JURNAL BETA (BIOSISTEM DAN TEKNIK PERTANIAN Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana http://ojs.unud.ac.id/index.php/beta

Volume 9, Nomor 1, bulan April 2021

Perombakan Bahan Limbah Kelapa Sawit dengan Metode Vermikompos

Decomposition of Palm Oil Waste using Vermicompost Method

Dian Pratama Putra1*, Reni Astuti Widyowanti2, Rengga Arnalis Renjani2, Andreas Wahyu Krisdiarto2

1Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian INSTIPER Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia 2Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian INSTIPER Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia *email: [email protected]

Abstrak

Salah satu permasalahan limbah pabrik kelapa sawit adalah pengelolaan Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS). Cara yang dapat dilakukan untuk penanganan limbah TKKS, yakni dengan konversinya secara biologis untuk menjadi green fertilizer. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode observasi dan metode analisis deskriptif pada masing – masing perlakuan dan ditentukan lamanya penelitian selama 28 hari. Alat yang digunakan adalah cangkul, ember, gembor, dan tempat vermikomposting. Peralatan pengujian antara lain timbangan, pH meter dan jangka sorong. Kemudian bahan yang digunakan adalah limbah – limbah kelapa sawit (Sludge, Solid, dan Tankos). Perlakuan yang dilakukan adalah meng-kompositkan 3 bahan – bahan limbah sawit dengan proporsi 100%, 50%, dan 25% kemudian diberikan cacing Lumbricus rubellus sebesar 500 gr setiap perlakuan. Parameter yang dilakukan adalah pengujian laju penguraian, pH, karakteristik cacing yang kemudian dilakukan pengamatan setiap 7 hari sekali sampai dengan penentuan waktu selama 28 hari. Laju dekomposisi bahan organik yang dilakukan oleh cacing mendapatkan respon paling tinggi pada perlakuan pencampuran media L6 (65 %) dan L7 (88%). Proses dekomposisi ternyata tidak mempengaruhi pH media, pH yang didapat rerata adalah 6. Dari proses laju dekomposisi dan pH media tidak mempengaruhi karakteristik cacing Lumbricus rubellus dimana pertumbuhannya justru meningkat. Hal ini diduga karena kondisi media yang cocok untuk keberlangsungan hidupnya.

Kata kunci: fisika tanah, biologi tanah, TKKS, perkebunan sawit, limbah, Lumbricus rubellus.

Abstract

One of the problems with palm oil mill waste is the management of Oil Palm Empty Bunches (OPEFB). One method that can be used for handling OPEFB waste is by converting it biologically to green fertilizer. The method used in this research is observation and descriptive analysis methods for each treatment. The length of the study was 28 days. The tools used were a hoe, bucket, watering can, and a place for vermicomposting. Testing equipment includes scales, pH meters and calipers. Material used was palm oil waste (sludge, solid, and empty bunches). The treatment carried out was to composite 3 materials - palm oil waste materials with a proportion of 100%, 50%, and 25%. The composite was then given 500 grams of Lumbricus rubellus worms per treatment. The parameters measured were the decomposition rate, pH, characteristics of the worms which were observed every 7 days up to 28 days. The rate of decomposition of organic matter received the highest response in the mixing treatment of L6 (65%) and L7 (88%) media. The decomposition process did not affect the pH of the media. The average pH obtained was 6. The process of decomposition rate and media pH did not affect the characteristics of Lumbricus rubellus worms. The growth of the worms increased, which is presumably because the media conditions were suitable for their survival.

Keyword: Soil physics, soil biology, EFB, oil palm plantations, waste, Lumbricus rubellus.

PENDAHULUAN

Tanah yang produktif haruslah mempunyai bahan organik yang konsisten, dimana peran bahan organik merupakan 5% dari total penyusun tanah yang dapat menghidupi mikroorganisme secara seimbang dan berkelanjutan (Saragih et al., 2019)

Fungsi tanah sebagai penyedia nutrisi bagi tanaman, berhubungan erat dengan produksi yang akan dicapai tanaman dan hal tersebut tergantung pada kemampuan tanah dalam penyediaan nutrisi atau kesuburan tanah (Suwarno, 2018)

Pabrik kelapa sawit di Indonesia umumnya memiliki kapasitas 45-60 ton TBS/jam, dengan jam operasi minimal 8 jam perhari. Setiap ton pengolahan TBS di pabrik kelapa sawit membutuhkan air sebanyak 1 ton, yang digunakan untuk kebutuhan air boiler, operasional pembersihan peralatan dan lokasi kerja, kebutuhan domestik di perumahan (Hermantoro & Renjani, 2014), perebusan, pencampuran CaCO3 di claybath untuk proses pemisahan pada stasiun nut and kernel, dan digunakan sebagai pengencer (water delution) di stasiun klarifikasi. Limbah yang banyak dihasilkan dari proses pengolahan kelapa sawit, namun belum termanfaatkan adalah, kotoran di bawah loading ramp, slurry limbah cair, tandan kosong kelapa sawit, abu boiler, dan solid luaran decanter.

Salah satu permasalahan limbah pabrik kelapa sawit adalah pengelolaan TKKS. TKKS selama ini hanya dijadikan mulsa di perkebunan kelapa sawit, tanpa dilakukan proses perlakuan apapun. Hal ini dapat mengakibatkan munculnya jamur, tempat bersarangnya hama dan penyakit yang dapat menyebabkan kesehatan tanaman terganggu. Proses penanganan TKKS untuk menjadi kompos membutuhkan waktu yang lama, kendala dalam transportasi, potensi menjadi tempat bersembunyinya ular, tikus, kumbang tanduk, dan membutuhkan biaya distribusi yang besar (Yahya et al., 2010).

Perkembangan teknologi dalam budidaya tanaman Kelapa Sawit mengharuskan penerapan Zero Waste pada pengelolaannya, salah satunya dengan penerapan teknologi biokonversi vermikompos agar dapat lebih bermanfaat dan lebih mudah dalam aplikasinya. Vermikompos merupakan biokonversi sederhana yang menggunakan cacing pengurai dimana dalam penguraiannya didapatkan juga hasil perkembangbiakan cacing itu sendiri. Peranan cacing tanah sangat penting dalam proses dekomposisi bahan organik tanah.

Cara yang dapat dilakukan untuk penanganan limbah TKKS, dengan mengkonversinya secara biologis menjadi green fertilizer. Proses konversi limbah secara biologis (vermikomposting) merupakan metode untuk mengubah bahan limbah organik menjadi produk yang bernilai jual. Metode ini kini telah banyak dilakukan dan diakui sebagai salah satu cara yang paling efisien dan ramah lingkungan (Fatemeh et al., 2017). Proses vermikomposting terjadi antara interaksi antara cacing tanah dengan media berupa biomasa, dan terjadi melalui mikroorganisme pada usus cacing (El-haddad et al., 2014).

Penelitian yang dilakukan oleh Sugiharto (Sugiharto, 2006) menyatakan bahwa proses vermikomposting yang dilakukan dengan bahan sampah organik dan

perangsang mikroorganisme (EM4) hanya membutuhkan waktu sekitar 7 hari. Penelitian yang dilakukan oleh B.J. Rochma (Lailatul Rochma B.J, Sukiran Al Jauhari, 2013) menyatakan bahwa dengan metode vermikomposting ini hanya membutuhkan waktu selama 14 hari dengan bahan – bahan dari kotoran sapi yang masih mentah. Sedangkan pernyataan Vakili (Vakili et al., 2015) menyatakan bahwa bahan – bahan limbah kelapa sawit membutuhkan waktu yang cukup panjang yaitu 56 – 60 hari.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji perkembangan cacing terhadap perombakan limbah kelapa sawit secara metode vermikomposting agar dapat digunakan sebagai pupuk organik tambahan pada tanaman kelapa sawit

METODE

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode observasi dan metode analisis deskriptif pada masing – masing perlakuan dan ditentukan lamanya penelitian selama 28 hari. Alat yang digunakan adalah cangkul, ember, gembor, dan tempat vermikomposting. Peralatan pengujian antara lain timbangan, pH meter dan jangka sorong. Kemudian bahan yang digunakan adalah limbah – limbah kelapa sawit (Sludge, Solid, dan Tankos). Perlakuan yang dilakukan adalah meng-kompositkan 3 bahan – bahan limbah sawit dengan proporsi 100%, 50%, dan 25% kemudian diberikan cacing Lumbricus rubellus sebesar 500 gr setiap perlakuan.

Komposisi yang digunakan pada penelitian ini adalah L1 = tandan kosong (100%), L2 = solid decanter (100%), L3 = slurry limbah cair (100%), L4 = tandan kosong (50%) + slurry limbah cair (50%), L5 = solid decanter (50%) + slurry limbah cair (50%), L6 = solid decanter (50%) + tandan kosong (50%), L7 = tandan kosong (50%) + slurry limbah cair (25%) + solid decanter (25%), L8 = solid decanter (50%) + slurry limbah cair (25%) + tandan kosong (25%), dan L9 = slurry limbah cair (50%) + slurry limbah cair (25%) + tandan kosong (25%).

Preparasi pada bahan yang dilakukan meliputi: pencacahan tandan kosong kelapa sawit, pemberian mol organik, memilih cacing sesuai dengan ukurannya. Kemudian diagram alur penelitian yang dilakukan ada pada Gambar 1.

Parameter yang dilakukan adalah pengujian laju penguraian, pH, karakteristik cacing yang kemudian dilakukan pengamatan setiap 7 hari sekali sampai dengan penentuan waktu selama 28 hari.

Prosedur pengujian yang dilakukan meliputi Laju Konsumsi Bahan Organik Pemberian bahan organik pada cacing tanah hanya dilakukan satu kali selama proses pengurangian biomassa dari limbah kelapa sawit. Perhitungan bahan dilakukan setiap hari dengan cara mengambilnya dari wadah secara hand-sorting, menimbang dan mengembalikanya kembali ke dalam wadah. Perhitungan laju konsumsi diperoleh presentase

penguraian mutlak per hari (Thomsen & Boonruang, 1984) dengan menggunakan rumus:

y = (ABV × 100%

BA

dimana:

y      = % bahan organik yang dikonsumsi

Pengukuran pH kompos diukur menggunakan doubel air destilasi dengan rasio 1:10 dengan pH meter. Pertumbuhan dan pengukuran massa cacing dilakukan sebelum proses vermikomposting dan sesudah proses, hal ini dilakukan untuk menanalisa perubahan masa yang terjadi selama proses vermikomposting berlangsung. Cacing tanah dipisahkan dari media dengan metode hand-sorting.

BA    = bobot awal penimbangan (g)

BK    = bobot akhir penimbangan (g)

Gambar 1. Diagram alur penelitian.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Laju Dekomposisi Bahan Organik

Pada Gambar 2 Secara rata – rata laju dekomposisi bahan organik meningkat pada hari ke 7 dan mengalami penurunan secara signifikan hingga hari ke 21 s/d 28 kecuali pada perlakuan L6 dan L7. Hal ini disebabkan karena komposisi yang digunakan memiliki fraksi partikel yang beraneka ragam sehingga mempengaruhi laju dekomposisi bahan organik dari perlakuan L6 dan L7. Humus yang terbentuk merupakan faktor utama pendukung meningkatnya kesuburan tanah. Salah satu faktor yang mempengaruhi laju dekomposisi bahan organik yaitu ukuran bahan organik (Susanti & Halwany, 2017). Proses pembuatan vermikompos tidak dapat dirombak dalam keadaan mentah oleh cacing, melainkan telah dirombak terlebih dahulu sampai taraf tertentu oleh bakteri pengurai. Bakteri tersebut merupakan jenis bakteri aerob dan anaerob yang terdapat di dalam saluran percernaan cacing tanah. Pembuatan vermikompos terbagi dalam dua tahap. Tahap pertama yaitu proses pengomposan bahan-

bahan organik dalam media tanam (media pemeliharaan cacing) yang dilakukan oleh mikroorganisme, kemudian tahap kedua yaitu proses pengomposan dengan bantuan cacing tanah dengan cara memelihara cacing dalam jangka waktu tertentu dalam media tanam sehingga menghasilkan kotoran (Killion et al., 2017). Selain hal tersebut, diduga media yang digunakan juga mempengaruhi laju dekomposisi. Dimana besarnya penyusutan tergantung dari berbagai kematangan atau tingkatan bahan dan pengaruhnya terhadap kesiapan mikro/makro organisme dapat bertahan pada lingkungan berminyak dan melakukan dekomposisi pada waktu pengamatan dan bahan yang beragam. Laju dekomposisi yang semakin tinggi kemudian menurun tersebut dipengaruhi oleh rasio C/N dan mempengaruhi kegiatan sistem kombinasi antara cacing dan mikroorganisme lainnya. Penurunan yang terjadi secara drastis yang terjadi sejak hari ke 7 dan seterusnya juga dikarenakan bahan – bahan organik siap konsumsi masih sangat fresh dan siap didekomposisi lanjut oleh semua cacing Lumbricus rubellus dan untuk melakukan regenarasi keturunannya (Sinha et al., 2008).

^^^ML1 ^^^» L2       L3 «■■■■■Ml L4       L5       L6 ^^^^^M L7 ^^^^^M L8 ^^^^^M L9


Gambar 2. Laju dekomposisi bahan organik limbah kelapa sawit.

Perubahan pH Media

Seperti yang terlihat pada Gambar 3, hasil pH media pada masing – masing perlakuan memiliki pH media yang cukup stabil walaupun beberapa rerata perlakuan pH sempat turun keangka 6,6. Hal ini diduga karena adanya kandungan asam – asam organik yang dikeluarkan oleh cacing sebagai fungsi geraknya dan saluran pencernaan cacing tanah mengandung berbagai konsorsium organisme sinergis seperti protozoa, bakteri dan mikro fungi yang mampu mendegradasi senyawa selulosa dan

mengandung berbagai enzim seperti lipase, protease, urease, selulase, amilase dan kitinase (Pathma & Sakthivel, 2012). Enzim urease adalah enzim yang berperan penting sebagai katalis hidrolisis urea menjadi amoniak dan asam karbamat (Das et al., 2002) yang bersifat masam, sehingga untuk mencapai harkat pH netral atau 7 masih sulit didapatkan. Beberapa penelitian juga sejalan dengan pH yang dihasilkan dengan metode vermikompos ini, salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Sinha (Sinha et al., 2008) dimana cacing dapat beradaptasi hingga pH dibawah 4 – 6.

Gambar 3. Kondisi pH rata-rata tiap kompos.


Karakteristik Sampel Cacing

Parameter pertumbuhan cacing tanah terus meningkat baik dari panjang dan diameter tubuh cacing (Gambar 4 dan Gambar 5). Sesuai dengan pengamatan yang dilakukan setiap hari menunjukkan bahwa pertumbuhan cacing tanah yang meningkat ini menandakan bahwa media

bahan yang diberikan sesuai untuk kondisi hidupnya. Sesuai dengan penelitian – penelitian sebelumnya Febrita (Vol et al., 2015) dan Anggada (Anggada & Hastuti, 2019) bahwa media tumbuh cacing Lumbricus rubellus haruslah bahan–bahan organik yang sebelumnya sudah terfermentasi seperti perlakuan persiapan bahan yang baik, memberikan dekomposer atau tambahan bahan lain

untuk proses dekomposisi oleh cacing berjalan dengan optimal sehingga memberikan dampak positif yaitu pertumbuhan yang terus meningkat dan life cycle yang terus bertahan. Penurunan laju dekomposisi (Gambar 2) tidak mempegaruhi peningkatan panjang dan diameter cacing. Hal ini berarti walaupun dengan bahan organik yang semakin minim kondisi cacing masih stabil dan bahkan meningkat, diduga karena adanya kondisi lingkungan (pH) dan kelembaban yang sesuai (Bhat et al., 2018). Nutrisi yang dihasilkan akan lebih baik daripada tanpa dengan tanpa perlakuan cacing/treatment sama sekali, sehingga simulasi ketersediaan unsur hara dapat terlihat secara baik dan dapat dijadikan saran dalam penerapannya (Putra et al., 2020).


Gambar 4. Karakteristik sampel cacing dengan pengamatan secara observatif.

0.180

0.160

I 0.140

0.120

O 0.100

⅛ 0.080

0.060

Q 0.040

0.020

0.000

H0    H7    H14   H21   H28

Hari ke-


9.0

8.5

8.0

2 7.5

.g’ 7.0

S 6.5

6.0

5.5

5.0

4.5

4.0

■■■BMBL1 ^^^^^» L2 ^^^^^» L3 «■■■■■■B L4 ^^^^^M L5

^^^^^B L6 ^^^^^^ L7 ^^^^^^ L8 ^^^^^* L9


■■^■^■BL1 ^^^^^V L2 «■■■■■■M L3 ■■■■■■M L4 ■■■■■■■B' L5

^^^^^M L6 ^^^^^V L7 ^^^^^M L8 ^^^^^M L9

A

B


Gambar 5. Karakteristik sample cacing (A) panjang cacing, (B) diameter cacing.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian pada media vermikomposting yang cocok untuk cacing yakni menggunakan media slurry limbah cair kelapa sawit (perlakuan L6 dan L7) karena semakin variatif bahan yang digunakan. Kondisi pH yang sesuai pada media juga mempengaruhi terhadap perkembangan cacing dan dalam waktu yang cepat (dalam 7 hari) laju dekomposisi pada rerata

perlakuan (kecuali L6 dan L7). Karakteristik perkembangan cacing sangat stabil dan cendrung meningkat tiap minggunya juga menentukan bahwa kualitas bahan yang digunakan sangat sesuai dengan kondisi yang diharapkan cacing dan bahan tersebut juga memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan cacing Lumbricus rubellus.

Saran

Kedepannya perbaikan dan penambahan parameter pada perkembangan cacing, kondisi kelembaban

media, dan analisis kimia media yang akan dijadikan nutrisi untuk pupuk organik.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terima kasih disampaikan kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang telah mendanai penelitian melalui kegiatan Penelitian Dosen Pemula hingga dapat meningkatkan performance penelitian.

Daftar Pustaka

Anggada, R. D., & Hastuti, P. (2019). Buletin Anatomi dan Fisiologi Volume 4 Nomor 2 Agustus 2019 Pertumbuhan Cacing Tanah ( Lumbricus rubellus ) dan Komposisi Kompos pada Media yang Diperkaya Limbah Rumah Makan dan Limbah Industri Tahu Earthworms ( Lumbricus rubellus ) Growth and Compost Com. 4.

Bhat, S. A., Singh, S., Singh, J., Kumar, S., Bhawana, & Vig, A. P. (2018). Bioremediation and detoxification of industrial wastes by earthworms: Vermicompost as powerful crop nutrient in sustainable agriculture. Bioresource Technology, 252(November 2017), 172–179. https://doi.org/10.1016/j.biortech.2018.01.00 3

Das, N., Kayastha, A. M., & Srivastava, P. K. (2002). Purification and characterization of urease from dehusked pigeonpea (Cajanus cajan L.) seeds. Phytochemistry, 61(5), 513– 521.         https://doi.org/10.1016/S0031-

9422(02)00270-4

El-haddad, M. E., Zayed, M. S., & El-satar, A. M. A. (2014). Evaluation of compost , vermicompost and their teas produced from rice straw as affected by addition of different supplements. Annals of Agricultural Sciences,          59(2),         243–251.

https://doi.org/10.1016/j.aoas.2014.11.013

Fatemeh, P., Asha, R., Mahamd, E., & Ibrahim, H. (2017). Bioremediation of palm industry wastes using Vermicomposting technology: its environmental application as green fertilizer. 3 Biotech,   7(155),   3–10.

https://doi.org/10.1007/s13205-017-0770-1

Hermantoro, & Renjani, R. A. (2014). Utilization Study Rejected Reverse Osmosis Water for Domestic Water Needs and as Boiler Feed Water at Palm Oil Mill (in Indonesian Language). Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Teknik Pertanian Indonesia, September, 195–199.

Killion, H., Pucciarelli, D., Friesen, C., & Ellery, J.

(2017). The Effect of Vermicomposting Knowledge and Visual Cues on Fruit Consumption in the Middle School Lunch Room. Journal of the Academy of Nutrition and      Dietetics,      117(9),      A65.

https://doi.org/10.1016/j.jand.2017.06.201

Lailatul Rochma B.J, Sukiran Al Jauhari, D. N. (2013). Efektifitas Cacing Lumbricus Rubellus, Lumbricus Terrestis dan Eisenia Foetida dalam Pembentukan Vermikompo Jerami Padi. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–

1699.

Pathma, J., & Sakthivel, N. (2012). Microbial diversity of vermPathma, J., & Sakthivel, N. (2012). Microbial diversity of vermicompost bacteria that exhibit useful agricultural traits and waste management potential. SpringerPlus,            1(1),            26.

http://doi.org/10.1186/2193-1801-1-26icompost bacte. SpringerPlus, 1(1), 26. http://www.springerplus.com/content/1/1/26

Putra, D. P., Bimantio, M. P., Sahfitra, A. A., Suparyanto, T., & Pardamean, B. (2020). Simulation of Availability and Loss of Nutrient Elements in Land with AndroidBased Fertilizing Applications. 2020 International Conference on Information Management and Technology (ICIMTech), 312–317.

Saragih, D. P. P., Ma’as, A., & Notohadisuwarno, S. (2019). Various Soil Types, Organic Fertilizers and Doses with Growth and Yields of Stevia rebaudiana Bertoni M. Ilmu Pertanian (Agricultural Science), 3(1), 57. https://doi.org/10.22146/ipas.33176

Sinha, R. K., Bharambe, G., & Ryan, D. (2008). Converting wasteland into wonderland by earthworms - A low-cost nature’s technology for soil remediation: A case study of vermiremediation of PAHs contaminated soil.  Environmentalist,  28(4),  466–475.

https://doi.org/10.1007/s10669-008-9171-7

Sugiharto, D. (2006). Kecepatan Dekomposisi Sampah Organik Pasar Kota Batu Serta Tingkat Kandungan NPK Kompos Dengan Metode Vermikompos dan EM4. University of Muhammadiyah Malang.

Susanti, P. D.,  & Halwany, W. (2017).

Dekomposisi Serasah dan Keanekaragaman Makrofauna Tanah pada Hutan Tanaman Industri Nyawai (Ficus variegate. Blume). Jurnal Ilmu Kehutanan,  11(2),  212.

https://doi.org/10.22146/jik.28285

Suwarno, D. P. P. (2018). Technosol Tanah Masa Depan (Review). AGROISTA Jurnal Agroteknologi, 02(1), 93–107.

Thomsen, H. A., & Boonruang, P. (1984). A light and electron microscopical investigation of loricate choanoflagellates (Choanoflagellida, Acanthoecidae) from the Andaman Sea, SW Thailand and Denmark: species of Cosmoeca gen. n. Zoologica Scripta, 13(3), 165–181.

Vakili, M., Rafatullah, M., Ibrahim, M. H., Salamatinia, B., Gholami, Z., & Zwain, H. M. (2015). A review on composting of oil palm biomass. Environment, Development and Sustainability, 17(4), 691–709.

Vol, J. B., Studi, P., Biologi, P., Universitas, F., & Issn, R. (2015). Program Studi Pendidikan Biologi Jurusan PMIPA FKIP Universitas Riau Pekanbaru 28293. 11(2), 169–176.

Yahya, A., Sye, C. P., Ishola, T. A., & Suryanto, H. (2010). Bioresource Technology Effect of adding palm oil mill decanter cake slurry with regular turning operation on the composting process and quality of compost from oil palm empty fruit bunches. Bioresource Technology,     101(22),     8736–8741.

https://doi.org/10.1016/j.biortech.2010.05.07 3

112