Kajian Mengenai Perkembangan dan Pengembangan Kain Tenun Ikat Endek Klungkung dalam Perspektif Industri dan Budaya
on
Jurnal Ilmiah Teknologi Pertanian
AGROTECHNO
Volume 2, Nomor 1, April 2017
ISSN: 2503-0523 ■ e-ISSN: 2548-8023
Kajian Mengenai Perkembangan dan Pengembangan Kain Tenun Ikat Endek Klungkung dalam Perspektif Industri dan Budaya
The study of the Kain Tenun Ikat Endek Klungkung’s Growth and Its Development from Industrial and Cultural perspective
Cokorda Anom Bayu Sadyasmara1, Ida Bagus Wayan Gunam1
1Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana
E-mail: [email protected]
Info Artikel
Diserahkan: 30 Maret 2017
Diterima dengan revisi: 25 April 2017
Disetujui: 30 April 2017
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai percontohan pola pergeseran aktivitas Masyarakat Bali melalui sebuah komoditas, yang dalam hal ini adalah komoditas berbasis budaya dan melihat pola perkembangan dan pengembangan Endek sebagai sebuah komoditas berbasis budaya di Kabupaten Klungkung. Studi ini menggunakan pendekatan gabungan dari metode penelitian historis, etnologi, deskriptif kualitatif dan kultural. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi dan wawancara langsung kepada para stakeholder yang ditentukan menggunakan metode purposive dan snowball sampling. Kerajinan tenun endek di Klungkung dapat menggambarkan adanya pergeseran aktivitas pada masyarakat di Klungkung. Aktivitas menenun yang semula merupakan aktivitas sekunder kemudian berkembang ataupun bergeser menjadi salah satu aktivitas primer (mata pencaharian). Bergesernya fungsi aktivitas adalah sebagai akibat dari bergesernya fungsi dari kain endek yang sebelumnya adalah artefak bergeser menjadi komoditas. Pola perkembangan dan pengembangan yang terjadi pada kain endek di gerakkan oleh proses adopsi teknologi, yakni teknologi yang terkandung pada fasilitas rekayasa (ATBM), teknologi yang terkandung dalam informasi yakni media (cetak, televisi, internet), teknologi yang terkandung pada manusia (Observasi, Experience) dan teknologi yang terkandung dalam organisasi (proses akulturasi). Proses adopsi teknologi mengakibatkan terjadinya perkembangan melalui sebuah pengembangan yang kemudian menghasilkan bentuk baru dikenal dengan istilah komodifikasi.
Kata kunci : Kain Endek, Klungkung, Teknologi, Komodifikasi
Abstract
The research aimed to model the transformation activities of the Balinese community through a commodity, which in this case is a cultural-based commodity and to describe the pattern of growth and development of Endek as a cultural-based commodity in Klungkung Regency. This study used a combined approach of historical, ethnological, descriptive qualitative, and cultural methods. Data are collected through observation technique and direct interview to stakeholders using purposive and snowball sampling method. Endek woven handicrafts in Klungkung illustrated the transformation of activities of the community in Klungkung. The weaving activity that was originally a secondary activity, then developed or shifted into one of the primary activities (livelihood). The shifting of the activity function was a result of the shifting of the function of the Endek fabric which was an artifact shifted into a commodity. The pattern of growth and development that occurs in the Endek fabric was driven by the process of technology adoption, the technology contained in engineering facilities (ATBM), the technology contained in the information that is media (brochure, television, internet), technology contained in humans
(Observation, Experience) and technology contained within the organization (acculturation). The process of technology adoption leads to growth through a development which then produces a new form known as commodification.
Keywords: Endek Cloth, Klungkung, Technology, Commodification
PENDAHULUAN
Pergeseran terjadi dalam aktivitas Kerajinan Tenun. Pergeseran terjadi melalui pengembangan yang mengakibatkan adanya perkembangan yang tidak lepas dari pergeseran sistem kehidupan, yakni dari Masyarakat Agraris bergeser menjadi Masyarakat Industri. Identitas awal yang telah melekat perlahan berkembang dengan adanya identitas tambahan baru, yakni nilai ekonomi, sehingga kemudian munculah istilah komodifikasi budaya.Kain Tenun Ikat Endek beberapa tahun belakangan mengalami tren positif secara kacamata industri. Pergeseran yang terwakilkan oleh perkembangan melalui sebuah pengembangan menjadikan produk ini menjadi begitu dikenal dan bahkan memiliki status nilai tambahan dari sejak awal mula lahirnya kerajinan ini.Teknologi merupakan salah satu faktor dominan yang berpengaruh besar terhadap perubahan yang terjadi. Teknologi tidak hanya merujuk pada alat ataupun metode atau cara, melainkan tanpa disadari ternyata teknologi merupakan kesadaran kolektif yang bahkan dapat menggantikan kedudukan agama dalam suatu masyarkat (Durkheim dalam Martono, 2014).Melalui beberapa pendekatan tersebut, maka kajian ini penting untuk dilakukan melihat potensi dari hasil yang akan diperoleh. Dengan mengidentifikasi proses perjalanan Kain Endek, kemudian akan dipetakan faktor-faktor yang berperan dalam proses pergesaran nilai dari Kain tenun ikat yang semula lahir pada era masyarkat agraris hingga pada era masyarakat industri. Secara umum tujuan dari kajian ini adalah sebagai percontohan pola perg-eseran aktivitas Masyarakat Bali melalui sebuah komoditas, yang dalam hal ini adalah komoditas berbasis budaya dan melihat pola perkembangan dan pengembangan Endek sebagai sebuah komoditas berbasis budaya di Kabupaten Klungkung.
METODOLOGI PENELITIAN
Studi ini menggunakan pendekatan gabungan dari metode penelitian historis, etnologi, deskriptif kualitatif dan kultural. Data dikumpulkan mulai bulan Juli sampai Oktober 2016. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, survei dan observasi langsung ke pakar, pengrajin dan pedagang kain endek yang sebelumnya ditentukan dengan metode purposive dan snowball sampling. Hal yang menjadi fokus adalah profil dan perkembangan kerajinan endek di Kabupaten Klungkung.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perkembangan Kerajinan Tenun Endek di Kabupaten Klungkung
Perkembangan merupakan kondisi dari awal aktivitas tenun endek dilakukan di Kabupaten Klungkung hingga kondisi aktual saat ini. Pendekatan yang digunakan untuk melihat periode atau era secara garis besar adalah periode sebelum tahun 1970 dan sesudah tahun 1970. Perkembangan dilihat berdasarkan bahan baku yang digunakan, metode/proses pembuatan, peralatan, motif/desain kain yang dihasilkan serta motivasi produksi. Bila dilihat dari faktor bahan baku yang digunakan dari awal mula hingga saat ini tidak ada perubahan yang terlalu signifikan. Bahan yang digunakan secara umum ada dua yakni katun dan sutra. Benang katun dapat dibagi lagi berdasarkan tingkat ketebalan dan kehalusan benang, katun yang lebih halus terkadang disebut sebagai metris atau katun metris. Ukuran yang umum di kenal adalah ukuran 80/2 dan 64/2, semakin besar angka didepan maka semakin halus
benang tersebut. Untuk benang sutra yang digunakan adalah ukuran 100/2 atau SPH dan 140/2 atau SPA.Perbedaan bahan baku pada dua periode kemungkinan hanya pada sumber bahan baku. Pada era sebelum tahun 1970 sumber bahan baku diperoleh beberapa diantaranya dari Nusa Penida dan sebagian kecil dari proses mengolah kapas dari benang yang dilakukan secara mandiri oleh penenun. Hal ini juga memperkuat mengapa sebelum era tersebut peruntukkan/motivasi pembuatan kain hanya untuk digunakan sendiri.Pemilihan motif atau desain kain, ini berkaitan erat juga dengan motivasi dari pembuatan kain tersebut. Proses adopsi atau akulturasi desain memang sudah terjadi jauh sebelum era 1970 bahkan mungkin sejak masa Kerajaan Gelgel, namun arus pengayaan motif kemudian terjadi setelah era 1970 sejak diperkenalkannya ATBM (alat tenun bukan mesin). Bila coba dianalogikan pada era saat kain endek belum diproduksi secara masal (industri), desain dan motivsi muncul sebagai wujud rasa terima kasih dalam wujud seni sehingga nilai rasa yang lebih ditonjolkan. Motif bunga-bunga maupun binatang muncul sebagai wujud ekspresi akan karunia alam yang diberikan oleh sang pencipta. Dengan kata lain dapat disimpulkan jika pada periode sebelum 1970, kain endek dibuat dengan pengrajin/penenun sebagai poros atau peran penentu, sementara era setelahnya adalah dimana konsumen atau pasar yang cenderung menjadi penentu. Pergeseran terjadi dari barang artefak kemudian menjadi barang ekonomi (komoditas).Pewarnaan kemudian juga menjadi salah satu faktor yang menarik untuk diperhatikan. Era sebelum tahun 70an diketahui untuk memberikan warna pada benang digunakan beberapa jenis tumbuhan yang juga masih digunakan sampai saat ini walaupun sudah dalam jumlah yang kecil dan sedikit. Misalkan untuk menghasilkan warna biru, digunakan Daun Tarum yang direndam kedalam air mendidih dan setelah dingin, kemudian benang dicelupkan selama 30 menit, selanjutnya benang difiksasi dengan larutan kapur, dibersihkan terus dkeringkan untuk proses penenunan (Sutara,
2009). Tanda khusus kain endek sebelum era 70an adalah warna kain endek hanya terdiri dari kombinasi 2 warna, dan warna yang dihasilkan cenderung tidak mencolok. Berbeda dengan pewarnaan menggunakan bahan kimia atau sintetik, selain prosesnya berlangsung lebih mudah, dan kombinasi warna yang dihasilkan beraneka ragam.
Pengembangan Kerajinan Tenun Endek di Kabupaten Klungkung
Kata pengembangan yang dimaksud disini adalah hal-hal apa saja yang dibuat atau diciptakan dalam rangka memberikan dampak positif pada kain endek baik dari segi nilai tambah secara produksi atau lebih jauh adalah nilai ekonomis maupun dalam rangka pelestarian budaya. Pengenalan ATBM sebagai pengganti Cagcag, merupakan pintu terbukanya industri kerajinan tenun endek di Klungkung, sekaligus mengubah fungsi ataupun menambah fungsi dari kain endek dari yang awalnya merupakan artefak budaya menjadi sebuah komoditas berbasis budaya. ATBM walaupun berperan sebagai pembuka sisi industri dari kain endek, juga menjadi barrier ataupun berfungsi mempertahankan peran manusia di dalam proses pembuatan kain endek, sehingga secara pemberdayaan dan fungsi sosial ATBM secara tidak langsung juga berperan sangat penting. Dengan tetap mempertahankan sisi manusia, juga kemudian mempertahankan nilai budaya di dalam aktivitas kain endek walaupun sebenarnya pergeseran telah terjadi secara halus.Penggunaan bantuan listrik pada beberapa bagian proses pengerjaan kain endek, yakni pada proses pengkelosan, penghanian, penginciran dan pemaletan yang semula menggunakan tenaga manusia untuk memutar kini pada beberapa pengrajin telah menggunakan bantuan mesin sederhana untuk menggulung benang. Nilai produktivitas semakin dikedepankan demi mencapai nilai-nilai yang bersifat ekonomis. Selanjutnya adalah pada proses pewarnaan, walaupun baru dilakukan oleh satu pengrajin berdasarkan hasil survei, yakni Tenun Dian’s, namun sepertinya pengembangan seperti ini
perlu dijadikan pertimbangan bagi pengrajin yang lain.Pengembangan yang dilakukan adalah mereka melakukan pewarnaan alternatif dengan cara penyemprotan (air brush). Penyemprotan tidak hanya untuk memberi warna dasar seperti pada proses pencelupan, melainkan juga pada pemberian motif dengan cara menggunakan mal yang telah berisi desain yang ditentukan sebelumnya. Proses pewarnaan seperti ini memberikan kesempatan kombinasi motif masing-masing pada benang pakan maupun benang lusi, dan mereka menamakan produk ini dengan istilah endek 3D (tridi).
Komodifikasi Kain Tenun Endek
Komodifikasi kain endek bisa dikatakan sudah bersifat menyeluruh dalam artian bukan hanya sebagai sebuah barang yang diperjualbelikan. Menurut pengertian Fairclough (1995: 27), komodifikasi merupakan suatu konsep yang luas, tidak hanya mencakup masalah produksi komoditas dalam pengertian perekonomian, melainkan mencakup suatu permasalahan bagaimana barang-barang tersebut diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi termasuk di dalamnya.
Komodifikasi makna tenun berdampak pada pergeseran nilai sakral ke profan, memiliki soft power atau kekuatan lunak. Soft power ditandai dengan perkembangan keperuntukan khusus seperti yang awalnya adalah ritual kemudian bergeser atau bertambah fungsi menjadi fashion, yang masih menampakkan nilai-nilai kelokalan (Lodra, 2016).
Apa yang dilakukan oleh pengrajin endek di Klungkung serupa dengan yang dilakukan tenun gringsing di Tenganan, yakni kurang lebih masuk dalam poin-poin yang diungkapkan oleh Piliang (2015) yakni proses komodifikasi atau lebih tepatnya komodifikasi makna menimbulkan medan kreatif seperti berikut:
Kelayakan dan Kebaruan produk
Pengerajin melihat dan mengamati secara seksama apa yang menjadi keinginan konsumen yang datang langsung kepada mereka serta tidak lupa mengikuti perilaku dan perkembangan
pasar. Hal-hal tersebut yang kemudian menjadi dasar para pengrajin untuk lebih mengeksplorasi kain endek untuk dapat dijadikan berbagai macam produk turunan seperti untuk cinderamata, tas, dompet, baju dan lain-lain.
Produksi
Komodifikasi makna di pengaruhi oleh media elektronik, media cetak yang menayangkan trend-trend fashion (busana) berdampak pada semakin berkembangnya motif-motif kain endek yang beberapa memiliki filosofi sakral terkomodifikasi menjadi komoditi-komoditi bermakna sekuler sesuai dengan analisis kebutuhan industri fashion dan sebagai penunjang industri pariwisata. Kehadiran budaya luar di tengah-tengah adat-istiadat, budaya, juga mendorong tumbuhnya budaya komodifikasi selaras dengan konsep pelestarian dan perkembangan. Sudikan (2013:41) menyebutkan sebagai kecerdasan lokal (local genius), dan pengetahuan lokal (local knowledge) dalam menyelamatkan lingkungan, serta pelaksanaan nilai-nilai tersebut oleh masyarakat sebagai kearifan lokal (Lodra, 2016).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kerajinan tenun endek di Klungkung dapat menggambarkan adanya pergeseran aktivitas pada masyarakat di Klungkung. Aktivitas menenun yang semula merupakan aktivitas sekunder kemudian berkembang ataupun bergeser menjadi salah satu aktivitas primer (mata pencaharian). Bergesernya fungsi aktivitas adalah sebagai akibat dari bergesernya fungsi dari kain endek yang sebelumnya adalah artefak bergeser menjadi komoditas. Pola perkembangan dan pengembangan yang terjadi pada kain endek di drive oleh proses adopsi teknologi, yakni teknologi yang terkandung pada fasilitas rekayasa (ATBM), teknologi yang terkandung dalam informasi yakni media (cetak, televisi, internet), teknologi yang terkandung pada manusia (Observasi, Experience) dan teknologi yang terkandung dalam organisasi (proses akulturasi). Proses adopsi teknologi mengakibatkan terjadinya perkembangan
melalui sebuah pengembangan sehingga kemudian menghasilkan bentuk baru yang dikenal dengan istilah komodifikasi. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam terutama dalam hal bagaimana cara untuk menyeimbangkan antara profan view dan sacral view serta perlu disusun sebuah model sistem kerajinan tenun endek.
DAFTAR PUSTAKA
Fairclough, N. 1995. Discourse and Social Change. Cambridge: Palito Press.
Lodra, N. 2016. Komodifikasi Makna Tenun Gringsing sebagai “Soft Power”
Menghadapi Budaya Global Jurnal Kajian Bali Vol. 06, No. 01
Martono, N. 2014. Sosiologi Perubahan Sosial: Perspektif Klasik, Modern, Posmodern dan Poskolonial, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Piliang, Yasraf Amir. 2015. Peran Strategis Seni dan Budaya dalam Membangun Kota Kreatif. Malang: Universitas Negeri Malang.
Sudikan, Yuwana, Setya, 2013. Kearifan Budaya Lokal. Jawa Timur: Damar Ilmu.
Sutara, P. K. 2009. Jenis Tumbuhan Sebagai Pewarna Alam Pada Beberapa Perusahaan Tenun di Gianyar. Jurnal Bumi Lestari, Vol. 9 No. 2 hlm. 217-223.
Discussion and feedback