JURNAL BETA (BIOSISTEM DAN TEKNIK PERTANIAN) Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana http://ojs.unud.ac.id/index.php/beta

Volume 5, Nomor 1, Maret, 2017

Pengaruh Bahan Tambahan pada Kualitas Kompos Kotoran Sapi The Effect of Bulking Agent on The Quality of Compost Cow Manure

Ni Made Eva Yulia Dewi1, Yohanes Setiyo1, I Made Nada1 1Program Studi Teknik Pertanian Universitas Udayana

Email : [email protected]

Abstrak

Penggunaan bahan tambahan pada proses pengomposan bahan baku kotoran sapi dapat menghasilkan kompos yang berkualitas yang memuhi standar. Penelitian ini mengunakan perlakukan kotoran sapi, kotoran sapi : serbuk kayu 2 : 1, kotoran sapi : sekam 2 : 1, dan kotoran sapi : rumput gajah 2 : 1. Panjang tumpukan pengomposan 1.5 m, tinggi 80 cm, dan lebar 1 m. Parameter yang diamati meliputi suhu, pH, karbon dan Nitrogen kompos. Proses pengomposan berlangsung selama delapan minggu dengan suhu antara 25- 51oC dan pH kompos antar 6.6 – 7.0. Warna kompos yang dihasilkan adalah dengan warna coklat kehitam-hitaman. Secara umum, kualitas kompos yang dihasilkan dari keempat perlakukan sesuai dengan Standar SNI 19-7030-2004 dengan C/N rasio akhir 16-8 – 20.93.

Kata kunci: kotoran sapi, serbuk kayu, sekam, rumput gajah, kompos

Abstract

The used of additional materials in the composting process of cow manure feedstock can produced qualified compost that can fulfill standard of compost. This study used the treatment of exponential design cow manure, cow manure:saw dust 2:1, cow manure:rice hull 2:1, and cow manure:elephant grass 2:1. The dimension of pile composting was 1.5 m, with height was 80 cm, and 1 m of width. The observed parameters included temperature, pH, carbon and nitrogen compost. The composting process were during eight weeks that result which have temperature between 25-51oC , compost pH between 6.6-7.0, C/N ratio is 16.8-20.93. The color of produced compost was dark brown. The quality of the produced compost from the four treatments were accordance to SNI Standard 19-7030-2004.

Keywords: cow manure, saw dust, rice hull, elephant grass, compost

PENDAHULUAN

Pupuk organik memiliki peranan yang sangat penting bagi kesuburan tanah, karena penggunaan pupuk organik pada budidaya tanaman pangan dan non pangan dapat memperbaiki sifat fisik, kimia maupun biologis tanah (Setiyo, et al., 2011). Saat ini, pemberdayaan petani di Provinsi Bali dilakukan melalui program Simantri (Sistem Pertanian Terintegrasi). Program Simantri mengintegrasikan antara perternakan, perikanan

dan pertanian untuk mendukung ketahanan pangan nasional.

Oleh karena itu Pemda Bali memberi hibah pada kelompok tani berupa ternak sapi sebanyak 20 ekor, sehingga sapi tersebut mampu menghasilkan feses, dan urin yang berpotensi dijadikan pupuk organik padat dan pupuk organik cair melalui fermentasi. Dengan demikian ketergantungan petani pada pupuk kimia dapat dikurangi, hal ini mendukung sistem pertanian berkelanjutan dan berwawasan

lingkungan. Sapi dengan berat ± 300-500 kg mengasilkan 30 – 40 kg feses perhari (Setiyo, 2012).

Kotoran sapi berpotensi dijadikan kompos karena memiliki kandungan kimia sebagai berikut : nitrogen 0.4 - 1 %, phospor 0,2 - 0,5 %, kalium 0,1 – 1,5 %, kadar air 85 – 92 %, dan beberapa unsure-unsur lain (Ca, Mg, Mn, Fe, Cu, Zn). Namun untuk menghasilkan kompos yang baik memerlukan bahan tambahan, karena pH kotoran sapi 4,0 - 4,5 atau terlalu asam sehingga mikroba yang mampu hidup terbatas. Bahan tambahan tersebut yang mudah didapat dari lokasi penelitian antara lain : serbuk gergajian kayu, sekam, daan rumput.

Serbuk kayu adalah kayu halus yang memiliki ukuran kecil yang dihasilkan dari proses pemotongan kayu. Secara umum serbuk kayu mengandung selulosa, hemiselulosa, lignin, pentosan. Menurut Haygreen (1996), sebuk kayu albesia memiliki kandungan selulosa dan lignin sedangkan menurut Abdurahim, et al.,(1981), kayu jati memiliki kandungan selulosa sebesar 47.5%, lignin sebesar 29.9% dan pentose sebesar 14.4%.

Sekam padi mengandung karbon yang tinggi. Sekam padi memiliki kadar air yang relatif kecil (Murbandono, 1995). Menurut Suharno (1979), sekam padi memiliki kandungan kadar air, protein, lemak, serat, abu, karbohidrat. Dilihat dari kandungan kimia yang terdapat pada sekam padi, sekam padi memiliki potensi digunakan sebagai bahan tambahan pembuatan kompos karena sekam padi memiliki unsur utama protein, lemak, serat kasar, dan karbohidrat.

Rumput gajah (Pennisetum purpureum) merupakan tanaman pakan ternak. Menurut

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Simantri 356 Br. Mayungan Anyar, Desa Antapan, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan, pada bulan Juni 2016 – Juli 2016. Selanjutnya penelitian analisis kompos dan bahan baku dilakukan di

Okaraonve dan Ikewuchi (2009) kandungan yang terdapat pada rumput gajah adalah kadar air 89.0%, abu 2.00%, protein kasar 2.97%, lemak 1,63%, karbohidrat 3.40%, serat kasar 1.00%. pada proses pengomposan, rumput gajah memiliki peranan sebagai sumber kadungan N dan juga membantu proses pengomposan lebih cepat karena adanya rongga udara.

Bahan tambahan pada pembuatan kompos berbahan baku kotoran sapi memiliki fungsi sebagai penyediaan rongga udara, sehingga proses pengomposan dapat berlangsung secara optimal. Berdasarkan kandungan yang terdapat pada masing-masing bahan tambahan yang digunakan dapat menyatakan ketiga jenis bahan tambahan tersebut berpotensi digunakan pada proses pengomposan kotoran sapi. Rasio karbon nitrogen berkisar 22-30.09, kadar air ±50% w.b dan pH sekitar 4.3 – 4.4 dari biomassa akan membantu proses pengomposan menjadi lebih baik dan optimal, karena mikroorganisme dapat bekerja secara optimal. Selain itu juga berdasarkan penelitian Setiyo (2007), dengan kerapatan massa bahan 200-300 kg/m3 menyebabkan oksigen akan tersedia pada proses pengomposan.

Berdasaran latar belakang tersebut diatas, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut berkaitan dengan proses pengomposan kotoran sapi, yaitu dengan menggunakan bahan tambahan pada bahan baku kotoran sapi. Melalui penelitian ini diharapkan dengan penggunaan bahan tambahan pada pengomposan yang berbahan baku kotoran sapi dapat menghasilkan kompos yang sesuai SNI 19-7030-2004.

METODE PENELITIAN

Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Penelitian dilakukan mulai bulan Juli – Agustus 2016.

Bahan dan Alat

  • 1.    Bahan proses pengomposan adalah : kotoran sapi yang dihasilkan di Simantri 356 Br. Mayungan Anyar, Desa Antapan, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. , serbuk kayu, sekam dan rumput diperoleh di Desa Antapan, Kec. Baturiti, Kab. Tabanan.

  • 2.    Bahan kimia :bahan kimia yang digunakan meliputi: aquades; larutan buffer 4 dan 7; dischromat (K2CR2O7) 2 N; asam sulfat (H2SO4) 0,1 N; larutan FeSO4 0,5 N; H2O2; katalis selenium mixture (Se+CuSO4 + NaSO4); NaOH 50% dan 0,1%; larutan asam borat 1% HC1 0,05 N; larutan amonium asetat 1 N; alkohol 70%; NaC1 10%, larutan amonium molibdat dan asam borat dan asam askorbat; indikator conway, indikator feroin.

  • 3.    Alat proses pengomposan : alat yang diperlukan pada proses pengomposan yaitu (1) meteran, (2) terpal untuk menutup bahan organik, (3) sekop, (4) garu, (5) karung, (6) ember.

  • 4.    Alat kimia : (1) timbangan digital, (2) Thermokopel Digital, dan (3) Glass Ware

Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Menggunakan perbandingan volume kotoran sapi dan volume serbuk kayu , sekam, rumput gajah yaitu; kotoran sapi berbanding serbuk kayu 2:1, kotoran sapi berbanding rumput 2:1 dan kotoran sapi berbanding sekam 2:1. Diameter tumpukan bahan organik yang dikomposkan dengan panjang, lebar dan tinggi 1.5 m x 1 m x 1 m. Ketiga perlakuan tersebut dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali, sehingga terdapat 12 percobaan.

Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian dijelaskan pada bagan alir Gambar 1. Pengukuran suhu dan pH dilakukan setiap 3 hari sekali pada pukul 09.00 WITA. Adapun titik-titik pengukuran suhu dan

pH yang dilakukan berdasarkan jari-jari tumpukan adalah pada r = 15 cm, r = 30 cm, r = 45 cm, r = 60 cm. Sedangkan pengukuran suhu berdasarkan jarak panjang yaitu pada L = 20 cm, L = 40 cm, dan L = 60 cm, L = 80 cm.

Evaluasi Hasil Pengomposan

Pengambilan sampel hasil kompos diambil setelah proses dinyatakan berakhir. Sampel yang diambil sebanyak 500g yang diambil secara acak pada 5 titik. Selanjutnya sampel dianalisis di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Udayana. Pengamatan warna kompos dilakukan secara visual dengan klasifikasi warna yang diamati mengacu pada color chart. Pengamatan kadar karbon kompos dilakukan dengan metode Walkley dan Black serta pengamatan kadar N Total menggunakan metode Kjeldhall.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bahan Baku

Bahan baku pada penelitian berupa : feses ternak sapi, serbuk kayu, sekam serta rumput memiliki kriteria seperti pada Tabel 1.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bahan Baku

Bahan baku pada penelitian berupa :Kotoran sapi (KS), kotoran sapi : serbuk kayu (KSSK), kotoran sapi : sekam (KS) serta kotoran sapi : rumput gajah (KSR) memiliki kriteria seperti pada Tabel 1.

Dari hasil pengamatan terhadap C/N, pH, kerapatan massa, suhu, dan kadar air dari boimasa yang dikomposkan ternyata bahan baku memenuhi kriteria sebagai bahan organik yang baik untuk dikomposkan. Rasio karbon nitrogen 22 – 30.09, kadar air ± 50 % w.b dan pH 4.3 – 4.4     dari biomassa menjamin proses

pengomposan akan berlangsung secara baik, karena mikroba dapat berkembang pada kondisi tersebut.

Tabel 1

Kandungan awal bahan baku

Peilikuati

C/N

pH

Kerapatau

massa, kg mj

Suhu (’C)

Kadar air, % w.b

KS

25

4.31

240

24

50

KSSK = 2:1

30.4

4.34

215

27

50

KSS =2:1

30.5

4.32

201

26

50

KSR = 2:1

23.4

4.33

221

27

50

Suhu Proses Pengomposan

Suhu lingkungan dari minggu pertama sampai minggu kedelapan berada pada kisaran 25 – 29 0C, sedangkan suhu biomassa adalah 25 – 47 0C, suhu proses ini berada pada fase mesofilik pada hari ke-30 sehingga mikroba yang berperan pada proses pengomposan adalah kelompok mikroba thermofilik. Suhu pada proses pengomposan diilustrasikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Grafik suhu proses pengomposan

Berdasarkan Gambar 2, suhu proses pengomposan mulai dari hari pertama sampai dengan hari ke-25 pada semua titik pengukuran (bagian : atas, tengah dan bawah), mengalami kenaikan suhu dengan kecepatan yang berbeda-beda pada setiap perlakuan. Dengan demikian puncak proses pengomposan pada bahan organik terjadi pada hari ke- 30 pada semua perlakuan ( kotoran sapi, kotoran sapi : serbuk kayu = 2 : 1, kotoran sapi : sekam = 2 : 1, dan kotoran sapi : rumput gajah = 2 : 1). Dari keempat jenis perlakuan, perlakuan pada kontrol memiliki perbedaan dalam proses perubahan suhunya, bahan kotoran sapi saja yang dikomposkan perubahan suhunya lebih lambat. Hal tersebut dikarenakan oleh tidak adanya bahan tambahan

seperti pada perlakuan lainnya sehingga rongga udara pada kontrol sedikit dan menyebabkan oksigen yang tersedia untuk perkembangbiakan mikroba pengurai menjadi terbatas dibandingkan dengan perlakuan lain. Pendugaan sementara bahwa populasi mikroba pengurai karena ketersediaan oksigen menjadi penghambat kenaikan suhu dari biomassa yang dikomposkan. Kenaikan suhu pada semua perlakuan terjadi dari minggu ke 1 sampai minggu ke 4 – 5.Panas yang dihasilkan deri reaksi biokimia penguraian biomassa menjadi senyawa yang lebih sederhana sebagian besar dipergunakan untuk menaikan suhu biomassa.Sebagian panas yang dihasilkan ditransfer ke lingkungan, hal ini karena terjadi perbedaan suhu yang signifikan antara biomassa dengan suhu lingkungan seperti yang diilustrasikan di Gambar 2.

Suhu tertinggi yang dicapai pada masing-masing perlakuan kotoran sapi sebagai kontrol adalah 47.220C, pada perlakuan kotoran sapi : serbuk kayu adalah 43.720C, pada perlakuan kotoran sapi : sekam adalah 51.460C, serta pada perlakuan kotoran sapi : rumput gajah adalah 43.160C. dari gambaran tersebut dapat dilihat bahwa suhu pada perlakuan kotoran sapi : sekam lebih besar dibandingkan dengan suhu pada ketiga perlakuan lainnya. Berdasarkan uji statistik, penambahan bahan tambahan pada proses pengomposan kotoran sapi berpengaruh sangat nyata terhadap perubahan suhu. Proses dekomposisi oleh mikroorganisme pada bimasa dapat menghasilkan panas yang mengakibatkan kenaikan suhu mencapai 51 0C. Jumlah panas yang dihasilkan dari proses pengomposan dari minggu pertama sampai minggu kelima yang mengalami peningkatan suhu menandakan jumlah mikroorganisme tersedia masih cukup banyak, sehingga aktivitas mikroorganisme perombak biomassa sangat intensif (Setiawan, 2003).

Penurunan suhu pada proses pengomposan mulai dari minggu keenam tersebut menandakan bahwa proses pengomposan mengalami penurunan dan kehilangan panas ke lingkungan

masih berlangsung. Penurunan suhu pengomposan secara terus menerus menandakan aktivitas mikroorganisme menurun dan berkurangnya bahan organik yang bisa diurai oleh mikroorganisme.

Derajat Keasamaan Biomassa (pH)

Pada umumnya, derajat keasaman (pH) dari proses pengomposan adalah berkisar antara 6.5 sampai 7.7 atau pada keadaan pH nomal atau netral. Pada penelitian minggu pertama terjadi penurunan pH dari pH netral sekitar 7.0 menjadi 4.3, hal tersebut dikarenakan karena pada sistem pengomposan berlangsung proses penyesuaian atau adaptasi. Derajat keasaman tertinggi mencapai 6.5 pada minggu kedelapan sedangkan derajat keasaman terendah mencapai 4.3 pada minggu pertama.Reaksi pengomposan pada kondisi asam terjadi pada minggu pertama sampai minggu kedua dan selanjutnya reaksi pH menjadi basa.

Gambar 3. Grafik pH proses pengomposan

Grafik pH pada Gambar 3 menunjukkan bahwa nilai pH padaperlakuan (kontrol) kotoran sapi mengalami kenaikan pH secara cepat pada hari ke-28, pada perlakuan kotoran sapi : rumput gajah mengalami kenaikan pH secara cepat pada hari ke-21, pada perlakuan kotoran sapi : sekam mengalami kenaikan pH secara cepat pada hari ke-24,serta pada perlakuan kotoran sapi : serbuk kayu mengalami kenaikan pH secara signifikan pada hari ke-28. Secara umum pH kotoran sapi dicampur bahan tambahan (sekam, serbuk kayu, dan rumput gajah), pada proses pengomposan

pH mengalami kenaikan sampai 6.5. Kenaikan pH terjadi secara cepat pada minggu keempat.Pada minggu keempat terjadi kenaikan pH, karena ada demineralisasi unsur mikro Mg2+, K+, maupun Ca2+. Kation-kation ini akan berikatan dengan asam-asam yang terbentuk selama proses pengomposan dan menyebabkan reaksi pengomposan pH-nya naik.

Perubahan pH sangat dipengaruhi dari hasil dekomposisi biomassa kotoran sapi. Sesuai dengan penelitian Setiyo, et a.,l 2007, BPTP (2013), derajat keasaman pada proses dekomposisi pada kondisi netral sampai agak basa berlangsung antara pH 7.2 – 8, hal tersebut dapat dipengaruhi oleh material bahan yang dikomposkan.

Kadar Karbon ( N ) Pada Kompos

Karbon atau C diuraikan oleh mikroba karena karbon merupakan sumber energi bagi mikroba dan bahan yang digunakan untuk menyusun sel mikroba. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa kandungan C-organik tertinggi terjadi pada perlakuan kotoran sapi : rumput gajah dengan perbandingan 2 : 1 yakni sebesar 9.08%, sedangkan kandungan C-organik terendah terjadi pada perlakuan kotoran sapi : serbuk kayu dengan perbandingan 2 : 1 yakni sebesar 6.29%. Tabel 1

Kandungan Karbon kompos

Hari Kandungan Karbon. %

Ke

KS

KSSK

KSS

KSR

0

16.77

15.95

16.52

5.02

20

13.21

12.71

12.91

2.81

40

9.13

7.77

8.74

14.98

60

7.95

6.29

8.10

9.08

Berdasarkan uji statistik yang dilakukan bahwa perlakuan, konsentrasi penambahan bahan tambahan pada proses pembuatan kompos berbahan baku kotoran sapi menunjukkan pengaruh sangat nyata terhadap kandungan kadar karbon pada kompos.

Kandungan Nitrogen Pada Kompos

Menurut Wahyono et al, 2003, unsur nitrogen memiliki peranan sebagai sumber makanan oleh mikroba untuk pertumbuhan sel-selnya. Dari Tabel 2 dapat dijelaskan kandungan unsur nitrogen paling tinggi terdapat pada perlakuan kotoran sapi :rumput gajah dengan perbandingan 2 : 1 yakni sebesar 0.60%, sedangkan kandungan unsur nitrogen paling rendah terdapat pada perlakuan kotoran sapi : serbuk kayu dengan perbandingan 2 : 1 yakni sebesar 0.41 %.

Tabel 1

Kandungan Nitrogen kompos

Hari Kiindungiin Nitrogen %

Ke

KS

KSSK

KSS

KSR

0

0.68

0.53

0.55

0.23

20

0.61

0.49

0.49

0.14

40

0.51

0.39

0.40

0.87

60

0.50

0.41

0.42

0.60

Berdasarkan uji statistik yang dilakukan menunjukan bahwa perlakuan, konsentrasi penambahan bahan tambahan pada proses pembuatan kompos berbahan baku kotoran sapi menunjukkan pengaruh sangat nyata terhadap kandungan kadar nitrogen pada kompos.

Rasio Karbon Nitogen

Hasil C/N rasio pada proses pengomposan ini sudah memenuhi standar rasio dalam SNI 197030-2004 yaitu antara 10-20. Menurut Irvanet al., 2014, penurunan C/N rasio dapat terjadi karena adanya proses perubahan pada nitrogen dan karbon selama proses pengomposan berlangung, perubahan kadar nitrogen dan karbon tersebut terjadi dikarenakan pada proses pengomposan terjadi penguraian senyawa organik kompleks menjadi asam organik sederhana dan penguraian bahan organik yang mengandung nitrogen.

Tabel 1

Kandungan Karbon kompos

Hari Kandungan Rasio C/N %

Ke

KS

KSSK

KSS

KSR

0

24.79

30.09

30.03

22.14

20

21.78

25.77

26.53

19.63

40

17.89

20.11

21.68

17.28

60

15.80

15.21

19.14

15.13

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa rasio C/N dari setiap perlakuan berkisar antara 15.14- 24.14. Perlakuan kotoran sapi : rumput gajah dengan perbandingan 2 : 1 memiliki nilai C/N rasio terendah yaitu 15.13, sedangkan perlakuan kotoran sapi : sekam dengan perbandingan 2 : 1 memiliki nilai C/N rasio paling tinggi yakni sebesar 19.14. Berdasarkan uji statistik yang dilakukan menunjukan bahwa perlakuan, konsentrasi penambahan bahan tambahan pada proses pembuatan kompos berbahan baku kotoran sapi menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap C/N rasio kompos.Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan pada hasil kompos yang dihasilkan, hasil kompos telah sesuai dengan SNI 19-7030-2004

DAFTAR PUSTAKA

Haygreen JG, Bowyer JL., 1996. Forest Product and Wood Science: An Introduction.

Irvan, Permata Mhardela, Bambang Trisakti. 2014. Pengaruh Penambahan Berbagai Aktivator Dalam Proses pengomposan Sekam Padi (Oryza Sativa). Jurnal Teknik Kimia USU Vol. 30 No. 2. Medan

Murbandono, L. 1995. Membuat Kompos. Jakarta Penebar Swadaya.

Okaraove, C.C., and Ikewuchi, J.C. 2009.Nutritional and antinutritional components of Pennisetum purpureum Schumach. Pakistan journal of nutritional 8(1):32-34.

Setiawan A, 2003. Pemanfaatan isi rumen (kambing dan domba) sebagai inokulan dalam proses pengomposan sampah pasar (organik) dengan kotoran sapi perah. 81

[Skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Setiyo, Y., Hadi K.P., Subroto, M.A, dan Yuwono, A.S.,  2007. Pengembangan

Model Simulasi Proses Pengomposan Sampah Organik Perkotaan. Journal Forum Pascasarjana Vol 30 (1) Bogor.

Setiyo.Y, W. Arnata, NL Yulianti, dan G. Arda., 2012.IBM Simantri Kelompok Tani Sari Bumi.

Setiyo Y., K.B. Susrusa, I D.G.M. Permana and I G.A.L. Triani., 2015. Development of the LEISA system for the cultivation of

consumed potatoes (Solanum tuberosum L.) Granola variety to improve land quality and     productivity.Proceedings     of

SENASTEK, 2015.

Suharno. 1979. Peluang Abu Sekam. Balai Penelitian        Pasca        Pertanian.

[email protected].

Wahyono,Sri, Sahwan, L. Firman, Suryanto, Freddy. 2003. Mengolah Sampah Menjadi Kompos. Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan BPPT Jakarta.

82