoa showed declining trend. The average number of spermatogonia cells experienced a declining trend in doses of 6 and 12 mg/kg of body weight. Similar trend was observed on the average number of spermatocytes cells among treatment groups and the average number of spermatids and spermatozoa.

Keyword: anabolic steroid, methandienone, production of spermatozoa, albino rats.

PENDAHULUAN

Steroid anabolik merupakan senyawa kimia derivat hormon testosteron (Chudik, 2003). Senyawa ini dalam bidang medis digunakan untuk pengobatan defisiensi testosteron, pubertas tertunda, anemia, kanker payudara, dan kerusakan jaringan oleh virus HIV. Penggunaan steroid anabolik pada perkembangannya banyak disalahgunakan oleh atlet, binaragawan, dan pengguna lainnya untuk meningkatkan kemampuan atletik, kekuatan otot, dan memperbaiki penampilan. Dosis yang disalahgunakan biasanya 10 sampai 100 kali lebih tinggi dari dosis yang digunakan dalam kondisi medis (DEA, 2013). Penyalahgunaan ini sangat berbahaya karena dapat mengakibatkan efek samping berupa maskulinisasi perempuan, gineko-mastia pada laki-laki, atrofi testis, stretch mark, gangguan musculoskeletal, jerawat, gangguan hepar, gangguan kardiovaskular, gangguan perilaku dan kepribadian,

kerusakan jaringan, cedera saraf, kelumpuhan, bahkan sampai kematian (Chudik, 2003).

Beberapa penelitian menggunakan steroid anabolik yang menyebabkan penurunan pada kuantitas spermatozoa di antaranya adalah penggunaan nandrolone decanoate dosis 0,4; 3 dan 10 mg/kg bb yang diberikan selama 14 minggu pada tikus putih (Karbalay-Doust et al., 2007), nandrolone decanoate dosis 3 dan 10 mg/ kg bb pada tikus putih (Tahtamouni, 2010), nandrolone decanoate dosis 0,5 mg/kg bb yang diberikan selama 4 minggu pada tikus putih (Foletto et al., 2010), nan-drolone decanoate dosis 0,005 ppm dan 0,5 ppm yang diberikan selama 6 minggu pada tikus putih (Lee et al., 1990), boldenone undecylenate dosis 4,5 dan 9 mg/kg bb yang diberikan selama 3 minggu pada kelinci (Thabet et al., 2010), testoviron dosis 0,5 ml/hari yang diberikan selama 14 minggu pada tikus putih (Hijazi et al., 2012).

Methandienone merupakan salah satu jenis steroid

anabolik yang banyak digunakan untuk mendapatkan efek anaboliknya. Efek anabolik senyawa ini dapat meningkatkan pembentukan otot pada penggunanya, namun efek androgeniknya dapat menekan sintesis hormon testosteron (Llewellyn, 2007). Rendahnya kadar hormon testosteron dapat mengganggu spermatogenesis dan menyebabkan penurunan kuantitas spermatozoa (Stojanovic dan Ostojic, 2012; Moos et al., 2013). Penelitian menggunakan steroid anabolik methandienone yang menyebabkan penurunan pada jumlah spermatozoa adalah penelitian yang dilakukan oleh Holma (1976), dengan dosis 15 mg/hari selama 1 bulan dan 2 bulan pada 15 atlet laki-laki.

Berdasarkan hal di atas, pada penelitian ini diteliti pengaruh steroid anabolik methandienone dosis 0; 1,5; 3; 6; dan 12 mg/kg bb terhadap kuantitas spermatozoa tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar yang dilakukan selama 50 hari. Kuantitas spermatozoa meliputi jumlah spermatogonia, spermatosit, spermatid, dan spermatozoa epididimis kauda.

MATERI DAN METODE

Tikus putih jantan yang digunakan pada penelitian ini merupakan galur Wistar dengan umur 3-4 bulan, dan berat badan 200-250 gram. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakognosi dan Fitofarmasi, Jurusan Farmasi, FMIPA; Laboratorium Virologi dan Patologi Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan; dan Laboratorium Histologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana pada bulan September 2013 sampai Februari 2014. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan. Methandienone yang digunakan berupa tablet dengan dosis 0; 1,5; 3; 6; dan 12 mg/kg bb diberikan secara oral selama 50 hari.

Penghitungan Jumlah Spermatogonia, Sperma-tosit, dan Spermatid

Tikus putih dibius di dalam toples dengan menambahkan kapas yang telah ditetesi eter. Setelah itu tikus putih dibedah untuk diambil organ testis kanan dan epididimis kanan bagian kauda. Testis dimasukkan botol vial yang berisi larutan NBF 10%, kemudian dibuat sediaan histologi yang dilakukan dengan metode parafin dan teknik pewarnaan Hematoxylin-Eosine menurut Luna (1968).

Testis direndam di dalam alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 96%, etanol 2 kali, toluene 2 kali dan parafin cair 2 kali (suhu 60oC) masing-masing selama 2 jam. Kemudian dilakukan pengeblokan dengan parafin dan disimpan di dalam refrigerator. Pemotongan dilakukan menggunakan mikrotom kemudian hasil sayatannya diletakkan di atas gelas objek dan diletakkan di atas alat pemanas dengan suhu 60oC. Pewarnaan dilakukan dengan merendam gelas objek di dalam xylol 3 kali dan etanol 2 kali masing-masing selama 5 menit. Kemudian direndam dalam aquades 1 menit, Hematoxylin 15 menit, aquades 1 menit, alkohol+acid 4-5 celupan, aquades 1 menit, aquades lagi selama 15 menit, Eosine 1% 2 menit, alkohol 96% 3 kali masing-masing selama 3 menit, etanol 2 kali masing-masing selama 5

menit, dan xylol 2 kali masing-masing selama 5 menit. Tahap akhir ditambahkan perekat Entellan kemudian ditutup dengan gelas penutup.

Sediaan histologi testis dengan ketebalan 5 µm diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400x dan dibuat foto. Pengamatan dilakukan pada 10 tubulus seminiferus untuk masing-masing perlakuan dan ulangan, kemudian hasilnya dirata-rata. Menurut Syamrizal (1995), parameter yang diamati meliputi penghitungan jumlah spermatogonia, spermatosit, dan spermatid menggunakan alat bantu hand counter.

Penghitungan Jumlah Spermatozoa

Penghitungan jumlah spermatozoa epididimis kauda dilakukan berdasarkan prosedur WHO (1988). Epididimis kanan bagian kauda dicacah dalam 10 ml NaCl 0,9% sehingga terbentuk suspensi spermatozoa, kemudian diambil dengan pipet sel darah merah sampai skala 0,5. Selanjutnya diteteskan pada Haemocytometer dan diperiksa di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 400x. Rerata jumlah spermatozoa dihitung per 25 segi empat besar. Faktor pengenceran suspensi spermatozoa tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Faktor Pengenceran Suspensi Spermatozoa

Rata-rata jumlah spermatozoa per 25 segi empat besar

Jumlah spermatozoa (juta/ml)

Faktor pengenceran

< 20

< 20

1:10

20 – 100

20 – 100

1:20

>100

>100

1:50

Penentuan jumlah segi empat yang harus dihitung dilakukan dengan menentukan terlebih dahulu faktor koreksi yang berpedoman pada besarnya pengenceran. Faktor koreksi yang digunakan tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Faktor Koreksi

Pengenceran

Jumlah segi empat besar yang dicacah

25

10

5

1:10

10

4

2

1:20

5

2

1

1:50

2

0,8

0,4

Seluruh segi empat yang jumlahnya 25 harus dihitung jika suspensi yang sudah diencerkan mengandung kurang dari 10 spermatozoa setiap segi empat. Segi empat harus dihitung sebanyak 10 jika suspensi yang sudah diencerkan mengandung 10-40 spermatozoa setiap segi empat. Segi empat hanya dihitung sebanyak 5 jika suspensi yang sudah diencerkan mengandung lebih dari 40 spermatozoa setiap segi empat. Jumlah yang diperoleh dari hasil penghitungan tersebut dibagi dengan faktor koreksi yang tercantum pada Tabel 2. Hasilnya adalah jumlah spermatozoa dalam juta/ml.

HASIL

Data mengenai rerata jumlah spermatogonia disajikan pada Tabel 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata jumlah spermatogonia antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Pada perlakuan 1,5 mg/kg bb dan 3 mg/

kg bb rerata jumlah spermatogonia cenderung meningkat masing-masing sebesar 3,2% dan 3,6% jika dibandingkan dengan kontrol. Namun, pada perlakuan 6 mg/kg bb dan 12 mg/kg bb rerata jumlah spermatogonia cenderung menurun masing-masing sebesar 1,7% dan 1,8% jika dibandingkan dengan kontrol.

Tabel 3. Rerata Jumlah Spermatogonia dan Spermatosit

Perlakuan

n (ekor)

Jumlah Spermatogonia ± SD

Jumlah Spermatosit ± SD

0 mg/kg bb

6

58,52 ± 4,13 a

58,73 ± 8,51 a

1,5 mg/kg bb

6

60,40 ± 6,08 a

64,68 ± 5,06 a

3 mg/kg bb

6

60,65 ± 6,90 a

63,87 ± 6,68 a

6 mg/kg bb

6

57,53 ± 7,02 a

61,40 ± 2,49 a

12 mg/kg bb

6

57,45 ± 6,29 a

61,03 ± 3,19 a

Keterangan :

a = Tidak ada perbedaan yang signifikan pada taraf 5%

n = Jumlah hewan coba

SD = Standar Deviasi

Data mengenai rerata jumlah spermatosit disajikan pada Tabel 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata jumlah spermatosit antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Meskipun demikian, rerata jumlah spermatosit pada kelompok perlakuan cenderung meningkat jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Mulai perlakuan 1,5 mg/kg bb sampai 12 mg/kg bb rerata jumlah spermatosit cenderung meningkat masing-masing sebesar 10,1%; 8,8%; 4,5% dan 3,9%.

Data mengenai rerata jumlah spermatid disajikan pada Tabel 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata jumlah spermatid antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Meskipun demikian, rerata jumlah spermatid pada kelompok perlakuan cenderung menurun jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Mulai perlakuan 1,5 mg/kg bb sampai 12 mg/kg bb rerata jumlah spermatid cenderung menurun masing-masing sebesar 7,1%; 8,7%; 13,9% dan 18,4%.

Tabel 4. Rerata Jumlah Spermatid dan Spermatozoa Epididimis Kauda

Perlakuan

n (ekor)

Jumlah Spermatid ± SD

Jumlah Spermatozoa Epididimis Kauda (juta/ ml) ± SD

0 mg/kg bb

6

115,95 ± 44,43 a

11,50 ± 1,53 a

1.5 mg/kg bb

6

107,67 ± 12,98 a

11,48 ± 3,30 a

3 mg/kg bb

6

105,87 ± 15,12 a

11,37 ± 1,05 a

6 mg/kg bb

6

99,87 ± 14,96 a

10,82 ± 2,26 a

12 mg/kg bb

6

94,58 ± 32,55 a

10,70 ± 0,94 a

Keterangan :

a = Tidak ada perbedaan yang signifikan pada taraf 5% n = Jumlah hewan coba

SD = Standar Deviasi

Data mengenai rerata jumlah spermatozoa epididimis kauda disajikan pada Tabel 4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata jumlah spermatozoa epididimis kauda antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Meskipun demikian, rerata jumlah spermatozoa epididimis kauda pada kelompok perlakuan cenderung menurun jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Mulai perlakuan 1,5 mg/kg bb sampai 12 mg/kg bb rerata jumlah spermatozoa epididimis kauda

cenderung menurun masing-masing sebesar 0,2%; 1,1%; 5,9% dan 7%.

PEMBAHASAN

Rerata jumlah spermatogonia antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Rerata jumlah spermatogonia pada perlakuan 1,5 mg/kg bb dan 3 mg/kg bb cenderung meningkat jika dibandingkan dengan kontrol, sedangkan pada perlakuan 6 mg/kg bb dan 12 mg/kg bb cenderung menurun jika dibandingkan dengan kontrol. Hal ini memberikan indikasi bahwa pemberian steroid anabolik methandienone dapat menurunkan jumlah spermatogonia jika diberikan dalam jumlah berlebih.

Rerata jumlah spermatosit antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Meskipun demikian, rerata jumlah spermatosit pada kelompok perlakuan cenderung meningkat jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini memberikan indikasi bahwa steroid anabolik methandienone yang diberikan pada dosis rendah justru menyebabkan peningkatan jumlah spermatosit. Sedangkan jika dosisnya ditingkatkan akan menyebabkan jumlah spermatosit mengalami penurunan.

Rerata jumlah spermatid dan spermatozoa epididimis kauda antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Meskipun demikian, rerata jumlah spermatid dan spermatozoa epididimis kauda pada kelompok perlakuan cenderung menurun jika dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Penurunan jumlah spermatogonia, spermatid, dan spermatozoa epididimis kauda disebabkan oleh mekanisme umpan balik negatif oleh steroid anabolik. Kadar steroid di dalam darah yang berlebih karena perlakuan akan menyebabkan sel Sertoli menghasilkan hormon inhibin untuk menghambat sekresi FSH dan LH di hipofisis anterior. Selain itu, steroid juga akan menghambat sekresi FSH dan LH dengan menghambat sekresi GnRH dari hipotalamus (Ganong, 2002; Geneser, 1990; Guyton, 1990; Handayani, 2001; Wistuba et al., 2007). Menurunnya sintesis LH akan menyebabkan menurunnya sintesis hormon testosteron oleh sel Leydig di testis. Sedangkan menurunnya sintesis FSH akan mempengaruhi kinerja sel Sertoli. Terganggunya fungsi sekresi sel Sertoli dan sel Leydig menyebabkan terganggunya spermatogenesis (Bashandy, 2006). Spermatogenesis yang terganggu menyebabkan terjadinya atrofi pada sel spermatogenik di testis (Stojanovic dan Ostojic, 2012; Moos et al., 2013) yang akhirnya menyebabkan penurunan jumlah spermatozoa (Astuti dkk., 2008).

Penurunan jumlah spermatogonia, spermatid, dan spermatozoa dipengaruhi juga oleh adanya apoptosis sel. Apoptosis sel adalah kematian sel yang terprogram karena perubahan morfologi dan biokimia sel. Apoptosis dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor ekstrinsik yang paling mempengaruhi adalah radiasi, kemoterapi dan senyawa toksik (Irawati, 2008). Kadar steroid di dalam darah yang berlebih karena perlakuan menyebabkan ketidakseimbangan hormonal di dalam

tubuh yang dapat memicu terjadinya stres (Rudiono, 2005). Spermatogonia, spermatid, dan spermatozoa mudah terganggu oleh stres oksidatif karena membran selnya banyak mengandung asam lemak tak jenuh rantai ganda. Stres oksidatif dapat merusak integritas DNA di nukleus dan dapat menginduksi terjadinya apoptosis sel (Irawati, 2008).

Penurunan jumlah spermatozoa oleh steroid anabolik didukung oleh beberapa penelitian diantaranya adalah penggunaan methandienone dosis 15 mg/hari pada atlet laki-laki (Holma, 1976), methandienone pada laki-laki dewasa (McLeod, 1951), boldenone undecylenate dosis 4,5 dan 9 mg/kg bb pada kelinci (Thabet et al., 2010), sustanon pada tikus putih (Rasul dan Aziz, 2012), nandrolone decanoate dosis 0,4; 3 dan 10 mg/kg bb pada tikus putih (Karbalay-Doust et al., 2007), nandrolone decanoate dosis 0,5 mg/kg bb pada tikus putih (Foletto et al., 2010), nandrolone decanoate dosis 3 dan 10 mg/ kg bb pada tikus putih (Tahtamouni, 2010), nandrolone decanoate dosis 2,5 mg/minggu yang diberikan selama 13 minggu pada mencit (Purkayastha dan Mahanta, 2012), testoviron dosis 0,5 ml/hari pada tikus putih (Hijazi et al., 2012).

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pemberian steroid anabolik methandienone dosis 0; 1,5; 3; 6 dan 12 mg/kg bb pada tikus putih jantan galur Wistar selama 50 hari menyebabkan kecenderungan penurunan kuantitas spermatozoa (jumlah spermatogonia, spermatosit, spermatid, spermatozoa) yang tidak berbeda nyata.

SARAN

Dosis methandienone yang dapat menyebabkan terjadinya toksisitas akut, subakut, maupun kronis perlu diketahui terkait kerusakan pada organ vital.

KEPUSTAKAAN

Astuti, S., D. Muchtadi, M. Astawan, B. Purwantara, T. Wresdiyati. 2008. Pengaruh Pemberian Tepung Kedelai Kaya Isoflavon, Seng (Zn), dan Vitamin E terhadap Kadar Hormon Testosteron Serum dan Jumlah Sel Spermatogenik pada Tubuli Seminiferi Testis Tikus Jantan. JITV, 13 (4):288-294.

Bashandy, A.E.S. 2006. Effect of The Fixed Oil Nigella sativa on Male Fertility in Normal and Hiperglipidemic. Intl. J. Pharmacol, 2(1):104-109.

Chudik, S.C. 2003. Anabolic Steroid. (serial online), [cited 2013 Agust. 27]. Available from: http://www.hoasc.com/pdf/ R03-literature.pdf.

DEA (Drug Enforcement Administration). 2013. Anabolic Steroids. (serial online), [cited 2013 Sept. 15]. Available from: http:// www.anabolic_steroids.pdf.

Foletto, M.P., C. Mareze-Costa, F. Ferrari, Franzoi-de-Moraes, T.M. Segatelli. 2010. Effect of The Nandrolone decanoate on The Efficiency of Spermatogenesis of Sedentary Rats and Rats Subjected to Physical Training. Maringa, 32(1):17-22.

Ganong, W.F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 20. (Dewi Irawati, Minarma Siagian, Dangsina Moeloek, Brahm

U. Pendit dan H.M Djauhari Widjajakusumah, Pentj.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).p.408-417.

Geneser, F. 1990. Buku Teks Histologi Jilid 2. (Arifin Gunawijaya, Pentj.). Jakarta: Binarupa Aksara.p.310-341.

Guyton, A.C. 1990. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit Edisi 3. (Petrus Andrianto, Pentj.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).p.729-739.

Handayani, N. 2001. Fisiologi Reproduksi. Malang: Universitas Negeri Malang.p.01-29.

Hijazi, M.M., M.A. Azmi, A. Hussain, S.N.H. Naqvi, R. Perveen, Safia. 2012. Androgenic Anabolic Steroidal-Based Effect on The Morphology of Testicular Structure of Albino Rats. Pakistan J. Zool, 44(6):1529-1537.

Holma, P.K. 1976. Effect of an Anabolic Steroid (Methandienone) on Spermatogenesis. Journal Contraception, 15 (2):151-162.

Irawati, O. 2008. “Indonesia Peringkat Empat Dunia Pasien Diabetes”. Kompas, 16 Oktober, hal: 8, kol: 4.

Karbalay-Doust, S., A. Noorafshan, F.M. Ardekani, H. Mirkhani. 2007. The Reversibility of Sperm Quality After Disccontinuing Nandrolone Decanoate in Adult Male Rats. Asian. J. Androl, 9(2):235-239.

Lee, L.Y, D.M. Henrick, Skelley, L.W. Grimes. 1990. Growth and Hormonal Responses of Intact and Castrate Male Cattle to Trenbolone Acetate and Estradiol. Journal Animal Sciences, 68:26-82.

Llewellyn, W. 2007. Anabolic Edisi 6. (serial online), [cited 2013 Agust. 18]. Available from: Http://www.A2007_dianabol_ profile.pdf (SECURED).

Luna, L.G. 1968. Manual of Histologic Staining Methods of the Armed Forces Institute of Pathology Edisi ke-3. New York: The Blakiston Division McGraw-Hill Book Company.p.245-302.

McLeod, J. 1951. Semen Quality in One Thousand Men of Known Fertility and in Eight Hundred Cases of Infertile Marriages. Fertil and Steril, 2:115.

Moos, J.L., L.E. Crosnoe, E.D. Kim. 2013. Effect of Rejuvenation Hormones on Spermatogenesis. Journal of Fertility and Sterility, 5 (1):1-8.

Purkayastha, S., dan R. Mahanta. 2012. Effect of Nandrolone Decanoate on Serum FSH, LH and Testosterone Concentration in Male Albino Mice. World J. Life Sci. and Medical Research, 2(3):123.

Rasul, K.H., dan F.M. Aziz. 2012. The Effect of Sustanon (Testosterone Derivatives) Taken by Athletes on The Testis of Rat. Jordan Journal of Biological Sciences, 5(2):113-119.

Rudiono, D. 2005. Pengaruh Hormon Testosteron dan Umur terhadap Perkembangan Otot pada Kambing Kacang Betina. Animal Production, 9(2):59-66.

Stojanovic, M.D., dan S.M. Ostojic. 2012. Limits of Anabolic Steroids Application in Sport and Exercise. J.Intech, 01:169-186.

Syamrizal. 1995. Pengaruh Asam Metoksiasetat terhadap Organ Reproduksi dan Fertilitas Mencit (Mus musculus) Albino Swiss Webster Jantan (tesis). Bandung: ITB.

Tahtamouni, L.H., N.H. Mustafa, I.M. Hassan, I.M. Ahmad, S.R. Yasin, M.Y. Abdalla. 2010. Nandrolone Decanoate Administration to Male Rats Induces Oxidative Stress, seminiferus Tubules Abnormalities, and Sperm DNA Fragmentation. Jordan Journal of Biological Sciences, 3(4):165-174.

Thabet, N.S., E.M. Abdelrazek, E.W. Ghazy, S.S. Elballal. 2010. Effect of The Anabolic Steroid, Boldenone Undecylenate on Reproductive Performance of Male Rabbits. Journal of Reproduction and Infertility, 1(1):08-17.

WHO. 1988. Penuntun Laboratorium WHO untuk Pemeriksaan Semen Manusia dan Interaksi Semen-Getah Serviks. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.p.03-14.

Wistuba, J., J.B. Stukenborg, C.M, Luetjens. 2007. Mammalian Spermatogenesis. Journal Functional Development and Embryology,1(2):99-117.

27