Pengaruh Konsentrasi Rendaman Asap Cair Bambu Tabah (Gigantochloa Nigrociliata Buse-Kurz) dan Lama Waktu Pengovenan terhadap Mutu Ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis)
on
JURNAL BETA (BIOSISTEM DAN TEKNIK PERTANIAN) Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana
http://ojs.unud.ac.id/index.php/beta
Volume 10, Nomor 2, bulan September, 2022
Pengaruh Konsentrasi Rendaman Asap Cair Bambu Tabah (Gigantochloa Nigrociliata Buse-Kurz) dan Lama Waktu Pengovenan terhadap Mutu Ikan Cakalang (Katsuwonus Pelamis)
The Effect Of Tabah Bamboo Liquid Smoke (Gigantochloa Nigrociliata Buse-Kurz) Concentration and Long Ovening Time on The Quality of Skipjack Tuna (Katsuwonus Pelamis)
Fhergie Dwi Lestari Matasik, Pande Ketut Diah Kencana*, I Putu Surya Wirawan
Program Studi Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian,Universitas Udayana, Badung, Bali, Indonesia
*e-mail : [email protected]
Abstrak
Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) salah satu jenis ikan yang banyak di konsumsi oleh masyarakat Indonesia. Kandungan nutrisinya yang cukup tinggi dan rasanya enak, membuat ikan cakalang sangat digemari Permasalahan yang sangat sering terjadi adalah dalam penanganan pasca panen ikan cakalang terutama pada musim panen raya. Kerusakan yang umum terjadi adalah pembusukan pada saat penyimpanan dalam jangka waktu tertentu. Hal ini terjadi disamping karena teknologi yang digunakan tidak memadai juga disebabkan oleh kandungan air ikan cakalang mencapai 80%, pH tubuh mendekati netral, serta kandungan gizi yang tinggi sehingga ikan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri dan mikroorganisme lainnya. Salah satu pengolahan pasca panen yang sering dilakukan adalah dengan cara pengasapan. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan mendapatkan konsentrasi asap cair bambu tabah dan lama waktu pengovenan yang tepat untuk mendapatkan kualitas mutu ikan cakalang terbaik. Metode yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan dua faktor. Faktor pertama merupakan perlakuan pemberian konsentrasi asap cair yang terdiri dari konsentrasi 1%, 5% dan 9%. Faktor kedua merupakan perlakuan lama pengovenan pada ikan yang terdiri dari waktu 120 menit, 180 menit dan 240 menit, pada suhu 90 T. Kombinasi perlakuan terbaik adalah pada konsetrasi asap cair 9% dan lama waktu pengovenan 240 menit menghasilkan ikan cakalang asap dengan karakteristik sebagai berikut: kadar air 41,88%; kadar protein 20,98%; total mikroba 4,50x104 CFU/g; nilai uji sensori kenampakan 8,33; aroma 8,87; rasa 8,60 serta tekstur 8,73.
Kata kunci: asap cair, bambu tabah, Ikan Cakalang
Abstract
Skipjack tuna (Katsuwonus pelamis) is one widely consumed by Indonesian. It is high nutritional content and has good taste, makes skipjack fish very popular. Problems that often occur are in postharvest handling of skipjack tuna, especially during the harvest season. The damage that commonly occurs is spoilage during storage for a certain period. It was caused by the technology used not being adequate, the water content of skipjack tuna to reach up to 80%, the body pH close to neutral, and the high nutritional content, so that fish is the best medium bacteria and others to grow. One of the post-harvest processing frequently is smoking. This study aims to measure and obtain the concentration of liquid smoke of tabah bamboo and the proper length drying to get the best quality of skipjack tuna. The method used is a factorial completely randomized design with two factors. The first factor is giving the liquid smoke concentration which consists of 1%, 5%, and 9%. The second factor is the length of fish in the oven on the fish consisting of 120 minutes, 180 minutes, and 240 minutes, at a temperature of 90℃. The best treatment combination was at 9% liquid smoke concentration and 240 minutes of oven time to produce smoked skipjack tuna with the following characteristics: water content 41.88%; protein content 20.98%; total microbes 4.50x104 CFU/g; the value of the sensory appearance test is 8.33; fragrance 8.87; 8.60 taste and 8.73 texture.
Keywords: liquid smoke, Skipjack Tuna, tabah bamboo
PENDAHULUAN
Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) salah satu jenis ikan yang banyak di konsumsi oleh masyarakat
Indonesia. Ikan cakalang tersebar luas di Lautan Pasifik, Atlantik dan Hindia kecuali Lautan Mediterania dan di perairan Indonesia (Salam, 2017) Ikan cakalang sering dikonsumsi oleh masyarakat
Indonesia karena kandungan nutrisi yang dimiliki cukup tinggi, hal tersebut juga menyebabkan ikan cakalang mudah mengalami kerusakan. Selain sebagai media pertumbuhan bakteri dan mikroorganisme karena kandungan gizinya yang tinggi, kerusakan pada ikan juga disebabkan oleh pH ikan mencapai netral netral dan 80% tubuh ikan mengandung air (Anggraini & Yuniningsih, 2017). Di daerah tropis, proses kerusakan pada ikan dapat terjadi lebih cepat karena dipengaruhi oleh humiditas dan suhu harian yang tinggi. Apabila tidak diberikan penanganan yang tepat, proses kerusakan pada ikan akan terjadi semakin cepat (Hadinoto et al., 2016). Untuk memperpanjang masa simpan, berbagai jenis pengolahan ikan cakalang telah banyak dilakukan oleh masyarakat salah satunya yaitu pengasapan.
Secara umum, pengasapan ikan dibagi menjadi dua metode, pengasapan secara tradisional dan metode pengasapan secara modern. Pengasapan tradisional memiliki kekurangan diantaranya menyebabkan ketidakseragaman pada produk sehingga kenampakan menjadi tidak menarik dan pencemaran udara akibat sulitnya mengontrol suhu serta asap yang dihasilkan (Ghazali & Swastawati, 2014). Agar ramah lingkungan dan aman untuk tubuh, pengasapan ikan dapat dilakukan dengan menggunakan asap cair (Swastawati et al., 2018). Penggunaan asap cair dalam proses pengolahan ikan memiliki beberapa kelebihan seperti keseragaman rasa dan kenampakan dari produk yang dihasilkan, efisien, meminimalisir polusi lingkungan, dan sedikitnya senyawa karsinogen yang terbentuk jika dibandingkan dengan pengasapan tradisional (Katiandagho et al., 2017). Senyawa karsinogen merupakan senyawa yang muncul akibat kandungan fenol yang tinggi. Setelah mengalami proses pengasapan, kandungan fenol pada ikan akan mengalami peningkatan. Swastawati et al., (2018) menyebutkan bahwa ikan yang diolah dengan menggunakan pengasapan tradisional memiliki kandungan fenol lebih tinggi daripada ikan yang diolah dengan menggunakan asap cair. Maka dari itu penggunaan asap cair lebih dianjurkan dalam proses pengolahan ikan asap. Asap cair dihasilkan melalui pirolisis dari bahan seperti tempurung dan serabut kelapa, kayu, maupun bambu yang kemudian diikuti dengan proses kondensasi (Swandewi et al., 2019). Salah satu jenis bambu yang dapat dijadikan asap cair adalah jenis bambu tabah.
Bambu tabah atau biasa disebut bambu hambar berasal dari Desa Padangan, Pupuan yang pemanfaatan dan pelestariannya masih kurang optimal di kalangan masyarakat. Bambu tabah biasanya hanya digunakan sebagai bahan pelengkap upacara adat istiadat, pembatas lahan ataupun
penahan irigasi tanah di tepi sungai (Kencana et al., 2012). Jika pembudidayaan tidak baik akan memungkinkan jenis bambu tabah akan punah. Dengan demikian, diperlukan kajian lebih lanjut mengenai pemanfaatan bambu tabah sebagai asap cair. Jakung et al., (2020) dalam penelitiannya menyatakan bahwa perbedaan konsentrasi asap cair bambu tabah dan suhu pemasakan berpengaruh terhadap sifat kimia dan sensori Se’i Bandeng. Kombinasi perlakuan terbaik didapatkan pada konsentrasi asap cair bambu tabah sebesar 8% dan suhu pemasakan 100°C. Penelitian lainnya yang dilakukan Turnip et al., (2020), dalam pengunaannya menggunakan kombinasi perlakuan konsentrasi asap cair 6%, waktu pengovenan 2 jam, 3 jam, 4 jam dan suhu yang digunakan ialah 60°C, 80°C, 100°C dihasilkan kombinasi terbaik dengan konsentrasi 6%, suhu 100°C, dan waktu 4 Jam. Penelitian yang di lakukan Swastawati et al., (2018) menggunakan asap cair bahan baku sebanyak 5% dan suhu pengovenan 90°C. Penelitian lainnya yang dilakukan Andika et al., (2020) menggunakan asap cair bahan baku sebanyak 1%, 2%, 3% dengan suhu pengovenan 60°C, 80°C, 90°C.
Karena bambu tabah memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan sebagai asap cair, maka diperlukan penelitian tentang pengaruh konsentrasi rendaman asap cair bambu tabah dan waktu pengovenan terhadap mutu ikan cakalang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur dan mendapatkan konsentrasi asap cair bambu tabah dan lama waktu pengovenan yang tepat untuk mendapatkan kualitas mutu ikan cakalang terbaik.
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Pascapanen, Laboratorium Analisis Pangan, dan Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana. Waktu penelitian berlangsung dari bulan Februari 2021 sampai Mei 2021.
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan yaitu ikan cakalang segar dengan berat sekitar 600 g setiap ekornya sebanyak 9 ekor yang diperoleh dari Pasar Ikan Kedonganan, asap cair bambu tabah grade 3 yang selanjutnya didestilasi menjadi asap cair bambu tabah grade 1, kertas saring, dan air kemasan aqua.
Alat yang digunakan adalah destilator asap cair, destilator behrotest, oven, botol, corong, cool box, pisau, talenan, baskom, gelas ukur, timbangan digital, erlenmeyer, desikator, labu kjedal, cawan porselin, gelas beker, cawan petri, dan peralatan tulis.
Rancangan Penelitian
Rancangan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan dua faktor dan tiga taraf perlakuan. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga diperoleh 27 unit percobaan. Suhu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 90°C.
Perlakuan Perlakuan penelitian yang pertama adalah faktor konsentrasi asap cair (K):
-
a. K1= Konsentrasi asap cair 1%
-
b. K2= Konsentrasi asap cair 5% c. K3= Konsentrasi asap cair 9%
Perlakuan penelitian yang kedua adalah faktor waktu pengovenan (W):
-
a. W1= Lama waktu pengovenan 120 menit
-
b. W2= Lama waktu pengovenan 180 menit
-
c. W3= Lama waktu pengovenan 240 menit
Kombinasi yang diperoleh sebagai berikut:
-
a. K1W1: Konsentrasi 1%, Waktu 120 menit
-
b. K1W2: Konsentrasi 1%, Waktu 180 menit
-
c. K1W3: Konsentrasi 1%, Waktu 240 menit
-
d. K2W1: Konsentrasi 5%, Waktu 180 menit
-
e. K2W2: Konsentrasi 5%, Waktu 180 menit
-
f. K2W3: Konsentrasi 5%, Waktu 240 menit
-
g. K3W1: Konsentrasi 9%, Waktu 120 menit
-
h. K3W2: Konsentrasi 9%, Waktu 180 menit
-
i. K3W3: Konsentrasi 9%, Waktu 240 menit
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam dan apabila perlakuan berpengaruh terhadap variabel maka dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range (DMRT).
Pelaksanaan Penelitian
Tahapan pelaksanaan penelitian meliputi:
-
1. Persiapan Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan adalah ikan cakalang segar sebayak 9 ekor dengan berat 600 g per ekornya yang didapat dari tempat pelelangan ikan Kedonganan.
-
2. Penyiangan dan Pencucian
Sembilan ekor ikan cakalang yang telah didapat langsung dicuci dengan air mengalir, dipotong bulat dengan ukuran yang sama dan berat berkisar antara 80-120 g.
-
3. Perendaman Asap Cair Bambu Tabah Perendaman ikan cakalang dilakukan dalam larutan asap cair dengan konsentrasi 1%, 5%, dan 9% selama 60 menit. Selanjutnya, ditiriskan selama 10 menit dan dioven dengan suhu 90oC selama 120 menit, 180 menit, 240 menit. Setelah itu, dilakukan alanisis sesuai dengan parameter uji yang telah ditentukan.
Parameter Pengamatan
Parameter yang diamati meliputi kadar air dengan menggunakan metode pemanasan (Darmadji, 1995), kadar protein dengan menggunakan metode Mikro Kjeldahl (Sudarmadji et al., 1989), total cemaran mikroba dengan metode analisis TPC, serta evaluasi sensoris meliputi: kenampakan, bau, rasa, dan tekstur terhadap ikan cakalang menggunakan uji skoring sesuai dengan SNI 2725.1:2009 tentang ikan asap.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan konsentrasi asap cair dan lama waktu pengovenan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar air ikan cakalang yang dihasilkan. Nilai rata-rata kadar air (%) ikan cakalang pada perlakuan konsentrasi asap cair dan waktu pengovenan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh konsentrasi asap cair dan waktu pengovenan terhadap nilai rata-rata kadar air (%) ikan cakalang
Perlakuan W1 |
W2 |
W3 | |
K1 |
61,68a |
57,21b |
44,47g |
K2 |
52,39c |
50,85d |
49,50e |
K3 |
47,91f |
47,18f |
41,88h |
Keterangan: |
Huruf yang sama di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0,05) |
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air tertinggi diperoleh pada perlakuan konsentrasi 1% dan waktu pengovenan 120 menit (K1W1) dengan nilai rata-rata sebesar 61,68%, sedangkan kadar air terendah diperoleh pada perlakuan konsentrasi 9% dan waktu pengovenan 240 menit (K3W3) dengan nilai rata-rata sebesar 41,88%. Berdasarkan nilai rata-rata kadar air yang diperoleh, tingginya penggunaan konsentrasi asap cair menyebabkan rendahnya nilai kadar air. Pada penelitian ini, hanya kombinasi perlakuan konsentrasi 1% dan waktu 120 menit yang menghasilkan kadar air di atas 60% yang artinya tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan ikan asap yang telah ditetapkan oleh SNI 2725.2.2009 yaitu maksimal 60%.
Leroi & Joffraud, (2000) menyebutkan bahwa penggunaan asap cair ke dalam suatu produk pangan dapat menyebabkan terjadinya kehilangan air. Hal ini disebabkan oleh tingkat keasaman asap cair yang dapat menyebabkan keluarnya air bebas dari daging ikan akibat ketidaklarutan protein daging sehingga nilai kadar air ikan menjadi berkurang. Selain penggunaan asap cair, udara panas yang disebabkan
oleh pengovenan dapat mengakibatkan perubahan kadar air pada produk (Wibowo, 2002).
Kadar Protein
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan konsentrasi asap cair dan lama waktu pengovenan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar protein ikan cakalang yang dihasilkan. Nilai rata-rata kadar protein (%) ikan cakalang pada perlakuan konsentrasi asap cair dan waktu pengovenan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Pengaruh konsentrasi asap cair dan waktu pengovenan terhadap nilai rata-rata kadar protein (%) ikan cakalang
Perlakuan |
W1 |
W2 |
W3 |
K1 |
15,58f |
16,11e |
18,78d |
K2 |
19,00d |
19,54c |
19,44c |
K3 |
20,52b |
20,97a |
20,98a |
Keterangan: Huruf yang sama di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0,05)
Tabel 2 menunjukkan bahwa kadar protein ikan cakalang yang dihasilkan berkisar antara 15,58%-20,98%. Nilai kadar protein tertinggi diperoleh pada perlakuan konsentrasi 9% dan waktu pengovenan 240 menit (K3W3) dengan nilai rata-rata sebesar 20,98%, sedangkan nilai kadar protein terendah diperoleh pada perlakuan konsentrasi 1% dan waktu pengovenan 120 menit (K1W1) dengan nilai rata-rata sebesar 15,58%.
Ketidaklarutan protein daging yang disebabkan oleh tingkat keasaman asap cair dapat menyebabkan keluarnya air dari daging ikan (Gómez-Guillén et al., 2000). Berdasarkan kelarutannya, protein dibagi menjadi dua yaitu protein tidak larut air dan protein larut air (Buckle et al., 1987). Di dalam daging ikan, protein larut air akan tertinggal dengan menguapnya sebagian air bebas. Oleh karena itu pemberian konsentrasi asap cair yang dikombinasikan dengan lama waktu pengovenan berpengaruh terhadap nilai kadar protein dari ikan cakalang asap. Menurut (Sutanaya et al., 2018), kadar protein memiliki hubungan yang berbanding terbalik dengan kadar air. Proses pengasapan berpengaruh terhadap jumlah protein, di mana dapat meningkatkan kandungan protein yang tidak dapat larut air namun mengurangi jumlah protein yang larut air dan. Dengan berkurangnya kadar air pada bahan pangan, senyawa protein, lemak, karbohidrat, dan mineral dapat meningkat (Marasabessy, 2007).
Cemaran Mikroba
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan konsentrasi asap cair dan waktu
pengovenan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap kadar cemaran mikroba ikan cakalang yang dihasilkan. Nilai rata-rata TPC (CFU/g) ikan cakalang dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengaruh konsentrasi asap cair dan waktu
pengovenan terhadap nilai rata-rata TPC (CFU/g) ikan cakalang
Perlakuan |
W1 |
W2 |
W3 |
K1 |
9,90 x104 a |
8,90x 104 a |
8,30x 104 a |
K2 |
6,85 x104 a |
6,40x 104 a |
5,65x 104 a |
K3 |
4,80x 104 a |
4,65x 104 a |
4,50x 104 a |
Keterangan: Huruf yang sama di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0,05)
Nilai TPC yang diperlakukan dengan konsentrasi 1% asap cair lebih tinggi daripada yang diperlakukan dengan konsentrasi 9% asap cair, dikarenakan fenol yang terkandung di dalam asap cair berfungsi sebagai antimikroba (Lebois et al., 2004). Lama waktu pengovenan juga berpengaruh terhadap nilai TPC ikan cakalang karena semakin lama bahan kontak dengan panas maka pertumbuhan bakteri yang ada pada bahan semakin terhambat. Waktu pengovenan terbaik ditunjukkan oleh lama pengovenan 240 menit dibandingkan perlakuan waktu pengovenan lainnya. Semua kombinasi perlakuan menunjukkan total mikroba yang telah memenuhi standar SNI 2725.1:2009 sehingga ikan cakalang yang dihasilkan oleh semua kombinasi perlakuan dikatakan aman, tidak melebihi 1,0x105 CFU/g.
Kenampakan
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi asap cair dan lama waktu pengovenan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kenampakan ikan cakalang yang dihasilkan. Pengujian sensori kenampakan ikan cakalang dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai rata-rata uji sensori kenampakan ikan cakalang dengan kombinasi konsentrasi asap cair dan waktu pengovenan
W1 W2 W3
K1 5,13d 6,33c 8,47a
K2 6,47c 6,33c 8,33ab
K3 5,53d 7,67b 8,33ab
Keterangan: Huruf yang sama di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0,05)
Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai tertinggi uji sensori kenampakan diperoleh pada perlakuan konsentrasi asap cair 1% (K1) dan waktu pengovenan 240 menit (W3) yaitu sebesar 8,47 dengan kriteria utuh, bersih, warna coklat, mengkilat spesifik jenis. Sedangkan nilai terendah uji sensori kenampakan
diperoleh pada perlakuan konsentrasi asap cair 1% (K1) dan waktu pengovenan 120 menit (W1) yaitu sebesar 5,13 dengan kriteria utuh, bersih, warna coklat, dan kusam. Penambahan asap cair bambu tabah berpengaruh terhadap sensori kenampakan ikan cakalang dikarenakan senyawa fenol dalam asap cair yang menempel pada permukaan ikan membuat penampakannya menjadi mengkilap dan berwarna kecoklatan (Pratama et al., 2012). Jumlah kadar air yang terkandung dalam bahan juga mempengaruhi nilai kenampakan di mana semakin rendah nilai kadar air maka semakin tinggi kenampakannya (Lombongadil et al., 2013). Oleh karena itu, perlakuan yang dilakukan dalam penelitian ini berpengaruh terhadap sensori kenampakan ikan cakalang.
Gambar 1. Kenampakan Ikan cakalang asap
Aroma
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi asap cair dan lama waktu pengovenan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap aroma ikan cakalang yang dihasilkan. Aroma memberikan peranan penting dalam sebuah penilaian produk. Apabila sebuah produk memiliki aroma yang khas, maka produk dikatakan baik (Winarno, 1984). Pengujian sensori aroma ikan cakalang dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai rata-rata uji sensori aroma ikan
cakalang dengan kombinasi konsentrasi asap cair dan waktu pengovenan
W1 |
W2 |
W3 | |
K1 |
6,33c |
7,67b |
7,67b |
K2 |
8,33ab |
8,33ab |
8,33ab |
K3 |
8,73a |
8,87a |
8,87a |
Keterangan: Huruf yang sama di belakang angka pada
kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0,05)
Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai tertinggi uji sensori aroma diperoleh pada perlakuan konsentrasi asap cair 9% (K3) dan waktu pengovenan 180 dan 240 menit (W2 dan W3) yaitu sebesar 8,87 dengan kriteria kurang harum, asap cukup, dan tanpa bau tambahan mengganggu. Sedangkan nilai terendah uji sensori aroma diperoleh pada perlakuan konsentrasi asap cair 1% (K1) dan waktu pengovenan 120 menit
(W1) yaitu sebesar 6,33 dengan kriteria netral dan ada sedikit bau tambahan.
Tingginya nilai sensori aroma disebabkan oleh semakin tingginya konsentrasi asap cair dan lama waktu pengovenan pada ikan cakalang. Senyawa fenolik yang terkandung di dalam asap cair dapat menyebabkan ikan yang dihasilkan memiliki aroma khas asap (Muratore et al., 2007). Aroma khas asap tersebut akan meningkat seiring semakin tingginya konsentrasi asap cair yang diberikan. (Hadiwiyoto et al., 1999) juga menyatakan bahwa golongan fenol yang terkandung pada asap cair dapat menimbulkan bau asap pada produk yang dihasilkan.
Rasa
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi asap cair dan waktu pengovenan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap rasa ikan cakalang yang dihasilkan. Pengujian sensori rasa ikan cakalang dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai rata-rata uji sensori rasa ikan cakalang dengan kombinasi konsentrasi asap cair dan waktu pengovenan
W1 |
W2 |
W3 | |
K1 |
6,73c |
7,67b |
7,67b |
K2 |
8,33ab |
8,33ab |
8,47a |
K3 |
8,33ab |
8,73a |
8,60a |
Keterangan: Huruf yang sama di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0,05)
Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai tertinggi uji rasa diperoleh pada perlakuan konsentrasi asap cair 9% (K3) dan waktu pengovenan 180 menit (W2) yaitu sebesar 8,73 dengan kriteria enak dan kurang gurih. Sedangkan nilai terendah uji sensori rasa diperoleh pada perlakuan konsentrasi asap cair 1% (K1) dan waktu pengovenan 120 menit (W1) yaitu sebesar 6,73 dengan kriteria tidak enak dan tidak gurih.
Perlakuan penambahan asap cair dan lama waktu pengovenan memberikan cita rasa yang gurih bagi ikan cakalang. Rasa gurih tersebut berasal dari kandungan asap cair yaitu senyawa fenol yang terabsorbsi pada permukaan produk (Sitanggang et al., 2020). Oleh karena itu, sensori rasa pada ikan cakalang akan meningkat seiring semakin tingginya konsentrasi asap cair dan lama waktu pengovenan yang diberikan.
Tekstur
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi asap cair dan lama waktu pengovenan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap tekstur ikan cakalang yang dihasilkan. Pengujian sensori tekstur ikan cakalang dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai rata-rata uji sensori tekstur ikan
cakalang dengan kombinasi konsentrasi asap cair dan waktu pengovenan
I |
W1 |
W2 |
W3 |
K1 |
6,33d |
7,00cd |
8,33ab |
K2 |
7,27c |
7,67bc |
8,47a |
K3 |
6,33d |
7,67bc |
8,73a |
Keterangan: Huruf yang sama di belakang angka pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0,05)
Tabel 7 menunjukkan bahwa nilai tertinggi uji tekstur diperoleh pada perlakuan konsentrasi asap cair 9% (K3) dan waktu pengovenan 240 menit (W3) yaitu sebesar 8,73 dengan kriteria padat, kompak, kering, dan antar jaringan erat. Sedangkan nilai terendah uji sensori tekstur diperoleh pada perlakuan konsentrasi asap cair 1% dan 9% (K1 dan K3) dan waktu pengovenan 120 menit (W1) yaitu sebesar 6,33 dengan kriteria kurang kering dan antar jaringan longgar.
Tekstur ikan cakalang yang dihasilkan dipengaruhi oleh asap cair yang ditambahkan dan lama waktu pengovenan yang berbeda. Menurut Leroi & Joffraud (2000), penggunaan asap cair dapat berpengaruh terhadap tekstur produk akibat terjadinya kehilangan kadar air selama proses pengolahan. Selain itu, semakin lama waktu pengovenan akan menghasilkan tekstur ikan yang semakin keras dan kering. Menurunnya kadar air ikan selama pengolahan dapat menyebabkan tekstur menjadi lebih padat (Enampato, 2011). Oleh karena itu, nilai sensori tekstur ikan cakalang akan semakin baik dengan semakin tingginya pemberian konsentrasi asap cair dan semakin lamanya waktu pengovenan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian, dapat diambil kesimpulan bahwa interaksi konsentrasi asap cair dan lama waktu pengovenan berpengaruh sangat nyata terhadap kadar air, kadar protein, kenampakan, aroma, rasa dan tekstur dari ikan cakalang, namun berpengaruh tidak nyata terhadap cemaran mikroba. Kombinasi perlakuan terbaik adalah pada konsetrasi asap cair 9% dan lama waktu pengovenan 240 menit menghasilkan ikan cakalang asap dengan karakteristik sebagai berikut: kadar air 41,88%, kadar ptotein 20,98%, total mikroba 4,50x104 CFU/g, nilai uji sensori kenampakan 8,33, aroma 8,87, rasa 8,60 serta tekstur 8,73 yang telah memenuhi persyaratan Badan Standarisasi Nasional (2009)
Saran
Adapun saran yang dapat diberikan yaitu pengolahan ikan cakalang asap dapat dilakukan dengan kombinasi perlakuan konsentrasi asap cair 9% dan lama waktu pengovenan 240 menit.
DAFTAR PUSTAKA
Andika, I. K. A. S., Kencana, P. K. D., & Gunadnya, I. B. P. (2020). Pengaruh Konsentrasi Asap Cair Batang Bambu Tabah (Gigantochloa nigrociliata Buse-Kurz) terhadap Karakteristik Ikan Lele (Clarias Sp) Asap. Jurnal BETA (Biosistem Dan Teknik Pertanian), 8(2), 346. https://doi.org/10.24843/jbeta.2020.v08.i02.p1 9
Anggraini, S. P. A., & Yuniningsih, S. (2017). Teknologi asap cair terhadap kualitas ikan segar selama penyimpanan. Seminar Nasional Sistem Informasi (SENASIF), 1(1), 931–941.
Buckle, K. A., Edwards, R. A., Fleet, G. H., & Wootton, M. (1987). Ilmu Pangan, Diterjemahkan oleh Hari Purnomo. Adiono. UI. Press. Jakarta.
Darmadji, P. (1995). Produksi asap cair dan sifat fungsionalnya [Laporan Penelitian].
Yogyakarta: Fakultas Teknologi Pertani-an, Universitas Gadjah Mada.
Enampato, M. H. (2011). Inventarisasi Keragaman Mutu Produk Ikan Tandipang (Dussumieria acuta CV) Asap Kering Produksi Rumah Tangga Didesa Matani I Kecamatan Tumpaan. Skripsi. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. UNSRAT. Manado.
Ghazali, R. R., & Swastawati, F. (2014). Analisa tingkat keamanan ikan manyung (Arius thalassinus) asap yang diolah dengan metode pengasapan berbeda. Jurnal Pengolahan Dan Bioteknologi Hasil Perikanan, 3(4), 31–38.
Gómez‐Guillén, M. C., Montero, P., Hurtado, O., & Borderías, A. J. (2000). Biological characteristics affect the quality of farmed Atlantic salmon and smoked muscle. Journal of Food Science, 65(1), 53–60.
Hadinoto, S., Kolanus, J. P. M., & Manduapessy, K. R. W. (2016). Karakteristik mutu ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) asap menggunakan asap cair dari tempurung kelapa. Majalah Biam, 12(1), 20–26.
Hadiwiyoto, S., Naruki, S., Satyanti, S., Rahayu, H., & Riptakasari, D. (1999). PERUBAHAN KELARUTAN PROTEIN, KANDUNGAN LISIN (AVAILABLE), METIONIN DAN HISTIDIN BANDENG PRESTO SELAMA PENYIMPANAN DAN PEMASAKAN ULANG= THE CHANGE OF PROTEIN SOLUBILITY, AVAILABLE LYSINE,
METIONINE, AND HISTIDIN CONTENTS. Agritech, 19(1999).
Jakung, M. L. Y., Pudja, A. R. P., & Kencana, P. K. D. (2020). Pengaruh Konsentrasi Asap Cair Bambu Tabah (. Jurnal BETA (Biosistem Dan Teknik Pertanian, 8(April), 93–102.
Katiandagho, Y., Berhimpon, S., & Reo, A. R. (2017). Pengaruh konsentrasi asap cair dan lama perendaman terhadap mutu organoleptik ikan kayu (Katsuo-Bushi). Media Teknologi Hasil Perikanan, 5(1), 1–7.
Kencana, P., Widia, W., & Antara, N. (2012). Praktik Baik Budidaya Bambu Rebuffing Tabah(Gigantochloa nigrociliata BUSE-KURZ). USAID-TPC Project.
Lebois, M., Connil, N., Onno, B., Prévost, H., & Dousset, X. (2004). Effects of divercin V41 combined to NaCl content, phenol (liquid smoke) concentration and pH on Listeria monocytogenes ScottA growth in BHI broth by an experimental design approach. Journal of Applied Microbiology, 96(5), 931–937.
https://doi.org/10.1111/j.1365-2672.2004.02221.x
Leroi, F., & Joffraud, J. J. (2000). Salt and smoke simultaneously affect chemical and sensory quality of cold-smoked salmon during 5 C storage predicted using factorial design. Journal of Food Protection, 63(9), 1222–1227.
Lombongadil, G. P., Reo, A. R., & Onibala, H. (2013). Studi mutu produk ikan Japuh (Dussumieria acuta CV) asap kering industri rumah tangga di desa Tumpaan Baru, Kecamatan Tumpaan. Media Teknologi Hasil Perikanan, 1(2).
Marasabessy, I. (2007). Produksi asap cair dari limbah pertanian dan penggunaannya dalam pembuatan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap.
Muratore, G., Mazzaglia, A., Lanza, C. M., & Licciardello, F. (2007). Effect of process variables on the quality of swordfish fillets flavored with smoke condensate. Journal of Food Processing and Preservation, 31(2), 167– 177.
Nasional, B. S. (2009). Spesifikasi Ikan Asap. SNI,
2725(1), 2009.
Pratama, R. I., Sumaryanto, H., Santoso, J., & Zahirudin, W. (2012). Karakteristik sensori beberapa produk ikan asap khas daerah di Indonesia dengan menggunakan metode quantitative descriptive analysis. Jurnal Pascapanen Dan Bioteknologi Kelautan Dan Perikanan, 7(2), 117–130.
Salam, A. (2017). Keberlanjutan Perikanan Tangkap Ikan Cakalang (Katsuwomus pelamis).
Sitanggang, S., Pudja, I. A. R. P., & Gunadnya, I. B. P. (n.d.). JURNAL BETA (BIOSISTEM DAN TEKNIK PERTANIAN).
Sudarmadji, S., Suhardi, & Haryono, B. (1989). Analisa bahan makanan dan pertanian. Liberty Yogyakarta bekerja sama dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan ….
Sutanaya, N. T. A., Kencana, P. K. D., & Arda, G. (n.d.). Aplikasi Asap Cair Tempurung Kelapa Mampu Meningkatkan Umur Simpan Fillet Ikan Tuna Application of Coconut Shell Liquid Smoke is Able to Prolong Tuna Fish Fillet Shelf Life.
Swandewi, K. R., Diah Kencana, P. K., & Yulianti, N. L. (2019). Karakteristik Asap Cair Batang Bambu Tabah (Gigantochloa nigrociliata BUSE-KURZ) Hasil Destilasi pada Suhu yang Berbeda. Jurnal BETA (Biosistem Dan Teknik Pertanian), 8(1), 152.
https://doi.org/10.24843/jbeta.2020.v08.i01.p1 9
Swastawati, F., Cahyono, B., & Wijayanti, I. (2018). Perubahan karakteristik kualitas ikan tongkol (Euthynnus affinis) dengan metode pengasapan tradisional dan penerapan asap cair. INFO, 19(2), 55–64.
Turnip, L. P., Widia, I. W., & Kencana, P. K. D. (2020). Pengaruh Suhu dan Lama Pengovenan Ikan Tongkol yang direndam dalam Larutan Asap Cair Batang Bambu Tabah terhadap Karakteristik Produk Ikan Olahan. Jurnal Beta, 8(1), 158–166.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/beta/article/vie w/50745
Wibowo, S. (2002). Industri pengasapan ikan.
Winarno, F. G. (1984). Kimia pangan dan gizi.
212
Discussion and feedback