JURNAL BETA (BIOSISTEM DAN TEKNIK PERTANIAN) Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana

http://ojs.unud.ac.id/index.php/beta

Volume 11, Nomor 1, bulan April, 2023

Pengaruh Kombinasi Limbah Jagung Ketan (Zea mays ceratina) dan Kotoran Sapi pada Proses Pengomposan dengan Bioaktivator Berbeda di Desa Lokasari

The Effect of Combination of Glutinous Corn Waste (Zea mays ceratina) and Cow Manure on the Composting Process with Different Bioactivators in Lokasari Village

I Gede Yoga Juni Sastrawan, I Putu Surya Wirawan*, Ni Luh Yulianti

Program Studi Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana, Badung, Bali, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Potensi limbah jagung ketan, kotoran sapi, dan mikroorganisme lokal (MOL) di Desa Lokasari belum termanfaatkan secara baik. Teknologi sederhana dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan kompos limbah pertanian. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pengaruh kombinasi komposisi bahan dengan tambahan jenis bioaktivator berbeda terhadap kualitas hasil pengomposan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-7030-2004. Bahan penyusun kompos adalah limbah jagung ketan dan kotoran sapi. Bahan bioaktivator yang digunakan yaitu bonggol pisang, daun gamal, dan nasi basi dengan proses fermentasi selama 2 minggu dengan penambahan molase dan air cucian beras. Wadah yang digunakan adalah keranjang bambu berbentuk tabung dengan tinggi 40 cm dan diameter 40 cm. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial (RAKF) dua faktor. Faktor pertama adalah kombinasi komposisi limbah jagung ketan dan kotoran sapi dengan 5 taraf perlakuan, yaitu K1 (100%:0%), K2 (75%:25%), K3 (50%:50%), K4 (25%:75%), dan K5 (0%:100%). Faktor kedua adalah jenis bioaktivator 3 taraf perlakuan, yaitu B1 (MOL bonggol pisang), B2 (MOL daun gamal), dan B3 (MOL nasi basi). Hasil penelitian menunjukkan kombinasi limbah jagung ketan dan kotoran sapi dengan jenis bioaktivator berbeda berpengaruh sangat nyata terhadap suhu dan C-organik, serta berbeda nyata terhadap rendemen, N-total, dan rasio C/N. Komposisi limbah jagung ketan dan kotoran sapi K5B1 menghasilkan kompos dengan kualitas rata-rata terbaik sesuai SNI, yaitu pH 6,94, kadar air 36,47%, C-organik 28,87%, N-total 1,56%, dan rasio C/N 18,49%.

Kata kunci: bioaktivator, kotoran sapi, limbah jagung ketan, pengomposan.

Abstract

The potential waste of glutinous corn, cow dung, and local microorganisms (MOL) has not been utilized properly in Lokasari Village. Simple technology can use as a material for composting agricultural waste. This study aims to obtain the effect of the combination of material composition with the addition of different types of bio activators on the quality of the composting results according to the Indonesian National Standard (SNI) 19-7030-2004. Compost ingredients are glutinous corn waste and cow dung. The bio activator materials used are banana weevil, Gamal leaves, and stale rice with a fermentation process for 2 weeks with the addition of molasses and rice washing water. The container used is a tubular bamboo basket with a height of 40 cm and a diameter of 40 cm. The research method used a two-factor factorial randomized block design. The first factor is the combination of the composition of glutinous corn waste and cow dung with 5 treatment levels, there are K1 (100%:0%), K2 (75%:25%), K3 (50%:50%), K4 (25%:75% ), and K5 (0%:100%). The second factor is the type of bio activator with 3 treatment levels, there are B1 (MOL banana weevil), B2 (MOL Gamal leaf), and B3 (MOL stale rice). The results showed that the combination of glutinous corn waste and cow dung with different types of bio activators had a very significant effect on temperature and C-organic, and significantly different on yield, N total, and C/N ratio. The composition of glutinous corn waste and K5B1 cow dung produced compost with the best average quality meeting SNI standards, there are pH 6.94, water content 36.47%, C-organic 28.87%, N-total 1.56%, and C/N ratio 18.49%.

Keywords: bioactivator, composting, cow dung, glutinous corn waste

PENDAHULUAN

Di Bali, khususnya Desa Lokasari, Sidemen, Karangasem, sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai petani dengan jenis tanaman utama

berupa padi dan palawija. Petani Desa Lokasari menanam palawija ketika pergantian musim tanam padi tiba yang salah satu jenis tanamannya yaitu jagung dengan beberapa varian, seperti varian jagung ketan (Zea mays ceratina). Menurut data sensus

Badan Pusat Statistik Kabupaten Karangasem pada laporan “Kecamatan Sidemen Dalam Angka 2020” (BPS Karangasem, 2020), tercatat pada tahun 2019 luas lahan sawah di Desa Lokasari mencapai 68 ha yang mana sebagian besar lahan tersebut dimanfaatkan untuk menanam jagung berbagai varian pada saat musim palawija, salah satunya jenis jagung ketan. Menurut Data BPS Karangasem (2020), di kecamatan Sidemen terdapat luas tanam jagung 26 ha dan luas panen 38 ha dengan total produksi jagung 75,78 ton pada tahun 2015. Bagian tanaman jagung sendiri diperkirakan 50% merupakan limbah dengan persentase limbah yaitu 50% batang, 20% daun, 20% tongkol, dan 10% klobot atau kulit jagung (Furqaanida, 2004). Maka, secara hitungan kasar pada tahun 2015 di Desa Lokasari didapatkan limbah jagung (tidak termasuk tongkol) sebanyak 31,5 Ton dari total produksinya. Dengan produksi demikian, maka pada masa panen akan terdapat cukup banyak limbah jagung berupa sisa bagian batang, kulit, dan daun jagung setelah panen yang dibiarkan mengering di tempat tanam hingga menjadi serasah jagung. Namun, pemanfaatan limbah pertanian tersebut oleh petani Desa Lokasari belum sepenuhnya optimal. Limbah serasah jagung tersebut biasanya hanya dijadikan pakan sapi secara langsung atau dibakar lalu dibiarkan begitu saja sebagai pelapis tanah.

Menurut Faesal et al. (2017), limbah jagung memang belum banyak dimanfaatkan menjadi kompos karena sulit terurai sempurna secara alami, sehingga diperlukan perlakuan khusus agar proses dekomposisinya lebih cepat. Selain bertani, sebagian besar petani di Desa Lokasari juga memelihara sapi di dekat lahan pertanian mereka, tercatat tahun 2017 terdapat sebanyak 9.143 ternak sapi di Kecamatan Sidemen (BPS Karangasem, 2018). Ternak sapi tersebut menghasilkan limbah berupa kotoran yang mana belum diolah lebih lanjut, padahal kotoran sapi mengandung gas amonia, karbon dioksida, karbon monoksida, dan gas metana yang dapat mencemari lingkungan akibat polusi gas yang ditimbulkan. Menurut Dewi et al. (2017), kotoran sapi sendiri dapat dijadikan sebagai bahan baku pupuk kompos karena memiliki kandungan kimia berupa nitrogen 0,4-1%, fosfor 0,2-0,5%, kalium 0,1-1,5%, kadar air 85-92%, dan beberapa unsur-unsur lain dalam jumlah kecil (Ca, Mg, Mn, Fe, Cu, Zn). Dari banyaknya jumlah limbah yang ada dan potensinya, limbah serasah jagung dan kotoran sapi dapat dijadikan sebagai bahan pembuatan kompos melalui proses pengomposan yang mana hasilnya dapat berguna untuk menjaga kesuburan tanah.

Pengomposan sendiri didefinisikan sebagai suatu proses biokimiawi dimana terjadi perombakan bahan organik menjadi bahan lebih sederhana semacam humus dengan melibatkan jasad renik

(mikroorganisme) sebagai perantaranya dan hasilnya disebut kompos (Aminah; et al., 2003). Dekomposisi di alam begitu lambat jika memang benar secara alami terjadinya, contoh pada limbah jagung mencapai 3-4 bulan sehingga unuk mempercepat proses tersebut dapat digunakan dekomposer dari mikrobia berupa bakteri serta cendawan maupun gabungan keduanya (Faesal; & Syuryawati, 2018). Menurut hasil penelitian Faesal et al. (2017), dekomposer yang efektif mendekomposisi limbah jagung diantaranya: Bacillus sp., Pseudomonas sp., Micrococcus sp., dan Escherichia sp., dekomposer tersebut dapat ditambahkan saat melakukan pengomposan limbah jagung melalui penambahan bioaktivator. Pada penelitian ini dekomposer yang digunakan yaitu Bacillus sp., yang terdapat pada MOL yang dipakai dan Kotoran Sapi.

Bioaktivator adalah larutan yang memiliki berbagai macam mikroorganisme sesuai kebutuhan. Bioaktivator dibuat dengan sengaja menambahkan mikroorganisme potensial yang kapasitas degradasinya telah diketahui. Bioaktivator dapat terdiri dari kumpulan mikroorganisme lokal (MOL) yang didapat dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam setempat. MOL merupakan salah satu sumber dekomposer yang dapat mempercepat dan meningkatkan mutu hasil pengomposan. Larutan MOL memiliki unsur hara makro-mikro, mikroorganisme pengurai bahan organik, perangsang pertumbuhan, serta agen pengendali hama/penyakit tanaman sehingga dapat digunakan sebagai bioaktivator, pupuk hayati, dan pestisida organik (SENI et al., 2013). Mikroorganisme lokal dapat bersumber dari bermacam-macam bahan lokal, antara lain urin sapi, bonggol pisang, daun gamal, buah-buahan, nasi basi, sampah rumah tangga, rebung bambu, serta rumput gajah, dan dapat membantu dalam proses pengelolaan limbah ternak, baik limbah padat untuk dijadikan kompos, maupun limbah cair ternak untuk dijadikan bio-urine (Budiyani et al., 2016). Berdasarkan uraian di atas, limbah serasah jagung ketan dan kotoran sapi di Desa Lokasari dapat dijadikan bahan campuran untuk menambah kandungan hara pupuk kompos dan penambahan bioaktivator dari sumber daya alam setempat berupa jenis MOL berbeda yaitu bonggol pisang, daun gamal, dan nasi basi dengan konsentrasi yang sama untuk mengetahui pengaruhnya terhadap proses pengomposan yang dilakukan, juga sebagai salah satu solusi pemanfaatan limbah pertanian di Desa Lokasari. Maka dilakukanlah penelitian ini yang bertujuan untuk mendapatkan pengaruh kombinasi campuran bahan baku kompos dan penambahan jenis bioaktivator berupa MOL berbeda terhadap proses pengomposan dan hasilnya dibandingkan dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-7030-2004.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian proses pengomposan dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2021 bertempat di Br. Dinas Lebu Anyar, Desa Lokasari, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem, Bali. Analisa bahan baku dan hasil pengomposan dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana.

Alat dan Bahan

Alat-alat umum pada penelitian ini berupa kamera hp untuk dokumentasi, pulpen, papan ujian, masker, sarung tangan, ember, dan timbangan duduk (untuk mengukur berat bahan dan campuran). Pada saat pembuatan MOL, alatnya berupa wadah bahan baku dan pencampuran, gelas ukur 100 ml dan 1 l, botol plastik isi 1,5 l, corong, saringan, alat pengaduk, selang, lem plastik, dan kertas label. Lalu dalam pembuatan unit pengomposan menggunakan keranjang berbahan bambu dengan diameter keranjang 40 cm dan tinggi 40 cm, terpal, karung, sekop, gergaji, pisau besar (parang), cangkul, pH meter digital (AMTAST), termometer digital (TP101), meteran, sepatu boots, tali rafia, plastik polybag sampah, alat penyemprotan air/sprayer dan plastik wadah sampel (memiliki seal agar kedap udara dan air) untuk dibawa ke lab. Lalu pada saat proses analisa di laboratorium menggunakan nampan wadah bahan uji, cawan petri, gelas ukur, tabung reaksi, labu erlenmeyer, timbangan digital, pipet tetes, botol pemancar air, buret, neraca, labu Kjeldahl 100 ml, alat destruksi, alat penyulingan, dan mesin oven tanah.

Bahan-bahan yang dipakai dalam penelitian ini adalah biomassa limbah tanaman jagung ketan dengan kondisi sudah mulai mengering yang diperoleh dari lahan sawah milik petani di Desa Lokasari. Kotoran sapi umur 1-5 hari diperoleh dari peternakan sapi di sekitar areal persawahan Desa Lokasari. Bahan yang digunakan dalam pembuatan MOL berupa bonggol pisang 900 g, daun gamal 900 g, nasi basi 900 g, molase 540 ml, dan air cucian beras 9 liter. Bahan-bahan untuk uji kualitas kompos berupa larutan kimia yang digunakan untuk uji kadar karbon-organik (C) dan nitrogen-total (N) berupa 1 N K2Cr2O7; H2SO4 pekat; H3PO4 85%; 1 N FeSO4; indikator diphenylamine dan air suling/aquadest. Selain itu digunakan juga air untuk menjaga kadar air unit pengomposan.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini memakai Rancangan Acak Kelompok Faktorial (RAKF) dua faktor. Faktor pertama adalah perbedaan komposisi bahan baku (K) dan faktor kedua adalah jenis bioaktivator berbeda berupa

mikroorganisme lokal (B). Faktor pertama terdiri dari 5 taraf terhadap komposisi campuran limbah jagung ketan : kotoran sapi terhadap komposisi berat total campurannya (10 kg), yaitu K1 (100% : 0%) atau (10 kg : 0 kg), K2 (75% : 25%) atau (7,5 kg : 2,5 kg) , K3 (50% : 50%) atau (5 kg : 5 kg), K4 (25% : 75%) (atau 2,5 kg : 7,5 kg), dan K5 (0% : 100%) atau (0 kg : 10 kg). Faktor kedua terdiri dari tiga taraf dengan konsentrasi yang sama yaitu B1 adalah MOL Bonggol Pisang (200 ml), B2 adalah Larutan MOL Daun Gamal (200 ml), dan B3 adalah Larutan MOL Nasi Basi (200 ml). Berdasarkan kedua faktor di atas, maka diperoleh 15 kombinasi perlakuan yang diulang dalam kelompok sebanyak 3 kali, sehingga terdapat sejumlah 45 unit percobaan. Dalam masing-masing unit percobaan terdapat bahan baku campuran kompos sebanyak 10 kg. Penelitian ini menggunakan keranjang bambu sebagai wadah dengan diameter 40 cm dan tinggi 40 cm.

Pelaksanaan Penelitian

Penyiapan Lokasi dan Pembuatan Wadah Pengomposan

Lokasi pengomposan dilakukan di salah satu area bekas kandang sapi yang sudah tidak digunakan oleh petani Desa Lokasari dan sudah diberikan izin untuk digunakan oleh peneliti. Lokasi diatur sesuai rancangan unit percobaan dan dilakukan penambahan terpal sebagai pelapis samping untuk melindungi unit percobaaan dari matahari langsung. Wadah pengomposan terbuat dari batang bambu yang dibuat menjadi keranjang berdiameter 40 cm dan tinggi 40 cm yang bertujuan agar ruang pengomposan seimbang ukurannya yaitu lebar dan tingginya dalam bentuk silinder. Kemudian wadah tersebut dilapisi karung pada bagian luarnya dan dibuat juga sebuah lapisan plastik hitam yang diberi kerangka bambu sebagai penutupnya. Ketika wadah sudah terisi bahan percobaan, maka wadah akan ditata di lokasi pengomposan sesuai rancangan percobaan.

Proses Pembuatan Mikroorganisme Lokal (MOL) MOL perlu waktu inkubasi selama 14 hari, sehingga perlu menyiapkan MOL 2 minggu sebelum dipakai agar saat proses pembuatan campuran kompos, MOL sudah siap digunakan. Khusus untuk MOL nasi basi, dilakukan pembuatan bahan lebih awal yaitu berupa nasi sejumlah 300 g yang didiamkan dalam wadah dan kondisi gelap selama lebih kurang empat hari sebelum pembuatan MOL agar nantinya kondisi nasi sudah terdapat bakteri yang memadai. Setiap jenis MOL menggunakan bahan sejumlah 300 g untuk membuat 1 liter larutan MOL yang sudah cukup untuk membuat satu ulangan penelitian karena tiap unit perlakuan hanya menggunakan 200 ml. Masing-masing larutan MOL bonggol pisang, daun gamal, dan nasi basi proses pembuatannya sama yaitu per liternya dibuat dengan mencampurkan potongan

bonggol pisang, daun gamal, dan nasi basi yang kemudian dihaluskan sejumlah masing-masing 300 g bahan MOL bonggol pisang, 300 g MOL daun gamal, dan 300 g MOL nasi basi yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Kemudian per 300 g bahan tersebut dicampurkan dengan molase 60 ml, dan air cucian beras 1 liter lalu diremas-remas hingga menjadi satu campuran larutan. Kemudian larutan bersama ampasnya tersebut ditempatkan dalam botol plastik yang telah diisi selang untuk menyalurkan kelebihan gas di dalam botol yang dimana ujung selangnya dimasukkan ke dalam air sehingga sirkulasi gas hasil mikroorganisme dalam botol tetap stabil tidak terlalu banyak maupun sedikit. Selanjutnya larutan disimpan ditempat kering serta terhindar matahari langsung. Larutan MOL yang telah tercampur difermentasikan atau inkubasi dalam botol selama 14 hari.

Penyiapan Bahan Baku Pengomposan

Limbah jagung ketan yang dipakai yaitu mulai dari batang, kulit, dan daunnya, diambil dari areal persawahan milik petani Desa Lokasari yang sudah diberikan izin untuk dipakai menjadi bahan kompos. Kemudian limbah jagung ketan tersebut dicacah manual menggunakan parang hingga ukurannya menjadi rata-rata 2 hingga 4 cm. Pengecilan ukuran bahan limbah jagung ketan dilakukan agar mempermudah dan mempercepat proses pengomposan nantinya. Selanjutnya penyiapan kotoran sapi berumur 1-5 hari, diambil dari peternakan sekitar areal persawahan di Desa Lokasari yang sudah diberikan izin untuk dipakai menjadi bahan kompos. Kotoran sapi yang dipakai dilakukan pengkondisian awal berupa didiamkan dan dihindarkan dari sinar matahari langsung, untuk kadar airnya belum dilakukan pengkondisian awal.

Pencampuran Bahan Baku Pengomposan dan Penambahan Jenis MOL Berbeda

Setelah penyiapan wadah, MOL, dan bahan baku selesai, dilakukan pencampuran limbah jagung ketan dengan kotoran sapi seperti pada rancangan percobaan, yang mana terdapat 10 kg campuran bahan kompos berupa limbah jagung ketan dan kotoran sapi serta MOL pada tiap unitnya. Bahan yang telah tercampur selanjutnya ditaruh pada terpal dan ditambahkan MOL sesuai rancangan yang telah ditentukan, berupa penambahan 200 ml MOL yang dicampur dengan air 1 liter. Kadar air awal bahan

belum diukur dan hanya memakai perkiraan dari hasil ukur kadar air bahan baku awal yang sudah berkisar 36-40%. Bahan kompos yang telah tercampur MOL kemudian ditempatkan pada keranjang bambu. Pengomposan berlangsung aerob dengan pembalikkan seminggu sekali. Lalu dilakukan juga penambahan air setiap satu minggu sekali dengan takaran yang sama yaitu 200 ml.

Parameter Pengamatan

Suhu dan pH diukur setiap hari. Sedangkan lainnya berupa kadar air, nilai rendemen, C-organik, N total, dan C/N rasio, diukur saat selesai pengomposan.

Analisis Data

Data hasil penelitian diolah memakai ms. Excel dan SPSS 25 untuk uji ANOVA yang kemudian disandingkan dengan mutu standar kualitas kompos menurut SNI.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Bahan Baku

Kadar N-total pada limbah jagung ketan yang digunakan yaitu 0,51%, lebih kecil dari kotoran ternak yang sejumlah 1,04%. Hal tersebut disebabkan oleh limbah jagung ketan yang didominasi bagian batang dan klobot dengan sedikit bagian daun karena telah mengering sehingga sedikit mengandung nitrogen. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian Faesal & Syuryawati (2018) yang menunjukkan bahwa bagian daun limbah jagung memiliki kandungan nitrogen paling tinggi yaitu sebesar 1,49%, diikuti oleh batang sebesar 0,90%, dan klobot 0,30%. Nilai pH limbah jagung ketan cenderung mendekati netral yaitu 6,5 sedangkan kotoran sapi lebih asam yaitu 6,0. Menurut Setiyo et al. (2007), 6,5-7,0 merupakan pH awal bahan baku yang optimal karena perkembangan mikroba baik dalam keadaan begitu. Kadar air limbah jagung ketan sebesar 37,34% sedangkan kotoran sapi 39,38%. Kelembaban 40-60% disarankan karena optimal dalam kondisi itu, kalau terlalu kering maka ditambah air, sedangkan kalau terlalu basah maka perlu dibuatkan pengeluaran air di dasar yang miring atau dikeringkan dahulu (Aminah et al., 2003). Hasil analisis kandungan kimia bahan baku kompos ditunjukkan oleh Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan kimia bahan baku kompos

I

Parameter

Limbah Jagung

Kotoran Sapi

Kadar C Organik (%)

44,61

40,96

Kadar N Total (%)

0,51

1,04

C/N

85,79

39,38

pH

6,5

6,0

Kadar Air (%)

37,34

39,66

Sumber : Hasil analisis

Menurut Tabel 1 diketahui bahwa limbah jagung ketan kandungan C/N Rasio awalnya 85,79 sedangkan kotoran sapi 39,38. Perbedaan kadar awal C/N rasio bahan baku pengomposan akan memberi pengaruh terhadap hasil dan waktu pengomposan, kadar awal C/N berkisar antara 20% - 40% merupakan yang optimal (Prawiratama et al., 2020). Tingginya kadar C/N pada limbah jagung ketan disebabkan oleh kandungan di dalamnya yang berupa bahan kering berkisar 39,8%, hemiselulosa 6,0%, lignin 12,8%, dan silika 20,4% (Ernita et al., 2017).

Selain itu, pada bahan baku limbah jagung ketan yang dipakai didominasi oleh bagian batang dan daun kering yang membuat kadar C-organiknya cukup tinggi yaitu sebesar 44,61% sehingga lebih lama terurai daripada limbah kotoran ternak yang kandungan C-organiknya 40,96%. Menurut hasil penelitian Faesal et al. (2017), dekomposer yang efektif mendekomposisi limbah jagung yaitu: Bacillus sp., Pseudomonas sp., Micrococcus sp., dan Escherichia sp.,. Jumlah mikroba pada MOL yang digunakan ditunjukkan oleh Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah mikroba pada MOL yang digunakan

Nama Bioaktivator

Total Mikroba spk/ml

Sumber Data

MOL Bonggol Pisang

5,16 x 108

(Budiyani et al., 2016)

MOL Daun Gamal

5,37 x 108

(Sutari & Suwastika, 2016)

MOL Nasi Basi

5,70 x 108

Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa total mikroba pada bioaktivator jenis MOL bonggol pisang yang difermentasi selama dua minggu adalah 5,16 x 108 spk/ml. Kandungan mikroorganisme MOL bonggol pisang yang telah diketahui terdiri dari Bacillus sp., Aeromonas sp., Aspergillus nigger, Azospirillium, Azotobacter, dan mikroba selulolitik (Budiyani et al., 2016). Total mikroba pada bioaktivator jenis MOL daun gamal yang difermentasi selama dua minggu adalah 5,37 x 108 spk/ml. Diketahui bahwa gamal yang berumur satu tahun mengandung 3-6% N; 0,31% P; 0,77% K; 15-30% serat kasar; dan 10% abu (Purwanto, 2007 dalam (SENI et al., 2013)). Total mikroba pada bioaktivator jenis MOL nasi basi yang difermentasi selama dua minggu adalah 5,70 x 108 spk/ml. Diketahui bahwa MOL nasi basi mengandung mikroba Sachharomyces cereviciae dan Aspergillus sp, karena bahan dasarnya yaitu nasi basi juga mengandung bakteri Bacillus cereus, Sachharomyces cereviciae dan Aspergillus niger (Royaeni; et al., 2014). Sedangkan Total bakteri dari bioaktivator jenis EM4 yang dijual oleh PT. Songgolangit Persada yaitu sebanyak 2,8 x 106 spk/ml memakai cara ukur berdasarkan total plate count (TPC) (Atmaja et al., 2017).

Kerapatan Mas

Oksigen merupakan unsur esensial pada proses pengomposan aerob (Setiyo et al., 2019). Rumus kerapatan massa (kg/m3) yaitu massa total (kg) dibagi dengan volume (m3). Adapun pada penelitian ini menggunakan total berat per unit bahan pengomposan sebanyak 10 kg dan wadah berbentuk tabung sehingga rumus volume tabung yang digunakan, yaitu Π x r2 x t. Pada perlakuan total campuran bahan K1 mencapai tinggi 40 cm, K2 = 37 cm, K3 = 34 cm, K4 = 31 cm, dan K5 = 28 cm. Diameter wadah adalah 0,4 meter, sehingga jari-jarinya adalah 0,2 m. Menurut hasil penelitian (Setiyo et al., 2007), pada kerapatan 200-300 kg/m3 mampu membuat tersedianya oksigen dalam proses pengomposan. Dalam rentangan kerapatan di atas, pada bahan terdapat porositas 60-80%, maka akan terdapat ruang atau pori untuk jalannya tersedia oksigen (Setiyo et al., 2019). Secara garis besar, hasil perhitungan kerapatan massa seluruh perlakuan sudah berada dalam rentangan yang baik untuk proses pengomposan. Hasil perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai kerapatan massa (kg/m3) unitpercobaan

Perlakuan

Tinggi Bahan (m)

Kerapatan Massa (kg/m3)

K1

0,4

200

K2

0,37

217

K3

0,34

238

K4

0,31

263

K5

0,28

285

Tabel 3 menunjukkan kerapatan massa pada K1 lebih kecil karena ukuran bahan limbah jagung lebih besar sekitar antara 2-4 cm namun tetap lebih ringan sehingga terdapat lebih banyak celah kosong antar bahan dalam wadah, sedangkan K5 yang merupakan keseluruhan berupa kotoran sapi memiliki ukuran kecil berupa butiran padat namun lebih berat sehingga lebih sedikit terdapat celah dan kerapatan massanya lebih besar.

Variabel Pengamatan Pengomposan

Adapun nilai yang diamati berupa suhu, pH, dan rendemen.

Nilai suhu selama pengomposan

Terlihat pada Gambar 1 bahwa Suhu mengalami peningkatan mulai hari kedua hingga kesepuluh pada suhu 29°C s/d tertinggi 38°C, lalu mulai menurun perlahan setelahnya. Pada saat awal tersebut terjadi tahap aklimasi, yaitu proses penyesuaian mikroorganisme terhadap lingkungannya (Djuarnani et al., 2005). Setelah mampu menyesuaikan diri,

mulai terjadi dekomposisi oleh mikrobia mesofilik, proses perombakan tersebut membuat terjadinya peningkatan suhu pengomposan (Prawiratama et al., 2020). Pada fase mesofilik setelah mikroorganisme menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya terjadi peningkatan jumlah mikroba secara logaritmik dan peningkatan kecepatan reaksi kimia pengomposan, sehingga panas reaksi yang dihasilkan jauh lebih besar daripada total panas yang mengalir ke lingkungan (Setiyo et al., 2019). Diketahui terdapat dua kelompok mikroorganisme yang optimum berkembang pada fase mesofilik, pertama pada suhu 20 derajat celcius s/d 35 derajat celcius dan kedua, mulai suhu 35 derajat celcius s/d 45 derajat celcius, jenis kedua yang lebih dominan berperan dalam proses pengomposan. Setelah fase mesofilik maka akan terjadi fase thermofilik dengan suhu optimal 45°C s/d 66°C (Setiyo et al., 2019). Panas hasil reaksi awal pengomposan lebih dimanfaatkan untuk sintesa sel oleh mikroorganisme, dimana spesies yang mampu bertahan pada saat terjadi perubahan suhu dan pH akan mengenyahkan spesies (Setiyo et al., 2019).

Gambar 1. Perubahan suhu faktor komposisi bahan


Setelah hari ke-20 pengomposan, terjadi penurunan suhu unit percobaan secara bertahap hingga stabil mulai hari ke-30. Proses penurunan suhu biomassa bahan organik setelah mencapai puncaknya diakibatkan oleh penurunan kecepatan reaksi kimia dan biologis proses pengomposan (Setiyo et al., 2019). Pada proses pengomposan penelitian ini,

panas yang dihasilkan unit percobaan masih belum mampu mencapai fase thermofilik sehinggsa proses yang lebih dominan adalah fase mesofilik. Hal tersebut diduga karena tinggi wadah pengomposan kurang dari 1 meter sehingga lebih banyak panas yang terbuang ke lingkungan (Setiyo et al., 2019).

Tabel 4. Rata-rata interaksi kedua faktor dengan suhu (°C)

B1

B2

B3

Rata-rata

K1

31,56efg

31,78def

31,97de

31,77c

K2

32,21cd

32,06d

32,63bc

32,30b

K3

33,15a

32,99ab

32,73ab

32,96a

K4

31,50fg

31,29gh

31,02hi

31,27d

K5

31,20ghi

30,95hi

30,85i

31,00e

Keterangan: Huruf yang sama pada rata-rata, berarti nilainya tidak berbeda nyata (p>0,05)

Hasil ANOVA menampilkan bahwa interaksi antara kedua faktor dan faktor perbandingan komposisi bahan pengomposan berpengaruh sangat nyata (P˂0,01) terhadap suhu pengomposan, sedangkan faktor jenis bioaktivator berbeda berpengaruh tidak nyata. Tabel 4 menunjukkan suhu rata-rata tertinggi

diperoleh K3.B1 (50% : 50% dan MOL bonggol pisang) yaitu sebesar 33,15°C dan berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya. Rata-rata faktor kombinasi komposisi bahan pada suhu pengomposan ditunjukkan oleh Tabel 5.

Tabel 5. Rata-rata faktor kombinasi komposisi bahan pada suhu pengomposan (semua memakai uji lanjut

duncan α=0,05)

Perlakuan

Suhu Minimum (°C)

Suhu Maksimum (°C)

Suhu Rata-rata (°C)

K1

28,35

34,49

31,77c

K2

28,22

36,08

32,30b

K3

28,43

38,13

32,96a

K4

27,89

34,59

31,27d

K5

27,60

35,00

31,00e

Keterangan: Huruf yang sama pada rata-rata, berarti nilainya tidak berbeda nyata (p>0,05)

Tabel 5 menunjukkan bahwa perbandingan K3 memiliki jumlah mikroorganisme yang lebih banyak aktif bekerja dan juga tinggi tumpukannya tidak terlalu rendah karena limbah jagung mengisi lebih banyak ruang, sehingga panas tidak mudah menguap ke lingkungan. Pada perlakuan K1 merupakan tumpukan paling tinggi, namun efektivitas pengomposannya kurang maksimal sehingga suhunya tidak terlalu tinggi. Pada pelakuan K5 tinggi

tumpukannya paling rendah sehingga suhu yang dihasilkan mudah terserap oleh lingkungan. Menurut Dewi et al. (2017), adanya kenaikan suhu pada saat dekomposisi diakibatkan oleh jumlah mikroorganisme yang bekerja. Semakin banyak maka semakin panas dan proses dekomposisi menjadi lebih cepat. Tabel 6 menampilkan data jenis bioaktivator tidak berpengaruh nyata terhadap suhu pengomposan.

Tabel 6. Rata-rata faktor jenis bioaktivator terhadap suhu pengomposan

Perlakuan

Suhu Minimum (°C)

Suhu Maksimum (°C)

Suhu Rata-rata (°C)

B1

28,15

35,30

31,92

B2

28,11

35,16

31,81

B3

28,09

35,15

31,84

Nilai pH Selama Pengomposan

Nilai pH atau derajat keasaman yang optimum pada proses dekomposisi aerob yaitu 6,0-8,0 (Yuwono, 2006). Nilai pH awal yang terukur rentangnya 6,0 -6,5. Pada hari ke-3 nilai pH kompos mulai mengalami peningkatan. Hal tersebut disebabkan oleh adanya proses dekomposer mengubah nitrogen menjadi amonia, sehingga adanya kondisi basa dalam kompos

(Prawiratama et al., 2020). Hasil ANOVA terlihat bahwa interaksi kedua faktor tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05) terhadap pH. Namun, faktor perbandingan komposisi bahan dan jenis bioaktivator memberikan pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap pH selama proses pengomposan. Gambar 2 menunjukkan ilustrasi perubahan pH oleh faktor komposisi bahan selama proses pengomposan.

Gambar 2. Perubahan pH faktor komposisi bahan


Tabel 7 menunjukkan bahwa pH dari limbah jagung pada penelitian ini lebih netral dibandingkan dengan pH kotoran sapi. Berdasarkan hasil ulangan yang

berbeda nyata terhadap nilai pH, maka diketahui setiap pengambilan bahan mempengaruhi nilai pH kompos nantinya.

Tabel 7. Rata-rata faktor perbandingan komposisi pada pH

Perlakuan

pH Minimum

pH Maksimum

pH Rata-rata

K1

6,50

7,50

7,00b

K2

6,50

8,00

7,09a

K3

6,33

8,50

7,14a

K4

6,00

8,50

6,85d

K5

6,00

8,50

6,91c

Keterangan: Huruf yang sama pada rata-rata, berarti nilainya tidak berbeda nyata (p>0,05)

Terlihat pada Tabel 8, B1 (MOL bonggol pisang) dan B2 (MOL daun gamal) tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata terhadap perlakuan B3 (MOL nasi

basi). Hal tersebut menandakan bahwa pH dari MOL nasi basi lebih rendah atau mendekati asam daripada dua lainnya.

Tabel 8. Rata-rata faktor jenis bioaktivator pada pH

Perlakuan

pH Minimum

pH Maksimum

pH Rata-rata

B1

6,30

8,20

7,01a

B2

6,30

8,20

7,05a

B3

6,20

8,20

6,93b

Keterangan: Huruf yang sama pada rata-rata, berarti nilainya tidak berbeda nyata (p>0,05)

Nilai Rendemen Kompos

Selama 35 hari, rendemen rata-rata kompos yaitu 59,33%-78,67% yang dapat dilihat pada Tabel 9. Hasil ANOVA terlihat bahwa interaksi antara kedua faktor berpengaruh nyata (P˂0,05) dan faktor

perbandingan komposisi bahan sangat nyata berpengaruh (P˂0,01) terhadap nilai rendemen hasil pengomposan. Sedangkan untuk faktor jenis bioaktivator tidak berpengaruh nyata (P>0,05).

Tabel 9. Rerata interaksi antara kombinasi kedua faktor pada rendemen (%)

B1

B2

B3

Rata-rata

K1

70,33ef

67,67de

66,67d

68,22c

K2

64,67cd

67,33de

64,67cd

65,56b

K3

59,33a

60,33ab

63,00bc

60,89a

K4

70,00ef

71,33f

72,00f

71,11d

K5

77,33g

78,33g

78,67g

78,11e

Keterangan: Huruf yang sama pada rata-rata, berarti nilainya tidak berbeda nyata (p>0,05)

Perbedaan nilai rendemen lebih dipengaruhi oleh jenis bahan yang digunakan. Pada perlakuan dengan kotoran sapi lebih banyak cenderung memiliki nilai rendemen lebih tinggi karena sifat fisik kotoran sapi lebih mudah mengikat air sehingga menjadi lebih

berat sedangkan limbah jagung ketan kandungan airnya lebih mudah menguap.

Parameter Kualitas Kompos

Nilai pH akhir

Tabel 10. Rata-rata interaksi kedua faktor pada pH akhir

B1

B2

B3

Rata-rata

Standar SNI

K1

6,99e

7,04cde

6,96ef

7,00b

K2

7,11bcd

7,13abc

7,04cde

7,09a

K3

7,19ab

7,23a

7,01de

7,14a

K4

6,84g

6,88fg

6,82g

6,85d

6,80-7,49

K5

6,94ef

6,96ef

6,83g

6,91c

Rata-rata

7,01a

7,05a

6,93b

Keterangan: Huruf yang sama pada rata-rata, berarti nilainya tidak berbeda nyata (p>0,05)

Kadar air akhir

Tabel 11. Rata-rata interaksi kedua faktor pada kadar air akhir (%)

B1

B2

B3

Rata-rata

Standar SNI

K1

36,27abcd

35,97abc

35,87abc

36,04ab

K2

36,30abcd

36,52bcde

36,17abc

36,33b

K3

37,29e

36,60cde

37,09de

36,99c

<50 %

K4

36,05abc

35,81ab

35,63a

35,83a

K5

36,47bcde

36,36bcd

35,86abc

36,23ab

Keterangan: Huruf yang sama pada rata-rata, berarti nilainya tidak berbeda nyata (p>0,05)

Dari Tabel 11 terlihat bahwa seluruh perlakuan sesuai dengan standar. Kadar air secara SNI disarankan lebih kecil dari 50%. Hal tersebut karena ketika kadar air terlalu tinggi maka bahan atau kompos akan lebih padat akibat dari sumber makanan yang diperlukan oleh mikroba menjadi melumer dan oksigen pun terblokir masuk (TANTRI P. T. N et al., 2016). Hasil ANOVA interaksi kedua faktor dan faktor jenis bioaktivator tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kadar airnya, sedangkan faktor perbandingan komposisi bahan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar air akhir kompos. Hal tersebut karena kadar air lebih banyak dipengaruhi oleh kadar air awal bahan dan ulangan berpengaruh sangat signifikan karena pada saat pengambilan bahan untuk tiap ulangan tidak bisa dipastikan sama kadar air awal bahannya antar tiap ulangan.

C-Organik

Nilai akhir C-Organik dalam kompos dipengaruhi oleh kualitas hasil akhir bahan organik dan aktivitas mikroorganisme yang terlibat saat proses bahan organik diurai (TANTRI P. T. N et al., 2016). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, diketahui bahwa interaksi antara kedua faktor, faktor perbandingan komposisi bahan, dan faktor jenis bioaktivator berpengaruh sangat signifikan (P<0,01) terhadap kandungan C-organik kompos. Hal tersebut karena kandungan awal C-organik bahan kompos berbeda-beda sesuai dengan jenis bahan dan tambahan campuran bahan lainnya. Sedangkan untuk

ulangan menunjukkan hasil berpengaruh signifikan (P<0,05) terhadap kandungan C-organik. Hal tersebut karena waktu pengambilan bahan tidak sama antar tiap ulangan yang mana kadar C-Organik tiap jenis bahan tidak homogen. Dari Tabel 12 terlihat seluruh perlakuan memiliki nilai rata-rata C-organik antara 28,12%-41,98%, sehingga secara umum perlakuan K5.B1–K5.B3, K4.B1, dan K4.B3 memiliki kandungan C-organik sudah sesuai SNI, sedangkan lainnya tidak.

Jika dilihat perlakuan dengan jumlah limbah jagung ketan lebih banyak, mendapatkan hasil pengomposan dengan kandungan karbon (C) lebih besar. Jumlah bahan limbah jagung ketan dengan kadar C-organik yang tinggi dan kompleks membuat aktivitas dekomposer lebih berat dan memerlukan waktu lebih lama untuk menguraikan bahan organik, namun pada hari ke-30 telah terjadi penurunan suhu yang menandakan mikroorganisme tidak aktif lagi. Hal tersebut diduga karena mikroorganisme telah mati dan diperlukan waktu dekomposisi lebih lama agar mikroorganisme kembali beregenerasi untuk memulai mendekomposisi bahan organik yang masih tersisa. Dugaan lainnya juga karena suhu pengomposan tidak mencapai thermofilik sehingga hanya bakteri mesofilik yang bekerja. Hal tersebut membuat C-organik tidak maksimal terurai, selain karena adanya lignin yang keras pada limbah batang jagung.

Tabel 12. Rata-rata interaksi kedua faktor pada kadar C-organik (%)

B1

B2

B3

Rata-rata

Standar SNI

K1

41,98h

41,27gh

40,47g

41,24e

K2

37,18e

39,02f

37,78e

38,00d

K3

34,04cd

36,65e

35,11d

35,27c

9,80 - 32%

K4

31,71b

33,29c

31,91b

32,30b

K5

28,87a

28,63a

28,12a

28,54a

Rata-rata

34,76a

35,77b

34,68a

Keterangan: Huruf yang sama pada rata-rata, berarti nilainya tidak berbeda nyata (p>0,05)

N-total

Kandungan nitrogen tiap jenis bahan pengomposan berbeda-beda sehingga hal tersebut mempengaruhi kadar N total dari kompos yang dihasilkan. Nitrogen tersedia dalam jumlah tinggi saat proses dekomposisi lebih sempurna atau berjalan baik, sedangkan pada nitrogen yang terukur rendah lebih disebabkan oleh bahan baku kompos yang memang awalnya mengandung nitrogen rendah serta ada kemungkinan nitrogen yang ada banyak menguap karena kondisi pengomposan ataupun pengemasan yang kurang baik (TANTRI P. T. N et al., 2016). Dari hasil analisis ANOVA diketahui bahwa interaksi antara kedua faktor dan kedua faktor tunggal memiliki pengaruh sangat signifikan(P<0,01) terhadap kandungan N-total. Hal tersebut menunjukkan bahwa baik kedua faktor memiliki pengaruh terhadap kandungan N-total kompos. Sedangkan ulangan atau kelompok memiliki pengaruh signifikan (P<0,05) terhadap N-total. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi awal bahan saat pengambilan mempengaruhi kadar N-total kompos nantinya.

Dari Tabel 13 terlihat bahwa keseluruhan perlakuan telah sesuai SNI dengan kadar nitrogen di atas 0,40%. Pada faktor perbandingan komposisi, nilai rata-rata nitrogen tertinggi diperoleh pada perlakuan K4 sebesar 1,64% dan tidak berbeda nyata dengan K3 tetapi keduanya berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Terlihat bahwa limbah jagung ketan (K1) memiliki kadar nitrogen lebih rendah dari perlakuan lainnya. Hal tersebut karena limbah jagung ketan yang digunakan lebih banyak didominasi bagian batang dan klobot yang rendah kandungan nitrogennya dengan sedikit bagian daun yang memiliki kadar nitrogen tinggi namun telah mengering sehingga kadar nitrogennya lebih banyak menguap. Pada faktor jenis bioaktivator diketahui bahwa perlakuan dengan MOL daun gamal (B2) memiliki nilai rata-rata kadar nitrogen tertinggi yaitu 1,46% dan tidak berbeda nyata dengan B1 tetapi keduanya berbeda nyata dengan perlakuan B3. Hal tersebut diduga karena kandungan awal daun gamal yang cukup tinggi sehingga cukup berpengaruh terhadap hasil pengukuran nitrogen kompos.

Tabel 13. Rata-rata interaksi kedua faktor pada kadar N-total (%)

B1

B2

B3

Rata-rata

Standar SNI

K1

1,01i

1,11h

0,98i

1,03d

K2

1,25g

1,34f

1,32fg

1,30c

K3

1,62abc

1,69a

1,54cde

1,62a

K4

1,63ab

1,68a

1,6abc

1,64a

>0,40%

K5

1,56bcd

1,50de

1,46e

1,51b

Rata-rata

1,41b

1,46a

1,38b

Keterangan: Huruf yang sama pada rata-rata, berarti nilainya tidak berbeda nyata (p>0,05)

Rasio C/N

Ketika Rasio C/N kompos memiliki nilai lebih dari 20/1, mikrobia akan memanfaatkan sebagian besar N untuk metabolisme mereka, sebaliknya apabila C/N nilainya lebih rendah dari 20/1 maka terjadi kelebihan N yang mana dapat hilang ke atmosfer sebagai amonia (Faesal; & Syuryawati;, 2018). Berdasarkan

hasil ANOVA didapat bahwa interaksi kedua faktor signifikan berpengaruh (P<0,05) terhadap rasio C/N. Faktor perbandingan komposisi bahan sangat signifikan berpengaruh (P<0,01) terhadap rasio C/N rasio. Sedangkan faktor jenis bioaktivator dan ulangan tidak memberikan pengaruh signifikan (P>0,05).

Tabel 14. Nilai rata-rata interaksi antara kedua faktor terhadap rasio C/N (%)

B1

B2

B3

Rata-rata

Standar SNI

K1

41,95g

37,14f

41,51g

40,20d

K2

29,80e

29,06e

28,67e

29,18c

K3

21,00bcd

21,69cd

22,86d

21,85b

10 s/d 20

K4

19,48abc

19,83abc

19,94abc

19,75a

K5

18,49a

19,09ab

19,23abc

18,94a

Keterangan: Huruf yang sama pada rata-rata, berarti nilainya tidak berbeda nyata (p>0,05)

Pada Tabel 14 diketahui bahwa hasil uji lanjut Duncan (α=0,05) pada interaksi kedua faktor memiliki nilai rata-rata C/N terendah pada perlakuan K5.B1 dan berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya. Nilai C/N rata-rata pada perlakuan K4.B1-B3 dan

K5.B1-B3 sudah sesuai dengan SNI. Sedangkan perlakuan lainnya masih berada di atas SNI sehingga masih perlu waktu pengomposan lebih lama untuk mencapai nisbah C/N 10-20, karena kadar C-Organiknya masih tinggi dan Nitrogrennya rendah

serta pada bagian limbah jagung masih banyak kandungan lignin yang keras sehingga masih perlu waktu untuk pengomposannya menjadi senilai nisbah C/N 10-20. Nilai C/N rasio kompos menggambarkan tingkat kematangannya, pada rasio C/N yang masih tinggi mengindikasikan bahwa kompos belum terurai sempurna atau belum matang dan belum siap dipakai pupuk. Jika C/N rasio masih tinggi, maka akan mempengaruhi ketersediaan unsur hara, karena C/N tinggi dapat membuat kandungan unsur hara lebih sedikit tersedia untuk tanaman begitu pun sebaliknya (TANTRI P. T. N et al., 2016).

Hasil uji lanjut faktor perbandingan komposisi menunjukkan bahwa nilai rata-rata C/N perlakuan terendah ada pada K5 yaitu 18,94 dan tidak berbeda nyata dengan K4 namun keduanya berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan dengan komposisi bahan kotoran sapi lebih tinggi memiliki nilai C/N lebih rendah dan sesuai SNI, yaitu komposisi 75% - 100% kotoran sapi berdasarkan beratnya. Hal tersebut karena kandungan C-Organik pada limbah jagung lebih tinggi dari kotoran sapi dan nitrogennya lebih rendah sehingga hasil rasio C/N-nya masih cukup tinggi. Pada faktor jenis bioaktivator tidak terdapat perbedaan nyata.

KESIMPULAN

Kombinasi limbah jagung ketan dan kotoran sapi dengan jenis bioaktivator berbeda berpengaruh sangat nyata terhadap suhu dan C-organik, serta berbeda nyata terhadap rendemen, N-total, dan rasio C/N, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap pH dan kadar air. Jenis bioaktivator berbeda berpengaruh nyata terhadap pH dan sangat nyata terhadap C-organik serta N-total, tetapi tidak berpengaruh terhadap suhu, kadar air, rendemen kompos, dan rasio C/N. Komposisi limbah jagung dan kotoran sapi K5 (0%:100%) berdasarkan beratnya dengan jenis bioaktivator B1 (MOL bonggol pisang) menghasilkan kompos dengan kualitas rata-rata terbaik dan sesuai SNI, yaitu pH 6,94, kadar air 36,47%, C-organik 28,87%, N-total 1,56%, rasio C/N 18,49%.

DAFTAR PUSTAKA

Aminah;, S., Soedarsono;, G. B., & Sastro;, Y. (2003). Teknologi   Pengomposan.   Balai

Pengkajian Teknologi Pertanian, Jakarta.

Atmaja, I., Tika, I., & Wijaya, I. (2017). Pengaruh perbandingan komposisi bahan baku terhadap kualitas dan lama waktu pengomposan. The Effect Composition Ratio of Raw Material on Compost Quality and Timing for Composting.

Jurnal BETA (Biosistem Dan Teknik Pertanian),          5(1),          111–119.

http://ojs.unud.ac.id/index.php/beta

BPS Karangasem. (2018). Kecamatan Sidemen Dalam Angka 2018. Badan Pusat Statistik. Karangasem. http://www.bps.go.id/

BPS Karangasem. (2020). Kecamatan Sidemen Dalam Angka 2020. Badan Pusat Statistik. Karangasem. http://www.bps.go.id/

Budiyani;, N. K., Soniari;, N. N., & Sutari;, N. W. S. (2016).     Analisis     Kualitas     Larutan

Mikroorganisme Lokal (MOL) Bonggol Pisang. Analysis of Local Mikroorganisme Solution Quality Based on Banana Weevil. E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika,   5(1),   63–72.

http://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT

Dewi, N., Setiyo, Y., & Nada, I. (2017). PENGARUH BAHAN TAMBAHAN PADA KUALITAS KOMPOS KOTORAN SAPI. Jurnal BETA (Biosistem Dan Teknik Pertanian), 5(1), 76–82. http://ojs.unud.ac.id/index.php/beta

Djuarnani;, N., Kristian;, & Setiawan;, B. S. (2005). Cara cepat membuat kompos. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Ernita;, E. J., Yetti;, H., & Ardian; (2017). Pengaruh pemberian limbah serasah jagung terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Sturt.). Jom Faperta, 4(1), 1–15.

Faesal;, & Syuryawati; (2018). Efektivitas kompos limbah jagung menggunakan dekomposer bakteri dan cendawan pada tanaman jagung. Jurnal Pangan, 27(2), 117 – 128.

Faesal, Dj, N., & Soenartiningsih. (2017). Seleksi Efektivitas Bakteri Dekomposer terhadap Limbah Tanaman Jagung Selection for Effectiveness of Decomposer for Maize Stover. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, 1(2), 105–114.

Furqaanida;, N. (2004). Pemanfaatan klobot jagung sebagai substitusi sumber serat ditinjau dari kualitas fisik dan palatabilitas ransum komplit. IPB. Bogor.

Prawiratama, D. R., Widia, I. W., & Sucipta, I. N. (2020). Pengaruh Komposisi Kotoran Sapi dan Pelepah Rebung Bambu Tabah serta Konsentrasi Aktivator terhadap Kualitas Kompos yang dihasilkan. Jurnal BETA (Biosistem Dan Teknik Pertanian), 8(1), 25–34.

Royaeni;, Pujiono;, & Pudjowati;, D. T. (2014).

PENGARUH         PENGGUNAAN

BIOAKTIVATOR MOL NASI DAN MOL TAPAI TERHADAP LAMA WAKTU PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK PADA TINGKAT RUMAH TANGGA. VISIKES: Jurnal Kesehatan Masyarakat, 13(1), 1–9.

SENI, I., ATMAJA, I., & SUTARI, N. (2013). Analisis Kualitas Larutan Mol (Mikoorganisme Lokal) Berbasis Daun Gamal (Gliricidia Sepium). E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika (Journal of Tropical Agroecotechnology), 2(2), 135–144.

Setiyo;, Y., Gunam;, I., & Harsojuwono;, B. (2019). Bioproses Limbah Pertanian. Intimedia. Malang.

Setiyo;, Y., Purwadaria;, H. K., Yuwono;, A. S., & Subroto;, M. A. (2007). PENGEMBANGAN MODEL     SIMULASI     PROSES

PENGOMPOSAN SAMPAH ORGANIK PERKOTAAN DALAM BIOREAKTOR. Jurnal Forum Pascasarjana, 30(1), 1–12.

Sutari;, N. W. S., & Suwastika, A. A. N. G. (2016). Efektivitas       penggunaan       beberapa

mikroorganisme lokal (mol) dalam pengolahan limbah organik kota (sampah upacara) menjadi pupuk organik dan aplikasinya pada tanaman sawi hijau (brassica juncea. L). Seminar Nasional Sains Dan Teknologi (SENASTEK-2016), Kuta, Bali, Indonesia, 15-16 Desember 2016.

TANTRI P. T. N, T., SUPADMA, A., &

ARTHAGAMA, I. (2016). Uji Kualitas Beberapa Pupuk Kompos Yang Beredar Di Kota Denpasar. E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika      (Journal      of      Tropical

Agroecotechnology), 5(1), 52–62.

Yuwono;, T. (2006). Bioteknologi Pertanian. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

49