Pengaruh Perlakuan Suhu dan Waktu Maserasi terhadap Karakteristik Ekstrak Daun Bambu Duri (Bambusa blumeana) sebagai Sumber Antioksidan
on
Jurnal Ilmiah Teknologi Pertanian
AGROTECHNO
Volume 5, Nomor 1, April 2020
ISSN: 2503-0523 ■ e-ISSN: 2548-8023
Pengaruh Perlakuan Suhu dan Waktu Maserasi terhadap Karakteristik Ekstrak Daun Bambu Duri Bambusa blumeana) sebagai Sumber Antioksidan
The influence of Temperature and Maceration Time on Characteristic of Bambu Duri Leaf Extract Bambusa blumeana) for Antioxidants Source
Ni Made Sri Wahyuni, Luh Putu Wrasiati*, Amna Hartiati
Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana, Badung, Bali, Indonesia
*email: wrasiati@unud.ac.id
Abstract
The aim of this study was to determine the effect of temperature and maceration time on the characteristics of Bambu Duri leaf extracts as a source of antioxidants and to determine the best temperature and time of maceration to produce Bambu Duri leaf extract characteristics as a source of antioxidants.This study used a factorial randomized block design. The first factor is maceration temperature consisting of 30°C, 45°C, and 60°C. The second factor is maceration time consisting of 24, 36, and 48 hours. The data were analyzed by analysis of variance and continued with the Tukey test. The results showed that maceration temperature and maceration time had a very significant effect on yield, total phenolic, total flavonoid, and antioxidant capacity. The interaction between treatments had a very significant effect on the total phenolic, total flavonoid, and antioxidant capacity, but had no significant effect on the yield of Bambu Duri leaf extract. The best treatment to produce Bambu Duri leaf extract as a source of antioxidants is using maceration temperature of 60°C and maceration time of 36 hours with a yield characteristics of 9.82±0.18 percent, total phenolic of 100.19±0.14 mg GAE/g, total flavonoids of 186.86±0.70 mg QE/g, and antioxidant capacity of 83.99±0.78 mg GAEAC/g.
Keywords: Bambusa blumeana, extraction, polyphenol, antioxidant.
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu dan waktu maserasi pada karakteristik ekstrak daun Bambu Duri sebagai sumber antioksidan dan untuk menentukan suhu dan waktu maserasi terbaik untuk menghasilkan karakteristik ekstrak daun Bambu Duri sebagai sumber antioksidan. Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok faktorial. Faktor pertama adalah suhu maserasi yang terdiri dari 30 ° C, 45 ° C, dan 60 ° C. Faktor kedua adalah waktu maserasi yang terdiri dari 24, 36, dan 48 jam. Data dianalisis dengan analisis varian dan dilanjutkan dengan uji Tukey. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu maserasi dan waktu maserasi memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap hasil, fenolik total, flavonoid total, dan kapasitas antioksidan. Interaksi antara perlakuan memiliki efek yang sangat signifikan pada total fenolik, flavonoid total, dan kapasitas antioksidan, tetapi tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap hasil ekstrak daun Bambu Duri. Perlakuan terbaik untuk menghasilkan ekstrak daun Bambu Duri sebagai sumber antioksidan adalah menggunakan suhu maserasi 60 ° C dan waktu maserasi 36 jam dengan karakteristik rendemen 9,82 ± 0,18 persen, total fenolik 100,19 ± 0,14 mg GAE / g, total flavonoid 186,86 ± 0,70 mg QE / g, dan kapasitas antioksidan 83,99 ± 0,78 mg GAEAC / g.
Kata Kunci: Bambusa blumeana, ekstraksi, polifenol, antioxidant.
PENDAHULUAN
Bambu duri Bambusa blumeana J.A. J.H. Schult.) merupakan salah satu tanaman asli Indonesia. Bagian dari tanaman bambu yang sering dimanfaatkan yaitu, rebung (tunas) untuk bahan pangan, batang untuk bahan bangunan dan kerajinan, serta daunnya untuk pengemas. Bambu duri merupakan salah satu
tanaman yang memiliki daun berukuran kecil (panjang 9,5-15 cm dan lebar 2,5-4,5 cm), sehingga tidak dapat digunakan untuk pengemas dan sampai saat ini belum dimanfaatkan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan daun bambu duri yaitu dengan mengambil senyawa bioaktif yang terkandung di dalamnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa daun bambu mengandung
Ni Made Sri Wahyuni, Luh Putu Wrasiati*, Amna Hartiati. 2020. Pengaruh Perlakuan Suhu dan Waktu Maserasi terhadap Karakteristik Ekstrak Daun Bambu Duri Bambusa blumeana) sebagai Sumber Antioksidan. Jurnal Ilmiah Teknologi Pertanian Agrotechno, Vol. 5, No. 1, 2020. Hal. 27-33
senyawa bioaktif yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber antioksidan pada makanan (Zhang et al., 2007), bioherbisida (Saraswati, 2016), serta memiliki aktivitas farmakologis. Penelitian Wang et al. (2012), menyatakan bahwa daun bambu memiliki kandungan senyawa bioaktif berupa flavonoid, lakton, dan asam fenolat. Kandungan senyawa bioaktif yang terdapat pada daun bambu tersebut sangat potensial untuk dijadikan sebagai sumber antioksidan.
Antioksidan yang terkandung pada daun bambu duri dapat diperoleh dengan cara ekstraksi secara maserasi. Ekstraksi maserasi dipilih karena merupakan metode yang paling sederhana, mampu menghasilkan ekstrak dalam jumlah banyak, serta tidak menyebabkan perubahan kimia senyawa-senyawa tertentu karena pemanasan suhu tinggi. Pelarut yang digunakan dalam mengekstrak komponen bioaktif yang terkandung pada daun bambu duri yaitu pelarut etanol, karena memiliki kemampuan untuk melarutkan senyawa polar yang banyak terkandung pada bahan.
Ekstraksi pada umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu suhu dan waktu maserasi. Ekstraksi menggunakan metode maserasi pada umumnya menggunakan suhu ruang, tetapi penggunaan suhu ruang memiliki kelemahan yaitu proses ekstraksi kurang sempurna dan berlangsung dalam waktu yang lama, sehingga menyebabkan senyawa menjadi kurang terlarut. Rahim et al. (2010) menyimpulkan bahwa komponen bioaktif seperti antioksidan pada beberapa tanaman meningkat seiring dengan kenaikan suhu antara 45-100°C dan mengalami penurunan bila suhu ekstraksi dinaikkan hingga 120°C. Penelitian dari Cahayanti et al. (2016), menyatakan bahwa suhu 45˚C merupakan perlakuan terbaik yang mampu menghasilkan ekstrak pewarna alami dari buah pandan dengan karakteristik rendemen sebesar 3,05 persen; kadar total karotenoid 0,45 persen; tingkat kecerahan (L*) 4,83; tingkat kemerahan (a*) -2,45; tingkat kekuningan (b*) 34,96; dan kekuatan warna 10,3 (sangat kuat). Penelitian Damanik et al. (2014), mengenai ekstraksi katekin dari daun gambir dengan metode maserasi menghasilkan data bahwa suhu 60˚C merupakan suhu terbaik dalam menghasilkan katekin, yaitu sebesar 87,14 persen.
Waktu maserasi juga dapat mempengaruhi karakteristik antioksidan yang terkandung pada bahan. Menurut Utami (2009), waktu maserasi yang terlalu singkat akan mengakibatkan tidak semua senyawa fitokimia larut dalam pelarut yang digunakan, dan apabila waktu ekstraksi terlalu lama, maka senyawa fitokimia yang diekstrak akan rusak. Berdasarkan penelitian Dwipayana et al. (2019), waktu ekstraksi 36 jam merupakan perlakuan terbaik untuk memperoleh karakteristik warna pada daun
pandan wangi dengan perolehan rendemen ekstrak sebesar 10,32 persen; kadar klorofil a sebesar 3402,04 ppm; kadar klorofil b sebesar 312,23 ppm; dan kadar klorofil total sebesar 4013,42 ppm. Penelitian lain dari Yulianingtyas dan Kusmartono (2016), menunjukkan bahwa waktu maserasi 48 jam merupakan perlakuan terbaik untuk memperoleh kadar flavonoid terekstrak yaitu sebanyak 72,31 mg/10 g bahan baku pada daun belimbing wuluh.
Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh perlakuan suhu dan waktu maserasi untuk menghasilkan karakteristik ekstrak daun bambu duri sebagai sumber antioksidan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu dan lama waktu maserasi terhadap karakteristik ekstrak daun bambu duri sebagai sumber antioksidan, serta untuk menentukan suhu dan lama waktu maserasi terbaik dalam menghasilkan karakteristik ekstrak daun bambu duri sebagai sumber antioksidan.
METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Rekayasa Proses dan Pengendalian Mutu, Laboratorium Analisis Pangan, Laboratorium Teknik Pasca Panen, dan Laboratorium Pengolahan Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana. Waktu pelaksanaan dilakukan pada Desember 2019 hingga Februari 2020.
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain oven (Blue M), blender (Philips), timbangan analitik (Shimadzu), spektrofotometer Biochrome SN 133467), rotary evaporator vacuum IKA RV 10 digital), vortex Barnstead Thermolyne Maxi Mix II), mikropipet (Socorex), ayakan 60 mesh (Retsch), dan alat-alat gelas. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu daun bambu duri Bambusa blumeana) serta bahan kimia dengan merek Merck (methanol PA, reagen Folin-Ciocalteu, Na2CO3, NaNO2, AlCl3, kuersetin, dan NaOH), etanol teknis 96 persen (Bratachem), akuades (One Med), asam galat (Sigma-aldrich), dan kristal DPPH (Himedia).
Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan dua faktor. Faktor pertama adalah suhu maserasi (S) yang terdiri atas 3 taraf, yaitu S1 (30±2˚C , S2 (45±2˚C , dan S3 (60±2˚C . Faktor kedua yaitu waktu maserasi (W yang terdiri atas 3 taraf, yaitu W1 (24 jam ,
W2 (36 jam , dan W3 (48 jam . Berdasarkan faktor tersebut, maka diperoleh 9 kombinasi perlakuan. Masing-masing perlakukan kemudian dikelompokkan menjadi 2 kelompok berdasarkan waktu pengerjaannya sehingga diperoleh 18 unit percobaan. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis variansi (ANOVA) dan apabila perlakuan berpengaruh akan dilanjutkan dengan uji beda nyata jujur (BNJ) dengan menggunakan perangkat lunak Minitab 17. Perlakuan terbaik adalah perlakuan dengan hasil rendemen, total fenolik, total flavonoid, dan kapasitas antioksidan tertinggi.
Pelaksanaan Penelitian
Pembuatan bubuk daun bambu duri
Daun bambu duri yang digunakan pada penelitian ini yaitu daun muda yang berada pada posisi 1-3 yang dihitung dari pucuk daun, berwarna hijau, dan berukuran ±9 cm × 2 cm. Daun bambu duri yang sudah diambil kemudian dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan menggunakan oven pada suhu 50±2˚C selama 6 jam atau sampai daun mudah dihancurkan. Daun yang sudah kering kemudian dipotong-potong dan diblender hingga halus. Bubuk daun bambu yang sudah halus kemudian diayak dengan ayakan 60 mesh. Bahan yang tidak lolos ayakan diblender kembali hingga lolos ayakan 60 mesh. Kadar air dari bubuk daun bambu duri yaitu 11,06%.
Pembuatan ekstrak daun bambu duri
Bubuk daun bambu duri ditimbang sebanyak 25 gram dan dimasukkan ke dalam botol kaca berwarna gelap, kemudian ditambahkan pelarut etanol 96 persen sebanyak 250 mL. Perbandingan bubuk daun bambu duri dengan pelarut etanol yaitu 1:10 (b/v). Proses ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi menggunakan suhu (30±2˚C, 45±2°C, dan 60±2˚C) dan waktu (24 jam, 36 jam, dan 48 jam) sesuai perlakuan. Proses maserasi untuk perlakuan suhu 45±2°C dan 60±2˚C dilakukan dalam inkubator.
Selama proses maserasi dilakukan proses penggojogan secara manual setiap 6 jam selama 5 menit. Setelah proses maserasi, dilakukan proses penyaringan dengan menggunakan kertas saring sebanyak dua kali. Penyaringan pertama menggunakan kertas saring kasar yang kemudian menghasilkan filtrat I dan ampas. Ampas kemudian ditambahkan pelarut sebanyak 50 mL, digojog selama 5 menit, dan kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring kasar dan kemudian menghasilkan filtrat II. Filtrat I dan II kemudian dicampur dan disaring kembali dengan menggunakan kertas saring Whatman no.1. Filtrat kemudian dievaporasi dengan rotary evaporator vacuum pada suhu 40˚C dengan kecepatan 100 rpm dan tekanan 100 mBar sampai semua etanol menguap dan hingga diperoleh ekstrak kental (Fikri, 2017). Ekstrak kental yang diperoleh kemudian ditimbang dan dimasukkan ke dalam botol sampel yang berwarna gelap.
Variabel yang diamati
Variabel yang diamati dalam penelitian ini yaitu rendemen ekstrak (Sudarmadji et al., 1989), total fenolik (Sakanaka et al., 2003), total flavonoid (Chang et al., 2002), dan kapasitas antioksidan dengan metode DPPH (Blois, 1958). Seluruh analisis yang dilakukan dimodifikasi sesuai dengan karakteristik sampel, serta peralatan dan zat kimia yang tersedia di laboratorium.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rendemen
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan suhu dan waktu maserasi berpengaruh sangat nyata (P≤0,01), sedangkan interaksinya berpengaruh tidak nyata (P≥0,05) terhadap rendemen ekstrak daun bambu duri. Nilai rata-rata rendemen ekstrak daun bambu duri dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai rata-rata rendemen (%) ekstrak daun bambu duri pada perlakuan suhu dan waktu maserasi
Suhu maserasi (°C) |
24 |
Waktu maserasi (jam) 36 |
48 |
Rata-rata |
30 |
8,49 |
9,47 |
10,25 |
9,40±0,80c |
45 |
9,72 |
10,69 |
11,23 |
10,54±0,69a |
60 |
8,94 |
9,82 |
10,62 |
9,80±0,76b |
Rata-rata |
9,05±0,56c |
9,99±0,57b |
10,70±0,46a |
Keterangan: Huruf berbeda di belakang nilai rata-rata menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf kesalahan 5% (P≤0,05). Data merupakan rata-rata dari dua kelompok pada masing-masing perlakuan.
Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai rata-rata rendemen ekstrak daun bambu duri tertinggi diperoleh pada perlakuan suhu maserasi 45°C sebesar 10,54±0,69
persen, sedangkan rendemen terendah diperoleh pada perlakuan suhu maserasi 30°C yaitu 9,40±0,80 persen. Hasil ini menunjukkan bahwa peningkatan
suhu maserasi hingga 45°C mampu meningkatkan persentase rendemen, tetapi penggunaan suhu maserasi yang lebih tinggi yaitu suhu 60°C dapat menurunkan persentase rendemen. Perlakuan suhu maserasi dapat meningkatkan persentase rendemen hingga batas suhu optimum, hal ini disebabkan karena peningkatan suhu dapat mempercepat gerakan partikel ke pelarut, sehingga nilai koefisien transfer massa dari suatu komponen semakin bertambah (Damanik et al., 2014). Sedangkan penurunan rendemen disebabkan karena terjadinya kerusakan pada senyawa bioaktif yang terkandung dalam bahan yaitu senyawa yang tidak tahan terhadap suhu tinggi, sehingga rendemen yang dihasilkan rendah (Cahayanti et al., 2016). Suhu maserasi yang rendah yaitu pada suhu 24°C menghasilkan rendemen terendah pada ekstraksi daun bambu duri. Hal ini diduga karena suhu maserasi yang rendah menyebabkan kandungan dalam daun bambu tidak dapat terekstrak secara sempurna atau proses difusi tidak berlangsung secara optimal sehingga komponen bioaktif masih banyak yang tertinggal di dalam bahan.
Perlakuan waktu maserasi menunjukkan adanya peningkatan persentase hasil rendemen disetiap kenaikan waktu maserasi. Nilai rata-rata rendemen ekstrak daun bambu duri tertinggi diperoleh pada
perlakuan waktu maserasi 48 jam yaitu 10,70±0,46 persen, kemudian waktu maserasi 36 jam yaitu 9,99±57 persen, dan yang terendah diperoleh pada perlakuan waktu 24 jam yaitu 9,05±0,56 persen. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin lama waktu ekstraksi yang digunakan, maka rendemen ekstrak daun bambu duri yang dihasilkan semakin tinggi. Waktu maserasi yang semakin lama dapat memberikan kesempatan yang cukup untuk pelarut dalam menarik senyawa-senyawa yang terkandung dalam sel hingga tercapai kondisi konstan saat pelarut mencapai titik jenuh. Hasil dari penelitian ini juga didukung oleh pernyataan Srijanto et al. (2010) yang menyatakan bahwa semakin lama waktu ekstraksi yang digunakan, waktu kontak antara sampel dan pelarut juga akan semakin lama, sehingga jumlah senyawa yang terekstraksi semakin banyak.
Total Fenolik
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan suhu dan waktu maserasi serta interaksinya berpengaruh sangat nyata (P≤0,01) terhadap total fenolik ekstrak daun bambu duri. Nilai rata-rata total fenolik ekstrak daun bambu duri dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai rata-rata total fenolik (mg GAE/g) ekstrak daun bambu duri pada perlakuan suhu dan waktu maserasi
Suhu Maserasi (°C) |
24 |
Waktu Maserasi (Jam) 36 |
48 |
30 |
50,88±0,46i |
68,15±0,26g |
61,22±0,26h |
45 |
75,79±0,62f |
81,22±0,61d |
80,03±0,25e |
60 |
90,10±0,55c |
100,19±0,14a |
91,67±0,55b |
Keterangan: Huruf berbeda di belakang nilai rata-rata menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf kesalahan 5% (P≤0,05). Data merupakan rata-rata dari dua kelompok pada masing-masing perlakuan.
Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai rata-rata total fenolik ekstrak daun bambu duri tertinggi terdapat pada perlakuan suhu maserasi 60°C dan waktu maserasi 36 jam yaitu sebanyak 100,19±0,14 mg GAE/g dan total fenolik terendah terdapat pada perlakuan suhu maserasi 30°C dan waktu maserasi 24 jam yaitu sebanyak 50,88±0,46 mg GAE/g. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu yang digunakan sampai 60°C dan semakin lama waktu maserasi hingga 36 jam akan memudahkan pelarut dalam merusak dinding sel dan mengeluarkan fenol dari dalam jaringan tanaman, sehingga mampu meningkatkan kadar total fenolik. Suhu ekstraksi yang tinggi mengakibatkan turunnya nilai viskositas larutan yang kemudian memperkecil tahanan perpindahan massa, sehingga jaringan partikel solid semakin melunak dan proses perpindahan solute ke
pelarut akan berlangsung lebih cepat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Silva et al. (2007) yang menyatakan bahwa peningkatan total fenol pada suhu ekstraksi yang tinggi terjadi akibat adanya degradasi dinding sel karena rusaknya karbohidrat dan protein oleh panas yang memudahkan keluarnya fenol dalam jaringan tanaman. Perlakuan lama waktu maserasi yang semakin meningkat menunjukkan total fenolik yang dihasilkan semakin tinggi sampai pada batas waktu optimum. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kemit et al. (2015), yang menyatakan bahwa semakin lama waktu maserasi, maka kesempatan kontak antara bahan dan pelarut semakin besar sehingga hasilnya akan terus meningkat sampai pada titik jenuh dari pelarut tersebut. Setelah mencapai waktu optimumnya senyawa fenolik akan mengalami
kerusakan dan tidak lagi terlarut ke dalam pelarut yang digunakan.
Total Flavonoid
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan suhu dan waktu maserasi serta interaksinya
berpengaruh sangat nyata (P≤0,01) terhadap total flavonoid ekstrak daun bambu duri. Nilai rata-rata total flavonoid ekstrak daun bambu duri dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai rata-rata total flavonoid (mg QE/g) ekstrak daun bambu duri pada perlakuan suhu dan waktu maserasi
Suhu Maserasi (°C) |
24 |
Waktu Maserasi (Jam) 36 |
48 |
30 |
154,42±0,34i |
162,72±0,50g |
158,88±0,86h |
45 |
166,93±0,28f |
172,76±0,28d |
169,83±0,34e |
60 |
176,53±0,55c |
186,86±0,70a |
180,03±0,82b |
Keterangan: Huruf berbeda di belakang nilai rata-rata menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf kesalahan 5% (P≤0,05). Data merupakan rata-rata dari dua kelompok pada masing-masing perlakuan.
Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai rata-rata total flavonoid ekstrak daun bambu duri tertinggi terdapat pada perlakuan suhu maserasi 60°C dan waktu maserasi 36 jam yaitu sebanyak 186,86±0,70 mg QE/g dan total flavonoid terendah terdapat pada perlakuan suhu maserasi 30°C dan waktu maserasi 24 jam yaitu sebanyak 154,42±0,34 mg QE/g. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu yang digunakan yaitu 60°C dan semakin lama waktu maserasi hingga 36 jam, maka total flavonoid yang dihasilkan semakin banyak. Hal ini disebabkan pada suhu dan waktu tersebut kontak antara bahan dan pelarut berlangsung secara optimal sehingga jumlah senyawa flavonoid yang dihasilkan maksimal. Hasil ini didukung oleh penelitian Settharaksa et al. (2012) yang melaporkan bahwa suhu dan lamanya waktu pemanasan pada proses ekstraksi dapat berpengaruh terhadap kadar senyawa flavonoid dan fenolik yang diperoleh. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa senyawa flavonoid ekstrak etanol daun bambu duri akan mengalami kerusakan apabila melewati batas waktu maserasi optimum yaitu 36 jam. Hal ini kemungkinan disebabkan lamanya waktu maserasi
berakibat pada rusaknya kestabilan fragmen yang ada di dalam tumbuhan sehingga berakibat pada berkurangnya kadar senyawa flavonoid ekstrak daun bambu duri. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ibrahim et al. (2015), yang menyatakan bahwa peningkatan suhu ekstraksi yang terlalu tinggi dan waktu ekstraksi yang terlalu lama serta melampaui batas optimum dapat menyebabkan hilangnya senyawa-senyawa pada larutan karena penguapan, begitu juga sebaliknya, jika suhu ekstraksi terlalu rendah dan waktu ekstraksi terlalu singkat, maka tidak semua senyawa aktif pada bahan dapat terekstrak sehingga menghasilkan rendahnya senyawa aktif yang diperoleh.
Kapasitas Antioksidan
Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan suhu dan waktu maserasi serta interaksinya berpengaruh sangat nyata (P≤0,01) terhadap kapasitas antioksidan ekstrak daun bambu duri. Nilai rata-rata kapasitas antioksidan ekstrak daun bambu duri dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai rata-rata kapasitas antioksidan (mg GAEAC/g) ekstrak daun bambu duri pada perlakuan suhu dan waktu maserasi
Suhu Maserasi (°C) |
Waktu Maserasi (Jam) | ||
24 |
36 |
48 | |
30 |
55,96±0,33f |
67,27±0,52d |
64,18±0,67e |
45 |
68,14±0,59d |
74,40±0,71b |
71,37±0,58c |
60 |
76,00±0,41b |
83,99±0,78a |
83,40±0,59a |
Keterangan: Huruf berbeda di belakang nilai rata-rata menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf kesalahan 5% (P≤0,05). Data merupakan rata-rata dari dua kelompok pada masing-masing perlakuan.
Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kapasitas antioksidan ekstrak daun bambu duri tertinggi terdapat pada perlakuan suhu maserasi 60°C dan waktu maserasi 36 jam yaitu sebanyak 83,99±0,78
mg GAEAC/g yang tidak berbeda dengan perlakuan suhu maserasi 60°C dan waktu maserasi 48 jam. Sedangkan kapasitas antioksidan terendah terdapat pada perlakuan suhu maserasi 30°C dan waktu
maserasi 24 jam yaitu sebanyak 55,96±0,33 mg GAEAC/g. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu maserasi dan semakin lama waktu maserasi, nilai rata-rata kapasitas antioksidan yang diperoleh mengalami peningkatan, kecuali pada suhu maserasi 60°C yang mengalami penurunan pada waktu maserasi yang lebih lama (48 jam). Hal ini diduga terjadi karena pada suhu maserasi 60°C dan lama waktu maserasi 36 jam, pelarut yang digunakan telah mencapai titik jenuhnya, sehingga proses ekstraksi senyawa antioksidan yang terdapat pada ekstrak daun bambu duri sudah tidak memberi efek kenaikan pada waktu maserasi yang lebih dari 36 jam. Selain itu, kandungan kapasitas antioksidan yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh senyawa polifenol yang ada pada ekstrak daun bambu duri. Semakin banyak senyawa fenolik dan flavonoid, maka kapasitas antioksidannya akan semakin besar. Hasil ini didukung oleh penelitian Utami (2009 , yang meneliti tentang sumber antioksidan alami dari daun alpukat yang menyatakan bahwa kapasitas antioksidan daun alpukat berbanding lurus dengan total fenol yang dikandungnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Interaksi antara suhu dan waktu maserasi sangat berpengaruh terhadap total fenolik, total flavonoid, dan kapasitas antioksidan ekstrak daun bambu duri. Peningkatan suhu maserasi sampai 60°C dan waktu maserasi sampai 36 jam dapat meningkatkan total fenolik, total flavonoid, dan kapasitas antioksidan. Setelah melampaui suhu maserasi 60°C dan waktu maserasi 36 jam, terjadi penurunan terhadap total fenolik, total flavonoid, dan kapasitas antioksidan.
Perlakuan terbaik untuk menghasilkan ekstrak daun bambu duri sebagai sumber antioksidan adalah menggunakan suhu maserasi 60°C dan waktu maserasi 36 jam, dengan karakteristik rendemen 9,82±0,18 persen, total fenolik sebesar 100,19±0,14 mg GAE/g, total flavonoid sebesar 186,86±0,70 mg QE/g, dan kapasitas antioksidan sebesar 83,99±0,78 mg GAEAC/g.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, disarankan menggunakan suhu maserasi 60°C dan waktu maserasi 36 jam untuk menghasilkan karakteristik ekstrak daun bambu duri terbaik. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan suhu maserasi di atas 60°C serta pengaruh faktor ekstraksi yang lain untuk
menentukan kandungan senyawa bioaktif pada ekstrak daun bambu duri. Perlu dilakukan perlakuan lanjutan seperti enkapsulasi agar mendapatkan ekstrak yang dapat diaplikasikan pada produk kosmetik maupun makanan.
DAFTAR PUSTAKA
Blois, M.S. 1958. Antioxidant determinations by the use of a stable freeradical. Nature. 181:11991200.
Cahayanti, I.A.P.A., N.M. Wartini, dan L.P. Wrasiati. 2016. Pengaruh suhu dan waktu ekstraksi terhadap karakteristik pewarna alami buah pandan Pandanus tectorius). Jurnal Rekayasa dan Manajemen Agroindustri. 4(2):32-41.
Chang, C., M. Yang, H. Wen, and J. Chern. 2002. Estimation of total flavonoid content in propolis by two complementary colorimetric methods. J. Food Drug Anal. 10(3):178-182.
Damanik, D.D.P., N. Surbakti, dan R. Hasibuan. 2014. Ekstraksi katekin dari daun gambir (Uncaria gambir Roxb.) dengan metode maserasi. Jurnal Teknik Kimia USU. 3(2):10-14.
Dwipayana, I.M., N.M. Wartini, dan L.P. Wrasiati. 2019. Pengaruh perbandingan bahan dengan pelarut dan lama ekstraksi terhadap karakteristik ekstrak pewarna daun pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.). Jurnal Rekayasa dan Manajemen Industri. 7(4):571-580.
Fikri, Z. 2017. Pengaruh Ekstrak Daun Bambu Betung Dendrocalamus asper) sebagai Bioherbisida Pertumbuhan Gulma Teki (Cyperus rotundus L.). Skripsi S1. Tidak Dipublikasikan. Jurusan Pendidikan IPA Biologi, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Mataram, Mataram.
Ibrahim, A.M., Yunita, dan H.S. Feronika. 2015. Pengaruh suhu dan lama waktu ekstraksi terhadap sifat kimia dan fisik pada pembuatan minuman sari jahe merah dengan kombinasi penambahan madu sebagai pemanis. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 3(2 :530-541.
Kemit, N., I W.R. Widarta, dan K.A. Nocianitri. 2016. Pengaruh jenis pelarut dan waktu maserasi terhadap kandungan senyawa flavonoid dan aktivitas antioksidan ekstrak daun alpukat (Persea americana Mill). Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan. 5(2):130-141.
Rahim, M.S.A.A, J. Salihon, M.M. Yusoff, I.A Bakar, and M.R.M. Damanik. 2010. Effect of
temperature and time to the antioxidant activity in air Plectranthus amboinicus Lour. America Journal of Applied Sciences. 7(9):1195-1199.
Sakanaka, S., Y. Tachibana, and Y. Okada. 2003. Preparation and antioxidant proteries of extracts of Japanese persimmon leaf tea (kakinoha-cha). Food Chemistry. 89(4):569-575.
Saraswati, N.I. 2016. Potensi Ekstrak Daun Bambu Apus (Gigantochloa apus Kurz) sebagai Bioherbisida terhadap Perkecambahan dan Pertumbuhan Cyperus iria L. dan Amaranthus spinosum L. Skripsi S1. Tidak Dipublikasikan. Jurusan Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang.
Settharaksa, S., A. Jongjareonrak, P. Hmadhlu, W. Chansuwan, and S. Siripongvutikorn. 2012. Flavonoid, phenolic contents and antioxidant properties of Thai hot curry paste extract and its ingredients as affected of pH, solvent types, and high temperature. International Food Research Journal. 19(4):1581-1587.
Silva, E. M., H. Rogez, and Y. Larondelle. 2007. Optimization of extraction of phenolics from Inga edulis leaves using response surface methodology. Separation and Purification Technology. 55(3): 381-387.
Srijanto, B., I. Rosidah, E. Rismana, G. Syabirin, Aan, dan Mahreni. 2005. Pengaruh waktu, suhu, dan perbandingan bahan baku-pelarut pada ekstraksi kurkumin dari temulawak
(Curcuma xanthorriza Roxb.) dengan pelarut aseton. Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses. Universitas Diponegoro, Semarang.
Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Utami, R.D., K.M. Yuliawati, dan L. Syafnir. 2015. Pengaruh metode ekstraksi terhadap aktivitas antioksidan daun sukun (Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg). Prosiding Farmasi. 1(2):280-286.
Utami. 2009. Potensi daun alpukat Persea americana Mill) sebagai sumber antioksidan alami. Jurnal Teknik Kimia UPN Jawa Timur. 2(1):58-64.
Wang, J., Y.D. Yue, F. Tang, and J. Sun. 2012. TLC screening for antioxidant activity of extracts from fifteen bamboo species and identification of antioxidant flavone glycosides from leaves of Bambusa. Journal Molecul. 17(10):12297-12311.
Yulianingtyas, A. dan B. Kusmartono. 2016. Optimasi volume pelarut dan waktu maserasi pengambilan flavonoid daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.). Jurnal Teknik Kimia. 10(2):58-64.
Zhang, Y., X. Tie, B. Bao, X. Wu, and Y. Zhang. 2007. Metabolism of flavone C-glucosides and p-coumaric acid from antioxidant of bamboo leaves (AOB) in rats. British Journal of Nutrition. 97:484-494.
33
Discussion and feedback