JURNAL BETA (BIOSISTEM DAN TEKNIK PERTANIAN Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana http://ojs.unud.ac.id/index.php/beta

Volume 9, Nomor 2, bulan September 2021

Karakteristik Pengeringan Dan Sifat Fisik Bubuk Jahe Merah Kering (Zingiber Officinale Var.rubrum) Dengan Variasi Ketebalan Irisan Dan Suhu Pengeringan

Drying Characteristics and Physical Properties Of Dried Red Ginger Powder (Zingiber Officinale Var.rubrum) With Variations Of Slice Thickness And Drying Temperature

Ni Luh Devi Widyanti, Ni Luh Yulianti*, Yohanes Setyo

Program Studi Teknik Pertanian Dan Biosistem Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana, Badung, Bali, Indonesia

*Email : [email protected]

ABSTRAK

Pengolahan jahe merah dalam bentuk bubuk merupakan salah satu cara untuk mengawetkan hasil panen jahe merah yang memiliki kadar air yang tinggi. Pengolahan jahe merah dalam bentuk bubuk perlu dilakukannya pengeringan pada bahan sehingga mampu mengeluarkan kandungan air yang terdapat pada bahan. Dalam pengeringan suatu bahan suhu dan ketebalan merupakan hal berpengaruh pada pengeringan. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui karakteristik pengeringan, sifat fisik bubuk jahe merah serta perlakuan yang menghasilkan kualitas bubuk jahe kering yang paling baik dengan variasi suhu dan ketebalan irisan selama pengeringan. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial dengan dua faktor dan tiga kali ulangan. Faktor yang pertama yaitu suhu pengeringan 50oC, 60oC, dan 70oC dan faktor kedua yaitu ketebalan irisan jahe merah 1 mm, 3 mm, 5 mm. Parameter yang diamati yaitu kadar air, kerapatan curah, sudut curah, indeks keseragaman, dan laju penurunan kadar air jahe merah. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi antar perlakuan suhu dan ketebalan irisan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap parameter kadar air, kerapatan curah, sudut curah, dan laju penurunan kadar air jahe merah. Selanjutnya perlakuan terbaik diperoleh pada perlakuan (N3S5) dari jahe merah yang dikeringkan dengan ketebalan irisan 3 mm yang dikeringkan dengan suhu 50oC dengan nilai kadar air 10,05% bb, kerapatan curah 790Kg/m3, sudut curah 43,34o.

Kata Kunci : Suhu Pengeringan, Ketebalan Irisan,Karakteristik Pengeringan, Bubuk Jahe Merah, Sifat Fisik Bubuk.

ABSTRACT

Processing red ginger in powder form is one way to preserve the red ginger crop, which has a high moisture content. Processing of red ginger in powder form requires drying of the material so it can remove the water content in the material. In drying a material, the temperature and thickness influence drying. The purpose of this study was to determine the drying characteristics, the physical properties of red ginger powder and the treatment that produced the best dry ginger powder quality with variations in temperature and slice thickness during drying. The design used in this study was a factorial randomized block design (RBD) with two factors and three replications. The first factor is the drying temperature of 50oC, 60oC, and 70oC and the second factor is the thickness of the red ginger slices 1 mm, 3 mm, 5 mm. The parameters observed were moisture content, bulk density, angle of bulk, uniformity index, and rate of reduction in water content of red ginger. The results showed that the interaction between the temperature treatments and the thickness of the slices had a significant effect on the parameters of moisture content, bulk density, angle of bulk, and the rate of reduction in water content of red ginger. The best treatment was obtained in treatment (N3S5) of dried red ginger with a thickness of 3 mm slices dried at a temperature of 50oC with a moisture content value of 10.05% bb, bulk density 790Kg/m3, angle of bulk 43.34o.

Keywords : Drying Temperature, Slice Thickness, Drying Characteristics, Red Ginger Powder, Powder Physical Properties.

PENDAHULUAN

Jahe merupakan tanaman tradisional yang telah dikenal oleh masyarakat akan khasiat, manfaat, dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Tanaman jahe di Indonesia ada tiga jenis yang dibudidayakan yaitu jahe merah, jahe putih gajah, dan jahe putih emprit. Menurut Erwanto, (2018) dari ketiga jenis jahe yang ada di Indonesia yang paling banyak diminati oleh masyarakat adalah jahe merah karena memiliki kandungan nilai gizi tertinggi dibandingkan jenis jahe lainnya dan jahe merah menyimpan banyak kandungan alami salah satunya dapat memberi rasa pedas yang menjadi rasa khas pada jahe merah itu sendiri. Selain memiliki kandungan alami, jahe merah juga memiliki kandungan kimia antara lain gingerrol, zingeron, dan shogaol. Karena kandungan yang cukup tinggi pada jahe merah, banyak kalangan masyarakat yang menjadikan jahe merah sebagai rempah, obat – obatan, dan dapat digunakan sebagai bahan campuran untuk bahan kosmetik.

Jahe merupakan tanaman yang mudah mengalami perubahan fisik, fisiologis, dan kimia. Tanaman jahe merah memerlukan penanganan yang cepat, sehingga tidak terjadi penurunan mutu pada tanaman jahe merah dan memiliki umur simpan lebih lama. Oleh karena itu, setelah tanaman jahe merah dipanen perlu penanganan pascapanen yang tepat, salah satu cara yang dapat diterapkan yaitu dengan mengeringkan jahe merah berbentuk rajang dan banyak dimanfaatkan dalam jahe merah kering bentuk bubuk. Keuntungan dalam mengolah bentuk bubuk jahe yaitu memberikan bahan baku yang fleksibel untuk industri untuk pengolahan lanjutan, serta menghemat ruangan, aman dalam industri, dan biaya (Galuh Prapita Sari, 2011).

Pengolahan jahe merah dalam bentuk bubuk merupakan salah satu cara untuk mengawetkan hasil panen jahe merah yang memiliki kadar air yang tinggi. Namun dalam pengeringan, suhu memegang peranan penting dalam proses pengeringan, dalam menjaga nilai mutu pada bahan. Proses pengeringan merupakan salah satu indikator yang penting dalam menentukan kadar air pada jahe yang tertuang pada standar mutu SNI 01-3393-1994 yaitu 10%. Penggunaan suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan penurunan nilai gizi yang terdapat pada jahe merah, sedangkan suhu terlalu rendah menyebabkan produk yang dihasilkan mudah ditumbuhi kupang dan tidak mampu bertahan lama (Tropik et al., 2020). Selain itu, suhu pengeringan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan karakteristik kimia sehingga mengurangi mutu pada produk yang dihasilkan (Winangsih et al., 2013).

Mengetahui karakteristik fisik bubuk jahe merah kering merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Hal ini dikarenakan beberapa sifat fisik jahe merah kering dijadikan acuan dalam perancangan peralatan pengolahan jahe merah seperti sudut curah, indeks keseragaman dan rendemen butiran. Selain sifat fisik jahe merah kering, beberapa karakteristik pengeringan jahe merah juga menjadi hal yang perlu diperhatikan, hal ini dikarenakan untuk menghasilkan kualitas jahe merah yang baik perlu diperhatikan beberapa karakteristik pengeringannya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penelitian tentang karakteristik pengeringan jahe merah dan sifat fisik bubuk jahe merah kering ini perlu dilakukan.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknik Pascapanen dan Pengolahan Sumber Daya Alam Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana pada bulan Juli 2020 sampai Agustus 2020.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan yaitu stopwatch, pisau, timbangan digital skala 5 kg (Model Camry), oven (Blue-m), cawan, loyang, keranjang, ayakan tyler, corong, gelas ukur, alat penepung yaitu meldish, alat blansing yaitu water baht, kamera, alat tulis dan bahan yang digunakan yaitu rimpang jahe merah yang berumur 3 bulan (setelah bibit tumbuh tunas kecil) yang memiliki ukuran panjang 5 cm dan diameter 3 cm yang diperoleh dari petani Desa Taro, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar

Pelaksanaan Penelitian

Penerimaan Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu rimpang jahe merah yang memiliki panjang berukuran 5 cm dan diameter 3 cm yang sudah berumur 3 bulan (setelah bibit tumbuh tunas kecil). Jahe merah yang digunakan yaitu jahe merah yang dipanen sehari sebelum diujikan. Rimpang jahe merah segar diperoleh dari petani Desa Taro, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali.

Sortasi

Rimpang jahe merah yang sudah dipanen sehari sebelum digunakan, selanjutnya dibersihkan dari tanah yang menempel menggunakan air mengalir kemudian ditiriskan menggunakan keranjang tray selama 15 menit. Setelah jahe merah ditiriskan jahe merah selanjutnya diiris sesuai dengan ketebalan perlakuan yang digunakan yaitu 1 mm, 3 mm, dan 5

mm. Setelah pengirisan, jahe merah ditimbang sebanyak 300 gram untuk masing-masing unit perlakuan sesuai dengan ketebalan yang digunakan.

Blansing

Blansing pada jahe merah bertujuan untuk mempertahankan warna pada jahe merah. Blansing pada jahe merah menggunakan suhu 90oC ± 1oC selama 10 menit untuk satu perlakuan menggunakan water baht yang kemudian diangkat dan ditiriskan menggunakan keranjang selama 15 menit yang bertujuan untuk mengurangi kadar air selama berlangsungnya blansing. Setelah ditiriskan jahe merah kemudian ditimbang.

Pengeringan

Pengeringan jahe merah dilakukan bertujuan untuk mengurangi kadar air yang dikandung jahe merah. Pengeringan jahe merah dilakukan dimana sebelumnya jahe ditimbang sebanyak 300gr untuk masing – masing unit percobaan. Selanjutnya jahe merah dikeringkan menggunakan oven dengan suhu pengeringan sesuai perlakuan yaitu sebesar 50oC, 60oC, dan 70oC. Selama proses pengeringan dilakukan, jahe ditimbang untuk mengetahui perubahan berat setiap 1 jam sekali selama 6 jam pertama dan setiap 2 jam sekali pada penimbangan selanjutnya hingga mencapai 10 jam. Hal ini bertujuan untuk melihat seberapa besar penurunan laju pengeringan yang terjadi selama pengeringan.

Penepungan

Rimpang jahe merah yang telah dikeringkan kemudian dibubukkan menggunakan alat penepung yaitu meldish selama 5 menit yang kemudian di dinginkan didalam desikator selama 5 menit. Proses pendinginan dilakuakan bertujuan untuk menjaga kestabilan suhu, sehingga tidak mempengaruhi berat dari bahan. Setelah bubuk jahe merah di dinginkan, hasil bubuk kemudian diayak menggunakan ayakan tyler dengan mesh yang berukuran 80, 60, dan 40 yang bertujuan untuk menemukan keseragaman bubuk.

Parameter Yang Diamati

Kadar Air

Pengukuran kadar air dengan menggunakan metode oven (SNI, 2323:2008), yakni dimulai dengan cara mengeringkan cawan kosong terlebih dahulu selama 10 menit (M0) kemudian jahe merah yang sudah diiris dan diblancing ditimbang sebanyak 300 gram lalu dimasukkan ke dalam cawan tersebut. Cawan beserta jahe merah (M1) ditempatkan dalam oven pada suhu (50oC, 60oC, 70oC ± 2oC) selama 1 jam selama 6 jam pertama dan dilakukan setiap 2 jam untuk waktu selanjutnya hingga mencapai 10 jam. Selanjutnya jahe dan cawan dimasukkan kedalam

desikator. Kemudian timbang cawan beserta isinya tersebut (M2). Kadar air dapat dinyatakan rumus seperti berikut [1] :

Kadar air = (M1 M2) X 100% (M1-M0)

[1]


Keterangan:

M1 = bobot cawan, tutup dan contoh uji sebelum pengeringan, dinyatakan dalam gram

M2 = bobot cawan, tutup dan contoh uji sesudah pengeringan dinyatakan dalam gram

Mo = bobot cawan dan tutupnya dinyatakan dalam

gram

Kerapatan Curah

Pengukuran kerapatan curah bubuk jahe merah dilakukan dengan menggunakan gelas ukur 10 ml. Sebelum bubuk jahe merah dimasukkan kedalam gelas ukur, gelas ukur ditimbang terdahulu kemudian dimasukkan bubuk jahe merah kedalam gelas ukur dan diketuk – ketuk sebanyak 10 kali. Setelah diketuk – ketuk hingga permukaan pada bubuk jahe merah rata dan mencapai garis yang sudah ditentukan pada gelas, kemudian gelas ukur dan bubuk jahe ditimbang kembali untuk menentukan berat akhir bahan. perhitungan kerapatan curah dapat dilakukan dengan rumus [2] :

, ,   ,.    ^2-MZ1

(g/cm3) =                      [2]

Keterangan :

V = Volume gelas ukur (m3)

w1 = Berat gelas ukur (g)

w2 = Berat gelas ukur + tepung jahe merah (g)

Sudut Curah

Pengukuran sudut curah dapat dilakukan dengan cara mencurahkan bahan pada satu titik sehingga

berbentuk curah menyerupai kerucut. Sebelum bahan dicurahkan, bubuk jahe merah ditimbang terdahulu sebanyak 30 gram kemudian baham dimasukkan kedalam gelas ukur dan dituangkan pada bidang datar seperti meja yang diatasnya terdapat

milimeter blok. Bahan dituangkan hingga

menyerupai kerucut atau berbentuk gunung. Setelah bahan menyerupai kerucut, bahan diukur

menggunakan penggaris unuk menentukan tinggi

dari bahan, dan menemukan lemparan terjauh dari

bahan untuk menentukan luas dari permukaan bahan. Untuk menghitung sudut curah yaitu dapat dilakukan

dengan rumus berikut (Priastuti & Suhandy, 2016)

[3].

21 d

[3]


Keterangan :

t = tinggi (cm)

d = diameter tumpukan (cm)

Indeks Keseragaman

Bubuk jahe merah yang sudah dibubukkan menggunakan alat penepung seperti mesldish kemudian ditimbang untuk menentukan berapa banyak bubuk yang digunakan. Setelah bubuk jahe merah ditimbang, bubuk jahe merah kemudian diayak menggunakan alat pengayak tyler yang memiliki ukuran 0,19 mm ( mesh 80 ), 0,3 mm ( mesh 60 ), 0,45 mm ( mesh 40) yang dimana mesh angka terbesar memiliki ukuran lubang paling kecil begitu pun sebaliknya. Bubuk jahe merah kemudian diayak menggunakan mesh yang memiliki angka terbesar kemudian pengayakan selanjutnya akan dilakukan pada mesh yang memiliki angka terkecil. Hal ini bertujuan untuk mentukan hasil bubuk jahe merah dari yang terhalus sampai yang kasar. Bubuk jahe merah diayak hingga bubuk jahe merah tidak mampu melewati ayakan tyler yang digunakan. Setelah

selesai diayak, bubuk jahe merah ditimbang kembali untuk menentukan hasil yang diperoleh

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Air

Kadar air merupakan sifat kimia dari suatu bahan yang dapat menentukan banyaknya kandungan air yang terdapat pada suatu bahan. Pengujiaan kadar air dalam pengeringan merupakan hal yang penting. Hal ini dikarenakan kadar air dalam pengeringan dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa pada bahan pangan. Selain itu kadar air yang tinggi dapat menyebabkan bahan mudah rusak sehingga bahan tidak mampu untuk bertahan lama. Dari hasil penelitian didapatkan nilai dari masing – masing unit percobaan yang dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1.

Nilai rata – rata kadar air (% bb) simplisia jahe merah berdasarkan perlakuan suhu dan ketebalan irisan

SUHU

KETEBALAN IRISAN

1 mm (N1)

3 mm (N3)

5 mm (N5)

Suhu 50oC (S5)

9,3 a

10,05 ab

15,64 d

Suhu 60oC (S6)

9,38 a

11,62 bc

15,18 d

Suhu 70oC (S7)

9,55 a

13,02 c

11,07 abc

Keterangan :

Huruf yang berbeda dibelakang nilai rata – rata kadar air menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan berdasarkan uji BNT (P<0,05)

Berdasarkan dari hasil analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa interaksi antar perlakuan suhu dan ketebalan irisan jahe merah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai kadar air yang dihasilkan. Berdasarkan data yang ditampilkan dalam tabel 1 diketahui bahwa kadar air irisan jahe merah yang dihasilkan berkisar antara 9,32% bb – 15,64% bb, dimana nilai kadar air terendah diperoleh pada perlakuan ketebalan irisan 1 mm yang dikeringkan pada suhu 50oC (N1S5) yaitu sebesar 9,32% bb dan nilai kadar air tertinggi yang diperoleh dari interaksi perlakuan ketebalan irisan 5 mm yang dikeringkan pada suhu 50oC (N5S5) yaitu sebesar 15,64% bb. Selanjutnya berdasarkan data yang ditampilkan pada table 1 diketahui bahwa semakin tipis irisan jahe merah yang dikeringkan maka semakin rendah kadar air yang mampu dicapai pada akhir proses pengeringan diseluruh suhu pengeringan yang digunakan. Hal ini menunjukan bahwa semakin tipis irisan pada suatu bahan maka semakin cepat proses perpindahan air bahan ke udara pengering, sebagai akibatnya maka kadar air yang mampu dicapai oleh produk menjadi lebih rendah. Berdarkan SNI 01-3393-1994 menunjukkan bahwa kadar air jahe kering yang memenuhi standar

maksimal yaitu 12% bb sedangkan kadar air yang baik untuk masa simpan yaitu kadar air 10% bb. Hal ini didukung oleh pernyataan Lisa et al, (2015) yang menyatakan bahwa produk pangan dengan kadar air 14% bb cukup baik untuk mencegah pertumbuhan kupang, namun kadar air maksimum untuk produk kering seperti bubuk yaitu 10% bb, sehingga mampu memberi masa simpan lebih lama.

Kondisi sebaliknya juga dapat dilihat bahwa semakin tebal irisan jahe merah yang dikeringkan, maka semakin tinggi kadar air bahan yang mampu dicapai. Jika dilihat data pada tabel 1 diatas, diketahui bahwa kadar air yang diiris dengan ketebalan 5 mm (N5) memiliki nilai kadar air lebih tinggi dibandingkan perlakuan 3 mm (N3) dan 1 mm (N1), demikian juga pada perlakuan yang diiris dengan ketebalan 3 mm (N3) memiliki nilai kadar air lebih tinggi dibandingkan perlakuan 1 mm (N1) pada masing-masing perlakuan suhu pengeringan. Kondisi ini dikarenakan, jumlah uap air yang harus dipindahkan dari dalam bahan menjadi lebih banyak dan jumlah air terikatnya pun menjadi lebih banyak untuk diuapkan. Hal ini didukung dari pernyataan Dyah Purnomosari, (2008) didalam suatu produk pangan

terdapat dua jenis kadar air yaitu air bebas dan air terikat. Air bebas merupakan air yang mudah untuk diuapkan dari bahan selama pengeringan, sedangkan air terikat sangat sulit untuk diuapkan dari bahan meskipun dengan cara dikeringkan. Menurut Ummah et al, (2016) terikatnya kadar air pada suatu bahan pangan dapat terjadi karena tekanan uap air pada kadar air terikat memiliki tekanan yang lebih lebih rendah dibandingkan tekanan uap air pada kadar air bebas pada perlakuan suhu pengeringan yang sama. Kadar air terikat pada suatu bahan dapat dibagi menjadi tiga yaitu fraksi terikat primer, tersier, skunder. Dari ketiga fraksi ikatan tersier merupakan fraksi ikatan yang sangat lemah sehingga aktivitasnya mendekati air bebas (Asgar & Musaddad, 2006).

Berdasarkan hal terbut diatas, maka dapat diketahui bahwa perlakuan jahe yang diris dengan ketebalan 3 mm yang dikeringkan pada suhu 50oC (N3S5) adalah perlakuan yang lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya dimana perlakuan ini memiliki kadar air sebesar 10,05% bb dengan besaran kadar air yang didapat telah memenuhi standar SNI yaitu kadar air tidak lebih dari 12% bb dan menunjukkan nilai yang baik dan memenuhi syarat untuk masa simpan bahan pangan kering seperti dalam bentuk bubuk yaitu 10 %bb.

Kerapatan Curah

Kerapatan curah (bulk density) merupakan perbandingan berat suatu bahan dengan volume yang ditempatinya, termasuk ruang kosong yang terdapat diantara butiran bahan.

Tabel 2.

Nilai rata – rata kerapatan curah (Kg/m3) bubuk jahe merah berdasarkan perlakuan suhu dan ketebalan irisan

SUHU

KETEBALAN IRISAN

1 mm (N1)

3 mm (N3)

5 mm (N5)

Suhu 50oC (S5)

748 ab

790 b

889 c

Suhu 60oC (S6)

715 a

788 b

769 ab

Suhu 70oC (S7)

756 ab

776 b

757 ab

Keterangan :

Huruf yang berbeda dibelakang nilai rata – rata kerapatan curah menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan berdasarkan uji BNT (P<0,05)

Berdasarkan dari analisis sidik ragam yang dilakukan, dapat diketahui bahwa interaksi antar perlakuan ketebalan irisan dan suhu pengeringan yang digunakan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai kerapatan curah bubuk jahe merah yang dihasilkan. Berdasarakan hasil data tersebut dapat diketahui bahwa hampir sebagian besar perlakuan telah memenuhi nilai yang disayaratkan untuk produk bubuk. Dari hasil pengujian nilai kerapatan curah, diperoleh nilai kerapatan curah yang berada dikisaran 715 Kg/m3 – 889 Kg/m3, yang dimana nilai terendah diperoleh dari perlakuan ketebalan irisan 1 mm dengan suhu pengeringan 60oC (N1S6) dan nilai tertinggi diperoleh dari perlakuan ketebalan irisan 5 mm dengan suhu pengeringan 50oC (N5S5). Menurut Tropik et al, (2020) nilai kerapatan bahan berbentuk bubuk pada umumnya berkisaran dari 300 Kg/m3 – 800 Kg/m3.

Berdasarkan dari data pada tabel 2 dapat dilihat bahwa semua perlakuan suhu pada ketebalan irisan 1 mm (N1) dan ketebalan irisan 3 mm (N3) memiliki nilai yang sudah memenuhi syarat nilai kerapatan curah untuk produk bahan kering dalam bentuk

bubuk. Sementara, nilai keratapat curah tertinggi dipeloreh pada perlakuan (N5S5) yaitu jahe merah yang diiris dengan ketebalan 5 mm dan dikeringkan pada suhu 50oC dimana nilai kerapat curah yang diperoleh yaitu sebesar 889 Kg/m3. Selanjutnya perakuan ini menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Tingginya nilai kerapaan curah yang dihasilkan pada perlakuan ketebalan irisan 5 mm dengan suhu pengeringan 50oC (N5S5) disebabkan oleh jumlah air yang terikat dalam bahan lebih besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Air yang berada dalam bahan lebih banyak akibat dari irisan bahan yang lebih tebal yaitu 5 mm dan suhu yang digunakan lebih rendah yaitu 50oC. Kondisi ini menyebabkan pindah massa yang terjadi menjadi lebih susah dan sebagai akibatnya berat bahan persatuan volumenya pun menjadi lebih tinggi. Kondisi ini juga sejalan dengan kadar air pada perlakuan ketebalan irisan 5 mm dengan suhu pengeringan 50oC (N5S5) yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Menurut pernyataan Andriani et al., (2013) bulk densiy merupakan sifat yang dapat dipengaruhi oleh ukuran dan kadar air. Tingginya kadar air pada bahan

mengakibatkan berat bahan yang menempati satuan volume menjadi lebih besar sehingga menghasilkan nilai kerapatan curah yang tinggi. Hal ini menunjukan bahwa semakin tipis irisan pada jahe merah maka, luas permukaan pengeringan menjadi semakin besar dan ini membantu proses pengeringan menjadi lebih baik, sehingga butiran bubuk jahe merah yang dihasilkan cenderung lebih halus. Menurut Mahdi Jufri, (2006) bentuk partikel dalam kerapatan curah dapat mempengaruhi bulk densiy pada suatu bahan, yang dimana partikel – partikel dengan pororitas lebih besar dapat mengakibatkan rongga – rongga antar partikel dapat terisi oleh udara sehingga bulk density menjadi lebih kecil.

Dari hasil pengujian yang dapat dilihat pada tabel 2 nilai kerapatan curah yang ditunjukkan sesuai dengan nilai kadar air akhir pada jahe merah yang sudah dikeringkan. Menurut pernyataan dari Pangaribuan et al, (2016) yang menyatakan bahwa semakin tinggi kadar air pada suatu bahan maka semakin tinggi nilai bulk densitinya yang dihasilkan. Semakin rendah kadar air pada suatu bahan maka semakin baik kerapaan curah yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan, rendahnya kadar air pada suatu bahan yang telah dikeringkan akan menghasilkan butiran yang semakin kecil dan halus. Selain itu bahan yang memiliki kadar air rendah dalam pembentukan bubuk menjadi lebih mudah dan tidak mengakibakan penggumpal pada bubuk. Menurut

Jaelani et al, (2018) menyatakan bahwa pengecilan ukuran partikel secara nyata menyebabkan penurunan terhadap nilai kerapatan tumpukan pada bahan yang dapat berpengaruh terhadap nilai kerapatan curah.

Dari hasil penelitian perlakuan yang memenuhi syarat nilai dari keraparan curah untuk bahan kering dalam bentuk bubuk yaitu perlakuan dengan ketaban irisan 3 mm dengan suhu pengeringan 50oC (N3S5) yaitu sebesar 790 Kg/m3. Perlakuan ini menunjukkan nilai tertinggi yang memenuhi syarat nilai dari kerapaan curah untuk bahan kering dalam bentuk bubuk dan mendekati batas maksimal dari syarat nilai yaitu 800 Kg/m3. Selain itu perlakuan ini dapat dinyatakan perlakuan terbaik karena nilai yang dihasilkan sudah memenuhi syarat ketentuan dan nilai kadar air pada perlakuan ini sudah memenuhi dari standar SNI yang sudah ditentukan.

Sudut Curah

Sudut curah (angle of repose) adalah sudut yang terbentuk antar bidang datar dengan sisi miring curahan pada sejumlah biji yang dituangkan dengan cepat diatas bidang datar hingga menyerupai kerucut. Sudut curah merupakan hal yang penting dalam mendisain wadah, alat pembantu dalam pengolahan biji – bijian dan fasilitas penyimpanan. Sudut curah dapat ditentukan dengan cara mengukur diameter curahan dan tinggi curahan.

Tabel 3.

Nilai rata – rata sudut curah (o) bubuk jahe merah berdasarkan perlakuan suhu dan ketebalan irisan

SUHU

KETEBALAN IRISAN

1 mm (N1)

3 mm (N3)

5 mm (N5)

Suhu 50oC (S5)

47,33 bc

43,33 a

44,00 bc

Suhu 60oC (S6)

48,00 c

44,33 abc

44,00 bc

Suhu 70oC (S7)

46,66 abc

43,66 ab

46,00 abc

Keterangan :

Huruf yang berbeda dibelakang nilai rata – rata sudut curah menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan berdasarkan uji BNT (P<0,05)

Berdasarkan analisis sidik ragam yang dilakukan, diketahui bahwa interaksi antar perlakuan ketebalan irisan dan suhu pengeringan yang digunakan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai sudut curah bubuk jahe merah yang dihasilkan. Nilai sudut curah bubuk jahe merah yang dihasilkan berkisaran dari 43,3o – 48o. Dari analisa tersebut nilai tertinggi diperoleh yaitu 48o dari perlakuan ketebalan irisan jahe merah 1 mm dan dikeringkan pada suhu 60oC (NS61) dan nilai terkecil yang diperoleh pada perlakuan jahe dengan irisan 3 mm dan dikeringkan pada suhu 50oC (N3S5) dengan nilai 43,3o.

Menurut Priastuti et al, (2016) sudut curah suatu produk perlu diketahui karena sudut curah merupakan salah satu metode yang penting dalam mendisain wadah dan mengetahui tinggi gesekan yang terjadi pada bahan dengan media. Kemudian sudut curah dapat ditentukan dengan cara mengukur diameter dan tinggi curahan. Berdasarkan dari hasil penelitian yang diperoleh tergolong cukup baik yaitu berkisaran antara 43,3o – 48o. Hal ini sesuai dengan pernyataan Peleg, (1983) yang menyatakan sudut curah dengan nilai sebesar ≤ 35o yang menandakan bahwa bahan mudah mengalir, sudut curah dengan nilai berkisaran ≥55o yang menandakan bahan

memiliki sifat sangat kohesif dan sulit untuk mengalir. Didukung dari pernyataan Anwar et al, (2010) yang menyatakan sudut curah yang mempunyai nilai terkecil menunjukkan aliran indeks tepung yang baik.

Sama halnya dengan dua parameter mutu lainnya, berdasarkan data yang ditampiklan pada tabel 3 diketahui bahwa nilai sudut curah yang paling baik juga dihasilkan dari perlakuan ketebalan irisan 3 mm dengan suhu pengeringan 50oC (N3S5) dengan hasil yang diperoleh yaitu 43,3o. Nilai sudut curah yang dihasilkan pada perlakuan ini menunjukkan nilai yang paling rendah dibandingkan perlakuan lainnya, hal ini menunjukan bahwa dengan nilai yang rendah maka kemampuan bahan untuk mengalir menjadi semakin baik dan ini manjadi salah satu parameter penting yang harus diperhatikan. Menurut Syah et al, (2013) sudut curah memiliki hubungan yang sangat erat dengan gaya kohesi partikel. Bahan yang memiliki gaya kohesi yang tinggi menyebabkan kebebasan dalam bergerak rendah. Bahan yang memiliki kebebasan bergerak rendah dapat mengakibatkan sudut tumpukan menjadi besar.

Menurut Anwar et al, (2010) sudut curah yang memiliki nilai yang rendah menunjukkan aliran tepung yang baik.

Menurut Pangaribuan et al, (2016) menyatakan bahwa dengan mengetahui kerapatan curah dan kadar air kita dapat mengetahui sudut gesek internal yang berhubungan dengan angle of perpose. Berdasarkan dari pernyataan tersebut hasil sudut curah sangat berkaitan dengan nilai kadar air dan kerapan curah yang dihasilkan.

Indeks Keseragaman

Indeks keseragaman merupakan perbandingan anatara suatu ukuran diameter butiran yang dapat lolos dari ukuran mesh tertentu dalam menentuakan suatu fraksi. Indeks keseragaman dapat dinyatakan dalam fraksi kasar, sedang, dan halus yang diperoleh dari hasil pengayakan setelah penggilingan pada bahan yang sudah dikeringkan. Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan, ketebalan irisan dan suhu pengeringan dapat memberikan pengaruh pada ukuran bahan yang dihasilkan.

Tabel 4.

Nilai rata – rata indeks keseragaman (%) bubuk jahe merah berdasarkan perlakuan suhu dan ketebalan irisan

Perlakuan

Nilai Indek Keseragaman (%)

Mesh 80

Mesh 60

Mesh 40

S5N1

16,04 abcd

12,36 c

9,10 abc

S5N3

18,22 cd

9,49 bc

10,84 c

S5N5

13,72 ab

8,59 bc

9,97 bc

S6N1

17,16 bcd

5,11 ab

7,19 a

S6N3

19,26 d

6,79 ab

10,45 bc

S6N5

11,91 a

8,99 bc

11,12 c

S7N1

16,41 bcd

3,95 a

7,95 ab

S7N3

17,08 bcd

6,52 ab

10,42 bc

S7N5

14,55 abc

6,73 ab

11,45 c

Keterangan :

Huruf yang berbeda dibelakang nilai rata – rata indeks keseragaman menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan berdasarkan uji BNT (P<0,05)

Berdasarkan analisis sidik ragam yang dilakukan, diketahui bahwa interaksi antar perlakuan ketebalan irisan dan suhu pengeringan yang digunakan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai indeks keseragaman bubuk jahe merah. Berdasarkan data pada tabel 4 diketahui bahwa hasil indeks keseragaman yang dihasilkam berkisaran dari 3,95% - 19,26% yang diperoleh dari mesh 80, 60, dan 40. Dari beberapa perlakuan, nilai tertinggi dihasilkan dari ukuran mesh 80 perlakuan ketebalan irisan 1 mm dengan suhu pengeringan 50oC (N1S5) dengan jumlah bubuk jahe merah sebesar 19,26% dan nilai terkecil dihasilkan dari

ukuran mesh 60 pada perlakuan ketebalan irisan 1 mm dengan suhu pengeringan 70oC (N1S7) dengan jumlah bubuk sebesar 3,95%.

Dari hasil penelitian yang dilakukan, jumlah bubuk jahe merah dapat dibagi menjadi tiga fraksi yaitu halus, sedang, dan kasar. Dalam katagori fraksi dapat ditentukan dari hasil pengayakan menggunakan alat pengayak tyler yang memiliki ukuran lubang ayak 0,19 mm pada mesh 80, 0,3 mm pada mesh 60, dan 0,45 mm pada mesh 40 yang dimana mesh yang memiliki angka terbesar memiliki ukuran lubang mesh paling kecil yang nantinya akan

menghasilkan bubuk jahe paling halus dan bubuk jahe merah dalam katagori fraksi kasar akan dihasilkan pada angka mesh yang memiliki ukuran terkecil.

Dapat dilihat pada tabel 4 hasil bubuk jahe merah dalam katagori faksi halus, sedang, dan kasar dapat diperoleh dari mesh 80, 60, dan 40. Dari hasil pengayakan mesh 80 menghasilkan fraksi halus bubuk jahe merah yang berkisaran dari 11,91% -19,26% dimana nilai terbesar dihasilkan pada perlakuan ketebalan irisan 5 mm dengan suhu pengeringan 60oC (N5S6) dan nilai terkecil dihasilkan pada perlakuan ketebalan irisan 3 mm dengan suhu pengeringan 60oC (N3S6) sedangkan mesh 60 yang mengasilkan bubuk jahe merah fraksi sedang yaitu berkisaran dari 3,95% - 12,36% dengan nilai tertinggi dihasilkan dari perlakuan ketebalan 1 mm dengan suhu pengeringan 50oC (N1S5) dengan dan nilai terendah dihasilkan dari perlakuan dengan ketebalan irisan 1 mm dengan suhu pegeringan 70oC (N1S7) dan mesh 40 yang menghasilkan bubuk jahe merah fraksi kasar mendapatkan hasil berkisaran dari 7,19% - 11,45% dengan nilai tertinggi dihasilkan dari perlakuan dengan ketebalan irisan 5 mm dengan suhu pengeringan 70oC (N5S7) dan nilai terendah dihasilkan dari perlakuan dengan ketebalan irisan 1 mm dengan suhu pengeringan 60oC (N1S6). Menurut Priastuti et al, (2016) jumlah fraksi halus memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan fraksi sedang dan kasar. Dari pernyataan tersebut perlakuan yang memiliki nilai yang sesuai pernyataan yaitu perlakuan dengan ketebalan 3 mm dengan suhu pengeringan 60oC (N1S5).

Menurut Arpah, (1993) yang menyatakan bahwa dalam menentukan mutu bukan hanya dari ukuran yang seragam namun berdasarkan dari ukuran partikel untuk mendapatkan sifat – sifat tepung yang diinginkan dalam penggunaan pada produk – produk tertentu. Semakin kecil ukuran partikel bubuk jahe merah, maka semakin cepat bubuk akan terlarut. Dari pernyataan tersebut dapat dinyatakan bahwa nilai fraksi halus yang dihasilkan dari mesh 80 merupakan bubuk yang baik untuk digunakan dalam bahan pangan.

Laju Perubahan Kadar Air

Proses pengeringan merupakan suatu proses yang menyebabkan terjadinya perubahan kadar air pada suatu bahan. Pada saat pengeringan terjadi, suhu udara ruang pengering dapat menyababkan suhu pada suatu bahan menjadi naik sehingga dapat terjadi tekanan uap air yang menyebabkan perpindahan massa dari suatu bahan ke udara pengering dalam bentuk uap air.

Perubahan kadar air pada jahe merah dalam bentuk simplisia selama pengeringan terjadi dapat dilihat pada grafik. Pada awal pengeringan terjadi penurunan kadar air yang begitu cepat yang kemudian melambat dengan berjalannya waktu. Hal ini dapat terjadi karena pada saat awal pengeringan, kandungan air bebas yang terdapat pada bahan masih tinggi sehingga mudah untuk diuapkan sedangkan pada akhir pengeringan kandungan air pada bahan mulai sulit untuk diuapkan karena kadar air pada bahan sudah terikat sehingga sulit untuk diuapkan. Ummah et al, (2016) menyebutkan bahwa semakin tinggi suhu dalam pengeringan yang digunakan maka semakin cepat laju pengeringan yang terjadi begitu juga semakin rendah suhu pengeringan yang digunakan maka semakin lama waktu pengeringan yang dibutuhkan. Selain itu semakin tipis ketebalan irisan pada bahan maka semakin mudah kadari air pada bahan untuk diuapkan.

Penurunan kadar air pada saat mengeringkan suatu bahan dapat terjadi secara terus menerus sampai kadar air bebas sudah mencapai 0 (Dash et al, 2013). Dari hasil penelitian suhu pengeringan 70oC menunjukkan penurunan kadar air paling cepat dari pada suhu pengeringan 60oC dan 50oC begitu juga dengan suhu pengeringan 60oC menunjukkan penurunan kadar air yang lebih cepat dari pada suhu 50oC. Dalam pengeringan jahe merah pada penelitian ini dilakukan selama 10 jam yang dimana dilakukan pengecekan penurunan kadar air pada 1 jam pertama hingga mencapai waktu pengeringan 6 jam dan 2 jam selanjutnya hingga waktu pengeringan menunjukkan 10 jam.

100%


90%

80%

S' 70%

CQ

j 60%

<  50%

< 40%

Q

S 30%

20%



5 mm (N5)

— 3 mm (N3)

—⅛- 1 mm (N1)


10%


0%


1 JAM 2 JAM 3 JAM 4 JAM 5 JAM 6 JAM 8 JAM 10

JAM

LAMA PENGERINGAN JAHE MERAH (JAM)

100%


90%

80%

S 70%

CQ

60%

<  50%

< 40%

Q

S 30%

20%



—5 mm (N5)

—3 mm (N3)

1 mm (N1)


10%

0%


1 JAM 2 JAM 3 JAM4 JAM 5 JAM 6 JAM8 JAM 10

JAM

LAJU PENGERINGAN JAHE MERAH (JAM)

80%


20%


70%

60%

50%

40%

30%


→- 5 mm (N5)


 3 mm (N3)


1 mm (N1)


10%

0%

1 Jam 2 Jam 3 Jam 4 Jam 5 Jam 6 Jam 8 Jam 10 Jam

Laju Pengeringan Jahe Merah (Jam)

Grafik 1.Laju perubahan kadar air jahe merah simplisia selama proses pengeringan dengan suhu pengeringan (a) 50oC, (b) 60oC, dan (c) 70oC.

Selama proses pengeringan selain suhu pengering,   penurunan kadar air pada bahan. semakin tipis irisan

ketebalan irisan juga dapat mempengaruhi terjadinya   pada bahan maka semakin cepat kadar air yang

mampu diaupkan, semakin tebal irisan kadar air maka semakin sulit kadar air untuk diuapkan. Semakin lama waktu pengeringan yang digunakan maka laju pengeringan pada sampel akan mengalami penurunan hingga mendekati 0, dengan kata lain laju pengeringan akan semakin menurun seiring dengan penurunan kadar air pada sampel.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil pengujian dan pembahasan yang dilakukan dapat diambil kesimpulan yaitu : a. Interaksi antar perlakuan suhu dan ketebalan irisan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap parameter mutu jahe bubuk yaitu kadar air, kerapatan curah, sudut curah, dan indeks keseragaman yang dijhasilkan.

b. Interaksi perlakuan jahe yang diiris dengan ketebalan 3 mm dan dikeringkan pada suhu pengeringan (N3S5) merupakan perlakuan yang menghasilkan bubuk jahe kering dengan mutu yang paling baik, dimana nilai kadar air 10,05%, kerapatan curah 790Kg/m3, dan sudut curah 43,3o.

Saran

Berdasarkan dari hasil penelitian yang sudah dilakukan saran yang dapat diberikan yaitu :

  • a.    Perlu dilakukan pengujian warna dan aroma pada bubuk jahe merah yang dihasilkan

  • b.    Perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan arah potongan irisan jahe merah yang dikeringkan pada suhu yang terbaik dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Andriani, M., Anandito, B. K., & Nurhartadi, E. (2013). Pengaruh Suhu Pengeringan Terhadap Karakteristik Fisik Dan Sensori Tepung Tempe"Bosok". Jurnal Teknologi Hasil Pertanian, 6(2).

Anwar, E.,  .  H.,  & Jufri, M. (2010). Studi

Kemampuan Niosom Yang Menggunakan Maltodekstrin Pati Garut (Maranta Arundinaceae Linn.) Sebagai Pembawa Klorfeniramin Maleat. Makara Of Science Series, 8(2), 59–64.

Arpah, M. (1993). No Title. Pengawasan Mutu Pangan.Penerbit Tarsito, Bandung.

Asgar, A., & Musaddad, D. (2006). Optimalisasi Cara, Suhu, Dan Lama Blansing Sebelum Pengeringan Kubis. Jurnal Hortikultura, 16(4), 83054.

Dash, K. K., Gope, S., Sethi, A., & Doloi, M. (2013). Star Fruit Slices. International Journal of

Agriculture and Food Science Technology., 4(7), 679–686.

Dyah Purnomosari. (2008). No Title. Studi Isoterm Sorpsi Lembab Dan Fraksi Air Terikat Pada Tepung Gaplek, 56.

Erwanto. (2018). No Title. Mempelajari Karakteristik Pengeringan Jahe Merah (Zingiber Officianale Var. Rubrum) Menggunakan Alat Pengering Mekanis Tipe Rak, 38.

Galuh prapita sari. (2011). No Title. Studi Budidaya Dan Pengaruh Lama Pengeringan Terhadap Jahe Merah (Zinggiber Officinale Rosc.), 40.

Jaelani, A., Djaya, M. S., Nimah, G. K., & ... (2018). The Physical Quality of Complete Feed of Modified Granules Made From Legumes And Swamp Forage For Goat Feed. Proceeding of the …, 249–254.

Lisa, M., Lutfi, M., Susilo, B., & Lll. (2015). Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan terhadap Mutu Tepung Jamur Tiram Putih ( Plaerotus ostreatus ) Effect of Temperature Variation and Long Drying Of the Quality Flour White Oyster Mushroom ( Plaerotus ostreatus ). Jurnal Keteknikan Pertanian Tropis Dan Biosistem, 3(3), 270–279.

Mahdi Jufri, R. D. A. R. F. (2006). Studi Kemampuan Pati Biji Durian Tablet Ketoprofen Secara Granulasi Basah. Majalah Ilmu Kefarmasian, III(2), 78–86.

Metode, P., Terhadap, P., Simplisia, K., Prihastanti, E., Parman, S., Biologi, L., Tumbuhan, F., Biologi, J., & Sains, F. (2013). Pengaruh

Metode Pengeringan Terhadap Kualitas Simplisia Lempuyang Wangi (Zingiber Aromaticum L.). Buletin Anatomi Dan Fisiologi, 21(1), 19–25.

Pangaribuan, S., Nuryawati, T., & Suprapto, A. (2016). Sifat Fisik dan Mekanik Serta Pengaruh Penyosohan terhadap Sifat Fisik dan Mekanik Biji Sorgum Varietas KD 4 Physical and Mechanical Properties as well as The Effect of Milling on The Physical and Mechanical Properties of Grain Sorghum Varieties KD 4. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian, September, 81–86.

Peleg, M. dan E. B. B. (1983). No Title. Physical Properties of Food. Avi Publishing Company, Inc. Wesport Connection.

Priastuti, R. C., -, T., & Suhandy, D. (2016).

Pengaruh Arah Dan Ketebalan Irisan Kunyit Terhadap Sifat Fisik Tepung Kunyit Yang Dihasilkan. Jurnal Teknik Pertanian Lampung, 5(2), 101–108.

Priastuti, R. C., & Suhandy, D. (2016). Effect of Direction and Thickness of Physical Slice. Teknik Pertanian Lampung, 5(2), 101–108.

Syah, H., Studi, P., Pertanian, T., Pertanian, F., & Kuala, U. S. (2013). Karakteristik Fisik Bubuk Kopi Arabika Hasil Penggilingan Mekanis dengan Penambahan Jagung dan Beras Ketan. Karakteristik Fisik Bubuk Kopi Arabika Hasil Penggilingan Mekanis Dengan Penambahan Jagung Dan Beras Ketan, 5(1), 32–37.

Tropik, J. P., Farrel, R., Aulawi, T., & Darmawi, A. (2020). Analisis Mutu Simplisia Rimpang Jahe Merah (Zingiber officinale Var. Rubrum) dengan Suhu Pengeringan yang Berbeda Quality Analysis of Simplicia Red Ginger (Zingiber officinale Var. Rubrum) Rhizome with Different Drying Temperature. 7(1), 136– 143.

Ummah, N., Purwanto, Y. A., & Suryani, A. (2016). Penentuan Konstanta  Laju Pengeringan

Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Iris Menggunakan Tunnel  Dehydrator. Warta

IHP/Journal of Agro-Based Industry, 33(2), 49–56.

158