Kajian Efektivitas Beberapa Model Tumpukan pada Pengomposan Kotoran Sapi dan Jerami
on
JURNAL BETA (BIOSISTEM DAN TEKNIK PERTANIAN)
Program Studi Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Udayana
https://ojs.unud.ac.id/index.php/beta
Volume 7, No 2, Setember 2020
Kajian Efektivitas Beberapa Model Tumpukan Pada Pengomposan Kotoran Sapi Dan Jerami
Study of the Effectiveness of Several Models in Piles on Composting Cow Manure and Rice Straw
I Wayan Krispedana, Yohanes Setiyo* , Bintang Madrini
Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana.
Kampus Bukit Jimbaran, Badung-Bali
*e-mail :[email protected]
Abstrak
Sisa panen padi berupa limbah jerami yang dihasilkan dalam satu musim panen mencapai 25 ton/ha dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk pembuatan pupuk kompos. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengaruh model tumpukan pengomposan kotoran sapi dan jerami yang berbeda, dan mengetahui model tumpukan yang sesuai agar proses pengomposan kotoran sapi dan jerami menghasikan kompos yang sesuai dengan SNI No. 19-70302004. Penelitian ini menggunakan 3 pelakuan yaitu: P1 (perlakuan menggunakan model tumpukan open windrow), P2 (perlakuan menggunakan model tumpukan static pile), P3 (perlakuan menggunakan model tumpukan china). bahan yang di gunakan dalam masing-masing perlakuan memiliki berat 35 kg dengan perbandingan berat jerami dan kotoran sapi 2:1 parameter yang diamati adalah pH , kadar air, suhu, nitrogen, karbon dan rasio C/N. Proses pengomposan dengan perlakuan P3 menggunakan perlakuan tumpukan model china memerlukan waktu selama 48, hari perlakuan P2 dengan menggunakan tumpukan static pile memerlukan waktu selama 51,hari dan P1 menggunkaan tumpukan open windrow memerlukan waktu 45 hari, hasil dari bahan baku jerami dan kotoran sapi yang dikomposkan pada ketiga perlakuan, sudah memenuhi standar SNI No. 1970302004 yang digunakan sebagai acuan menilai kualitas kompos.
Kata kunci: jerami padi, kotoran sapi, pengomposan, kualitas kompos.
Abstract
The biomass of the rice harvest is in the form of straw waste produced in one harvest season reaching 25 tons/ha and can be used as raw material for making compost. This research was conducted to determine the effect of different composting pile models of cow manure and straw, and to know the appropriate pile model so that the composting process of cow manure and straw produces compost in accordance with SNI No. 19-70302004. This study used 3 treatments, namely: P1 (treatment using an open windrow pile model), P2 (treatment using a static pile model), P3 (treatment using a Chinese pile model). The materials used in each treatment have a weight of 35 kg with a ratio of straw and cow manure of 2: 1. The observed parameters are pH, moisture content, temperature, nitrogen, carbon and C/N ratio. The composting process with P3 treatment using the china model pile treatment was take 48 days, P2 treatment days using a static pile pile was take 51 days and P1 using an open windrow pile was take 45 days, the results of composted straw and cow manure on the three treatments, had met the SNI No. 19-70302004 which is used as a reference for assessing the quality of compost.
Keywords: rice straw, cow manure, composting, compost quality.
PENDAHULUAN
Pupuk organik mempunyai peran yang sangat penting untuk kesuburan tanah dan tanaman. Penggunaan kompos sebagai pupuk dengan dosis
10-25 ton/ha pada budidaya hortikultura khususnya kentang, mampu memperbaiki struktur sifat kimia, sifat fisik, dan sifat biologi tanah (Setiyo et al., 2016). Perubahan sifat fisik tanah terjadi pada : struktur tanahnya, kerapatan massa,dan porositas
pada tanah. Perubahan sifat kimia tanah terutama ditunjukkan pada perubahan kandungan unsur hara tanah, KTK, dan pH tanah. Perubahan sifat biologi tanah terjadi pada populasi biota tanahnya.
Pengaplikasian pupuk organik akan memberi dampak yang baik bagi kesuburan tanah serta tanaman sebab mikroba yang terdapat pada kompos mampu mengurai bahan organik menjadi senyawa-senyawa sederhana sehingga lebih cepat diserap bagi tanaman. Salah satu pupuk organik yang sangat potensial dan mudah ditemui di Indonesia umumnya di Bali adalah kompos dari kotoran sapi. Kotoran sapi dapat digunakan sebagai bahan baku kompos.
Saat ini pemerintah daerah Bali menghibahkan kelompok-kelompok tani berupa 20 ekor ternak sapi, kepada setiap kelompok tani yang tergabung pada kelompok SIMANTRI yaitu Sistem Pertanian Terintegrasi (simantri). Ternak sapi mampu menghasilkan kotoran padat dan kotoran cair yang dapat diproses menjadi kompos. Sehingga petani yang memiliki ketergantungan pada pupuk kimia yang dapat merusak unsur hara tanah dalam jangka waktu yang panjang dapat di kurangi. hal ini akan mendukung sistem pertanian yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. SIMANTRI yang memiliki sapi dewasa 20 ekor akan Memperoleh 500-600 kilo gram perhari dan mampu menghasilkan 250-300 kilo gram perhari. Satu ekor sapi dapat menghasilkan kotoran cair sebanyak 9,1kg per hari dan kotoran padat 23.6kg/hari (Setiawan,2002) dan Undang (2002)
Permasalahan bagi petani pada umumnya pupuk organik berbahan baku kotoran sapi belum berkualitas dan belum tersedia secara memadai. Hal ini disebabkan karena produsen belum mengikuti standar proses pengolahan bahan organik tersebut menjadi kompos. Kelompok SIMANTRI rata-rata melakukan proses pengomposan dengan cara membiarkan kotoran menumpuk di sekitar kandang, tinggi tumpukan tidak lebih dari 50 cm.
Proses pengomposan yang baik harus mengikuti ketentuan-ketentuan seprti: (1) pH bahan baku awal pengomposan antara 6.8 hingga 7.4, (2) kadar air bahan baku antara 50-60 % d.b (3) kerapatan massa bahan baku harus mampu menyediakan rongga untuk terjadinya sirkulasi udara (180 – 300 kg/m3 (4) tinggi tumpukan harus mampu meminimalkan terjadinya kehilangan panas
sehingga proses berlangsung dari suhu lingkungan sampai dengan masa termofilik (minimal 1,5 m) (Setiyo et al., 2007).
Model pengomposan yang dipilih adalah model open windrow. Namun model pengomposan open windrow ini masih ada kendala terutama luas lahan yang harus dipergunakan untuk proses. Untuk setiap satu ton biomassa kotoran sapi kira-kira memerlukan lahan seluas 3 m2 (Sebastiao, 2016, Eva 2016). Untuk itu perlu diteliti model penumpukan lainnya yang mampu mempertahankan kualitas proses pengomposan, namun terjadi efisiensi penggunaan lahan. Model pengomposan static file yang dikembangkan di Canada (Martin, 1998) dan model China (McGarry dan Stainford, 1978) dan sudah diuji coba oleh Reza (2003) untuk pengomposan limbah industri kertas.
METODE
Penelitian dilakukan di Desa Belancan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, pada bulan Juni sampai Juli 2017. Selanjutnya penelitian bahan baku dan kompos dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Udayana. dilakukan mulai pada bulan Juli sampai Agustus 2017.
Jerami dan kotoran sapi merupakan bahan utama dari penelitian ini dan untuk bahan tambahan uji kualitas kompos berupa larutan kimia yang dipergunakan untuk uji kadar N-Organik dan C-Organik. Sedangkan alat-alat yang dipergunakan dalam penelitian ini diantaranya: ember, garu, skrop, karung, tali raffia, sarung tangan, meteran, terpal plastik. Sedangkan alat-alat tambahan yang dipergunakan untuk pengujian kualitas kompos: pH meter, termometer, timbangan digital, peralatan analisis laboratorium dan oven. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Menggunakan perbandingan beda bentuk tumpukan kompos : Open windrow (P1), Statik file (P2), Model China (P3), dengan volume kotoran sapi dan jerami 1:2 pada masing-masing perlakuan dengan 5 kali pengulangan.
Proses Pembuatan Kompos Tahap Persiapan a. Pemilihan dan persiapan kotoran sapi
Kotoran sapi yang akan digunakan sebagai bahan penelitian didapatkan dari peternakan sapi di Desa Belancan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.
-
b. Penyiapan bahan pensubstitusi
Bahan tambahan yang digunakan adalah jerami.
-
c. Pencampuran bahan
Kotoran sapi ditambahkan dengan jerami sesuai dengan perbandingan sampai keadaan homogen.
-
d. Pembuatan Tumpukan
Kotoran sapi yang sudah dicampur dengan bahan tambahan ditumpuk dengan lebar 1 m dan tinggi tumpukan 80 cm. Tumpukan bahan organik tersebut ditutup terpal.
Proses Pengomposan
-
a. Pengadukan
Pengadukan bahan dilakukan seminggu sekali. Pengadukan bertujuan antara lain
menyeragamkan kematangan kompos,
pengurangan panas, menambah oksigen pada tumpukan. Pengadukan atau pembalikkan menggunakan cangkul.
-
b. Pengukuran Suhu
Pengukuran suhu pada kompos dilakukan, setiap 3 hari sekali yaitu pada jam 09.00 pagi pada proses pengomposan berlangsung. analisa suhu rata-rata pada proses pembuatan kompos. Analisa suhu rata- rata dilakukan disetiap pengukuran suhunya.
-
c. Pematangan Kompos
Lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kematangan pada kompos adalah 60 hari. Ciriciri yang dapat dilihat adalah terjadinya penurunan tinggi tumpukan, suhu sama dengan suhu lingkungan, dan warna kompos coklat kehitaman atau hampir menyerupai tanah.
-
d. Penyaringan
Tujuan dari penyaringan adalah untuk memperoleh partikel-partikel kompos yang yang dikehendaki. Selain itu juga, penyaringan kompos juga bertujuan untuk memisah bahan organik lainnya yang tidak bisa dikomposkan seperti batu dan potongan kayu.
Pengambilan Sampel Bahan Organik
Setelah kompos jadi, dilakukan pengambilan sampel yang digunakan untuk menganalisa kandungan C-organik dan kandung Nitrogen pada kompos. Pengambilan Sampel dilakukan setelah proses pengomposan selesai. Sampel Di ambil pada 5 titik yang berbeda sebanyak 500 gram.
Variabel yang Diamati
-
a. Suhu
Pengaman suhu dilakukan dengan
menggunakan alat thermometer digital. Pengamatan dilakukan setiap tiga hari sekali, sebanyak 16 titik pada setiap perlakuan.
-
b. Derajat Keasaman (pH)
Pengamatan pH dilakukan dengan alat pengukur pH digital. Pengamatan dan pengukuran pH dilakukan setiap tiga hari sekali sebanyak 5 titik pada setiap perlakuan (sesuai dengan pengukuran suhu).
-
c. Warna
Pengamatan warna dilakukan secara visual dengan indera mata.
-
d. Waktu Pengomposan
Kualitas kompos yang dihasilkan, sangat dipengaruhi oleh waktu pengomposan, adapun beberapa indikasi yang dapat diamati untuk mengetahui kematangan kompos adalah
-
• Suhu : kompos yang telah matang setelah mengalami proses pengomposan suhunya akan kembali turun mendekati suhu lingkungan/air tanah.
-
• Warna : karakteristik kompos yang telah matang umumnya berwarna coklat kehitam-hitaman hampir menyerupai wrna coklat tanah.
-
• Tekstur : kompos yang di anggap matang biasanya mempunyai tekstur gembur/remah dan mudah untuk dihancurkan.
Kualitas Kompos
Pengukuran diakukan di Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universita Udayana, kompos yang sudah matang akan di uji kualitasnya dengan melakukan pengujian di laboratorium.
-
a. Uji kadar air
Tahapan metode Gravimetri :
-
• Penimbangan berat ring sampel (Wo)
-
• Penimbangan ring sampel dan berat sampel dengan timbvangan analitik (W1) berat sebenarnya adalah (W1 - Wo)
-
• Oven sampel pada suhu 105°C dalam waktu 24 jam didapatkan berat konstan sampel atau berat keribng sampel
-
• Perhitungan kadar air bahan kompos :
(WO-IVl)
Kadar air (%) = x 100% .....[1]
Adapun proses yang harus dilaluli dalam pengukuran pH kompos adalah sebagai berikut:
-
• Sampel kompos ditimbang sebanyak 10 gram.
-
• Memasukan sampel kedalam botol kocok dan di tambahkan aquades sebanyak 15ml.
-
• Kocok sampel selama 30 menit dengan
menggunakan mesin kocok.
-
• Ukur sampel dengan pH yang sudah
dikalibrasi dengan larutan buffer pH 7.0 dan pH 0.4.
-
c. Pengujian C-Organik.
Prosedur yang dilakukan dalam uji kandungan C-Organik dengan metode Welkey dan Black adalah sebagai berikut :
-
• Menimbang 0,05 – 0,10 gram sampel kompos yang sudah halus dan dimasukan ke dalam labu takar volum 100ml.
-
• Menambahkan 5ml larutan K2Cr2O7 2 N
kemudian dikocok dan menambahkan 7ml H2S04 pa 98% dan dikocok kembali sampel kompos didiamkan selama 30 menit dan jika diperlukan kocok kembali.
-
• Kompos yang mengandung standar 250 ppm C, perlu ditambahkan 5ml larutan standar 5000 ppm C ke dalam labu takar volum 100ml. kemudian ditambahkan 5ml H2S04 dan K2Cr207 2 N dengan perlakuan seperti di atas.
-
• Dikerjakan blangko yang akan dipergunakan standar 0 ppm C.
-
• Setiap sampel dilarutkan dengan menggunakan
air bebas ion dan setelah didinginkan volum di sesuaikan hingga 100ml selanjutnya dikocok sampai mencapai homogeny dan didiamkan selama semalam.
-
• Setelah semalam didiamkan sampel ukur
menggunakan soektrofotometer pada panjang gelombang 650nm adapun perhitungan yang digunkan untuk memperoleh hasil C-Organik yaitu sebagai berikut:
Kandungan C-Organik. (%)= ppm kurva x 100/mg contoh x fk........................................[2]
Keterangan;
Ppm kurva.= contoh kadar yang diperoleh di kurva regresi.
Hubungan antara deret kadar standar dengan pembacanya setelah dikurangi blangko.
Fk = factor koreksi kadr air =100/(100-%kardar air)
-
d. Pengujian kadar N-Total.
Uji N-Total dengan mempergunakan metode Kjeldhal adalah sebagai berikut:
-
• Mengambil 500 gram sampel, kemudian masukan ke labu Kjeldhal volum 25ml.
-
• Tambahkan sampel dengan 9,1 campuran, Se, CuS04,Na2SO4.
-
• Sampel ditambahkan 5ml H2S04 yang pekat ke dalam labu dan kocok dengan perlahan hingga sampel basah, dan jaga agar sampel tika memercik ke dinding labu.
-
• Menambahkan 5 tetes parafin cair pada sampel panaskan labu dengan perlahan gunakan api kecil hingga cairan berubah warna kehijauan kemudian panaskan kembali selama 15 menit kemudian didinginkan.
-
• Tambahkan air sebanyak 50ml pada sampel lalu digoyangkan perlahanlahan lalu pindakan sampel ke dalam labu dan tidak boleh melebihi dari kapasitas labu.
-
• Menambahkan Na0H 50% sebanyak 5ml.
-
• Lakukan destilasi.kemudian hasil dari destilasi disimpan di dalam elenmeyer 125ml yang telah disi campuran 100ml H3B04 4% dan 5 testes
indicator conwai, lalu mengisi destilat 100ml.
-
• Mentitrasi destilasi dengan menggunakan HCl yang telah di bekukan hingga terjadi perubahan warna hijau menjadi merah.
%N= IstHCl (sampel-blaτιgko)x NHClxH x IOO ....[3] bobot sampel (mg)
-
e. Uji C/N rasio.
Agar mengetahui kualitas kompos dan tingkat kematangannya harus melakukan pengukuran rasio C/N kompos sebagai berikut;
Rasio C/N =
C-organik
N-total
[4]
-
f. Uji Kadar Abu (Volatile Solid)
Uji kadar abu dikerjakan dengan menggunakan metoda gravimetric. Tahapan awal yang dikerjakan yaitu menimbang berat sampel kompos awal (W0), berikutnya oven sampel kompos pada suhu 550oC selama 24jam sehingga diperoleh berat kering sampel (W1), kompos yang telah dioven berikutnya di hitung kadar abunya dengan menggunakan rumus:
Kadar Abu (%) = — xlOO% ........[5]
Analisis Data
Data penelitian di analisis dengan uji (Beda Nyata Terkecil) atau BNT agar mengetahui adanya perbedaan dari pemberian perlakuan yang dilakukan, sedangkan hasil uji kualitas
kompos,dianalisa menggunakan (ANOVA) atau sidik ragam analisis data hasil penelitian menggunakan bantuan SPSS sebagai softwer pengolah data.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bahan baku kompos
Tabel 1 adalah kandungan awal bahan dari parameter : nitrogen, pH, ρ, suhu, dan kadar air dari kotoran sapi yang dicampur jerami padi sebelum dikomposkan. Bahan baku yang dikomposkan tersebut memiliki nilai-nilai C/N , pH, dan ρ masing-masing adalah 30.24, 6,5 dan 250 kg/m3. Nilai paremeter-parameter tersebut sesuai dengan kriteria model pengomposan yang
dikembangkan oleh Setiyo et al., (2007) agar proses pengomposan tersebut dapat berlangsung maksimum 60 hari.
Jika kerapatan massa campuran bahan baku 250 kg/m3 maka kompos memiliki nilai porositass total bahan kisaran 60%-80% yang menyebabkan rongga udara kompos mampu menyediakan oksigen dalam peroses pengomposan selama kurang lebih 7 hari. Di saat pH 6,5-6,98 mikroba-mikroba pengurai bahan kompos tersebut akan mampu memulai proses pngomposan (Satyawan A.B,2002). Mikroba pada kompos akan mengurai senyawa yang terdapat pada tumpukan biomasa untuk digunakan menyusun sel-selnya.
Tabel 1.Kandungan bahan baku kompos awal dan bahan tambahan.
Perlakuan |
C. |
N. |
C/N |
pH |
Kerapatan massa (p),kg/m3 |
Suhu (0C) |
Kadar air (%) |
Jerami |
41.30 |
1.02 |
40.49 |
6.98 |
142,86 |
24 |
25.08 |
Kotoran sapi |
18 |
0.7 |
25.71 |
6.5 |
571,43 |
27 |
32.26 |
Jerami dan |
- |
--- |
32.04 |
6.5 |
250 |
28 |
29.2 |
kotoran sapi
Proses Pengomposan
Suhu
Selama terjadinya fase pengomposan, suhu akan di amati setiap 3 hari sekali dengan mempergunakan termometer digital. Hasil yang diperoleh dari fase
pengomposan tersebut di jelaskan dalam bentuk grafik seperti pada gambar 1.
Open Windrow (P1)
-÷- Static Pile (P2)
Model Cina (P3)
Gambar 1. Suhu selama proses pengomposan
Pada seluruh bahan yang di komposkan mulai mengalami kenaikan suhu pada hari ke-2 ini menandakan fase degradasi oleh mikroba aktif di fase mesofilik. Setelah memasuki hari ke-9 peroses
pengomposan masuk pada fase yang dinamakan fase thermofilik, yang ditandakan dengan kenaikan suhu kompos hingga mencapai 40,20 -40,800C. Pada fase thermofilik ini suhu pengomposan akan
terus mengalami kenaikan dan akan mencapai ke suhu maksimal. Kenaikan suhu pengomposan hingga hari ke-12, berdasarkan perubahan-perubahan suhu terlihat bahwa suhu tertinggi terjadi pada perlakuan P3 dengan capaian suhu sebesar 48,20C, sedangkan suhu perlakuan dari pengomposan yang paling rendah adalah perlakuan P2 dengan suhu tertinggi mencapai 46,80C.
Perlakuan P1, P2, dan P3 mencapai titik suhu maksimal saat kompos berusia 12 hari pada kisaran suhu 48,00C, 46,80C dan 48,20C setelah suhu mencapai puncak maksimal, tahap berikutnya mengalami fase kematangan kompos, suhu panas pada tumpukan bahan baku mulai mengalami penurunan. Pada proses pengomposan cepat atau
lambatnya dipengaruhi oleh factor suhu dan aktivitas mikroba pengurai yang terdapat di dalam bahan kompos. Aktivitas mikroba pada suhu rendah antara 10-450C yang terjadi pada proses awal pengomposan atau fase mesofilik berfungsi dalam memperkecil partikel-partikel bahan organic yang dikomposkan sehingga memperluar permukaan bahan kompos dan mempercepat proses-proses penguraian.
Derajat Keasaman (pH)
pH diukur dengan pH meter dan diamati setiap tiga hari sekali. pH selama proses pengomposan dijelaskan pada gambar 2.
Waktu Pengomposan
Gambar 2. pH selama proses pengomposan
Hasil dari dekomposisi biomasa kotoran sapi mempengaruhi perubahan pada pH. pH atau derajat keasaman dalam suatu proses pengomposan dengan kondisi netral sampai sedikit basa nilainya dikisaran 7,2-8, hal ini dapat disebabkan bahan baku yang digunakankan. Pada proses awal pengomposan kisaran nilai pHnya 6,4-6,6 persen, hal ini membuktikan keadaan bahan organic yang dikomposkan masih dalam keadaan asam, diakibatkan oleh aktivitas mikroba pengurai yang mengakibatkan dibentuknya asam organik. Didalam kondisi asam akan mendorong perkembangan jamur dan memproses lignin solulosa bahan kompos.proses berikutnya nilai pH
akan terus mengalami kenaikan hal ini di akibatkan oleh mikroorganisme yang mendekomposisi nitrogen di dalam bahan baku kompos menjadi ammonia, Hal ini akan menimbulkan kondisi pH menjadi basa. Proses akhir pengomposan nilai pH akan mengalami penurunan hingga mendekati netral berkisaran antara 6,9-7,2. Menurunnya nilai pH diakhir proses pengomposan mencirikan dekomposisi nitrogen berkurang.
Menurut Kusuma (2012), pH atau derajat keasaman selama proses pengomposan tidak dipengaruhi oleh kadar air, namun di pengaruhi oleh kandungan nitrogen bahan baku kompos dari sintesis protein oleh mikroba pengurai.
Waktu Pengomposan
Waktu pengomposan dapat dilihat pada tabel 2 berikut.
Tabel 2. Analisis Waktu pada Proses Pengomposan
perlakuan |
Waktu pengomposan (hari) | |
P1 |
48.20 b | |
P2 |
56.80 c | |
45.40 a |
Keterangan : Huruf yang seragam dibelakang menandakan nilai rata-rata yang tidak berbeda nyata {p>0,05}
Dapat dilihat pada data table 3, masing-masing perlakuan pengomposan mempunyai waktu yang berbeda-beda hal ini disebabkan oleh bentuk tumpukan pada setiap perlakuan.
Kualitas Hasil Proses Pengomposan
Standar SNI Kompos
Banyaknya teknik pembutan komposan dan beragamnya bahan baku yang bias dikomposkan, tentunya sangat berpengaruh terhadap kualitas kompos yang dihasilkan. Untuk menghasilkan
kompos yang memiliki kualitas baik, maka sangat diperlukan adanya standar yang dipergunakan sebagai acuan, slah satunya adalah standar SNI 197030-2004 mengenai spesifikasi pengomposan. Kandungan kompos yang menjadi acuan yaitu kadar air, derajat keasaman,C-Organik,n-Total,serta Rasio C/N.
Derajat Keasaman (pH)
Setelah proses pengomposan berlangsung, didapatkan hasil akhir kompos dengan pH seperti pada table 4
Tabel 3. Kompos standar SNI
No |
Parameter |
Satuan |
Minimum |
Maksimum |
1 |
Kadar Air |
% |
oC |
50 |
2 |
pH |
- |
6,80 |
7,49 |
3 |
C-organik |
% |
9,80 |
32 |
4 |
N-total |
% |
0,10 | |
5 |
Rasio C/N |
10 |
20 |
Tabel 4. Analisis pH Kompos
Perlakuan pH Standar pH SNI
P1
7,56a
P2 7,56a 6,80 – 7,49
P3 7,56a
Keterangan : Huruf yang seragam dibelakang menandakan nilai rata-rata yang tidak berbeda nyata {p>0,05}
Pengujian statistik pH kompos hasilnya diperoleh nilai yang cendrung yaitu tidak berbeda nyata, seperti yang di tujukan pada tabel 4. Dalam proses dekomposisi bahan ini, asam organik akan menuju netral dan derajat keasaman kompos setelah proses pematangan kisaran anrata 6-8.
beda nyata dari semua perlakuan dijelakan dengan tabel di bawah.
Kadar Air Kompos
Hasil dari uji laboratorium mengenai kadar air kompos kemudian diuji Duncan untuk mengetahui
Table 5. Analisis kadar air Kompos
Perlakuan |
Kadar Air Rata-rata (%) |
Standar Kadar Air SNI (%) |
P1 |
42,53a | |
P2 |
45,53a |
<50 |
P3 |
32,01a |
Keterangan : Huruf yang seragam dibelakang menandakan nilai rata-rata yang tidak berbeda nyata {p>0,05}
Pengujian statistik data pengukuran kadar air akhir kompos menunjukkan hasil bahwa, dari semua perlakuan memiliki hasil yang tidak berbeda nyata. Kadar air kompos yang terkandung dalam kompos hasil penelitian memenuhi dari standar SNI. Menurut Murbandono (2000) dalam proses pengomposan memiliki standar kadar air optimal dikisaran 40-60%. Apabila kadar air melebihi dari 60% maka proses dekomposisi bahan organik akan berjalan lamban, dan apabila kadar air lebih rendah dari 40% akan mengakibatkan aktivitas mikroba yang terlibat dalam proses pengomposan terhenti.
C-Organik Kompos
Hasil dari uji laboratorium mengenai C-organik kompos kemudian diuji Duncan untuk mengetahui beda nyata dari kelima perlakuan disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Analisis C-organik kompos
Setandar C-0rganik
Perlakuan C-organik rata-rata (%)
P1
10,93a
P2 12,23a 9,8-32
P3 13,35a
Keterangan : Huruf yang seragam dibelakang menandakan nilai rata-rata yang tidak berbeda nyata {p>0,05}
Tabel 6 menunjukkan hasil dari uji Duncan untuk kandungan C-organik pada setiap perlakuan. Menggunakan uji Duncan memperoleh hasil bahwa ketiga perlakuan tidak berbeda nyata. Dilihat dari ketiganya C-organik yang dihasilkan dari ketiga perlakuan, sudah memenuhi standar SNI kompos. Hasil uji statistik menunjukkan perlakuan PI, P2. P3. Mempunyai hasil yang tidak berbeda nyata, Kadar C-organik yang tidak berbeda di setiap perlakuan, dipengaruhi komposisi kompos berupa jerami dan kotoran sapi yang mempunyai perbandingan yang sama. Selama
berjalannya proses pengomposan senyawa-senyawa organik akan menurun dan akan terjadi pelepasan karbon dioksida hal ini disebakan oleh aktifitas mikroorganisme sehingga berpengaruh terhadap kadar C-Organik hasil pengomposan Harizena (2012). ).
N-Total Kompos
Hasil dari uji laboratorium mengenai N-organik kompos kemudian diuji Duncan untuk mengetahui beda nyata dari ketiga perlakuan yang ditampilkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Analisis N-Total Kompos
Perlakuan |
Rata-rata (%) N-total |
N-total Standar SNI (%) |
P1 |
0,83 a | |
P2 |
0,96 b |
>0,40 |
P3 |
0,77 a |
Keterangan : Huruf yang seragam dibelakang menandakan nilai rata-rata yang tidak berbeda nyata {p>0,05}
Dari uji statistik hasilnya menunjukkan bahwa perlakuan pengomposan P1 P2, dan P3 memiliki nilai beda nyata seperti yang disajikan pada Tabel 7. Dapat disimpulkan jika menggunakan perlakuan tumpukan yang berbeda terhadap perlakuan P1, P2 dan P3 akan berpengaruh siginfikan terhadap kadar N- total kompos.
Rasio C/N Kompos
Hasil pengujian dari laboratorium yang mengeluarkan hasil mengenai C/N rasio kompos kemudian diuji Duncan untuk mengetahui beda nyata dari kedua perlakuan. Dari ketiga perlakuan sudah memenuhi standar pengomposan dari SNI, kompos dengan nilai C/N rasio 13,48, 12,88, 17,58 sedangkan standar rasio C/N SNI 10-20%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perlakuan
Tabel 9. Kadar bahan organik jerami dan kotoran sapi.
P1, P2, dan P3 memiliki nilai yang berbeda nyata. Sehingga dapat disimpulkan jika menggunakan perlakuan tumpukan yang berbeda akan berpengaruh siginfikan terhadap kadar N- total kompos.
Kandungan Bahan Organik
Kandungan bahan organik tertera pada tabel 9. Kandungan bahan organik dari ketiga perlakuan telah memenuhi SNI. Dalam proses pembakaran bahan kompos akan kehilangan berat yang diinterpretasikan sebagai materi organik yang terdapat pada kompos (Sawyer,2003).
Perlakuan |
Kandungan Bahan Organik Minimum (%) |
Kadar Bahan Organik Maksimum (%) |
Kadar Bahan Organik Rata-rata (%) |
Standar SNI |
P1 |
56,02 |
60,10 |
57,66 a | |
P2 |
55,35 |
58,13 |
56,49 a |
27-58 |
P3 |
53,61 |
57,26 |
55,93 a |
Keterangan : Huruf yang seragam dibelakang menandakan nilai rata-rata yang tidak berbeda nyata {p>0,05}
2.
Dari ketiga perlakuan, P3 (model China)
Dengan menggunakan hasil uji statistik analisis beda nyata terkecil (BNT) hasil dari ketiga perlakuan memperoleh hasil yang tidak berbeda nyata yang ditunjukan pada tabel 9. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perlakuan beda jenis tumpukan kompos tidak berpengaruh signifikan terhadap bahan organik yang dikomposkan. Hal tersebut disebabkan karena komposisi bahan baku yang digunakan jumlahnya sama pada semua perlakuan, sehingga kandungan bahan organik kompos yang diperoleh memiliki kecenderung yang seragam diantara perlakuan yang lainnya.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa.
1. Jika menggunakan model tumpukan yang berbeda mempengaruhi terjadinya
pengomposan jerami dan kotoran sapi.
Pengomposan dengan menggunakan model tumpukan open windrow, static pile dan model China berpengaruh terhadap suhu dan kualitas kompos yang dihasilkan.
menghasilkan waktu proses pengomposan paling singkat yaitu selama 45 hari, selanjutnya adalah perlakuan P1(open windrow) dan P2 (static pile) masing-masing memerlukan waktu 48 dan 56 hari.
DAFTAR PUSTAKA
Asngad, A. 2005. Model Pengembangan Pembuatan Pupuk Organik dengan
Inokulan (Studi Kasus Sampah Di TPA Mojosongo Surakarta). Jurnal Sainteks Volume 4 Nomor, 1.
Budiarta, I W., Sumiyati ,dan Setiyo, Y. 2017.
Pengaruh Saluran Aerasi pada Pengomposan Berbahan Baku Jerami. Jurnal BETA Volume 5, Nomor 1, Maret, 2017
Dewi M. E. Y., Setiyo, Y., Nada, I. M. 2017. Pengaruh Bahan Tambahan pada Kualitas Kompos Kotoran Sapi. Jurnal BETA Volume 5, Nomor 1, Maret, 2017
Ekawati, I. 2003. Pengaruh pemberian inokulum terhadap kecepatan pengomposan jerami
padi. Tropika: jurnal Penelitian
Pertanian, 11(2), 144-152.
Gandjar, I. 2006. Mikologi dasar dan terapan.
Yayasan Obor Indonesia.Ginting dan Perdana. 2007. Sistem Pengelolaan Lingkungan Dan Limbah Industri. Cetakan Pertama Bandung : Penerbit Yarma Widya Gaur, A.C. 1982. A Manual of rural composting”.
In : FAO/UNDP Regional Project RAS/75/004, Field Document No 15, FAO, Rome.
Graves, R.E., Hattemer, G.M., Stetter, D., Krider, J.N. dan Dana, C. 2000. National Engineering Handbook. United States Departement of Agriculture.
Guci, D. 2017. Pengaruh Pemberian Berbagai Jenis Pupuk Organik terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Mentimun (Cucumis Sativus L) (Doctoral dissertation).
Hanzen RC, Keener HM, and Coihnk HAJ. 1989. Polutry manure composting : An
explarotory study. J Transaction of the ASAE 32(6): 2151 – 2158.
Kusuma, M. A. 2012. Pengaruh Variasi Kadar Air terhadap Laju Dekomposisi Kompos Sampah Organik di Kota Depok (Doctoral dissertation, Tesis Fak. Teknik Program Studi Teknik Lingkungan Universitas Indonesia).
Llodra, J. C., Bravo, M., Delgado‐Rodriguez, M., Baca, P., & Galvez, R. 1993. Factors
influencing the effectiveness of sealants–a meta‐analysis. Community dentistry and oral epidemiology, 21(5), 261-268.
Martin AM. 1998. Bioconversion of waste materials to industrial products. Blackie Academic and Professional. London.
Massa S., Setiyo, Y., Widia, I. W. 2016. Pengaruh Perbandingan Jerami dan Kotoran Sapi Terhadap Profil Suhu dan Karakteristik Pupuk Kompos yang Dihasilkan. Jurnal BETA Volume 4, Nomor 2, Oktober 2016.
Murbandono, L., 2008. Membuat Kompos. Penebar Swadaya, Jakarta.
Muriani, N. W. 2011. Pengaruh Konsentrasi Daun Gamal (Gliricidia sepium) dan Lama Fermentasi Terhadap Kualitas Larutan MOL. Skripsi. Program Studi Ilmu Tanah, Jurusan Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana.
Nishizaki K, Yokochi Y, Shibata Y, and Nagai T. 1997. Developent of composting system. JARQ 31: 233 – 238.
Palma N. 2002. Rancang bangun fasilitas pengomposan berbahan baku sampah di Desa Babakan Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Perla M. 1997. Community composting in developing countries. J Biocycle 38(6): 48-54.
Reza AN. 2003. Pengomposan limbah sludge industri kertas dengan metode Cina dan pemanfaatannya sebagai komponen media tanam kacang panjang. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Rochaeni, A. 2008. Strategi Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Kompetisi. manajerial, 410.
Setiawan A, 2003. Pemanfaatan isi rumen (kambing dan domba) sebagai inokulan dalam proses pengomposan sampah pasar ( organik ) dengan kotoran sapi perah. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor.
Setiyo Y., K.B. Susrusa, I D.G.M. Permana and I G.A.L. Triani., 2015. Development of the LEISA system for the cultivation of consumed potatoes (Solanum tuberosum L.) Granola variety to improve land quality and productivity.Proceedings of
SENASTEK, 2015.
Sudarmadji, S., & Haryono, B. 1997. Suhardi. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian, 96114.
Sulistyorini, L. 2005. Pengelolaan Sampah dengan Menjadikannya Kompos. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2(1):77-84.
Sutanto R. 2002. Penerapan pertanian organik. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Wahyono, S. dan Sahwan, FL. 1998. Solid waste composting trend and projects. J Biocycle 38(1):64-68.
10
Discussion and feedback