JURNAL BETA (BIOSISTEM DAN TEKNIK PERTANIAN) Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana https://ojs.unud.ac.id/index.php/beta

Volume 8 Nomor 1, April 2020

Pengomposan Sampah Canang dengan Model Pengomposan di Wadah Berbentuk Silinder

Canang Waste Composting using Composting Method in Cylindrical Container

I Made Dwijantara Putra, Yohanes Setiyo, Sumiyati

Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana E-mail: [email protected]

Abstrak

Permasalahan sampah sisa upacara keagamaan di Bali seperti canang belum dapat diatasi maksimal, terutama mengolahnya menjadi kompos. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui diameter keranjang pengomposan yang mampu menghasilkan proses pengomposan terbaik dan mendapatkan diameter silinder wadah pengomposan yang mampu menghasilkan kualitas yang baik pada kompos berbahan baku sampah canang. Percobaan dengan 3 perlakuan diameter keranjang pengomposan yaitu p1 = diameter 20 cm, p2 = diameter 40 cm, p3 = diameter 60 cm, dengan tinggi masing-masing keranjang 100 cm. Menggunakan perbandingan sampah canang : kotoran sapi 1:1. Analisa dilakukan di laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Udayana . Proses pengomposan berlangsung selama 30 hari dengan suhu pengomposan mulai dari 29 ̊ C sampai 56 ̊ C dan pengomposan pada pH mulai dari 4 sampai 6,5. Bentuk fisik kompos sudah menyerupai tanah yang berwarna hitam kecoklatan. Secara umum, kualitas kompos yang dihasilkan dari lima diperlakukan sesuai dengan SNI 19-7030-2004 dengan hasil akhir diameter keranjang 60 cm. Suhu 36,2 ̊ C; pH 6.7 ; karbon 12.74 % ; nitrogen 0.95 % dan C/N ratio 13.05 %.

Kata Kunci : diameter keranjang, kompos, kotoran sapi, sampah canang

Abstract

The problem of rubbish left over from religious ceremonies in Bali such as canang cannot be overcome optimally, especially processing it into compost. This study aims to determine the diameter of the composting basket that is able to produce the best composting process and get the cylinder diameter of the composting container that is able to produce good quality in compost made from canang waste.Experiments with 3 treatments compost basket diameter are p1 = diameter 20 cm, p2 = diameter 40 cm, p3 = diameter 60 cm, with a height of each basket 100 cm. Using a ratio of canang waste: cow manure 1: 1. Analysis was carried out in the Soil Science Laboratory, Faculty of Agriculture, Udayana University. The composting process lasts for 30 days with composting temperatures ranging from 29 ° C to 56 ° C and composting at pH ranging from 4 to 6.5. The physical form of compost has resembled brownish black soil. In general, the quality of compost produced from five is treated in accordance with SNI 19-7030-2004 with the final result of a basket diameter of 60 cm. Temperature of 36.2 ̊ C; pH 6.7; carbon 12.74%; nitrogen 0.95% and C / N ratio of 13.05%.

Keywords: basket diameter, compost, cow manure, canang waste

PENDAHULUAN

Bali merupakan pulau yang kental dengan upacara keagamaan, hal ini tidak terlepas dari penggunaan bahan upacara yang sangat banyak. Setelah upacara selesai, maka timbul tumpukan sampah yang sebagian besar berbahan baku organik dari sisa upacara yang jika tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan dampak bagi lingkungan. Menurut data DLHK Denpasar sampah sisa persembahyangan di Bali terutama di merajan dan pura umat Hindu perhari menghasilkan 2 – 3 kg,

khususnya pada hari raya besar umat Hindu meningkat 40 – 50% dari hari biasanya.

Oleh karena itu perlunya mengolah sampah upacara tersebut menjadi pupuk organik, salah satu caranya dengan menambahkan kotoran sapi. Pupuk organik memiliki peranan yang sangat penting bagi kesuburan tanah, karena penggunaan pupuk organik pada budidaya tanaman pangan dan non pangan dapat memperbaiki sifat fisik, kimia maupun biologis tanah (Setiyo, et al., 2011). Sampah sisa upacara keagamaan seperti canang yang belum dimanfaatkan sehingga

banyak dijumpai sampah canang yang berserakan dan dibiarkan menumpuk di areal pura sebelum diangkut oleh petugas kebersihan.

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan sampah canang memiliki kandungan kimia berupa kadar air 31,5%, pH 4.0 bahan organik 32,36% , nitrogen 1,3 %, C/N rasio 25,18%. Menurut Thomas et al. (1998), janur kelapa memiliki persentase lignin mencapai 38,68% dan selulosa mencapai 23,83%. Namun untuk menghasilkan kompos sesuai standar SNI memerlukan bahan tambahan, karena pH dari sampah canang terlalu asam sehingga mikroorganisme pengurai hanya mampu hidup terbatas. Bahan tambahan yang digunakan adalah kotoran sapi yang memiliki kandungan kimia sebagai berikut : nitrogen 0,4 – 1%, phosphor 0.2 – 0,5 %, kalium 0,1 – 1,5, kadar air 85 – 92% dan beberapa unsur lain (Ca, Mg, Mn, Fe, Cu, Zn). Bahan tambahan pada proses pengomposan sampah canang berfungsi sebagai penyedia mikroorganisme yang dapat membantu proses pengomposan lebih baik dan optimal serta untuk membantu menaikan pH asam pada sampah canang menjadi lebih basa. Perlakuan diameter keranjang pengomposan akan berpengaruh pada suhu selama proses pengomposan yang akan berdampak pada efisiensi waktu proses pengomposan. Selain itu berdasarkan penelitian Setiyo (2007), dengan kerapatan massa bahan 200-300 kg/m3 menyebabkan oksigen akan tersedia pada proses pengomposan.

Dari beberapa model pengomposan seperti : open windrow, static pile, dan pengomposan model Cina. Model pengomposan open windrow yang umumnya digunakan di Bali. Menurut Martin (1998) kelebihan dari system windrow adalah biaya produksi yang relative murah, kompos cepat matang, namun memiliki kelemahan yaitu perlunya tempat pengomposan yang sangat luas, membutuhkan banyak tenaga dalam proses produksinya, hal ini sesuai dengan penelitian Dewi (2017) yang menggunakan model pengomposan open windrow. Sehingga muncul keinginan untuk mengubah model pengomposan tersebut dengan menggunakan keranjang bambu berdiameter 20 cm, 40 cm dan 60 cm dengan tinggi 100 cm. Kelebihan dari pengomposan model keranjang adalah tidak memerlukan tempat yang luas, bisa diaplikasikan di skala rumah tangga, proses pengomposan yang praktis dimana sampah canang yang terkumpul dapat langsung ditumpuk di dalam keranjang.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui diameter minimal keranjang pengomposan

terhadap profil suhu, sifat fisik dan sifat kimia pada proses pembuatan kompos. Suhu tertinggi yang dihasilkan dari proses pengomposan sangat berpengaruh oleh diameter keranjang pengomposan.

Sesuai dengan uraian diatas, maka perlu dilakuakan penelitian lebih lanjut mengenai proses pengomposan sampah canang dengan menggunakan bahan tambahan kotoran sapi pada perlakuan diameter keranjang pengomposan yang berbeda.

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di area Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana dan Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Penelitian dilaksanakan selama satu bulan sejak tanggal April sampai dengan Mei 2019.

Alat dan Bahan

Bahan baku proses pengomposan adalah : sampah canang diperoleh dari pura yang berada di sekitar Bukit, Jimbaran., kotoran sapi yang dihasilkan dari Sentra Pembibitan Sapi Bali, Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung.

Bahan kimia :bahan kimia yang digunakan meliputi: aquades; larutan buffer 4 dan 7; dischromat (K2Cr2O7) 2 N; asam sulfat (H2SO4) 0,1 N; larutan FeSO4 0,5 N; H2O2 ; katalis selenium mixture (Se+CuSO4 + NaSO4); NaOH 50% dan 0,1%; larutan asam borat 1% HC1 0,05 N; larutan amonium asetat 1 N; alkohol 70%; NaC1 10%, larutan amonium molibdat dan asam borat dan asam askorbat; indikator conway, indikator feroin.

Alat proses pengomposan : alat yang diperlukan pada proses pengomposan yaitu (1) keranjang bambu dengan diameter masing masing 20cm, 40cm dan 60cm dengan tinggi 100cm, (2) penggaris, (3) terpal, (4) garu, (5) sekop, (6) timbangan digital, (6) thermometer digital, (7) pH meter, (8) paranet (9) mesin pencacah.

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan dengan menggunakan keranjang bambu yang memiliki diameter 20 cm, 40 cm dan 60 cm dengan tinggi 100cm. Menggunakan perbandingan berat sampah canang dan berat kotoran sapi 1 kg : 1 kg. Ketiga perlakuan tersebut dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali sehingga didapatkan 9 unit percobaan.

Pelaksanaan Penelitian

Prosedur penelitian dimulai dengan persiapan bahan baku sampah canang yang didapat dari areal pura yang terdapat di sekitar Bukit, Jimbaran, sampah canang yang sudah berwarna kecoklatan dikumpulkan kemudian dicacah untuk memperkecil ukuran menjadi 5 – 7 cm yang mempercepat proses pengomposan hal ini sesuai dengan penelitian Sebastiao (2016). Bahan tambahan berupa kotoran sapi yang berumur 1 – 7 hari didapatkan dari Sentra Pembibitan Sapi Bali, Desa Sobangan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Kemudian masing – masing bahan dianalisis di Laboratorium untuk mengetahui kandungan bahan kimianya. Setelah itu dilakukan pencampuran sampah canang berbanding kotoran sapi 1:1 dimasukan pada masing-masing keranjang yang berbeda diameternya : perlakuan diameter 20 cm sebanyak 8,65 kg, perlakuan diameter 40 cm sebanyak 28,50 kg dan perlakuan diameter 60 cm sebanyak 65,30 kg. Pengukuran suhu dan pH dilakukan setiap 3 hari sekali pada pukul 08.30 WITA, dengan titik pengukuran suhu dan pH yang dilakukan berdasarkan tinggi dari tumpukan biomassa (atas, tengah, bawah).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bahan Baku

Sampah canang memiliki kandungan C/N rasio 25,18% dan kotoran sapi 17,70%. Kadar C/N rasio awal bahan baku mempengaruhi waktu dan hasil pengomposan, kadar C/N awal bahan yang yang optimal adalah 20% - 40% (Gaur, 1981). Sampah canang yang memiliki pH 4.0 lebih asam dibandingkan dengan pH kotoran sapi 6,5. Proses pengomposan akan berlangsung secara baik jika pH awal bahan baku 6,5 – 7, karena mikroba dapat berkembang dengan optimal pada kondisi tersebut (Setiyo et al., 2007). Kadar air pada masing – masing bahan yaitu sampah canang 31,5% dan kotoran sapi 50,12%.

Suhu proses pengomposan

Suhu lingkungan dari hari pertama sampai hari ke-30 berada pada kisaran 28-30 ̊C, data rentang suhu lingkungan berdekatan dengan hasil penelitian D ewi (2017),Suhu lingkungan tergantung pada : intensitas cahaya, arah dan kecepatan angin dan pengaruh dari proses composting. Pada proses pengomposan panas yang dihasilkan oleh biomassa ditransfer ke lingkungan yang kemudian meningkatkan suhu lingkungan. Namun, ada sebagian panas yang ditransfer oleh massa udara yang bergerak,

sehingga suhu lingkungan relative stabil dan tidak terjadi cuaca ekstrem selama proses

pengomposan. Suhu biomassa selama proses pengomposan 30 hari adalah 29 – 56 ̊C. Data ini berdekatan dengan hasil penelitian Dewi (2017) pada pengaruh bahan tambahan pada kualitas kompos kotoran sapi. Grafik fluktuasi suhu proses pengomposan tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Fluktuasi suhu proses pengomposan

Menurut Indrasti et al (2004), panas pada kompos ini terjadi karena mikroba mulai aktif memanfaatkan oksigen dan mulai mengurai bahan organik menjadi gas CO2, uap air dan panas. Setelah semua bahan terurai maka suhu akan berangsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut yaitu pembentukan kompleks liat humus.

Peningkatan suhu pada proses pengomposan karena adanya reaksi kimia. Reaksi proses penguraian dan proses sintesa bahan organik menjadi sel bakteri dan fungi aerob dari biomassa bahan organik.

pH proses pengomposan

Perubahan pH pada tahap awal hingga tahap akhir pengomposan menunjukkan proses pengomposan berjalan dengan baik. Gambar 2. adalah ilustrasi perubahan pH dari proses pengomposan sampah canang yang dicampur dengan kotoran sapi. Hal ini berarti aktivitas mikroorganisme, baik bakteri dan jamur adalah optimum. Grafik perubahan pH dapat dilihat pada Gambar 2.

Pada pengukuran derajat keasman (pH) awal dari biomassa tercatat pH awal 6.0 untuk seluruh perlakuan, pada hari ketiga hingga hari keenam seluruh perlakuan mengalami penurunan pH dari 6.0 menjadi 5.3 hal ini dikarenakan sejumlah mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan mengubah bahan organik menjadi asam organik ( asam asetat, asam butirat,asam valerat, puttrecine). Proses selanjutnya mikroorganisme dari jenis yang lain akan mengkonversi asam organik yang telah terbentuk

sehingga bahan memiliki derajat kesamaan yang lebih tinggi mendekati netral (Setiyo et al., 2007).

Pada hari keenam derajat keasaman biomassa mengalami kenaikan pH secara cepat untuk seluruh perlakuan diameter, ini disebabkan oleh biomassa yang telah terurai menjadi mineralmineral yang bersifat basa dihasilkan oleh dekomposisi kompos adalah: Fe+2, Cu+2, Mg+, Al+, Ca+2, dan Mn+2 (Setiyo et al., 2007; Arsa et al., 2013).

Gambar 2. menyajikan ilustarsi perubahan pH dari proses pengomposan sampah canang, pada hari pertama pH mengalami penurunan dengan drastis yang sekaligus melepaskan asam organik pada biomassa dan mencapai titik terendah pada hari keenam. Hal ini bersamaan dengan titik balik pada fase suhu thermofilik, setelah hari keenam pH mulai berangsur meningkat hingga stabil pada hari kelima belas, stabilnya pH ini berkaitan dengan fase pematangan kompos dimana pelepasan mineral terjadi sehingga pH kompos menjadi netral. Hasil akhir pH dari proses pengomposan seluruh perlakuan sudah sesuai dengan SNI kompos dengan pH minimum 6,80 dan maksimum 7,49.

perlakuan diameter 60 cm yang mengalami proses dekomposisi dengan baik, yang menunjukan ciri visual berupa struktur yang menyerupai tanah dan berwarna kehitaman.

Gambar 3. Hasil pengomposan dengan kedalaman 20 cm

Pengamatan visual hasil pengomposan

Hasil pengamatan secara visual yang dilihat dari tekstrur dan warna terhadap hasil akhir pengomposan pada diameter 20 cm sampah canang hanya sedikit terurai dan kotoran sapi menumpuk pada bagian bawah keranjang, berstrukstur remah dan berwarna coklat (Gambar 3), pada diameter 40 cm sampah canang belum terurai dengan merata berstrukstur remah dan berwarna coklat (Gambar 4), pada diameter 60 cm sudah menjadi kompos dimana sampah canang dan kotoran sapi sudah terurai, berstrukstur seperti tanah dan berwarna kehitaman (Gambar 5). Berdasarkan pengamatan visual hanya


Gambar 5. Hasil pengomposan dengan kedalaman 20 cm


Gambar 4. Hasil pengomposan dengan kedalaman 20 cm

Kadar Karbon (C) Pada Kompos

Karbon pada biomassa diuraikan oleh mikroba karena karbon merupakan sumber energi bagi mikroba dan bahan yang digunakan untuk menyusun sel mikroba. Gambar 6 dapat dilihat kandungan C-organik tertinggi terjadi pada perlakuan diameter 20 cm yaitu sebesar 20,31 % dan C-organik terendah terjadi pada perlakuan diameter 60 cm yaitu sebesar 12.74%. Sesuai dengan SNI kadar karbon minimal 9,80 % dan maksimal 32  % maka seluruh perlakuan

memenuhi standar karbon SNI kompos.

Gambar 6. Kadar karbon kompos

Kandungan Nitrogen (N) Pada Kompos

Menurut Setiyo, 2007, unsur nitrogen memiliki peranan sebagai sumber makanan oleh mikroba untuk pertumbuhan sel-selnya. Gambar 7 menunjukan kandungan unsur unsur nitrogen paling tinggi terdapat pada perlakuan diameter 60cm sebesar 0.95% dan kandungan unsur nitrogen terendah pada perlakuan diameter 40cm sebesar 0.92%. Berdasarkan SNI kompos kadar nitrogen minimum 0,40 % maka seluruh perlakuan diameter memenuhi Standar SNI.

O 5 IO 15        20        25        30        35

Waktu Pengomposan, hari

—♦—Diameter 20 cm -■—Dia meter 40 Cm      —*- Diamter 60 cm

Gambar 7. Kadar nitrogen kompos

Rasio Karbon Nitrogen

Nilai rasio C/N adalah faktor penting dalam proses pengomposan yang dibutuhkan mikroorganisme sebagai sumber nutrisi untuk pembentukan sel-sel tubuhnya. Prinsip pengomposan adalah untuk menurunkan C/N

rasio bahan organik hingga sama dengan C/N tanah. Menurut Gaur (1981) C/N yang terus menurun berkaitan dengan aktivitas mikroba decomposer yang membebaskan CO2 sehingga unsur C cenderung menurun sementara N tetap. Pada Gambar 8 dapat dilihat bahwa C/N rasio dari setiap diameter berkisar antara 13,05 – 22,00. Perlakuan diameter 60 cm dengan perbandingan sampah canang : kotoran sapi 1 : 1, memilik C/N rasio terendah yaitu 13,05, diameter 40 cm dengan perbandingan sampah canang : kotoran sapi 1 : 1 memiliki C/N rasio 17,61, dan diameter 20 cm dengan perbandingan sampah canang : kotoran sapi 1 : 1 memiliki C/N rasio tertinggi yakni 22,00. Sesuai SNI rasio C/N minimum 10 % dan maksimum 20 % maka perlakuan diameter 60 cm dan 40 cm telah memenuhi standar SNI, sedangkan diameter 20 cm belum memenuhi standar karena proses pengomposan yang kurang optimal.

Gambar 8. Nilai C/N ratio

Rendemen

Rendemen adalah jumlah hasil presentase akhir dari proses pengomposan, semakin tinggi nilai rendemen menandakan proses pengomposan berjalan optimal. Setelah proses pengomposan selama 30 hari pada perlakuan diameter 60 cm dengan nilai presentase terbesar yang dikarenakan proses penguraian biomassa oleh bakteri belangsung dengan baik.

Tabel 1. Rendemen hasil pengomposan

Perlakuan

Berat Awal

Berat Akhir

Rendemen (%)

d 20 Cm

8,65 Kg

5 Kg

0,57

d 40 Cm

28,50 Kg

20 Kg

0,70

d 60 Cm

65,30 Kg

54 Kg

0,82

Kadar air

Dapat dilihat pada tabel 2, kadar air akhir pada seluruh perlakuan secara umum telah sesuai dengan SNI yang maksimal 50%. Perlakuan diameter 60 cm mengandung kadar air tertinggi

dikarenakan pada perlakuan ini suhu yang tinggi dan menjadi uap air lebih banyak dihasilkan pada diameter 60 cm, sedangkan pada perlakuan diameter 20 cm suhu yang dihasilkan rendah sehingga tidak menimbulkan panas dan tidak menghasilkan uap air.

Tabel 2. Kadar air akhir kompos

Perlakuan

Kadar Air Akhir

Standar SNI

d 20 Cm

27,71 %

d 40 Cm

35,16 %

Maks. 50 %

d 60 Cm

45,91 %

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: diameter silinder wadah pengomposan yang mampu menciptakan proses pengomposan yang baik adalah diameter 60 cm, hal ini diketahui berdasarkan suhu, pH, kandungan C-organik, kandungan nitrogen dan rasio C/N yang telah memenuhi beberapa kriteria SNI kompos dan dengan didukung pengamatan secara visual yang membandingkan dengan perlakuan diameter lainnya. Diameter silinder wadah pengomposan yang mampu menghasilkan kompos berbahan baku sampah canang sesuai kriteria SNI diperoleh pada perlakuan dengan diameter silinder wadah pengomposan 60 cm dengan indikator pH, kandungan C-organik, nitrogen dan rasio C/N yang telah memenuhi beberapa kriteria SNI kompos, sedangkan pada perlakuan diameter 20 cm dan diameter 40 cm indikator kandungan C-organik dan nitrogen masih belum memenuhi kriteria SNI.

Saran

Untuk mendapatkan proses pengomposan yang baik maka diperlukan diameter keranjang pengomposan minimal adalah 60 cm

Daftar Pustaka

Arsa, W., Setiyo, Y., dan Nada, I. M. 2013. Kajian relevansi sifat piskokimia tanah pada kualitas dan produktivitas kentang. Skripsi FTP Universitas Udayana. Badung-Bali.

Dewi, N. M. E. Y., Setiyo, Y., dan Nada, I. M., 2017. Pengaruh Bahan Tambahan pada Kualitas Kompos Kotoran Sapi. Jurnal BETA (Biosistem dan Teknik Pertanian), 5(1), 7682.

Finstein M.S., Miller, F.C., and Strom, F. 1986. Waste treatment composting as a controlled system. J. Biotechnology 8: 366 – 396.

Gaur, A. C. 1981. Improving Soil Fertility through Organic Recycling: A Manual of Rural Composting. FAO. The United Nation, Rome.

Hermin, P. 2009. Pengaruh Pencampuran Serbuk Gergaji dan   Kotoran   Sapi   dengan

Penambahan   Natrium   Nitrat Pada

Pengomposan Secara Aerob. Jurnal Teknik Lingkungan Universitas Islam Sultan Agung Semarang

Indrasti, N. S., & Elia, R. R. 2004. Pengembangan media tumbuh anggrek dengan menggunakan kompos. Journal of Agroindustrial Technology, 14(2).

Martin, A. M. (Ed.). 2012. Bioconversion of waste materials to industrial products. Springer Science & Business Media.

Saidi, N., Kouki, S., Fadhel, M. H., Jedidi, N., Mahrouk, M., Hassen, A., & Ouzari, H. 2009. Microbiological parameters and maturity degree during composting of Posidonia oceanica residues mixed with vegetable wastes in semi-arid pedo-climatic condition. Journal of Environmental Sciences, 21(10), 1452-1458.

Sebastiao, M., Setiyo, Y., dan Widia, I. W., 2016. Pengaruh Perbandingan Jerami dan Kotoran Sapi Terhadap Profil Suhu dan Karakteristik Pupuk Kompos yang Dihasilkan. Jurnal BETA (Biosistem dan Teknik Pertanian.

Setiawan, A. 2003. Pemanfaatan Isi Rumen (Kambing dan Domba) Sebagai Inokulan dalam Proses Pengomposan Sampah Pasar (Organik) dengan Kotoran Sapi Perah. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Setiyo, Y., Hadi, K. P., Subroto, M. A., & Yuwono, A. S. 2007. Pengembangan Model Simulasi Proses Pengomposan Sampah Organik Perkotaan. In Journal Forum Pascasarjana (Vol. 30, No. 1, pp. 1-12).

Setiyo, Y., Suparta, U., Tika, W., & Gunadya, I. B. P. 2011. Optimasi Proses Bioremediasi Secara in-Situ Pada Lahan Lahan Tercemar Pestisida Kelompok Mankozeb. Jurnal Teknologi Industri Universitas Muhamadiyah Malang, 12(1), 53-58.

Song, C., Li, M., Jia, X., Wei, Z., Zhao, Y., Xi, & Liu, D. 2014. Comparison of bacterial community structure and dynamics during

the thermophilic composting of different types of solid wastes: anaerobic digestion residue, pig manure and chicken manure. Microbial biotechnology, 7(5), 424433.

Thomas, G. V., Prabhu, S. R., Reeny, M. Z., & Bopaiah, B. M. 1998. Evaluation of lignocellulosic biomass from coconut palm as substrate for cultivation of Pleurotus sajor-caju (Fr.) Singer. World Journal of Microbiology and Biotechnology, 14(6), 879-882.

85