Pengaruh Penambahan EM-4 Terhadap Kualitas Pupuk Kompos Kotoran Gajah
on
JURNAL BETA (BIOSISTEM DAN TEKNIK PERTANIAN Program Studi Teknik Pertanian dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana http://ojs.unud.ac.id/index.php/beta
Volume 9, Nomor 1, bulan April, 2021
Pengaruh Penambahan EM-4 Terhadap Kualitas Kompos Kotoran Gajah
The Effect of Addition EM-4 (Effective Microorganism 4) On the Quality of Elephant Dung Compost
Irfan Fadel, Ida Ayu Gede Bintang Madrini, Sumiyati
Program Studi Teknik Pertanian Dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana,
Badung, Bali, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Kotoran gajah kaya akan selulosa dan lignin. Kotoran gajah memiliki warna yang bervariasi mulai dari kehijauan hingga kehitaman, tergantung dari makanan yang dikonsumsi (Mathew and Mary 2015). Sementara ini kotoran gajah belum banyak dimanfaatkan Maka dari itu kotoran gajah belum dimanfaatkan secara maksimal. kotoran gajah belum banyak dimanfaatkan secara maksimal. Pengomposan menjadi salah satu pilihan untuk menjadikan kotoran gajah lebih bermanfaat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan bioaktivator EM-4 terhadap suhu, pH, kadar air, ratio C/N, bahan organik yang dihasilkan dan untuk menentukan konsentrasi larutan bioaktivator EM-4 yang menghasilkan kualitas kompos yang terbaik dari kotoran gajah dan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 197030-2004). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan dengan menggunakan 50 kg kotoran gajah untuk satu perlakuan dan masing masing konsentrasi EM-4 0 ml (kontrol), 50 ml, 100 ml dan 150 ml. Keempat perlakuan tersebut dilakukan pengulangan sebanyak 2 kali sehingga didapatkan 8 unit percobaan. Parameter pengamatan meliputi suhu kompos, pH, Kadar Air, Bahan Organik, Karbon, Nitrogen,C/N ratio. Hasil pengomposan kotoran gajah dengan larutan EM-4 selama 2 bulan, maka dapat dilihat penambahan larutan EM-4 berpengaruh terhadap suhu, kadar air, ratio C/N dan bahan organik sedangkan pH tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan. Pada perlakuan penambahan 150 ml EM-4 pada 50 kg kotoran gajah, suhu mencapai termofilik pada hari ke 28 yaitu 46,1 ͦC, ratio C/N 19,63 dan bahan organik 35%. Semua perlakuan memenuhi SNI 19-7030-2004.
Kata kunci: EM-4, Kotoran Gajah, Kualitas Kompos, Pengomposan.
Abstract
Elephant dung is rich in cellulose and lignin. Elephant dung has a color that varies from greenish to blackish, depending on the food consumed (Mathew & Mary, 2015). Meanwhile, elephant dung has not been used much. Therefore, elephant dung has not been fully utilized. elephant dung has not been fully utilized. Composting is an option to make elephant dung more useful. The purpose of this study was to determine the effect of the addition of EM-4 bioactivator on temperature, pH, moisture content, C / N ratio, organic matter produced and to determine the concentration of the EM-4 bioactivator solution which produces the best quality compost from elephant dung and in accordance with Indonesian National Standard (SNI) 197030-2004). This study used a completely randomized design (CRD). The treatment used 50 kg of elephant dung for one treatment and each concentration of EM-4 0 ml (control), 50 ml, 100 ml and 150 ml. The four treatments were repeated 2 times in order to obtain 8 experimental units. Observation parameters include compost temperature, pH, moisture content, organic matter, carbon, nitrogen, C / N ratio. The results of composting elephant dung with EM-4 solution for 2 months, it can be seen that the addition of EM-4 solution has an effect on temperature, water content, C / N ratio and organic matter while pH does not show a significant effect. In the treatment of adding 150 ml of EM-4 to 50 kg of elephant manure, the temperature reached thermophilic on day 28, namely 46.1 ͦC, C / N ratio 19.63 and 35% organic matter. All treatments comply with SNI 19-7030-2004.
Keywords: Elephant Dung, EM-4, Composting, Compost Quality.
PENDAHULUAN
Limbah organik adalah limbah yang mempunyai unsur hidrogen dan karbon. Limbah Organik mudah diuraikan oleh mikroorganisme. Limbah organik dihasilkan dalam bentuk cairan dan padatan. Limbah yang berbentuk padatan adalah buangan dan kotoran seperti sampah organik (sisa makanan,sisa dapur dan sampah sayuran) dan kotoran hewan (sapi,ayam,gajah), sedangkan limbah yang berbentuk cairan adalah buangan atau kotoran seperti air tinja dan sisa air sabun.. Limbah-limbah tersebut perlu diolah dan dimanfaatkan menjadi bahan baku kompos Salah satu limbah kotoran hewan yang dimanfaatkan menjadi kompos adalah kotoran gajah. Kotoran gajah mengandung selulosa dan lignin. Dalam satu hari, rata-rata seekor gajah mengeluarkan sekitar 60-100 kg per hari. Sementara ini kotoran gajah belum banyak dimanfaatkan secara maksimal.Pengomposan
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana pada bulan Mei 2019 – Juli 2019. Selanjutnya analisis bahan baku kompos dan kompos dari kotoran gajah dilakukan di Laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian dan Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Udayana.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah keranjang biokomposter sederhana kapasitas penampungan 117 liter diameter 57 cm dan tinggi 46 cm, penggaris, terpal, garu, sekop, timbangan digital, termometer digital, pH meter, ember, mesin pencacah kompos.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kotoran gajah,,EM-4 air, aquades, NaOH, NaCl, H2So4 pekat, tablet Kjeldahl, asam borat.
Rancangan Percobaan
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). ). Perlakuan dengan menggunakan 50 kg kotoran gajah untuk setiap perlakuan dan masing masing konsentrasi EM-4 0 ml (P0), 50 ml (1%) + air 5 liter (P1), 100 ml (2%) + air 5 liter (P2) dan 150 ml (3%) + air 5 liter (P3). Keempat perlakuan tersebut dilakukan pengulangan sebanyak 2 kali sehingga didapatkan 8 unit percobaan. Data hasil penelitian
menjadi salah satu pilihan untuk menjadikan kotoran gajah lebih bermanfaat.
Kompos adalah pupuk dari bahan organik yang sudah melewati proses dekomposisi yang dilakukan mikroorganisme pengurai yang berasal dari proses alami maupun dengan tambahan bioaktivator seperti EM-4 yang berguna untuk menyuplai unsur hara tanah (Sutanto 2002). Penambahan bioaktivator seperti EM-4 dapat mempercepat proses pengomposan pada beberapa bahan baku namun belum dicoba pada pengomposan kotoran gajah.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan bioaktivator EM-4 terhadap suhu, pH, kadar air, ratio C/N, bahan organik yang dihasilkan dan untuk menentukan konsentrasi larutan bioaktivator EM-4 yang menghasilkan kualitas kompos yang terbaik dari kotoran gajah dan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 19-70302004).
dianalisis menggunakan sidik ragam pada program SPSS 25. Jika perlakuan berpengaruh terhadap variabel yang diamati, dilanjutkan dengan uji taraf 5%
Pengumpulan bahan baku
Bahan baku limbah kotoran gajah didapatkan dari kebun binatang Bali Zoo. Limbah kotoran gajah dikumpulkan 4 hari sebelum dilakukannya pencacahan dan pencampuran. Sedangkan Larutan EM-4 didapatkan di toko pertanian.
Pengecilan ukuran
Limbah kotoran gajah yang telah terkumpul kemudian dicacah menggunakan mesin pencacah sampah organik. Proses pencacahan bahan dilakukan untuk memdapatkan ukuran bahan baku pengomposan 1-5 cm. Agar mempercepat dan mempermudah proses pengomposan yang dilakukan.
Pencampuran bahan
Limbah kotoran gajah yang telah melewati proses pencacahan kemudian disemprotkan dengan EM-4 sesuai perlakuan dan dilakukan pencampuran manual dengan ketentuan sebagai berikut EM-4 0 ml (P0), 50 ml + air 5 liter (P1), 100 ml + air 5 liter (P2) dan 150 ml + air 5 liter (P3).
Proses pengomposan
Setelah seluruh bahan kompos dicampur dan dimasukkan kedalam komposter, pengomposan dilakukan dengan waktu 2 bulan. Setiap 2 minggu sekali dilakukan pembalikan untuk menjaga kondisi kompos agar cukup oksigen. Pembalikan tumpukan
bertujuan untuk memberikan sirkulasi udara. Pembalikan dilakukan dengan menggunakan alat sekop, garu dan terpal dimana tumpukan kompos didalam komposter dikeluarkan dan dicampur sampai kompos rata dan selanjutnya kompos di masukkan kembali kedalam komposter.
Parameter yang Diamati
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah suhu setiap hari, kadar air setiap 2 minggu , pH setiap 2 minggu, c-organik setiap 2 minggu, nitrogen setiap 2 minggu, kadar bahan organik setiap 2 minggu dan C/N rasio setiap 2 minggu. Semua parameter diamati selama 60 hari.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bahan Baku
Kotoran gajah yang memiliki pH 8.3 tinggi bila dibandingkan dengan pH kotoran sapi yaitu 4,31 (Dewi, Setiyo, and Nada 2017). Proses pengomposan akan berlangsung secara baik jika pH awal bahan baku 6,5 ~7, karena mikroba dapat berkembang dengan optimal pada kondisi tersebut (Setiyo et al. 2007). Kotoran gajah memiliki kandungan C/N rasio 47,28%. Kadar air awal pada kotoran gajah adalah
58%. pH awal kotoran gajah 8,3. Larutan EM-4 memiliki kandungan total mikroba 8,5 ×106 CFU/ml
Suhu Selama Proses Pengomposan
Pada saat proses pengomposan, suhu diamati setiap hari dengan menggunakan termometer digital. Hasil pengamatan suhu selama proses pengomposan ditampilkan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar.1
10
0
1 5 10 15 20 25 28 29 30 35 40 45 50 55 60
Hari
—•— p0 —■— p1 p2 p3 Suhu lingkungan
Gambar 1. Grafik
Berdasarkan grafik pada gambar suhu pada proses pengomposan sudah mulai dapat dilihat pada hari pertama dan mengalami kenaikan suhu yang berbeda-beda pada setiap perlakuan.
Pada saat awal pengomposan tumpukan kompos kotoran gajah mengalami proses aklimasi. Proses aklimasi adalah penyesuaian suhu bahan baku kompos. Pada proses ini aktivitas mikroorganisme berfungsi untuk merombak bahan baku kompos dan melakukan adaptasi dengan kondisi mesofilik (Madrini et al. 2016). Suhu tumpukan bahan kompos pada seluruh perlakuan mengalami kenaikan pada hari ke-3 berkisar antara 31,6 ~34,5oC, hal tersebut menunjukkan jika proses perombakan bahan-bahan organik oleh mikroorganisme mulai aktif.
Pada perlakuan P3 di hari ke-21 sampai hari ke-29, memasuki fase termofilik yang dapat dilihat dengan tanda rerjadinya peningkatan suhu kompos yang signifikan mencapai suhu 45oC ~75 oC (Keith and Tchobanoglous 2002). Suhu maksimal pada perlakuan P3 pada fase temofilik mencapai 46,1oC.
suhu pada kompos
Pada perlakuan P2 suhu maksimal yaitu 40,9oC terjadi di hari ke 25. Perlakuan P1 suhu maksimal yaitu 40,5oC terjadi pada hari ke 30. Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa perlakuan P3 yang mencapai fase termofilik dengan suhu maksimal 46,1oC. Pada perlakuan P0, P1, P2 dimana suhu maksimal yang dicapai masing-masing sebesar 34,3oC, 40,5, 40,9oC . Hal ini membuat pengomposan pada perlakuan P0 tidak berjalan dengan baik dan berhenti di fase mesofilik yaitu suhu 20 ~45 oC hal ini terjadi karena pada perlakuan P0 tidak adanya penambahan larutan EM-4 dan pada perlakuan P1 dan P2 penambahan larutan EM-4 tidak sebanyak pada perlakuan P3 sehingga perkembangbiakan mikroorganisme pengurai menjadi terbatas dibandingkan dengan perlakuan P3. Mikroorganisme dekomposer mempunyai fungsi mempengaruhi suhu pada pengomposan dan berlangsung di kondisi suhu yang berbeda (Djuarnani 2005).
Pada perlakuan P3 setelah melalui fase termofilik, memasuki fase pematangan kompos di hari ke-27.
Terjadi penurunan suhu kompos yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme dekomposer mulai berkurang dab berkurangnya energi yang dihasilkan serta s mengalami penurunan suhu. Pada Gambar 1 terlihat perlakuan P2 dan P3 yang mengalami
penurunan suhu mencapai suhu lingkungan yaitu 29 tC di hari ke-32 diikuti oleh dua perlakuan lainya. P0 dan P1 mengalami penurunan mencapai suhu lingkungan pada hari ke-35.
Tabel 1. Nilai rata-rata suhu proses pengomposan
Perlakuan Suhu Minimum (oC) Suhu Maksimum (oC) Suhu Rata-rata (oC)
P0 |
25,2 34,3 29,5 c |
P1 |
25,1 41,0 30,5 b |
P2 |
25,1 40,8 30,2 b |
P3 |
25,4 46,1 31,5 a |
Keterangan |
: Huruf yang sama dibelakang nilai rata-rata pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata (P>0,05). |
Berdasarkan hasil uji taraf 5% menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi larutan EM-4, berbeda nyata (P<0,05) terhadap perubahan suhu. Tabel 1 menunjukkan rata-rata suhu kompos berkisar antara 29,5 'C hingga 31,5 'C. Nilai suhu terendah yaitu 29,5 'C terdapat pada perlakuan P0. Nilai suhu tertinggi yaitu 31,5 'C pada perlakuan P3.
pH (Derajat Keasaman)
pH atau derajat keasaman kompos adalah salah satu parameter yang berpengaruh dalam pertumbuhan mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan. Adanya peningkatan dan penurunan pH menunjukkan terdapat aktivitas degradasi bahan organik dan proses metabolisme yang dilakukan oleh mikrooganisme. Pengukuran pH dilakukan setiap 2 minggu selama proses pengomposan berlangsung.
10
8
6
4
2
0
p0 p1 p2 p3
0
2468
minggu
Gambar 2. Grafik pH pada kompos
Berdasarkan Gambar. 2 pH yang tercatat mulai 8,4 sampai 6,8 sampai akhir proses pengomposan. Menurut Sutanto (2002), menyebutkan bawah nilai
pH proses pengomposan berkisar antara 6 ~9. Pada awal proses pengomposan, nilai pH cenderung menurun pada perlakuan P0 sampai minggu ke-2 berkisar antara 8,4 ~8,25. Menurut Sundari et al., 2014 menurunnya derajat keasaman pH diakibatkan karena perubahan bahan organik menjadi asam organik yang dilakukan oleh sejumlah mikroorganisme. Sedangkan pada perlakuan P1,P2,P3 nilai pH cenderung naik berkisar 7,64 sampai 7,6 pada minggu kedua karena jasad renik
lainnya memakan asam organik. Sehingga terjadi proses dekomposisi yang menyebabkan kenaikan
pH..
Selama berlangsungnya proses pengomposan sampai fase akhir proses pematangan terjadi penurunan pH yang terlihat pada minggu ke-4. Nilai pH yang cenderung stabil terlihat pada minggu ke-6 sampai minggu ke-8 pada proses pengomposan dengan nilai pH pada rentang 6,8-7,2. Hal ini disebabkan oleh mikroorganisme yang terdapat pada proses pengomposan berada dalam fase stationer, dimana panas yang dihasilkan cenderung stabil akibat dari aktivitas degradasi yang stabill (Noor et al., 1997).
Tabel 2. Nilai rata rata pH selama proses pengomposan
Perlakuan |
pH Minimum |
pH Maksimum |
pH Rata-rata |
P0 |
7,1 |
8,4 |
7,8 b |
P1 |
6,8 |
7,3 |
7,0 a |
P2 |
6,8 |
7,2 |
7,0 a |
6,8 |
7,1 |
7,0 a |
Keterangan : Huruf yang sama dibelakang nilai rata-rata pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda
nyata (P˃0,05).
Berdasarkan hasil uji taraf 5% menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi larutan EM-4, tidak berbeda nyata (P˂0,05) terhadap perubahan pH. Tabel 2 menunjukkan pH kompos berkisar antara 6,8 hingga 8,4. Nilai pH terendah yaitu 6,8 dan nilai pH tertinggi yaitu 8,4. Menurut Kusuma (2012), derajat keasaman
(pH) selama proses pengomposan tidak dipengaruhi oleh kadar air, tetapi dipengaruhi kandungan nitrogen bahan organik kompos hasil sintesis protein oleh mikroorganisme pengurai.
Kadar Air
Pengukuran kadar air dilakukan setiap 14 hari selama proses pengomposan berlangsung yaitu 2 bulan.
Faktor yang mengontrol laju pengomposan selain pH dan suhu yaitu kadar air (Andes Ismayana 2012)
Tabel 3. Nilai kadar air kompos.
Perlakuan |
Kadar Air Akhir (%) |
Kadar Air Rata-Rata |
P0 |
19,7 |
36,2 a |
P1 |
21,1 |
45,4 c |
P2 |
25,7 |
44,5 c |
P3 |
23,8 |
42,3 b |
Keterangan : Huruf yang sama dibelakang nilai rata-rata pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda
nyata (P˃0,05).
Berdasarkan hasil uji taraf 5% pada data rata-rata kadar air kompos bahwa perlakuan konsentrasi larutan EM-4, berbeda nyata (P˂0,05) terhadap perubahan kadar air pada kompos. Tabel 3 menunjukkan kadar air akhir kompos berkisar antara 36,2% hingga 45,4%. Nilai rata-rata kadar air akhir
Bahan Organik
Bahan organik yang terdapat dalam kompos akan berguna sebagai nutrisi pertumbuhan untuk tanaman. Bahan organik dapat menyediakan nutrisi dan
terendah yaitu 36,2% terdapat pada perlakuan P0. Nilai rata-rata kadar air akhir tertinggi yaitu 45,4% pada perlakuan P1. Menurut SNI 19-7030-2004, kompos yang berkualitas baik harus memiliki kadar air tidak lebih dari 50%.
memperbaiki struktur tanah. Menurut Mirwan (2015), salah satu indikator telah terjadinya proses dekomposisi dalam pengomposan dan kematangan kompos adalah bahan organik.
Tabel 4. Nilai kandungan bahan organik pada kompos.
Perlakuan |
Kadar bahan organik akhir (%) |
Kadar Bahan Organik Rata-rata (%) |
P0 |
30 |
22,68 c |
P1 |
27 |
23,32 c |
P2 |
29 |
24,8 b |
P3 |
35 |
27,1 a |
Keterangan : Huruf yang sama dibelakang nilai rata-rata pada kolom yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda
nyata (P˃0,05).
Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa keempat perlakuan mempunyai kandungan bahan organik akhir berkisar antara 27% ~35 %, sehingga secara umum keempat perlakuan perlakuan mempunyai kadar bahan organik sesuai SNI yaitu berkisar 27 ~58%. Perlakuan P3 mempunyai kadar bahan organik tertinggi yaitu sebesar 35%, sedangkan perlakuan P1 mempunyai
kandungan bahan organik paling rendah, yaitu sebesar 27%. Berdasarkan hasil uji taraf 5% pada data rata-rata bahan organik kompos bahwa perlakuan konsentrasi larutan EM-4, berbeda nyata pada perlakuan P2 dan P3 terhadap perubahan bahan organik kompos. Tabel 5 menunjukkan kadar bahan organik rata-rata kompos berkisar antara 22,68%
~27,1%. Nilai rata-rata kadar bahan organik terendah rata kadar bahan organik tertinggi yaitu 27,1% pada yaitu 22,68% terdapat pada perlakuan P0. Nilai rata- perlakuan P3.
Kadar C-Organik dan Nitrogen
Kandungan karbon (C-organik) merupakan salah satu parameter yang menentukan kematangan kompos, dimana ketersediaan unsur karbon dibutuhkan untuk
proses dekomposisi bahan organik kompos (Mehl 2008). Sedangkan nitrogen memiliki peran sebagai sumber makanan oleh mikroba untuk pertumbuhan sel-selnya (Wahyono, et al., 2003).
Tabel 5. Nilai akhir kadar karbon dan nitrogen pada kompos
Perlakuan |
Karbon (%) |
Nitrogen (%) |
P0 |
30,745 |
2,10 |
P1 |
27,125 |
1,82 |
P2 |
30,715 |
1,76 |
P3 |
27,865 |
1,82 |
Berdasarkan Tabel 5, Kandungan Karbon paling tinggi terjadi pada perlakuan P0 sebesar 30,74%, sedangkan kandungan karbon paling rendah terjadi pada perlakuan P1 sebesar 27,12. Terjadinya penurunan nilai karbon disebabkan karena mikrooganisme menggunakan senyawa karbon organik sebagai sumber energi. Selanjutnya karbon tersebut hilang sebagai CO2 sehingga nilainya dapat menurun (Nur, Noor, and Elma 2016). Berdasarkan Tabel 6 Kandungan unsur nitrogen pada perlakuan P0 sebesar 2,10%, P1 sebesar 1,82%, P2 sebesar 1,76%, dan P3 sebesar 1,82%. Kandungan nitrogen paling tinggi terjadi pada perlakuan P0 sebesar 2,10%
sedangkan kandungan nitrogen paling rendah terjadi pada perlakuan P2 sebesar 1,76%. Mikroba menggunakan nitrogen sebagai sumber makanan dan untuk pertumbuhan sel-selnya (Wahyono, et al., 2003).
Rasio C/N
Nilai ratio C/N adalah indikator penting dalam pengomposan yang diperlukan mikroorganisme untuk sumber nutrisi dan pembentukan sel-sel tubuhnya. Melakukan penurunkan ratio C/N bahan organik hingga sama dengan ratio C/N tanah adalah prinsip dalam pengomposan <20 (Y.Dewi 2012)
Gambar 3. Grafik C/N Rasio pada kompos
Berdasarkan Gambar 3. Menunjukkan perubahan rasio C/N selama proses pengomposan berlangsung. Perbedaan sudah terlihat dari pengukuran awal pengomposan dan mengalami peningkatan nilai ratio C/N. Pada awal proses pengomposan nilai rasio C/N yaitu: P0 sebesar 47,28, P1 sebesar 30,14, P2 sebesar 30,84 dan P3 sebesar 24,53.
Berdasarkan pernyataan Trivana et al., 2017, Cara Fermentasi menggunakan EM-4 dalam pembuatan pupuk kandang akan menyebabkan terjadinya
penurunan rasio C/N. Hal ini terjadi reaksi C menjadi CO2 dan CH4 yang berupa gas yang disebabkan oleh proses fermentasi. Mikroorganisme menggunakan C-organik yang terdapat pada bahan organik sebagai makanan menyebabkan jumlahnya menurun. Sedangkan, Proses dekomposisi bahan kompos dilakukan mikroorganisme. Mengakibatkan nilai N total di bahan organik mengalami kenaikan dan menghasilkan nitrogen dan ammonia, sehingga kadar N total kompos meningkat
Tabel 6. Nilai total rata-rata ratio C/N kompos
Perlakuan |
C/N rasio Rata-rata |
C/N rasio Akhir |
P0 |
33,0086 c |
14,68 |
P1 |
21,6188 b |
12,42 |
P2 |
21,5077 b |
11,49 |
P3 |
19,6283 a |
15,31 |
Keterangan : Huruf yang sama di belakang nilai rata-rata memperlihatkan nilai yang tidak berbeda nyata (p>0,05)
Hasil uji taraf 5% terhadap data pengukuran kandungan ratio C/N pada Tabel 7
didapatkan hasil bahwa antara perlakuan P0 dengan P3 menunjukkan nilai yang berbeda nyata.
Analisis Kualitas Kompos Yang Dihasilkan
Kompos yang dihasilkan dari dekomposisi antara kotoran gajah dengan larutan EM-4 sesuai dengan SNI kompos. Hal ini didapatkat dari data hasil penelitian yang dilakukan pada semua parameter selama 2 bulan. Dilihat dari hasil analisis pH, kadar air, kandungan bahan organik, karbon, nitrogen, dan
rasio C/N pada perlakuan P0, P1, P2 dan P3, kompos yang dihasilkan memiliki nilai yang berbeda-beda pada setiap parameter. Berikut tabel kematangan kompos yang dihasilkan setelah proses pengomposan selama 2 bulan sesuai dengan standar kualitas kompos menurut SNI 19-7030-2004 dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 7. Perbandingan standar kualitas kompos dengan SNI 19-7030-2004
Parameter |
Hasil Perlakuan |
P3 |
SNI | ||
P0 |
P1 |
P2 | |||
Suhu (oC) |
25,2 |
25,1 |
26,3 |
25,4 |
Suhu Lingkungan (23 -29 oC) |
pH |
7 |
6,9 |
6,8 |
6,9 |
6,80 – 7,49 |
Kadar air (%) |
19,7 |
21,1 |
25,7 |
23,8 |
Max. 50 |
Bahan Organik (%) |
30,23 |
27,43 |
29,82 |
35,76 |
27 – 58 |
Kadar C-organik (%) |
30,74 |
22,62 |
20,21 |
27,86 |
9,80 – 32 |
Kadar Nitrogen (%) |
2,10 |
1,82 |
1,76 |
1,82 |
Min. 0,40 |
Kadar rasio C/N |
14,70 |
12,50 |
11,50 |
15,31 |
10 - 20 |
Berdasarkan tabel 8, hasil pengomposan kotoran gajah dengan larutan EM-4 selama 2 bulan, maka dapat dinyatakan bahwa perbandingan antara standar kualitas kompos, kualitas kompos menurut SNI 197030-2004 dengan kompos konsentrasi EM-4 0 ml (P0), 50 ml + air 5 liter (P1), 100 ml + air 5 liter (P2) dan 150 ml + air 5 liter (P3) dengan keempat
perlakuan masing-masing dicampur dengan 50 kg kotoran gajah. Dari tabel 7 menunjukkan semua perlakuan memenuhi SNI 19-7030-2004 hanya kandungan bahan organik dan ratio C/N tertinggi diperoleh pada perlakuan P3. Sedangkan perlakuan yang mencapai suhu termofilik dan SNI 19-70302004 adalah perlakuan P3 dengan suhu termofilik mencapai 46,1 oC
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:
-
1. Penambahan larutan EM-4 berpengaruh terhadap suhu, kadar air, ratio C/N dan bahan organik sedangkan pH tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan.
-
2. Semua perlakuan memenuhi SNI 19-7030-2004. Perlakuan penambahan 150 ml EM-4 pada 50 kg
kotoran gajah adalah yang terbaik karena mencapai suhu termofilik pada hari ke 28.
Saran
Saran dapat diberikan adalah dalam pengomposan kotoran gajah dengan perlakuan penambahan konsentrasi bioaktivator EM-4 seharusnya lebih awal untuk mencapai fase termofilik misalnya pada
minggu pertama, untuk itu memvariasikan bahan baku lain disarankan dalam penelitian berikutnya
Daftar Pustaka
Andes Ismayana, Nastiti. 2012. “Faktor Rasio C/N Awal Dan Laju Aerasi Pada Proses CoComposting Bagasse Dan Blotong.” Jurnal Teknologi Industri Pertanian 22(3):173–79.
Badan Standardisasi Nasional. 2004. “Spesifikasi Kompos Dari Sampah Organik Domestik.” Badan Standardisasi Nasional 12.
Dewi, Ni, Yohanes Setiyo, and I. Nada. 2017. “Pengaruh Bahan Tambahan Pada Kualitas Kompos Kotoran Sapi.” Jurnal BETA
(Biosistem Dan Teknik Pertanian) 5(1):76–82.
Dewi, Yusriani Sapta, and Treesnowati. 2012. “Pengolahan Sampah Skala Rumah Tangga Menggunakan Metode Komposting.” Jurnal Ilmiah Fakultas Teknik LIMIT’S 8(2).
Djuarnani, I. N. 2005. Cara Cepat Membuat Kompos. AgroMedia.
Keith, Frank, and George Tchobanoglous. 2002. Handbook of Solid Waste Management, 2nd Edition.
Kusuma, M. Angga. 2012. “Pengaruh Variasi..., M.
Angga Kusuma, FT UI, 2012.”
Madrini, Bintang, Sakae Shibusawa, Yoichiro Kojima, and Shun Hosaka. 2016. “Effect of Natural Zeolite (Clinoptilolite) on Ammonia Emissions of Leftover Foodrice Hulls Composting at the Initial Stage of the Thermophilic Process.” Journal of Agricultural Meteorology 72(1):12–19.
Mathew, Sally K., and Gleena Mary. 2015. “Elephant Dung Compost: A Novel Growth Medium For.” 6(2):242–44.
Mehl, Jessica A. 2008. “Pathogen Destruction and
Aerobic Decomposition in Composting Latrines: A Study from Rural Panama.” 56.
Mirwan, Mohamad. 2015. “Optimasi Pengomposan Sampah Kebun Dengan Variasi Aerasi Dan Penambahan Kotoran Sapi Sebagai
Bioaktivator.” Jurnal Ilmiah Teknik
Lingkungan 4(1)(1):61–66.
Noor, Erliza, Mcika Rusli, Muhammad Yani, A. Halim, and N. Reza. 1997. “Pemanfaatan Sludge Limbah Kertas Untuk Pembuatan Kompos Dengan Metode Windrow Dan Cina.” Jurnal Teknologi Industri Pertanian 15(2):67– 71.
Nur, Thoyib, Ahmad Rizali Noor, and Muthia Elma. 2016. “Pembuatan Pupuk Organik Cair Dari Sampah Organik Rumah Tangga Dengan
Penambahan Bioaktivator EM4 (Effective
Microorganisms).” Konversi 5(2):44–51.
Setiyo, Yohanes, Hadi K. Purwadaria, Arief Sabdo Yuwono, and M. Ahkam Subroto. 2007. “FORUM.” 30:71–80.
Sundari, I., W. ruf, and E. Dewi. 2014. “Pengaruh Penggunaan Bioaktivator Em4 Dan Penambahan Tepung Ikan Terhadap Spesifikasi Pupuk Organik Cair Rumput Laut Gracilaria Sp.” Jurnal Pengolahan Dan Bioteknologi Hasil Perikanan 3(3):88–94.
Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik: Pemasyarakatan Dan Pengembangannya.
Kanisius.
Trivana, Linda, Adhitya Yudha Pradhana, and Alfred Pahala Manambangtua. 2017. “Optimalisasi Waktu Pengomposan Pupuk Kandang Dari Kotoran Kambing Dan Debu Sabut Kelapa Dengan Bioaktivator Em4.” Jurnal Sains &Teknologi Lingkungan 9(1):16–24.
137
Discussion and feedback