Efektivitas Pemberian Mol Tape Singkong sebagai Bioaktivator terhadap Pengomposan Sampah Organik
on
JURNAL BETA (BIOSISTEM DAN TEKNIK PERTANIAN Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana http://ojs.unud.ac.id/index.php/beta
Volume 11, Nomor 2, bulan September, 2023
Efektivitas Pemberian Mol Tape Singkong Sebagai Bioaktivator Terhadap Pengomposan Sampah Organik
The Effectiveness of Giving Cassava Mole Tape as A Bioactivator Against Organic Waste Composting
Pipid Ari Wibowo, Anastita Amaliya Fahrum*, Retno Widiarini
Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKes Bhakti Husada Mulia, Madiun, Jawa Timur, Indonesia
*email: [email protected]
Abstrak
Aktivitas rumah tangga menimbulkan tumpukan sampah di Perumahan Kelun, Kecamatan Kartoharjo dengan estimasi sampah setiap rumah tangga menghasilkan 28 kg/hari dan 10.200 kg/tahun. Pengomposan adalah metode yang tepat untuk mengolah sampah rumah tangga dengan bioaktivator mol tape singkong. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui perbedaan efektivitas mol tape singkong sebagai bioaktivator terhadap lama waktu pengomposan dengan variasi dosis kontrol, 15 ml, dan 30 ml. Penelitian ini menggunakan eksperimen dengan pendekatan post test only one control group design. Parameter yang diamati antara lain indikator fisik (suhu dan kelembaban), uji kandungan unsur hara nitrogen, dan C-Organik. Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian mol tape singkong dosis 30 ml mampu mengomposkan selama 10 hari dengan indikator parameter fisik suhu 40oC, kelembaban 50%, kandungan nitrogen 12,57%, dan C-Organik 15,49% sesuai standar Permentan 2011.
Kata Kunci: lama waktu pengomposan, mol tape singkong, sampah organik
Abtract
Household activities generate piles of garbage in the Kelun Housing, Kartoharjo District has an estimated waste generation of 28 kg/day and 10,200 kg/year. Composting is the best method for treating household waste with cassava tape mole bio-activator. This study aimed to determine the difference in the effectiveness of cassava tape mole as a bio activator on the length of time for composting with variations in control doses of 15 ml and 30 ml. This study uses an experimental approach with a post-test with only one control group design. Parameters observed included physical indicators (temperature and humidity), nitrogen content test, and C-Organic. The results showed that the 30 ml dose of cassava tape mole was able to compost in 10 days with physical parameter indicators of temperature 40oC, humidity 50%, nitrogen content 12.57%, and C-Organic 15.49% (according to the 2011 Ministry of Agriculture standards).
Keywords: cassava tape mole, long composting time, organic waste
PENDAHULUAN
Sampah adalah hasil dari kegiatan sehari-hari manusia yang keberadaannya tidak dapat dihindari dan harus dikelola dengan baik, apabila pengelolaan sampah yang tidak dikelola dengan baik maka akan mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan serta dampak lainnya ( Habullah et al., 2019). Secara umum sampah terdiri atas dua kelompok yaitu jenis sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik adalah sampah yang mudah terurai sedangkan sampah anorganik adalah sampah yang sulit teruraikan. Sampah organik yang bersumber dari rumah tangga seringkali dilakukan pengolahan dengan cara dibakar dan menghasilkan polutan bagi lingkungan sekitar (Mardwita et al., 2019). Sebagian besar sampah rumah tangga terdiri atas sampah organik yang mudah membusuk seperti sisa-sisa makanan, sayuran, buah-buahan, dedaunan, dan sebagian kecil sampah non organik seperti botol plastik serta kaleng bekas (Kaleka, 2020).
Berdasarkan data dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2019 komposisi sampah berdasarkan sumbernya, 2019 sebesar 39,75% juga bersumber dari rumah tangga dengan jenis sampah yang dihasilkan yaitu sisa makanan sebesar 40,34% sedangkan tahun 2020 mengalami peningkatan dengan komposisi sampah berdasarkan sumbernya juga didominasi oleh sampah rumah tangga sebesar 40,39% dengan jenis sampah yang dihasilkan paling banyak yaitu sisa makanan sebesar 40,23%. Hal ini membuktikan bahwa adanya peningkatan dari tahun ke tahunnya. Ekawandani & Kusuma (2018) menyatakan bahwa semakin bertambahnya aktivitas sehari-hari rumah tangga yang dilakukan, dapat menimbulkan semakin meningkatnya sampah sayuran yang dihasilkan yang dapat menyebabkan tumpukan sampah dengan bau tidak sedap serta pencemaran lingkungan sekitar sehingga menjadi sumber penyakit yang berdampak pada masyarakat sekitar.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan dengan cara pengamatan langsung di lingkungan Perumahan Kelun RT.11 Kecamatan Kartoharjo dimana jumlah warga terbanyak yaitu 70 jiwa dan estimasi setiap rumah tangga menghasilkan 28 kg/hari dan 10.200 kg/tahun sampah. Dari hasil pengamatan langsung di RT 11 tersebut menunjukan bahwa komposisi sampah berdasarkan jenisnya mendominasi yaitu sampah basah (sisa makanan, sayuran, buah-buahan) dan jenis sampah lainnya serta terdapat sampah kering (kertas, plastik) yang dihasilkan dalam skala rumah tangga. Sampah rumah tangga merupakan penghasil sampah terbesar dan hampir setiap rumah tangga menghasilkan sampah. Jumlah dan jenis sampah bergantung pada banyak. Salah satu upaya agar tidak menimbulkan permasalahan baru yaitu dengan melakukan pengelolaan sampah yang tepat secara preventif. Pengelolaan sampah yang tepat dilakukan secara preventif dengan menerapkan prinsip 4M yang merupakan salah suatu pendekatan mengolah sampah dari sumbernya dengan konsep minimasi dan sederhana. Konsep penanganan sampah dengan prinsip 4M yaitu mengurangi, menggunakan kembali, replace menggantikan dan mendaur ulang sampah mulai dari sumbernya. Salah satu upaya dari prinsip 4M yang dapat dilakukan adalah dengan cara menggunakan kembali sampah untuk usaha pengomposan (Kaleka, 2020).
Kompos merupakan bahan organik yang telah mengalami dekomposisi dengan bantuan organisme hidup seperti mikroorganisme. Bahan organik yang terkandung dalam kompos dapat berasal dari sayuran, buah-buahan atau sisa makanan dan kotoran ayam (Mardwita et al., 2019). Menurut Wanitaningsih (2013) mengatakan bahwa cara mengubah sampah menjadi kompos yaitu dengan menggunakan metode Keranjang Takakura. Selain itu keunggulan menggunakan metode takakura yaitu praktis dan mudah diterapkan. Menurut penelitian sebelumnya Soeryoko (2010) pengomposan menjadi alternatif pengelolaan sampah untuk jenis sampah organik serta dalam proses pembuatannya pengomposan tidak berdampak negatif bagi lingkungan sekitar. Menurut Raja et al. (2012) menyatakan bahwa kompos dengan bahan organik buah-buahan dan sayuran mempunyai kandungan yang baik untuk kelangsungan hidup mikroorganisme. Selain memiliki kandungan yang baik dalam proses pengomposan juga diperlukan bioaktivator untuk mempercepat kompos menjadi matang. Menurut Prasetyo & Suryadi (2017) mengatakan bahwa memang di pasaran sudah tersedia banyak aktivator yang berbentuk cair maupun serbuk. Produk semacam ini mudah dibeli dan ditemukan di toko, namun pada kenyataanya
pembuatan biaktivator sangat mudah dilakukan tanpa memerlukan biaya. Menurut penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Royaeni et al. (2014) pada proses pengomposan bioaktivator sering dikenal sebagai stater dimana bioaktivator tersebut mengandung mikroorganisme yang merupakan salah satu faktor terpenting dalam proses pengomposan. Salah satu bioaktivator yaitu mikroorganisme lokal (MOL). Mikroorganisme lokal (MOL) merupakan kumpulan dari beberapa mikroorganisme yang dapat dibudidayakan dan mempunyai fungsi sebagai stater serta dalam proses pembuatanya ramah lingkungan karena memafaatkan bahan yang sudah ada di sekitar (Roeswitawati, 2018). Salah satu contoh pemberian MOL untuk pupuk organik yaitu tape singkong. Menurut penelitian Santoso & Prakosa (2010) mengatakan bahwa tape singkong dapat dimanfaatkan sebagai bioaktivator yang mengandung berbagai macam mikroorganisme contohnya seperti Saccharomyces, Cerevisiae Rhizopousoryzae, Endomycopsisburtonii, Mucrosp, Candidia Utilis, Saccharomycopsisfibuligera yang mampu menguraikan sampah organik menjadi kompos yang berkualitas.
Kualitas kompos yang berkualitas dapat nilai dari kualitas fisik seperti suhu, pH, bau, warna, tekstur dan kelembaban sedangkan untuk kualitas kimia yaitu nitrogen (N), phosfor (P2O5), dan C-Organik serta lama pengomposan. Berdasarkan hasil dari penelitian Panjaitan et al. (2014) terdapat beberapa varian pemberian dosis penggunaan MOL tape singkong di kompos sampah organik yaitu 10 ml, 15 ml, 20 ml dan 25 ml dimana pemberian dosis paling tepat yaitu lama pengomposan yaitu 25 ml berkisar 11 hari, 20 ml berkisar 15 hari, 15 ml berkisar 18 hari sementara 10 ml berkisar 24 hari. Menurut Soeryoko (2010) yang menyatakan bahwa semakin banyak mikroorganisme yang terkandung dalam kompos maka proses pengomposan akan semakin cepat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan efektivitas Mol Tape Singkong sebagai bioaktivator terhadap lama waktu pengomposan dengan beberapa variasi dosis.
METODE
Penelitian ini dilakukan di Perumahan Kelun selama 18 hari dimana dalam pengomposan ini terdapat 3 (tiga) perlakuan yaitu dengan variasi dosis 0 ml (kontrol), 15 ml, dan 30 ml dengan bahan 1 kg sayuran dan 1 kg buah-buahan setiap keranjang takakura dan total bahan digunakan adalah 14 kg yang terdiri dari 7 kg sayuran dan 7 kg buah-buahan. Selain itu dalam pengomposan juga menggunakan metode keranjang takakura. Pembuatan mol tape singkong sebagai bioaktivator dengan bahan 100
gram tape singkong, terasi 100 gram, gula 5 gram dan air sampai batas (ad) 500 ml setelah itu difermentasi selama 4 hari (Panjaitan et al., 2014). Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu true eksperimental dengan rancangan post test only one control group yang merupakan sebuah penelitian untuk menyelidiki kemungkinan hubungan sebab akibat dengan cara memperlakukan kepada satu atau lebih kelompok ekperimental kondisi perlakuan dan memperbandingkanya dengan satu atau lebih kelompok kontrol yang tidak dikenai kondisi perlakuan. Variabel independent pada penelitian ini variasi pemberian dosis mol tape singkong yaitu 0 ml (kontrol), dosis 15 ml dan dosis 30 ml, sedangkan variabel dependent yaitu lama waktu dan kualitas pengomposan.
Pengomposan menggunakan keranjang Takakura berjumlah 7 dimana terdapat 3 kali pengulangan pada kelompok perlakuan 15 ml dan 30 ml kecuali tanpa pengulangan pada kelompok kontrol. Bahan yang digunakan untuk pembuatan kerajang takakura yaitu keranjang sampah ukuran 20x40 cm, satu bantalan sekam padi (mentah) sebagai alas dari keranjang sampah dan penutup bagian atas, kompos jadi 40%, kemudian di sekeliling keranjang bagian dalam dilapisi dengan kardus bekas. Pengumpulan data menggunakan sumber dari data sekunder berupa lembar observasi. Analisis univariate dilakukan dengan menggambarkan distribusi dari masing-masing variabel. Data akan dianalisis menggunakan Uji Two Way ANOVA dalam bentuk tabel untuk mengetahui perbedaan dari kualitas fisik kompos sampah organik (suhu, kelembaban) dan indikator fisik kompos selama proses pengomposan menggunakan alat Hygrometer dan Soil termometer.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembuatan kompos sampah organik dilakukan di pekarangan rumah, dimana bahan yang digunakan dalam pengomposan yaitu berasal dari sampah organik rumah tangga (sayuran dan buah-buahan). Dalam pengomposan juga terdapat bahan tambahan yaitu sekam padi (mentah) yang digunakan untuk mengontrol kelembaban. Menurut penelitian (Anshah, 2019) penambahan sekam padi (mentah)
dalam pengomposan agar air lindi (cairan yang merembes melalui tumpukan sampah) yang dihasilkan kompos tidak merembes dan mencemari lingkungan. Selama pengomposan berlangsung juga dilakukan pengukuran parameter fisik (kelembaban dan suhu) dimana pengukuran tersebut dilakukan setiap hari. Raja et al. (2012) menyatakan bahwa kompos dengan bahan organik buah-buahan dan sayuran mempunyai kandungan yang baik untuk kelangsungan hidup mikroorganisme.
Hal ini tentunya bahan baku dasar yang digunakan dalam pengomposan sangat berperan dan bisa mengetahui lama waktu dari pengomposan tersebut. Setelah proses dalam pembuatan kompos sudah selesai diperlukanya metode pengomposan yang tepat supaya kompos cepat jadi dengan hasil yang baik salah satunya dengan penambahan ataupun pemberian bioaktivator. Berdasarkan Tabel 1 distribusi lama waktu pengomposan pada kelompok kontrol dan perlakuan pengomposan sampah organik, rata-rata lama waktu terbentuknya kompos pada kelompok kontrol yaitu 18 hari. Selain itu untuk rata-rata untuk kelompok perlakuan dosis 15 ml yaitu 15 hari dan perlakuan dosis 30 ml yaitu 10 hari.
Gambar 1 menunjukkan grafik rata-rata lama waktu pengomposan pada kelompok kontrol dan perlakuan sampah organik. Waktu yang paling efektif dalam terbentuknya kompos yaiu pada kelompok pemberian MOL Tape Singkong dosis 30 ml dengan lama waktu yaitu 10 hari. Kelompok kontrol atau kelompok tanpa pemberian MOL Tape Singkong membutuhkan waktu selama 18 hari sedangkan kelompok perlakuan atau kelompok dengan pemberian MOL Tape Singkong yaitu dosis 15 ml membutuhkan waktu selama 15 hari serta dosis 30 ml selama 10 hari. Menurut (Pila et al., 2018) selama penelitian berlangsung proses pengomposan, untuk menghasilkan kualitas kompos yang baik selain ditentukan oleh bahan baku yang digunakan dalam pembuatan kompos serta bahan yang mempercepat pengomposan seperti bioaktivator, dapat dipengaruhi juga oleh lama waktu pengomposan pada saat proses pengomposan berlangsung.
Tabel 1. Distribusi Lama Pengomposan Berdasarkan Variasi Dosis MOL Tape Singkong
No. |
Perlakuan |
Lama Pengomposan (hari) |
Rata-Rata |
1. |
Kontrol |
18 hari |
18 hari |
2. |
Dosis 15 ml (P1) |
15 hari | |
3. |
Dosis 15 ml (P2) |
16 hari |
15 hari |
4. |
Dosis 15 ml (P3) |
15 hari | |
5. |
Dosis 30 ml (P1) |
10 hari | |
6. |
Dosis 30 ml (P2) |
10 hari |
10 hari |
7. |
Dosis 30 ml |
11 hari |
S
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
18

Rata-rata
18
15
10
-
■ Kontrol
-
■ Dosis 15 ml
-
■ Dosis 30 ml
Gambar 1 Grafik Rata-Rata Lama Waktu Pengomposan
Lama waktu pengomposan kelompok kontrol lebih lambat dalam fase penguraian dan kematangan daripada kelompok perlakuan lainnya akan tetapi untuk hasil akhir kelompok kontrol juga memenuhi persyaratan. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Dewilda (2019) yang menyatakan bahwa proses pengomposan tanpa penambahan bioaktivator akan berjalan lebih lama dibandingakan dengan penambahan bioaktivator karena mikroorganisme yang bekerja secara alami. Selain itu hal tersebut dikarenakan penambahan bahan MOL dapat mempercepat proses pengomposan. Menurut Panjaitan et al. (2014), pemberian dosis 25 ml MOL tape singkong terbukti efektif dalam mempercepat
pengomposan yaitu membutuhkan waktu selama 11 hari, sedangkan pemberian dosis 30 ml untuk lama waktu pengomposan yaitu 10 hari. Hal ini sesuai Soeryoko (2010) yang menyatakan bahwa semakin banyak mikroorganisme yang terkandung dalam bahan kompos maka proses pengomposan akan semakin cepat. Dari hasil masing-masing kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol terdapat perbedaan waktu dalam lama waktu pengomposan. Selain terdapat 2 kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, pada saat pengomposan berlangsung juga melakukan pengamatan atau pengukuran perubahan untuk parameter fisik (suhu, kelembaban, pH).
50
45

40
35
30
25
20
15
10
5
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Hari Ke-
—•— Kontrol —•—Dosis 15 ml —•— Dosis 30 ml
Gambar 2. Grafik Rata-Rata Pengukuran Suhu Kompos
Gambar 2 menggambarkan grafik suhu pada proses pengomposan yang diperoleh dari menghitung rata-rata setiap pengulangan dari masing-masing perlakuan yang dimana pengukuran tersebut diukur setiap hari. Pada gambar tersebut menujukan bahwa setiap variasi dosis mengalami peningkatan. Menurut Ridanar (2021) suhu merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi laju pengomposan. Hal tersebut dikarenakan mikroorganisme perombak masing-masing perombak yang memiliki suhu optimum dalam aktivitasnya. Suhu pada awal proses pengomposan kelompok kontrol tanpa penambahan MOL Tape Singkong berkisar 270C sampai 410C dimana tumpukan bahan baku mengalami proses aklimasi atau suhu masih dibawah batas normal suhu kompos yaitu 270C. Sementara suhu pada kelompok perlakuan pemberian dosis 15 ml berkisar 270C sampai 450C dan 30 ml berkisar 250C sampai 470C. Setelah proses aklimasi suhu akan terus meningkat hingga beberapa hari sampai proses penguraian terjadi. Proses penguraian pada kelompok kontrol lebih lambat daripada kelompok perlakuan lainnya yaitu terjadi pada hari ke-8 dimana suhu meningkat mencapai 320C. Pada proses penguraian dari kelompok perlakuan 15 ml terjadi di hari ke-6 suhu meningkat hingga 350C dan kelompok perlakuan 30 ml terjadi lebih cepat daripada lainnya yaitu hari ke-4 dengan suhu mencapai 370C. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Larasati et al. (2019) yang menunjukan bahwa suhu pengomposan kelompok kontrol berkisar 280C sampai 400C dan hari ke-1 suhu yaitu 300C dan meningkat hingga 390C dimana hal tersebut menandakan bahwa proses penguraian sudah mulai berjalan karena sejumlah bakteri merubah sampah organik menjadi bahan-bahan yang lebih sederhana.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan (Pila et al., 2018) yang menyatakan bahwa cepat atau lambatnya proses pengomposan juga dipengaruhi faktor suhu dan aktivitas mikroorganisme yang ada dalam proses pengomposan. Setelah melewati tahap penguraian selanjutnya memasuki suhu mencapai titik tertinggi atau fase termofilik dimana suhu diatas batas normal yang ditentukan yaitu >400C. Pada kelompok kontrol tanpa pemberian MOL Tape Singkong fase termofilik terjadi di hari ke-15 yang dimana suhu mencapai 410C. Kelompok perlakuan dengan pemberian MOL Tape Singkong dosis 15 ml suhu mencapai titik tertinggi hari ke-12 mencapai 450C sedangkan suhu tertinggi dosis 30 ml mencapai 460C pada hari ke-10. Siagian (2021) mengatakan bahwa fase termofilik ditandai dengan peningkatan suhu yang mencapai lebih dari 40oC. Hal ini menandakan terjadinya proses dekomposisi yang sangat aktif oleh mikroba. Selanjutnya memasuki fase pematangan kompos yang ditandai dengan suhu tumpukan bahan mengalami penurunan yang diakibatkan oleh aktivitas mikroorganisme yang mulai berkurang sehingga suhu mengalami penurunan. Selanjutnya memasuki fase pematangan kompos yang ditandai dengan suhu tumpukan bahan mengalami penurunan yang diakibatkan oleh aktivitas mikroorganisme yang mulai berkurang sehingga suhu mengalami penurunan. Hal ini sesuai dengan persyaratan umum Peraturan Menteri Pertanian (2011) dimana suhu berkisar 30-40oC menandakan kompos sudah matang. Gambar 3 menggambarkan grafik kelembaban pada proses pengomposan yang diperoleh dari menghitung rata-rata setiap pengulangan dari masing-masing perlakuan yang dimana pengukuran tersebut diukur setiap hari.
90
80

70
60
50
40
30
20
10
0
12345678
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Hari Ke-
—•— Kontrol
—•—Dosis 15 ml
—•—Dosis 30 ml
Gambar 3. Grafik Rata-Rata Pengukuran Kelembaban Kompos
Gambar 3 menunjukkan bahwa setiap variasi dosis mengalami penurunan. Kelembaban pada awal proses pengomposan yang terjadi pada proses aklimasi kelompok kontrol yaitu 79% dimana hasil tersebut masih melebihi batas ketentuan karena kadar air dari bahan organik yang masih tinggi. Sementara pada kelompok perlakuan pemberian MOL Tape Singkong dosis 15 ml yaitu 76% dan kelompok perlakuan 30 ml berkisar 75% dimana hasil tersebut kelembaban cenderung sangat lembab. Menurut penelitian (Larasati et al., 2019) kelembaban pada awal pengomposan cenderung yaitu 50% menjadi >80% dimana keadaan tersebut sangat lembab. Hal tersebut diakibatkan karena adanya proses pembalikan baru sekali sehingga kadar air tidak mencukupi.
Proses penguraian hari ke-8 terjadi kelembaban kompos kelompok kontrol masih diatas rata-rata yaitu 72% dengan tekstur kompos masih basah dan terdapat sisa-sisa dari bahan baku yang belum sepenuhnya terurai serta warna dari kompos kecoklatan. Sementara untuk kelompok penambahan dosis 15 ml kelembaban pada hari ke-6 yaitu 58% dan kelompok perlakuan dosis 30 ml MOL Tape Singkong kelembaban pada proses penguraian hari ke-4 yaitu 60%. Menurut Ridanar (2021) komposter menghasilkan kelembaban yang cukup besar sehingga menyebabkan kelembaban kompos menjadi basah. Kelembaban yang ideal adalah 4060%. Setelah proses penguraian berakhir kelembaban berangsur turun dan ditandai dengan nilai dari kelembaban dibawah 60% dan warna dari kompos menunjukan perbedaan yaitu warna coklat kehitaman. Fauzi and Wulandari (2021) menunjukan bahwa perubahan sifat fisik kompos yaitu warna kompos menjadi coklat kehitaman terjadi karena akibat adanya proses penguraian yang dilakukan oleh mikroba. Hal ini sesuai dengan persyaratan
umum Permentan pada indikator fisik kelembaban tanah 40-60% menandakan kompos sudah matang.
Tabel 2 menunjukkan hasil analisis Multiple Comparasion menggunakan uji Post Hoc LSD yaitu suhu kelompok kontrol diperoleh p value yaitu 0,040. Hal ini dimaksudkan bahwa nilai probabilitas lebih kecil dibandingkan dengan nilai α = 0,05 artinya terdapat perbedaan yang bermakna antara suhu kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan penambahan dosis 30 ml terhadap kompos sampah organik. Sedangkan kelembaban kelompok kontrol dengan kelembaban dari kelompok perlakuan dosis 15 ml diperoleh p value yaitu 0,05 dan kelompok kontrol dengan kelembaban dari kelompok perlakuan dosis 30 ml diperoleh p value yaitu 0,06. Hal ini dimaksudkan bahwa nilai probabilitas lebih kecil dibandingkan dengan nilai α = 0,05 artinya terdapat perbedaan yang bermakna antara kelembaban kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan dosis 15 ml dan kelembaban kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan dosis 30 ml terhadap kompos sampah organik.
Berdasarkan Tabel 3, hasil uji laboratorium kandungan unsur hara menunjukan bahwa terdapat dua (2) kadar yaitu C-Organik dan Nitrogen (N). Pada uji kandungan tersebut untuk kadar nitrogen (N) pada kelompok kontrol tidak memenuhi syarat Permentan 2011 dimana nilai 2,965 atau <4%. Sedangkan untuk kelompok perlakuan pemberian mol tape singkong dosis 15 ml dan 30 ml sudah memenuhi syarat Permentan 2011. Nilai rata-rata kadar nitrogen (N) yang terkandung setiap variasi dosis berbeda-beda. Pada kelompok kontrol mol tape singkong sebesar 2,97% lebih kecil dibandingkan dengan kelompok perlakuan dengan pemberian dosis 30 ml mol tape singkong sebesar 12,57% dan 15 ml sebesar 5,99%.
Tabel 2. Analisis Perbedaan Indikator Fisik Pengomposan
Indikator |
(I) Perlakuan |
(J) Perlakuan |
p value |
Kontrol |
Dosis 15 |
,163 | |
Dosis 30 |
,040 | ||
Suhu (0C) |
Dosis 15 |
Kontrol Dosis 30 |
,163 ,479 |
Dosis 30 |
Kontrol |
,040 | |
Dosis 15 |
,479 | ||
Kontrol |
Dosis 15 |
,005 | |
Dosis 30 |
,006 | ||
Kelembaban (%) |
Dosis 15 |
Kontrol Dosis 30 |
,005 ,976 |
Dosis 30 |
Kontrol |
,006 | |
Dosis 15 |
,976 |
Tabel 3. Uji Kandungan Unsur Hara
Kelompok |
Pengulangan |
Kadar (%) |
Syarat Permentan 2011 (%) |
Keterangan | |
C-Organik |
Nitrogen | ||||
C 15-25% |
√ | ||||
Kontrol |
- |
16,283 |
2,965 |
N 4% |
- |
Pengulangan 1 |
18,572 |
1,795 |
√ | ||
Dosis 15 ml |
Pengulangan 2 |
16,751 |
8,669 |
C 15-25% | |
Pengulangan 3 |
17,637 |
7,499 |
N 4% |
√ | |
Rata-Rata |
17,65 |
5,99 | |||
Dosis 30 ml |
Pengulangan 1 |
13,351 |
9,84 |
√ | |
Pengulangan 2 |
1,658 |
14,521 |
C 15-25% | ||
Pengulangan 3 |
14,328 |
13,351 |
N 4% |
√ | |
Rata-Rata |
15,49 |
12,57 |
Sumber: Laboratorium Instrumen SMKN 3 Kimia Madiun, 2022
Keterangan: (-) Tidak memenuhi Permentan 2011
(√) memenuhi Permentan 2011
(P) Pengulangan pada kelompok variasi dosis
Menurut penelitian Pradiksa (2022), bakteri memiliki kemampuan degradasi bahan organik berbeda-beda sehingga nilai kadar nitrogen (N) terkandung dalam kompos yang dihasilkan tidak sama. Rendahnya kadar nitrogen (N) disebabkan oleh sedikitnya jumlah ammonia dan nitrogen yang terlepas didalam pori-pori tumpukan kompos yang sangat kecil (Suwatanti & P, 2017). Hal tersebut diperkuat dengan penelitian Widyabudiningsih et al. (2021) yang menyatakan bahwa penurunan nitrogen (N) dapat terjadi karena kadar nitrogen yang terkandung dalam kompos akan hilang dan adanya perbedaan kemampuan kecepatan mikroorganisme untuk mengurai bahan fermentasi sehingga perubahan nitrogen (N) setiap perlakuan tidak sama.
Nilai rata-rata kadar C Organik kelompok kontrol 16,238% sementara dosis 30 ml sebesar 15,49% dan 15 ml 17,65%. Menurut Pradiksa (2022) kadar N dipengaruhi oleh adanya nilai C Organik dimana semakin kompos mengalami dekomposisi maka nilai C organik akan semakin turun sedangkan nilai kadar nitrogen (N) akan semakin naik. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan dari Purnomo et al. (2017) yang menyatakan bahwa penurunan kadar C Organik terjadi karena kompos yang telah mengalami kematangan akan terus mengalami dekomposisi yang mengakibatkan kandungan nitrogen akan semakin meningkat dengan terbentuknya amoniak. Hal tersebut sesuai dengan penelitian ini pada kelompok perlakuan dengan pemberian dosis 30 ml tape singkong dimana nilai kadar nitrogen (N) mengalami peningkatan, sedangkan untuk nilai kadar C Organik mengalami penurunan karena adanya proses dekomposisi secara alami. Selain itu hal tersebut dikarenakan penambahan bahan MOL dapat mempercepat proses pengomposan. Menurut Panjaitan et al. (2014) pemberian dosis 25 ml MOL Tape Singkong terbukti efektif dalam mempercepat pengomposan yaitu
membutuhkan waktu selama 11 hari, sedangkan pemberian dosis 30 ml untuk lama waktu pengomposan yaitu 10 hari. Hal ini sesuai dengan Soeryoko (2010) yang menyatakan bahwa semakin banyak mikroorganisme yang terkandung dalam bahan kompos maka proses pengomposan akan semakin cepat. Dari hasil masing-masing kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol terdapat perbedaan waktu dalam lama waktu pengomposan. Selain terdapat 2 kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, pada saat pengomposan berlangsung juga melakukan pengamatan atau pengukuran perubahan untuk parameter fisik (suhu, kelembaban, pH).
KESIMPULAN
Terdapat perbedaan lama waktu pengomposan setiap variasi kelompok kompos sampah organik. Pemberian dosis 30 ml mol tape singkong terbukti paling efektif dalam mempercepat pengomposan yaitu 10 hari lebih cepat dibandingkan dengan kelompok kontrol dan pemberian dosis 15 ml yaitu 18 hari dan 15 hari. Hal ini dapat dilihat dari pengukuran indikator parameter fisik suhu 400C, kelembaban 50% serta uji kandungan nitrogen 12,57% dan C-Organik 15,49% yang sesuai dengan persyaratan umum Permentan 2011. Disarankan bagi penelitian selanjutnya untuk melakukan penelitian antara MOL dan EM4 dengan penambahan paramater standar kompos lainnya seperti indikator fisik serta uji kandungan unsur hara kalium, phosfor dan C/N rasio.
DAFTAR PUSTAKA
Anshah, S. A., Prajati, G., & Suryawan, I. W. K. (2019). Pengaruh Waktu Pengomposan Dan Komposisi Kompos Sampah Organik Terhadap
Laju Pertumbuhan Daun Tanaman Kacang Panjang (Vigna Cylindrica (L.). Jurnal Rekayasa Sipil Dan Lingkungan, 3(1), 1–7.
Dewilda, Y., Aziz, R., & Handayani, R. A. (2019). The Effect Of Additional Vegetables And Fruits Waste On The Quality Of Compost Of Cassava Chip Industry Solid Waste On Takakura Composter. Iop Conference Series: Materials Science And Engineering, 602(1). Https://Doi.Org/10.1088/1757-899x/602/1/012060
Ekawandani, N & Kusuma, A. A. (2018). Pengomposan Sampah Organik (Kubis Dan Kulit Pisang) Dengan Menggunakan Em4. Jurnal Tedc, 12(1), 38–43.
Fauzi, M. I., & Wulandari, S. (2021). The Effect Of Giving Em-4 On The Decomposition Of Campus Solid Waste As A Design Of Students Work Sheets ( Lkpd ) For Sma Biology Subject Dekomposisi Limbah Padat Kampus Sebagai Rancangan Lembar Kerja Peserta Didik ( Lkpd ) Mata. Jom Fkip, 8, 1–13.
Habullah, Ashar, T., & Nurmaini. (2019). Analisis Pengelolaan Sampah Di Kota Subulussalam. Junrnal Jumantik, 4(2), 14–15.
Kaleka, N. (2020). Pintar Membuat Kompos Dari Sampah Rumah Tangga Dan Limbah Pertanian/Peternakan. Pustaka Baru.
Kementrian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan. (2020). Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional. Https://Sipsn.Menlhk.Go.Id/Sipsn/
Larasati, A. A., Puspikawati, S. I., Lingkungan, D. K., Studi, P., Masyarakat, K., & Kesehatan, F. (2019). Pengolahan Sampah Sayuran Menjadi Kompos Dengan Metode Takakura. Jurnal Ikesma, 15, 61.
Mardwita, Yusmartin, E. S., Melani, A., Atikah, A., & Ariani, D. (2019). Pembuatan Kompos Dari Sampah Organik Menjadi Pupuk Cair Dan Pupuk Padat Menggunakan Komposter. Jurnal Ilmiah Pengabdian Kepada Masyarakat, 1(2), 80–83.
Panjaitan, H., Ali, H., Mulyati, S., Kesehatan, P., Kesehatan, K., & Lingkungan, J. K. (2014). Efektifitas Mikroorganisme Lokal (Mol) Tape Sebagai Aktivator Pembuatan Kompos. Jurnal Media Kesehatan, 7, 26–27.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor
70/Permentan/Sr.140/10/2011 Tentang Pupuk Organik, Pupuk Hayati Dan Pembenah Tanah, Permentan 17 (2011).
Pila, I. M., Putra, A., & Setiyo, Y. (2018). Pengaruh Kadar Air Terhadap Proses Pengomposan Jerami Dicampur Kotoran Sapi. Beta
(Biosistem Dan Teknik Pertanian), 6, 48–54.
Pradiksa, O. I., & Setyati, W. A. (2022). Pengaruh Bioaktivator Em4 Terhadap Proses Degradasi
Pupuk Organik Cair Serasah Cymodocea Serrulata. 11(2), 136–144.
Prasetyo, A. F., & Suryadi, U. (2017). Pemanfaatan Mikro Organisme Lokal Sebagai Starter Pembuatan Pupuk Organik Limbah Ternak Domba. Jurnal Pengabdian Masyarakat Peternakan, 2(2), 76–83.
Purnomo, E. A., Sutrisno, E., Sumiyati, S., & A. (2017). Pengaruh Variasi C/N Rasio Terhadap Produksi Kompos Dan Kandungan Kalium (K), Pospat (P) Dari Batang Pisang Dengan Kombinasi Kotoran Sapi Dalam Sistem Vermicomposting. Jurnal Teknik Lingkungan, 6(2), 1–15.
Raja, M. M., M., Raja, A., M. H., & S. And Sheik Mohamed, A. (2012). Screening Of Bacterial Compost From Spoiled Vegetables And Fruits And Their Physiochemical Characterization. International Food Research Journal, 19(3), 1193–1198.
Ridanar, N. P., Handayani, S. M., & Adi, R. K. (2021). "Membangun Sinergi Antar Perguruan Tinggi Dan Industri Pertanian Dalam Rangka Implementasi Merdeka Belajar Kampus Merdeka ” Pengembangan Inovasi Pembibitan Porang ( Amarphopallus Onchophillus L .). Seminar Nasional Dies Natalis Ke-45 Uns, 5(1), 867–875.
Roeswitawati, D. (2018). The Effect Of Local Microorganism (Mol) Concentration Of Banana Hump And Fruit Waste On The Growth And Yield Of Broccoli Plants (Brassica Oleracea). Advances In Engineering Reasearch, 172(Fanres), 310–314.
Royaeni, Pujiono, & Pudjowati, D. T. (2014). Pengaruh Penggunaan Bioaktivator Mol Nasi Dan Mol Tapai Terhadap Lama Waktu Pengomposan Sampah Organik Pada Tingkat Rumah Tangga. Jurnal Kesehatan, 13(1), 1– 102.
Santoso, A., & Prakosa, C. (2010). Karakteristik Tape Buah Sukun Hasil Fermentasi Penggunaan Konsentrasi Ragi Yang Berbeda Oleh: Agus Santosa Dan Cucut Prakosa. Magistra, 22(73), 48–55.
Siagian, S. W., Yuriandala, Y., & Maziya, F. B. (2021). Analisis Suhu, Ph Dan Kuantitas Kompos Hasil Pengomposan Reaktor Aerob Termodifikasi Dari Sampah Sisa Makanan Dan Sampah Buah. Jurnal Sains &Teknologi Lingkungan, 13(2), 166–176.
Https://Doi.Org/10.20885/Jstl.Vol13.Iss2.Art7
Soeryoko, H. (2010). Kiat Pintar Memproduksi Kompos Dengan Pengurai Buatan Senditi (20th Ed.). Lily Publisher.
Suwatanti, E., & P, W. (2017). Pemanfaatan Mol Limbah Sayur Pada Proses Pembuatan
Kompos. Jurnal Mipa, 40(1), 1–2.
Wanitaningsih, S. K. (2013). Pembuatan Kompos Skala Rumah Tangga Sebagai Salah Satu Upaya Penanganan Masalah Sampah Di Kota Mataram. Media Bina Ilmiah, 7(1978–3787), 24.
Widyabudiningsih, D., Troskialina, L., Fauziah, S., Shalihatunnisa, S., Riniati, R., & Djenar, S. (2021). Pembuatan Dan Pengujian Pupuk Organik Cair Dari Limbah Kulit Buah-Buahan
Dengan Penambahan Bioaktivator Em4 Dan Variasi Waktu Fermentasi. Ijca (Indonesian Journal Of Chemical Analysis), 4(1), 30–39. Https://Doi.Org/10.20885/Ijca.Vol4.Iss1.Art4
262
Discussion and feedback